Dampak Pernikahan Dini terhadap Kesehatan Reproduksi dan Pendidikan

Dampak Pernikahan Dini terhadap Kesehatan Reproduksi dan Pendidikan

Selayang Pandang Penikahan Dini dan Permasalahannya

Rusdi merupakan remaja yang berumur 17 tahun yang melangsungkan pernikahan dengan perempuan bernama Dewi yang juga masih berumur 17 tahun. Di umur yang masih belia, keduanya harus menikah lantaran orang tua sudah khawatir akan hubungan keduanya yang sudah semakin rekat seperti perangko pada kop surat yang tidak bisa dilepaskan. Dengan dalih saling mencintai dan hubungan pacaran yang sudah terjalin lama dengan kisah cinta yang dikisahkan sudah seperti Romeo dan Juliet, keduanya memutuskan untuk mempertimbangkan pilihan dari orang tuanya yang menyuruh keduanya untuk menikah saja. Alih-alih terbersit untuk mempersiapkan kehidupan pernikahan yang keras dan penuh perjuangan, keduanya justru menikah tanpa mempertimbangkan hal tersebut. Akhirnya, keduanya menikah dengan bayangan kebahagiaan seperti halnya yang ada di dalam drama korea.

Berselang satu tahun umur pernikahannya, keduanya diberikan karunia dengan dititipi oleh Tuhan seorang jabang bayi dalam perut si Dewi. Nahasnya, di tengah keadaan bahagia tersebut, keadaan ekonomi dari rumah tangga keduanya tidaklah stabil. Rusdi selaku kepala rumah tangga yang seharusnya berkewajiban untuk mencukupi kebutuhan sandang, pangan dan papan tidaklah dapat melakukan hal tersebut karena dya tidak memiliki pekerjaan tetap. Jangankan pekerjaan dan pemasukan tetap, pemasukan dan pekerjaan serabutan saja Rusdi masih tidak punya, sehingga selama berumah tangga dengan dewi, kehidupan keduanya hanya dibantu atas kemurahan hati dari orang tua dewi. Pada akhirnya, di tengah kehamilan yang dihadapi oleh Dewi, asupan nutrisi yang dibutuhkan oleh Dewi dan jabang bayi tidaklah tercukupi. Terlebih, kehamilan pertama sendiri bagi orang yang secara kesehatan sudah cukup siap untuk menggunakan organ reproduksinya pada umumnya di rasa sangat berat karena terdapat beberapa kondisi yang membuat ibu hamil menjadi tidak nyaman untuk makan karena mual dan muntah yang dirasakan. Apalagi bagi Dewi yang masih ada di umur yang sangat belia. Keadaan ini juga diperparah oleh tidak pernah diperiksanya secara rutin kandungan dari Dewi karena tidak adanya uang dan menjadikan keadaan semakin runyam.

Memasuki usia kandungan 7 bulan, Dewi harus melahirkan secara premature disebabkan oleh keadaan yang tidak mendukungnya dalam masa kehamilan. Kekurangan asupan, tidak terjaganya pola makan, tidak adanya pemeriksaan untuk mengetahui keadaan jabang bayi, pada akhirnya berakibat pada bayi yang masih belum waktunya dilahirkan tersebut dibawa ke NICU untuk mendapatkan perawatan. Akibat buruk itu juga berimbas pada Dewi yang merupakan ibu si bayi yang juga harus mendapatkan perawatan serius untuk pemulihan karena ini adalah pengalaman pertamanya melahirkan di usia yang masih belia, bahkan secara kesehatan masih riskan sekali untuk berada pada kondisi hamil.

Cerita di atas sudah bukan hal baru yang kita dengar, bahkan di sekitar rumah kita baik itu tetangga atau saudara kita pasti ada juga yang mengalami hal ini. Tentunya ini menjadi cerita yang memilukan. Tapi bagi sebagian orang yang tidak mengerti dan tidak ingin mengambil hikmah dari cerita ini, tentu hanya akan menjadi angin lewat saja dan tidak mencoba melakukan tindakan pencegahan. Begitulah kiranya sepenggal cerita yang dialami oleh seseorang yang melakukan pernikahan di usia yang belum matang untuk menikah. Sebelum membahasnya lebih jauh, rasanya tidak afdhol jika tulisan ini tidak meyinggung sedikit tentang apa itu pernikahan dini, mengapa itu bisa terjadi dan kenapa pihak pemerintah secara keras memberikan warning kepada semua kalangan untuk tidak melakukan dan mendukung pernikahan dini.

Apa sih pernikahan dini?. Tentunya pernikahan dini bukanlah pernikahan yang dilangsungkan oleh seseorang yang bernama Dini. Tapi jika si Dini ini adalah perempuan yang masih berusia di bawah 19 tahun, kemudian melangsungkan pernikahan, maka pernikahan tersebut dapat dikategorikan sebagai pernikahan dini. Artinya secara sederhana, pernikahan dini adalah pernikahan yang dilangsungkan oleh seseorang laki-laki atau perempuan yang masih berada di bawah umur layak menikah yang telah diatur oleh aturan Pernikahan di Indonesia. Aturan pernikahan tentang batas usia layak dan boleh untuk menikah sendiri diatur di dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam aturan tersebut, seseorang yang dikatakan layak dan diperbolehkan menikah adalah seseseorang yang telah berumur 19 tahun baik laki-laki atau perempuan.

Menariknya, aturan boleh menikah di umur 19 tahun ini merupakan aturan yang baru diberlakukan di tahun 2019. Sebelum ada pembaharuan ini, usia boleh menikah antara laki-laki dan perempuan berbeda yaitu laki-laki umur 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Perbedaan ini kemudian dianggap sebagai bentuk diskriminasi dan mengarah pada tindakan tidak patuh terhadap upaya perlindungan anak. Karena dengan batas usia menikah perempuan 16 tahun, hal ini membuat perempuan kehilangan hak-haknya untuk mendapatkan pengasuhan dan akses terhadap pendidikan yang seharusnya menjadi kebutuhan untuk mendukung tumbuh kembang seorang anak. Selain itu, perempuan yang masih berumur 16 tahun masihlah dikategorikan sebagai anak, yang secara mental, psikis dan kesehatan reproduksi masih belum matang, sehingga jika ini tetap dipertahankan, hal ini tidak akan mendukung tercapainya tujuan perkawinan berupa membentuk rumah tangga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Usia layak menikah memang menjadi satu perdebatan yang tidak berujung. Apalagi jika perdebatan itu tentang ukuran dari seseorang layak menikah itu apa ?. Penulis tentang hal ini ingin mengutip pendapat dari Imam Nawawi dalam Syarh Muslim saat menjelaskan tentang makna ba’ah dalam hadis Rasulullah SAW yang berkaitan dengan anjuran menikah bagi para pemuda. Sebagian ulama memberikan makna ba’ah adalah berkaitan dengan mampunya seseorang berjima’. Sementara sebagian ulama lain memberikan makna ba’ah sebagai kemampuan untuk memberikan nafkah dan keperluan pernikahan[1]. Mengutip pendapat tersebut, penulis melihat bahwa dinaikkannya batas usia kelayakan menikah dimaksudkan agar setiap pemuda yang hendak menikah dapat mempersiapkannya terlebih dahulu agar di kemudian hari dapat mencukupi keperluan pernikahan dan nafkah keluaganya. Dan sangat logis bahwa di Indonesia, anak berusia di bawah 19 tahun tidaklah memiliki kesiapan terhadap dua aspek tersebut, karena meskipun banyak di Indonesia anak yang sudah bekerja di bawah usia tersebut, tentu secara gaji tidak akan mencukupi jika diperuntukkan untuk mencukupi keperluan menikah dan nafkah keluarga.

Lahirnya aturan baru tentang batas usia pernikahan ini tentu menjadi harapan baru untuk mencegah terjadinya pernikahan dini di Indonesia. Tapi pertanyaan menariknya adalah “Apakah adanya aturan baru ini kemudian membuat pernikahan dini bisa dicegah?”. Secara potensi iya, karena dengan adanya aturan baru ini, setiap orang yang mengetahui ada pernikahan dini, dapat secara tegas ikut membantu mencegah pernikahan dini dan tidak takut diintimidasi dengan cara disuruh menunjukkan aturan normatifnya. Tetapi jika berbicara berdasarkan data, adanya aturan baru ini juga tidak membuat penurunan signifikan angka pernikahan dini di Indonesia. Bahkan angkanya itu kalau penulis lihat, ngeri jadinya dan merasa miris bahwa ini harus terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, penulis tidak mencantumkan angka pastinya. Dan penulis lebih memilih untuk memfokuskan tulisan ini pada faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini dan akibatnya.

Faktor Terjadinya Pernikahan Dini

Maraknya fenomena pernikahan dini tentu memiliki sebab yang mendasarinya. Apa sebenarnya yang menjadi faktor terjadinya pernikahan dini? Tentu secara teoritis ini banyak. Akan tetapi, Penulis melihat sebab dari pernikahan dini secara sederhana dibagi menjadi tiga, yaitu:

Pertama, karena pasangan telah kumpul kebo dan hamil duluan. Sebab ini tidak bisa kita bantah. Karena banyak dari kita melihat baik itu pernikahan dini yang diajukan melalui dispensasi kawin atau nikah sirri, alasan umumnya adalah karena perempuan telah hamil duluan. Untuk menutupi aib yang timbul, maka pihak orang tua memilih jalan untuk menikahkan anaknya, meskipun usia anak masih belum layak untuk melangsungkan pernikahan. Memang ini adalah keadaan mendesak dan seolah-olah tidak ada jalan lain selain dengan menikah. Tapi jika ini kemudian dinormalisasi, tentu akan menjadi tindakan yang berbahaya. Bisa saja seorang kemudian dengan sengaja kumpul kebo sampai hamil agar dapat dinikahkan. Padahal, jika kita mengikuti pepatah “Mencegah lebih baik daripada mengobati”, maka seharusnya kita berfikir untuk dapat mencegah pernikahan dini yang banyak dampak negatifnya, dibandingkan harus melangsungkan pernikahan dengan alasan untuk menutup aib yang muncul akibat kelalaian kita.

Kedua, praktik adat perjodohan yang masih diwarisi dan dilakukan oleh sebagian masyarakat. Dengan dalih adat perjodohan, kemudian dengan tanpa pikir panjang seseorang dinikahkan di usianya yang masih belia. Penulis disini tidak ingin mendiskreditkan praktik adat, akan tetapi jika dirasa memang praktik adat tersebut memberikan dampak buruk bagi kemajuan sebuah peradaban, tentunya kita semua sepakat untuk bisa merubah praktik adat tersebut. Toh, jika memang dirubah praktik adat perjodohan anak di usia dini dirubah dengan perjodohan yang menunggu sampai anak berusia dewasa dan layak menikah, hal ini akan lebih bisa memberikan dampak baik bagi kedua pasangan dan perkembangan kemajuan peradaban manusia.

Ketiga, kesalahan memahami dalil agama tentang menikah. Masyhur sekali kita mendengar hadis tentang perkawinan Nabi Muhammad SAW dengan Sayyidah Aisyah, yang pada waktu itu Sayyidah Aisyah masih berusia 6 tahun dan menjalankan rumah tangga saat usianya telah 9 tahun[2]. Dengan dalil hadis ini, sebagian masyarakat kemudian berfikir bahwa “Rasulullah saja menikahi Aisyah saat berada di usia 6 tahun, masak kita harus menikah di usia 19 tahun?”. Tentu jika pertanyaan seperti itu diajukan kepada penulis, jawabannya adalah sederhana, “Memangnya anda siapa? Beliau itu ahsanul khalqi dan menikahnya beliau bukan karena nafsu seperti kita. Kalau anda meniru Rasulullah, kemudian menikahi perempuan usia 6 tahun, yang ada anda akan pusing 7 keliling karena tidak sabar menunggu waktu untuk bisa menggaulinya”. Penulis sendiri agak sedikit sensitif terhadap orang-orang yang hanya mempergunakan dalil naqli secara tekstual saja tanpa mempertimbangkan dalil-dalil naqli lainnya. Bahkan, Muḥammad ibn ʻAbd Allah Khatib Al-Tabrizi menjelaskan bahwa sebeneranya Sayyidah Aisyah menikah pada usia 14 tahun dan memasuki rumah tangga saat berusia 19 tahun dengan didasarkan pada penelusuran terhadap umur dari saudara pertamanya yaitu Asma’ yang pada tahun 1 Hijriyah berumur 27-28 tahun dengan berjarak 10 tahun dari Sayyidah Aisyah[3]. Berdasarkan pendapat ini, tentunya usia perkawinan 19 tahun bukanlah angka yang tidak berdasar, akan tetapi usia ini juga dipandang oleh beberapa ulama’ sebagai batas usia seseorang layak untuk bisa menikah. Dan idealnya bagi seorang muslim, jangan hanya berpegang pada zahir ayat atau hadis saja, akan tetapi jika memang kita tidak memiliki cukup keilmuan untuk menafsirkan suatu ayat atau hadis, maka merujuklah pada pendapat dari para ulama selaku warotsatul anbiya’, jangan kemudian memberikan justifikasi hukum dengan alasan ittiba’ li sunnatin nabi.

Asbab nikah dini di atas sudah selayaknya kita bersama ketahui. Karena dengan mengetahui sebabnya, kita akan bisa turut berdampak untuk mengkampanyekan perkawinan di usia yang layak, seperti yang telah ditentukan oleh undang-undang. Sederhananya, masak waktu kita kampanye Pemilu saja kita mau dan menggebu-gebu, tapi kampanye tentang hal yang akan berdampak positif bagi generasi peradaban manusia dan Indonesia kita loyo.

Dampak Pernikahan Dini

Larangan pernikahan dini juga disebabkan oleh dampak negatif yang timbul dari pernikahan dini itu sendiri. Dalam risalah latar belakang terbentuknya UU Perkawinan yang baru, ada dua fokus dari pembuat undang-undang menaikkan batas usia perkawinan, yaitu pertama, berharap bahwa dengan aturan baru tentang batas usia pernikahan bisa menahan laju angka kematian ibu setelah melahirkan dan anak. Kedua, berharap dengan adanya aturan ini, anak-anak dapat memiliki akses untuk mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kewajiban sekolah 12 tahun.

Dua dampak ini menjadi sangat krusial dan penting untuk diketahui. Karena jika kita bayangkan saja, bagaimana perasaan anak yang seharusnya dirinya masih berada pada usia senang-senang untuk sekolah, kemudian harus menikah, tentu ini sangat miris. Anak-anak yang menikah di usia dini tentu tidak akan tahu masa-masa romantis pertemanan ala drama korea. Mereka juga tidak akan mengira bahwa saat menikah di usia muda, kemudian hamil dalam keadaan yang memiliki resiko kematian dengan tingkat rasio yang tinggi.

Penulis akan menjabarkan dampak terhadap kesehatan reproduksi dan dampak pendidikan bagi seseorang yang melangsungkan pernikahan dini sebagai berikut:

Dampak Kesehatan

Usia anak merupakan usia yang berdasarkan kesehatan masih belum memiliki kesiapan untuk menggunakan alat reproduksinya. Pernikahan tentunya ditujukan salah satunya untuk menghasilkan keturunan. Akan tetapi, jika seseorang menikah di usia saat alat reproduksi tidak siap digunakan, maka bahaya akan menghampiri orang tersebut. Layaknya orang yang ingin mendaki gunung, jika secara fisik dan mental tidak siap, maka yang ada seseorang tidak akan bisa mencapai puncak gunung tersebut. Dan jika saat menaiki gunung tersebut dya mengajak seseorang, tentu seseorang yang membersamainya juga akan ikut merasakan susah juga. Sama halnya dengan seeorang yang hendak menikah, jika keduanya menikah dengan kondisi psikis dan fisik dari organ reproduksi yang tidak siap, maka orang tersebut tidak hanya mencelakai dirinya, tapi juga membuat susah orang tua dan pasangannya.

Winda Ratna Dewi, Dkk., menjabarkan bahwa dampak negatif perkawinan dini terhadap kesehatan reproduksi adalah tingginya resiko gangguan kesehatan reproduksi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya anak usia di bawah 20 tahun saat menikah tidak memiliki cukup keilmuan tentang kesehatan reproduksi, sehingga resiko yang timbul adalah terjadi pengingkatan resiko penyakit seks menular dan resiko kanker serviks yang diakibatkan oleh tidak siapnya anatomi tubuh seseorang untuk bereproduksi. Selain itu, saat anak tersebut hamil, maka resiko terjadi komplikasi kehamilan juga sangat tinggi, sehingga ini akan mengakibatkan keguguran dan kelahiran bayi premature karena kekurangan asupan nutrisi[4]. Yuni Khoirul Waroh juga menyebutkan bahwa semakin muda usia seseorang menikah, maka tingkat resiko kematian ibu dan anak semakin tinggi[5].

Dampak Pendidikan

Anak yang menikah di usia belum layak juga akan terdampak pada aspek pendidikannya. Karena memilih untuk menikah, maka sudah dipastikan seseorang juga akan putus sekolahnya. Tentu kita semua sepakat bahwa pendidikan sendiri merupakan salah alat untuk merubah nasib. Melalui pendidikan, kita mendapatkan keilmuan yang sangat berguna untuk menempuh hidup secara mandiri. Secara pragmatis, dengan pendidikan kita bisa memiliki banyak pilihan untuk menjalani profesi di suatu bidang tertentu. Dan dengan pendidikan, cita-cita kita menjadi dokter, pilot dan polisi saat kita masih kecil yang tidak tahu arti penting pendidikan lebih mudah untuk diwujudkan. Namun, saat seorang anak yang di masa produktif dan idelanya masih harus menempuh bangku pendidikan memilih untuk menikah, maka sudah dipastikan bahwa cita-cita tersebut hanya menjadi angan-angan belaka. Tentu dari sini kita bisa berefleksi, kalau memang benar menikah di usia dini sangatlah berdampak negatif, terutama pada aspek pendidikan kita.

Lantas ada seseorang yang pernah menyangkal dampak perkawinan dini terhadap putusnya akses pendidikan seseorang kepada penulis dengan memberikan pertanyaan, “Bukannya nuntut ilmu dan melanjutkan pendidikan itu tidak dibatasi apakah dya sudah menikah atau tidak?, Kan dasarnya jelas, tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat”. Memang benar, tidak ada batasan seseorang itu mau menempuh pendidikan di kondisi apapun, mau dya sudah nikah atau belum itu tidak dibatasi. Tapi jika kita mau jujur dengan melihat sekitar kita orang yang sudah menikah, pastinya motivasi untuk menempuh pendidikan sudah menurun, dibandingkan saat seseorang berada di usia mudanya. Dari sini kita sudah mendapatkan gambaran bahwa seseorang yang sudah menikah di usia dini, tentunya dari segi pendidikan akan kurang dibandingkan dengan orang lain, yang di usia mudanya lebih memilih untuk fokus pada pendidikan.

Dampak pendidikan sendiri sangat krusial, selain dari mengubah nasib ekonomi seseorang, dengan keilmuan yang kita dapatkan di pendidikanlah, kita akan menjalankan rumah tangga kita. Apakah anda membayangkan, dengan apa seorang suami membimbing istrinya atau dengan apa istri mendidik anaknya ? jika bukan dengan keilmuan yang didapatkan pada masa pendidikan. Rina Oktaviana Dkk., menyebutkan bahwa pendidikan menjadi sangat penting bagi seseorang yang hendak menikah, selain dapat mencegah pernikahan dini, pendidikan juga akan mengantarkan seorang pasangan untuk mencapai tujuan pernikahan. Dan pendidikan tidak hanya berguna bagi perkembangan dan kemajuan pribadi seseorang, tapi juga berguna untuk perkembangan pembentukan keluarga dan anak-anak dari pasangan yang telah menikah[6]. Oleh karena itu, aspek pendidikan sangat penting bagi pasangan yang hendak menikah dan dengan melakukan pernikahan dini, tentu seseorang harus secara sukarela melepaskan kesempatannya untuk berkembang dan memaksimalkan potensi dirinya melalui pendidikan.

Dampak dari pernikahan dini seperti di atas tentu harus menjadi atensi bagi kita semua. Oleh karena itu, para stakeholders, khususnya KUA yang memiliki fokus pada pelayanan bimbingan keluarga sakinah sebagai salah satu pelayanan prima yang diberikan kepada masyarakat, menjadi sangat penting untuk senantiasa mensosialisasikan dampak negatif dari pernikahan dini, sehingga angka pernikahan dini dapat diminimalisir. Dan harapannya adalah melalui upaya demikian, kita dapat melahirkan generasi yang dapat memberikan sumbangsi positif bagi kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Referensi

[1] Imam Nawawi, Syarh Muslim: Diterjemahkan Oleh Wawan Djunaedi Soffandi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010).

[2] Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah (Riyadh: Darussalam, 2012).

[3] Muḥammad ibn ʻAbd Allāh Khatib Al-Tabrizi, Misykat Al-Mashabih (Beirut: Al Maktab Al Islami, 1985).

[4] Winda Ratna Dewi et al., “Tingkat Pengetahuan Remaja Putri Tentang Dampak Pernikahan Dini Terhadap Kesehatan Reproduksi,” SEHATMAS: Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat 2, no. 3 (2023): 682–91, https://doi.org/10.55123/sehatmas.v2i3.2130.

[5] Yuni Khoirul Waroh, “Hubungan Antara Pengetahuan Remaja Tentang Kesehatan Reproduksi Dengan Pernikahan Dini Di Desa Panggung Kecamatan Sampang, Sampang,” Embrio 12, no. 1 (2020): 58–65, https://doi.org/10.36456/embrio.v12i1.2361.

[6] Rina Oktaviana, Leni Widiyanti, and Itryah, “Sosialisasi Pentingnya Pendidikan Untuk Mengurangi Tingkat Pernikahan Dini Di Desa Banding Agung,” JPM: Jurnal Pengabdian Masyarakat 2, no. 3 (2022): 103–7, https://doi.org/10.47065/jpm.v2i3.323.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan