KITA & KUA: Praktisi Hukum Islam dan Upaya Membangun Bangsa

KITA & KUA: Praktisi Hukum Islam dan Upaya Membangun Bangsa

KUA sejatinya adalah representasi agama Islam yang dilembagakan dalam negara. Eksistensi KUA merupakan perpanjangan tangan negara di tingkat kecamatan dalam memenuhi kebutuhan umat Islam. Pemenuhan kebutuhan tingkat kecamatan ini yang tidak ditemukan pada agama-agama selain Islam di Indonesia. Karenanya meskipun KUA kata terakhirnya menggunakan terma “AGAMA, sejatinya yang di maksud adalah “AGAMA ISLAM”.

Sejarah mencatat, lahirnya KUA beriringan dengan lahirnya KEMENAG. Lahirnya KEMENAG merupakan kebutuhan esensial bagi umat Islam setelah perdebatan bentuk NEGARA INDONESIA para Funding Parens negara ini, apakah berdasar Islam atau sekuler. Alhasil atas asas maslahah para ulama kita menerima dan legowo dengan dihapuskannya 7 kata dalam pasal 1 Pancasila  sehingga berbunyi “KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

Tentunya tidak perlu lagi  settback ke belakang untuk memperdebatkan lagi bentuk negara, karena perdebatan tersebut sudah final; NKRI – PANCASILA – UU 45. demikian pun juga dengan bentuk negara tidak perlu lagi memperdebatkan faham negara apakah AGAMA atau SEKULER, atau mempertentangkan lagi antara AGAMA vs NEGARA, sebab faham Indonesia tidaklah Negara Agama dan tidak pula negara SEKULER. Faham negara Indonesia adalah SIMBIOTIK, yaitu ada hubungan sinergis dan saling menguntungkan antara AGAMA dan NEGARA.

Implimetasi simbiotik inilah dalam tataran Kecamatan yang dapat ditemukan, yaitu KUA. Karenanya, seluruh pelayanan di KUA didasarkan pada hukum-hukum Islam dan berorientasi maslahah.  walaupun dalam rentetan sejarah benturan Agama vs Negara (baca: Ulama’ vs Umara’) dalam skala nasional seringkali terjadi. Begitupun dalam skala KUA (Sosial-Masyarakat tingkat Kecamatan), DAHULU benturan ini tak terelakkan. DAHULU, seringkali KUA sebagai representasi NEGARA dipertentangkan dengan ULAMA sebagai representasi AGAMA. Banyak ditemukan term-term  yang selalu mempertentangkan dalam implibentsi hukum-hukum Islan yang dilakukan KUA di tengah masyarakat. Semisal, ketika berbicara hukum perkawinan; term yang dipertentangkan adalah “HUKUM AGAMA vs HUKUM NEGARA”, ” Sah secara Agama dan Sah secara negara” atau adanya term: “Shihah Syar’an wa Qonuunan.

Para analis sosial dan keagamaan, banyak mengungkapkan bahwa terjadinya benturan tersebut disebabkan oleb kepentingan politik dengan meghegemoni kekuasaan atas nama AGAMA. Namum, sejak era reformasi hubungan antara kedua entitas, AGAMA dan NEGARA  sudah menemukan formulasinya yaitu SIMBIOTIK. Kedua entitas tersebut berjalan beriringan dan saling menguntungkan.

Wujud SIMBIOTIKA entitas AGAMA-NEGARA dalam tataran KUA Kecamatan diimplimetasikan dalam hukum, tugas dan fungsi KUA. Implimetasinya diwujudkan dalam bentuk: KEPENGHULUAN dan PENYULUHAN AGAMA ISLAM. Simbiotika AGAMA-NEGARA dalam dua bentuk KEPENGHULUAN dan PENYULUHAN AGAMA ISLAM. adalah:

1. KEPENGHULUAN: Dilema Implementasi antara Hukum Negara vs Hukum Agama (Hukum Fiqh vs Hukum Positif)

Bidang Kepenghuluan merupakan salah satu tugas dan fungsi yang intensitas pelayananya tertinggi. Akibat jumlah intensitas yang tinggi ini tidak jarang seringkali  KUA diidentikkan hanya mempunyai tugas dan fungsi di bidang pernikahan saja. Di Bidang kepenghuluan, sejatinya sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara ini. Pada masa ini para sultan mengangkat pejabat yang khusus mengurus masalah-masalah hukum Islam bagi umat Islam. Peyebutan Pejabat di masa ini di setiap daerah berbeda-beda. Di jawa disebut dengan “Naib“. Di Sumatra dengan bahasa melayu disebut dengan “Panghul”. Sedang di Aceh (Samudra Pasai) disebut dengan istilah “Syaikh Islam”.

Pada zaman sebelum kemerdekaan. Di bawah pemerintahan Klonial Belanda, pelayanan di bidang pernikahan untuk melayani pribumi yang beragama Islam dibawah naungan lembaga pemerintah, yaitu bernama Landraad. Sedangkan di masa Penjajahan Jepang, di bawah naungan lembaga yang bernama _shumobu_. Kyai Hasyim Asy’ari ditunjuk oleh Jepang untuk memimpin Shumubu yang dibentuk Jepang pada Mei 1942. Tetapi Hadhratussyekh menyerahkan kepemimpinan Shumubu kepada Kiai Wahid Hasyim. Selanjutnya, Kiai Wahid berupaya mendirikan Kantor Jawatan Agama yang berlokasi di daerah-daerah (shumuka) yang dipimpin oleh seorang  Shumuka-cho.

Tugas dan fungsi lepenghuluan ini, hingga awal-awal kemerdekaan, sama dengan masa kerajaan Islam. Pengankatan pejabatnya diambil dari tokoh Islam, seperti Kyai jika Jawa-Madura atau Hulu Balang jika di Sumatera. Karenanya, di tengah-tengah masyarakat, penyebutan istilah Penghulu disebut Kyai Penghulu (Madura: Keh Pangoloh). Tempat-tempat pelayanan yang dijadikan untuk melayani di satukan dengan Masjid-Masjid tingkat kecamatan. Maka tidak mengherankan hingga kini masih banyak ditemukan KUA-KUA yang masih berada di sekitar Masjid atau bahkan jadi satu dengan masjid.

Penghulu sebagai Praktisi Hukum Islam

Materi hukum pelaksaan pernikahan sejak zaman kerajaan Islam hingga pada awal-awal kemerdekaan semuanya merujuk pada kitab-kitab fiqh salaf (kitab kuning). Kebebasan mengambil pedapat hukum dari berbagai kitab ini menjadikan ketentuan hukum pernikahan sangat bervariasi. Artinya, terjadi perbedaan penetapan hukum-hukumnya antara daerah sau dengan lainnya, bahkan antara satu KUA dengan KUA lainnya. Hal ini terjadi karena banyaknya variasi ketentuan suatu hukum (khilafiyah)  yang di tetapkan dalam kitab-kitab salaf.

Terjadinya perbedaan ini, jika dilihat dari aspek sosiologi hukum dalam suatu negara menimbulkan adanya *ketidakpastian hukum.*  akibatnya muncul pemikiran untum menyatukan hukum pernikan yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia. Penyatuan hukum-hukum pernikahan ini ditetapkan oleh negara dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam (KHI). Penyusunannya (istimbah hukum) dilakukan melalui proses sidang yang dilakukan oleh para pakar hukun Islam dan ulama-ulama Indonesia. Istimbath hukum-hukum Islam dalam KHI didominasi oleh madzhab Syafi’iyah dengan merujuk pada 13 kitab-kitab kalangan Syafi’iyah. Namun, jika terdapat hukum yang dianggap kurang sesuai dengan konteks masyakat Keindonesiaan dan ketetanegaraan, maka merujuk pada kitab-kitab di luar syafi’iyah, namun masih pada kalangan 4 madzhab.

Pemberlakuan hukum-hukum pernikahan sebagaimana ketentuan KHI harus dilakukan oleh petugas negara/pemerintah atau KUA, atau bisa  adi acuan hukum bagi siapapun yang membutuhkannya. Tapi tidak menjadi keharusan bagi masyarakat untuk merujuk hukum-hukum kepada KHI. Artinya, setiap orang bebas merujuk pada pendapat hukum madzhab manapun sesuai dengan yang diyakini. Namun jika berurusan dengan negara/KUA, maka penghulu harus menggunakan hukum-hukum sebagaimana dalam KHI.

2. PENYULUH AGAMA ISLAM: Harapan Mewujudkan Layanan Keagamaan Berdampak

Sejak berdirinya Kementerian Agama telah mengalami tujuh perubahan dan perampingan. Satu-persatu bagian-bagian yang selama ini menjadi domain Kementerian Agama sudah lepas dari Kementerian Agama. Pengadilan Agama telah menjadi kewenangan Mahkamah Agung, Litbang di bawah kewenangan BRIN, Zakat di bawah kewenangan Baznas, Wakaf di bawah kewenangan BWI, Produk Halal di bawah kewenangan BPJPH dan Penyelenggaraan Haji di bawah kewenangan BP Haji. Kementerian Agama  sekarang ini yang menjadi domain kewenangan hanya bidang Bimbingan Masyarakat, baik Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu maupun Konghuchu dan di bidang Pendidikan.

Sambutan Menteri Agama dalam acara Kick Off Meeting Strategi dan Arah Kebijakan Kementerian Agama 2025-2029 menyampaikan bahwa salah satu fungsi utama Kementerian Agama sekarang ini adalah sebagai stabilisator politik, keamanan dan ketentraman masyakat. Sedangkan peran utama Kementerian Agama adalah mengutuhkan dan mempererat sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tugas, fungsi dan peran Kementerian Agama sekarang ini adalah Inti dari Kementerian Agama. Target utama Kementerian Agama kedepan adalah bagaimana umat beragama dapat menyatu dengan ajaran agamanya. Salah satu indikator keberhasilan Kementerian Agama  ke depan adalah sejaumana kedekatan pemeluk agama dengan ajaran agamanya. Semakin dekat pemeluk agama dengan ajaran agamanya maka tingkat keberhasilannya semakin tinggi. Sebaliknya, semakin jauh pemeluk agama dengan ajaran agamanya maka dapat dinilai suatu kegagalan. Ukuran keberhasilan dalam keberagamaan bagi setiap pemeluk agama adalah penghayatan dan pengamalan nilai-nilai agama dalam setiap kehidupannya.

Dalam konteks Bimbingan Masyarakat Islam, eksistensi KUA adalah representasi dari Ditjen Bimas Islam Kemenag RI. Sehingga eksistensi KUA menjadi salah satu tolak-ukur  dalam mewujudkan fungsi dan peran Kementerian Agama tersebut di tingkat kecamatan. Oleh sebab itu, peran dan fungsi KUA di bidang bimbingan dan penyuluhan agama Islam kedepan semakin dipertajam, baik target maupun strateginya.

Dalam hal target bimbingan dan penyuluhan agama Islam difokuskan pada keluarga, termasuk bimbingan baca tulis Al-Qur’an, penyuluhan atau bimbingan perkawinan, hingga penguatan ekonomi berbasis keluarga. Karenanya, tugas utama bimbingan dan penyuluhan agama Islam sebagaimana Surat Edaran Kementerian Agama No. 2 Tahun 2024 adalah Pencegahan dan penurunan angka stunting, penaggulangan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi dan pelestarian ligkungan hidup. Lebih lanjut detail ruang lingkup dan tugas  dalam bimbingan dan penyuluhan agama Islam telah diatur dalam Kepdirjen Bimas Islam No. 637 Tahun 2024 tentang Ruang Lingkup Tugas Jabatan Penghulu dan Penyuluh Agama Islam.

Sedangkan dalam hal strategi ada lima hal penting yang harus dilakukan dalam melakukan bimbingan dan penyuluhan agama Islam, yaitu pertama, digitalisasi bimbingan dan penyuluhan. Kedua mengunakan narasi kecintaan dan kasih sayang. Ketiga literasi agama, budaya dan sosial. Kempat pendekatan ekoteologi atau kesadaran lingkungan berbasis nilai agama . Kelima dibangun atas semangat keadilan, kesetaraan, dan toleransi

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan