PEMBARUAN HUKUM KELUARGA DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

PEMBARUAN HUKUM KELUARGA DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

 

  • Intra doctrinal reform tetap merujuk pada konsep fiqh konfensional dengan cara; tahyir  (memilih   pandangan   salah   satu   ulama   fiqh,   termasuk   ulama diluar    madzhab), dapat pula disebut tarjih, dan talfiq, (mengkombinasikan sejumlah pendapat).
  • Extra doctrinal reform pada prinsipnya tidak lagi merujuk pada konsep fiqh konvensional tapi merujuk pada nash al Quran dan sunnah dengan melakukan penafsitran ulang terhadap nash (reinterpretasi).[6]

 

C.    Aspek-aspek Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Pembaruan hukum keluarga Islam merupakan kebutuhan yang harus segera direspon sebagai upaya memberikan jawaban terhadap problema kontemporer. Formulasi hukum keluarga Islam yang tertuang dalam kitab-kitab fikih bukan rumusan baku yang tidak boleh berubah, melainkan harus dipandang sebagai penafsiran atau rumusan para ulama pada zamannya yang membutuhkan kritisisme sesuai dengan tuntutan perubahan. Oleh karena itu, hukum keluarga Islam harus senantiasa ditafsir agar responsif dengan persoalan umat tanpa harus kehilangan prinsip dasarnya. Hal ini penting agar hukum keluarga Islam tidak mengalami fosilisasi), dan pada gilirannya akan kehilangan aktua- litanya dan ditinggalkan oleh umat Islam sendiri.

Dalam konteks pembaruan hukum Islam dalam hukum keluarga di Indonesia, menampakkan potret pembaruan yang unik sekaligus pro- blematik. Dikatakan demikian karena di Indonesia berlaku tiga sistem hukum, yaitu hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat. Ketiga sis- tem hukum ini, menurut Hooker tidak ada satupun sistem hukum yang saling menyisihkan. Di lain pihak, kesamaan derajat berlakunya ketiga sistem hukum ini tidak selamanya berjalan dalam jalur yang searah. Akan tetapi, pada situasi dan kondisi tertentu kadangkala ketiga sistem hukum ini berada dalam konflik.24  Konflik ketiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, pada akhirnya melahirkan ketegangan. Ketega- ngan yang terjadi antara ketiganya pada gilirannya menjadi problem yang serius dalam pembaruan hukum Islam di Indonesia.

Dengan demikian, pembaruan hukum Islam dalam hukum keluarga di Indonesia tidak tunggal dan berdiri sendiri. Akan tetapi, selalu konfiguratif dengan aspek-aspek yang mengitarinya. Aspek-aspek yang terkait dengan pembaruan hukum keluarga di Indonesia, antara lain:

  1. Aspek Material

Setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, pembaruan materi hukum mulai dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk mengganti hukum warisan kolonial Belanda yang bertentangan dengan konstitusi Negara Indonesia merdeka. Menurut Hazairin, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan UUD 1945 dijadikan sebagai konstitusi Negara, maka semua peraturan perundang-undangan Hindia Belanda tidak berlaku lagi.[7] Dengan demikian pembaruan materi hukum di Indonesia dimaksudkan untuk mengganti produk-produk hukum yang diwariskan oleh pemerintahan kolonial Belanda yang tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini penting karena beberapa produk hukum kolonial Belanda yang sampai saat ini tetap berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip dasar negara Indonesia yang merdeka.

Dalam kerangka pembaruan hukum keluarga Indonesia, hukum Islam meempunyai peran yang sangat penting dan strategis. Dikatakan demikian karena hukum keluarga Islam, di samping diakui sebagai sumber hukum secara yuridis, juga mempunyai prinsip-prinsip yang universal serta sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Bahkan, secara sosiologis hukum keluarga Islam telah mengakar dan menjadi hukum yang hidup di tengah-tengah mayoritas masyarakat Indonesia.

  1. Aspek Metodologis

Pembaruan hukum Islam dalam konteks hukum keluarga di Indo- nesia, bukan persoalan yang mudah. Paling tidak, dapat dilihat dari dua aspek, yaitu:

  1. Kondisi obyektif masyarakat Indonesia yang pluralistik harus menjadi salah satu variabel pertimbanga Hal ini penting untuk menghindari pembaruan hukum Islam yang kontra produktif sehingga merugikan umat Islam sendiri.
  2. Pembaruan hukum yang dilakukan harus memperhatikan aspek metode perumusan hukum Islam dalam kontek pembaruan hukum keluarga Indonesi Hal ini dimaksudkan agar formulasi hukum Islam yang dirumuskan tidak bertentangan dengan kesa- daran dan karakteristik hukum nasional.

Dalam konteks pembaruan hukum Islam, aspek metodologi dipan- dang sebagai faktor yang menentukan wujud hukum (hasil ijtihad) yang dilakukan. Oleh karena itu, dalam kerangka pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat dan sesuai dengan karakteristik hukum nasional, dapat digunakan beberapa pendekatan, yaitu :

  1. Pendekatan historis, dimaksudkan untuk mengetahui latarbelakang sejarah suatu produk hukum. Penerapan pendekatan historis dalam pembaruan hukum keluarga di Indonesia dapat dilihat pada ketentuan pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 6 ayat 1 dan 2 KHI yang mengatur tentang ketentuan pencatatan per- kawinan. Dalam kitab-kitab fikih klasik tidak ditemukan ketentuan tentang pencatatan perkawinan. Menurut Ahmad Rofiq bahwa tidak ditemukannya ketentuan pencatatan perkawinan dalam kitab-kitab fikih klasik karena pada waktu itu tingkat amanah kaum muslimin masih tinggi, sehingga kemungkinan penyelewengan perkawinan relatif kecil.[8] Dengan demikian, seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin modern dan semakin kompleksnya problema masyara- kat, maka ketentuan pencatatan perkawinan menemukan vitalitasn
  2. Pendekatan Maslahah, Tingkat kemaslahatan suatu rumusan pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia, idealnya dijadikan sebagai ruh dari setiap ketentuan hukum. Oleh karena itu, ketentuan pencatatan perkawinan dipandang sebagai prestasi brilian para pakar hukum Islam di Indonesia. Dikata- kan demikian karena pencatatan perkawinan mengandung nilai kema- slahatan yang tinggi dan merupakan solusi hukum atas merebaknya perkawinan di bawah tangan (baca; nikah sirri).28 Dengan demikian, ber- dasarkan pertimbangan maslahat dapat dikatakan bahwa perkawinan di bawah tangan adalah tidak sah karena di samping bertentangan dengan ketentuan hukum positif Indonesia juga bertentangan ruh syari’a
  3. Pendekatan Realitas Sosial, Pendekatan realitas sosial secara konseptual dimaknai sebagai upaya melakukan  pembaruan hukum dengan menghadirkan pen- dekatan realitas sosial dan pendekatan lainnya secara simultan dalam merumuskan (istinbath) hukum. Artinya bahwa dalam kerangka pem- baruan hukum keluarga Islam, realitas sosial menjadi salah satu varia- bel dalam proses analisis atau penemuan hukum sehingga suatu hukum tidak hanya diderivikasi dari teks. Penerapan pendekatan realitas empiris dalam pembaruan hukum keluarga di Indonesia dapat dilihat pada beberapa ketentuan hukum dalam KHI, seperti ketentuan harta orang tua yang dihibahkan kepada anaknya dan setelah orang tua meninggal harta hibah tersebut diperhitungkan sebagai warisan bagi anak yang bersangkuta Ketentuan yang demikian tidak ditemukan dalam litera- tur fikih klasik dan hanya ditemukan dalam hukum adat sebagai realitas sosial.

 

  1. Aspek Sosiologis

Dalam konteks pembaruan hukum, aspek sosiologis yang senan- tiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu dipandang sebagai salah aspek yang mengiringi proses pembaruan hukum. Aspek-aspek sosiologis yang mengiringi pembaruan hukum Islam dalam hukum keluarga di Indonesia, antara lain:

  1. Pranata kekerabatan, berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan pemeliharaan dan pengembangan keturunan (reproduksi). Juga untuk memelihara dan mengembangkan kebudayaan yang dianut secara kolektif. Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan pena- taan hubungan antar individu di dalam lingkungan keluarga, seba- gai organisasi sosial terkecil. Pranata itu mengalokasikan nilai dan kaidah al-ahwal al-syakhshiyah, yang berkenaan dengan penerimaan anggota keluarga baru melalui tahapan pelamaran dan per- kawinan; hak dan kewajiban suami istri dalam kehidupan keluarga; pengaturan kelahiran; pengasuhan dan pendidikan anak; penga- turan harta kekayaan perkawinan; perceraian; dan pengoperalihan hak-hak pemilikan harta apabila anggota keluarga meninggal dunia (perihal kewarisan).[9]
  2. Pranata pendidikan, berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dalam mensosialisasikan keyakinan, nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang di- anut oleh suatu generasi kepada generasi berikutnya. Selanjutnya, sosialisasi itu meliputi informasi-informasi baru dan berbagai aspek yang dibutuhkan di dalam kehidupan masyarakat. Untuk meme- nuhi kebutuhan tersebut, dilakukan pengaturan yang berkenaan dengan jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Dengan demikian, tingkat pendidikan menjadi faktor yang menentukan dalam proses pembaruan hukum di Indonesi
  3. Pranata keilmuan, berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dalam mengembangkan pemahaman terhadap ayat-ayat Allah, yaitu ayat- ayat qawliyah dan ayat-ayat kawniyah. Ayat-ayat al-Qur’an yang pertama kali diterima Rasulullah Saw. (S. al-Alaq: 1-5) memberikan petunjuk tentang keharusan “membaca” ciptaan Allah Swt. Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan penataan tentang sumber, substansi, metode, dan kegunaan hasil pemahaman tersebut. Hasil pemahaman itu disebarluaskan dalam berbagai karya ilmiah di antaranya dalam kitab-kitab fikih dalam berbagai aliran pemikiran (mazhab).[10]
  4. Pranata politik, berfungsi sebagai pemenuhan medium dalam mela- kukan pembaruan hukum keluarga di Indonesia melalui artikulasi politik di dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernega

 

D.    Contoh Kasus Pembaruan Hukum Keluarga Dalam Putusan Pengadilan Agama

 

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *