Masa Iddah laki-laki….??? Pertanyaan itulah sepintas yang ada dalam pikiran, ketika membaca perihal SE Dirjen Bimas Islam mengeluarkan SE terbaru No. P-005/DJ.III/Hk.00.7/10/2021. SE ini adalah pengganti SE No. DIV/Ed/17/1979 tentang Masalah Poligami dalam Iddah. Pada SE lama (1979), ketentuan yang diatur adalah:
1. Bagi seorang suami yang telah menceraikan isterinya dengan talak raj’i dan mau menikah lagi dengan wanita lain sebelum habis masa iddah bekas isterinya, maka dia harus mengajukan izin poligami ke Pengadilan Agama.
2. Sebagai pertimbangan hukumnya adalah penafsiran bahwa pada hakekatnya suami isteri yang bercerai dengan talak raj’i adalah masih dalam ikatan perkawinan selama belum selesai masa iddahnya. Karenanya bila suami tersebut akan nikah lagi dengan wanita lain pada hakekatnya dan segi kewajiban hukum dan inti hukum adalah beristeri lebih dan seorang (poligami). Oleh karena itu terhadapa kasus tersebut dapat diterapkan pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
3. Sebagai modul pengaduan penolakan atau izin permohonan tersebut harus dituangkan dalam bentuk penetapan pengadilan agama.
Adanya SE baru (2021) ini, telah mencabut larangan pencatatan nikah bagi laki-laki yang mentalak Roj’i istrinya. Talak Roj’i ini dalam konteks Indonesia dilakukan dengan sebab Cerai Talak dan bukan Cerai Gugat. Akan tetapi pada SE baru (2021) ini tidak menjelaskan tentang kategori talak, apakah Roj’i atau ba’in. Namun demikian, pada SE baru (2021) ini memungkinkan 2 interpretasi, yaitu:
Interpretasi Ke-1
Pada SE baru (2021) ini tidak ada larangan dan tidak ada perintah, tetapi bersifat opsional (pilihan). Artinya, satu sisi dapat berlaku dilarang dan satu sisi yang lain dapat berlaku diperbolehkan. Penerapan larangan dan kebolehan tersebut diperlukan penjelasan detail dengan menggunakan perangkat pengetahuan/ketentuan yang berlaku dalam hukum Islam (Fiqh Munakahat)
Kata “Dapat” adalah kebolehan untuk menikah dengan perempuan lain dalam masa Iddah bekas isterinya karena Talak Roj’i. Akan tetapi meskipun diperbolehkan tidak menutup kemungkinan untuk tetap memberikan anjuran bagi laki-laki untuk tidak menikah dengan perempuan lain sebelum selesai masa iddah bekas istrinya. Hal ini dapat diinterpretasikan pada kata “Dapat” sebagaimana point 3 yaitu, “Laki-laki bekas suami dapat melakukan pernikahan dengan perempuan lain apabila telah selesai masa Iddah bekas istrinya“
Akan tetapi meskipun diperbolehkan, tidak dapat berlaku mutlak. Dalam konteks tertentu ada beberapa ketentuan yang melarangnya, dimana hal ini disebut masa tunggu laki-laki untuk menikah. Dalam hukum munakahat hal ini disebut dengan Iddah laki-laki. Namun, yang dimaksud Iddah tersebut bersifat etiomologi (bil lughowi) dan *bukan* terminologi (bi istilahi).
Dalam kitab I’anatut Tholibin, disebutkan *larangan* tersebut dalam konteks :
1. Laki-laki yang mentalak Roj’i istrinya kemudian hendak menikah dengan perempuan lain, dimana perempuan tersebut masih termasuk Nasab Mushaharoh / muharromat ghairu mu’abbad.
2. Laki-laki yang mempunyai isteri 4 dan mentalak Roj’i salah satu isterinya kemudian hendak menikah dengan perempuan lain untuk dijadikan istri keempat-nya.
3. Wahbah Zuhaili menambahkan, yaitu masa menunggunya calon suami karena harus melalui muhallil pada kasus talak 3.
Interpretasi Ke-2
Dalam interpretasi ini, menetapkan larangan bagi laki-laki untuk tidak menikah perempuan lain sebelum selesai masa iddah bekas istrinya. Hanya saja, larangan tersebut bukan termasuk hukum Islam atau melanggar hukum Islam (munakahat). Akan tetapi, dimaknai dengan Simbiotika Hukum Islam dengan hukum negara.
Simbiotika tersebut adalah ketentuan larangan tersebut, hanyalah ketentuan hukum formil. Hukum formil ini diharuskan sebagai bentuk negara untuk memberikan hak-hak hukum kepada mantan istrinya agar mempunyai kesempatan untuk rujuk. selain itu, KUA atau penghulu menetapkan bahwa masa tunggu bagi laki-laki bukan berlakunya masa Iddah bagi laki-laki yang disamakan dengan masa Iddah bagi perempuan.
Hanya saja, ketika ketentuan sebagaimana interpretasi ke-2 ini diberlakukan, maka besar kemungkinan akan terjadi benturan antara Hukum Islam vs hukum negara. Karenanya, menerapkan ketentuan interpretasi ke-2 pada masyarakat yang masih memegang teguh pada keyakinan hukum yang berjalan di masyarakat (Living Laws), maka akan mengalami kendala yang berat.