๐๐ฅ๐ข๐ค, ๐๐๐๐, ๐๐๐ก๐๐ฆ๐ข; ๐๐๐ง๐ ๐๐ง ๐๐๐ง๐ฒ๐ ๐๐ฎ๐๐ฎ๐ฅ๐ง๐ฒ๐!
Oleh:ย ๐๐๐ก๐๐ฎ๐ ๐ ๐๐ฎ๐ณ๐ข๐
Di era digital yang serba cepat ini, informasi datang kepada kita dengan derasnyaโmelalui media sosial, aplikasi pesan instan, dan berbagai platform daring lainnya. Sekilas, ini tampak sebagai kemajuan luar biasa. Kita bisa tahu berita dari ujung dunia hanya dalam hitungan detik, membaca artikel dari berbagai perspektif, dan mendapatkan akses ke ilmu pengetahuan yang dahulu terbatas hanya bagi kalangan tertentu.
Namun di balik kemudahan ini, muncul fenomena yang memprihatinkan: kemalasan membaca secara utuh. Sering kita temui, seseorang membagikan tautan berita atau tulisan panjang di grup WhatsApp atau media sosial, namun yang dibaca hanya judulnya saja. Setelah itu langsung mengomentariโbahkan terkadang dengan nada keras atau menyudutkan, padahal ia tidak benar-benar memahami isi tulisannya.
Judul menjadi dasar simpulan, bukan isi tulisan. Komentar bermunculan tanpa konteks. Narasi berkembang liar. Diskusi berubah menjadi perdebatan yang dangkal. Lebih buruk lagi, informasi yang belum tentu benar diteruskan begitu saja, memperluas penyebaran hoaks dan kesalahpahaman.
Fenomena ini bukan hanya soal etika digital, tapi juga mencerminkan krisis literasi yang sedang kita alami. Kebiasaan membaca yang mendalamโyang menuntut kesabaran, fokus, dan daya pikir kritisโsemakin tergeser oleh budaya instan: video singkat, potongan kalimat viral, atau status yang penuh sensasi namun miskin substansi.
๐๐๐ฆ๐๐๐๐ ๐๐๐ฅ๐๐ฆ ๐๐๐ซ๐ฌ๐ฉ๐๐ค๐ญ๐ข๐ ๐๐ฌ๐ฅ๐๐ฆ
Sebagai umat Islam, kita memiliki landasan yang sangat kuat untuk menjunjung tinggi budaya membaca. Bahkan, perintah pertama yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad Saw. bukanlah shalat, zakat, atau jihadโmelainkan iqraโ (bacalah).
Firman Allah dalam surah Al-โAlaq ayat 1:
“Iqra’ bismi rabbika alladzi khalaq”
(Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan)
Ayat ini menunjukkan bahwa membaca bukan hanya aktivitas intelektual, tetapi juga spiritual. Kita membaca untuk mencari ilmu, mengenali ciptaan-Nya, dan memahami makna kehidupan. Islam menempatkan ilmu di tempat yang sangat tinggi, dan salah satu jalan utama untuk mencapainya adalah melalui membaca.
Rasulullah Saw. bersabda:
โBarang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.โ (HR. Muslim)
Betapa luar biasanya, bahwa jalan menuju surga bisa dimulai dari membuka buku, menyimak tulisan, atau menuntaskan satu artikel yang bermanfaat.
Sayangnya, realitas kita hari ini justru bertolak belakang dari semangat ini. Minat membaca generasi muda menurun drastis. Mereka lebih akrab dengan konten digital yang cepat dan ringan, tapi tidak mendorong pemikiran mendalam. Buku menjadi asing, artikel panjang diabaikan, dan membaca dianggap membosankan.
๐๐๐ซ๐ข ๐๐ฅ๐ข๐ค ๐ค๐ ๐๐๐ซ๐๐๐ฌ
Kita tidak menolak perkembangan teknologi. Justru sebaliknyaโkita bisa memanfaatkannya untuk memperluas akses terhadap literatur, pengetahuan, dan gagasan. Namun tantangan terbesar adalah bagaimana mengubah cara kita berinteraksi dengan informasi.
Pertama, kliklah tautan, lalu bacalah secara utuh. Jangan berhenti di judul. Penulis menumpahkan gagasan, argumentasi, dan data di dalam isi tulisanโbukan di judul. Menyimpulkan dari judul ibarat menilai rumah hanya dari cat dinding luarnya. Bisa sangat menyesatkan.
Kedua, berhenti sejenak untuk memahami. Apa sebenarnya pesan dari tulisan itu? Apa yang hendak disampaikan penulis? Apakah ada konteks tertentu yang harus diperhatikan? Proses ini membangun kemampuan berpikir kritis dan membentuk sikap yang lebih bijak dalam menanggapi informasi.
Ketiga, sampaikan kembali dengan benar. Jika tulisan itu bermanfaat, bagikan dengan penjelasan yang jujur dan utuh. Jangan potong-potong atau tambahkan opini sendiri yang bisa membelokkan maknanya.
๐๐ข๐ญ๐๐ซ๐๐ฌ๐ข ๐๐๐๐ฅ๐๐ก ๐๐๐ง๐ ๐ ๐ฎ๐ง๐ ๐๐๐ฐ๐๐ ๐๐๐ซ๐ฌ๐๐ฆ๐
Membangun budaya membaca bukan tugas satu pihak. Keluarga, sekolah, instansi pemerintah, lembaga keagamaan, hingga komunitas media sosial harus terlibat aktif. Orang tua harus menjadi teladan membaca di rumah. Sekolah harus membangun kebiasaan membaca bukan hanya untuk nilai, tapi untuk tumbuhnya rasa ingin tahu. Lembaga pemerintah, seperti Kementerian Agama, juga bisa mengambil peran penting dalam mendorong literasi berbasis nilai-nilai keagamaan.
Sebagai ASN di lingkungan Kementerian Agama, saya percaya bahwa gerakan literasi harus terintegrasi dalam dakwah, pelayanan publik, hingga pembinaan keluarga dan masyarakat. Karena dari membaca, lahirlah pemahaman. Dari pemahaman, tumbuhlah kesadaran. Dan dari kesadaran, terbitlah perubahan.
๐๐ค๐ก๐ญ๐ข๐ญ๐๐ฆ
Era digital menuntut kita untuk lebih bijak, bukan lebih cepat bereaksi. Informasi yang mudah diakses menuntut kita untuk lebih kritis, bukan lebih gegabah. Maka dari itu, mari kita mulai dari langkah kecil: klik, baca, dan pahami.
Jangan hanya membaca judulโkarena substansi sejati ada di isi tulisan. Jangan langsung menyimpulkanโkarena bisa jadi pemahaman kita belum lengkap. Jadikan membaca sebagai bagian dari gaya hidup, karena ia bukan hanya jalan menuju ilmu, tetapi juga jalan menuju kemuliaan.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang membaca. Umat yang cerdas adalah umat yang memuliakan ilmu. Dan keduanya hanya bisa dicapai jika kita mau kembali menjadikan membaca sebagai tradisi mulia yang tak boleh kita tinggalkan.








