Ketika Fikih Menyoal Gratifikasi Penghulu

Ketika Fikih Menyoal Gratifikasi Penghulu

Dalam menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya, penghulu memiliki fungsi sebagai kadi atau hakim yang, merujuk pada pendapat Syekh Zain al-Din al-Malibariy, haram menerima pemberian (hadiyyah) dari masyarakat sebagai objek penerima layanan.
Rahasia Kedamaian Rumah Tangga dalam Islam

Rahasia Kedamaian Rumah Tangga dalam Islam

Kedamaian rumah tangga tidak datang begitu saja. Ia hasil dari cinta yang tumbuh dalam kesabaran, ibadah yang dibingkai ketulusan, dan harapan yang dirawat bersama. Karena sejatinya, rumah adalah tempat jiwa beristirahat. Dan rumah yang damai adalah potongan surga yang diturunkan ke bumi.
Haji: Puncak Kematangan Spiritual

Haji: Puncak Kematangan Spiritual

Haji itu puncak kematangan spiritual seseorang. Itulah, mengapa syariat haji disebutkan di urutan terakhir dari Rukun Islam yang lima, sebagaimana terrekam dalam HR. Imam Muslim (lihat Hadits Nomor 2 dalam Kitab Al-Arba'in An-Nawawiyyah). Diharapkan, dengan kehajiannya itu para Haji/Hajjah itu menjadi rahmat bagi semesta alam, tidak menjadi laknat; menjadi berkah bagi semua, tidak menjadi pemecah ukhuwwah; dan menjadi penyelamat orang-orang susah, tidak menjadi pemanfaat. Semoga.
Membangun Pesantren Ungul Melalui Pendekatan Manajemen

Membangun Pesantren Ungul Melalui Pendekatan Manajemen

Peranan pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan sekarang ini tampaknya diperhadapkan pada dua sisi kehidupan yang kontras, yaitu sisi ke-agama-an yang bersifat dogmatis dengan sisi ke-kini-an yang bersifat realistis.1 Hal ini karena pesantren dipandang sebagai benteng pertahanan kebudayaan; pesantren juga dipandang sebagai warisan sekaligus merupakan kekayaan kebudayaan intelektual nusantara. Harapan ini tentu tidak terlalu meleset dari konstruk budaya yang diangan-angankan sebagai pusat pengembangan ilmu dan kebudayaan yang berdimensi religius. Pesantren juga harus dipersiapkan sebagai motor transformasi bagi komunitas masyarakat dan bangsanya.2 Dari segi historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia. Sebab, lembaga yang serupa dengan pesantren sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Budha, sehingga Islam hanya meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Menurut Zamakhsyari Dhofier, sejak akhir abad ke-15 Islam telah menggantikan Hinduisme, dan pada abad ke 16 dengan munculnya kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam, penduduk telah dapat diislamkan.
Pernikahan Anak dalam Perspektif Maqasid Al Syariah Terhadap Ancaman Sutuntig

Pernikahan Anak dalam Perspektif Maqasid Al Syariah Terhadap Ancaman Sutuntig

Perkawinan anak menjadi sesuatu hal yang sangat fenomenal di kalangan masyarakat Indonesia, terutama pada daerah pedesaan atau masyarakat tradisional, meskipun keberadaannya seringkali tidak diketahui banyak orang. Perkawinan anak berarti perkawinan yang dilakukan oleh yang bersangkutan dengan status masih di bawah umur, sehingga perkawinan anak kadang kala disebut juga dengan perkawinan di bawah umur. Menurut World Health Organization (WHO) bahwa perkawinan anak adalah perkawinan yang dilakukan oleh pasangan atau salah satu pasangan yang masih dikategorikan anak atau remaja yang berusia di bawah 19 tahun. Sedangkan perkawinan anak menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) adalah perkawinan yang berlangsung pada umur di bawah usia produktif yaitu kurang dari 20 tahun pada wanita dan kurang dari 25 tahun pada pria. The Convention Right of the Child (Konvensi Hak-hak Anak) mendefinisikan anak sebagai setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun sehingga pernikahan dini (anak) dilakukan oleh seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun tersebut secara internasional dikategorikan pernikahan dini (anak). Meskipun dalam berbagai acuan terdapat perbedaan batas umur anak, tetapi dalam hal pernikahan (sesuai dengan undang-undang pernikahan yang berlaku di Indonesia adalah 19 tahun). Hingga saat ini, trend pernikahan anak masih menuai perbedaan pendapat. Ada orang tua yang menginginkan anaknya lulus sekolah, dewasa atau mapan terlebih dahulu, di mana terdapat kekhawatiran terhadap gagalnya studi, cepat bercerai karena belum cukup umur (mengakibatkan kelabilan emosi) dan ekonomi sulit akibat tidak bekerja. Namun, di sisi lain berpendapat bahwa anak berhak menyelamatkan dirinya dari perzinaan. Perilaku seks bebas yang dilakukan remaja modern acap kali menambah kasus remaja hamil di luar nikah. Hal ini bisa berdampak pada tingginya proses permintaan aborsi, kasus pembuangan bayi, atau pernikahan anak sebelum kandungan membesar (married by accident). Dalam hasil observasi peneliti di beberapa wilayah di Sulawesi Barat, bahwa perkawinan anak pada tahun 2023 mencapai 1.347 kasus. Sebuah statistik yang mencerminkan tantangan serius. Pasalnya pernikahan anak cenderung berakhir dengan ketidakharmonisan. Hal tersebut diungkapkan oleh beberapa pasangan yang sudah gagal membangun rumah tangganya, karena tidak terbangunnya komunikasi yang baik. Dan tentu saja hubungan yang tidak terbangun komunikasi yang baik akan buntu, dan pada akhirnya akan menimbulkan berbagai permasalahan yang dapat memicu terjadinya perceraian. Angka perkawinan anak di Sulawesi Barat kini mencapai 11,70 persen, jauh di atas rata-rata nasional sebesar 9 persen. Dengan demikian, hampir seperlima anak perempuan usia 15 hingga 19 tahun menikah sebelum usia dewasa. Fakta ini menjadi tantangan serius karena perkawinan anak seringkali mengakibatkan kehamilan pada usia yang sangat muda yang menjadi salah satu penyebab utama stunting. Salah satu dampak dari perkawinan anak adalah lahirnya generasi yang lemah fisik dan lemah mental disebabkan oleh orang tuanya belum layak untuk menikah, tapi sudah dinikahkan, akhirnya lahirlah generasi stunting. Pernikahan bukan hanya sesuatu yang sederhana, tetapi menjadi hal yang kompleks yang di dalamnya terdapat hubungan antara suami istri dan keterlibatan Tuhan. Pernikahan tidak hanya melibatkan dua orang yang saling mencintai tetapi juga menyatukan dua keluarga. Umumnya, pernikahan dilakukan apabila kedua pasangan telah mempunyai kematangan emosi dan fisik, hal ini umumnya dimiliki apabila telah matang usia seseorang. Pernikahan anak dan stunting merupakan dua isu serius yang mempengaruhi perkembangan sosial dan kesehatan di Kabupaten Polewali. Di satu sisi, pernikahan anak sering kali terjadi akibat tekanan budaya, ekonomi, dan rendahnya pemahaman tentang kesehatan reproduksi, yang mengakibatkan dampak negatif pada kesejahteraan fisik dan psikologis anak. Di sisi lain, stunting yang dipengaruhi oleh kurangnya gizi dan perawatan anak yang memadai merupakan kondisi yang semakin mengkhawatirkan karena menghambat perkembangan fisik dan kognitif anak. Dalam kajian Maqāṣid al-Sharī'ah, perlindungan terhadap hak-hak anak, termasuk pencegahan pernikahan anak dan stunting, merupakan kewajiban moral dan agama. Dengan maksud syariah bahwa perlu menjaga keberlanjutan kehidupan yang sehat dan berkualitas bagi umat manusia.
Perkawinan Anak dan Stunting di Sulawesi Barat dalam Persfektif Maqasid Al Syariah

Perkawinan Anak dan Stunting di Sulawesi Barat dalam Persfektif Maqasid Al Syariah

Perkawinan anak menjadi sesuatu hal yang sangat fenomenal di kalangan masyarakat Indonesia, terutama pada daerah pedesaan atau masyarakat tradisional, meskipun keberadaannya seringkali tidak diketahui banyak orang. Perkawinan anak berarti perkawinan yang dilakukan oleh yang bersangkutan dengan status masih di bawah umur, sehingga perkawinan anak kadang kala disebut juga dengan perkawinan di bawah umur. Menurut World Health Organization (WHO) bahwa perkawinan anak adalah perkawinan yang dilakukan oleh pasangan atau salah satu pasangan yang masih dikategorikan anak atau remaja yang berusia di bawah 19 tahun. Sedangkan perkawinan anak menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) adalah perkawinan yang berlangsung pada umur di bawah usia produktif yaitu kurang dari 20 tahun pada wanita dan kurang dari 25 tahun pada pria. The Convention Right of the Child (Konvensi Hak-hak Anak) mendefinisikan anak sebagai setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun sehingga pernikahan dini (anak) dilakukan oleh seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun tersebut secara internasional dikategorikan pernikahan dini (anak). Meskipun dalam berbagai acuan terdapat perbedaan batas umur anak, tetapi dalam hal pernikahan (sesuai dengan undang-undang pernikahan yang berlaku di Indonesia adalah 19 tahun). Hingga saat ini, trend pernikahan anak masih menuai perbedaan pendapat. Ada orang tua yang menginginkan anaknya lulus sekolah, dewasa atau mapan terlebih dahulu, di mana terdapat kekhawatiran terhadap gagalnya studi, cepat bercerai karena belum cukup umur (mengakibatkan kelabilan emosi) dan ekonomi sulit akibat tidak bekerja. Namun, di sisi lain berpendapat bahwa anak berhak menyelamatkan dirinya dari perzinaan. Perilaku seks bebas yang dilakukan remaja modern acap kali menambah kasus remaja hamil di luar nikah. Hal ini bisa berdampak pada tingginya proses permintaan aborsi, kasus pembuangan bayi, atau pernikahan anak sebelum kandungan membesar (married by accident). Dalam hasil observasi peneliti di beberapa wilayah di Sulawesi Barat, bahwa perkawinan anak pada tahun 2023 mencapai 1.347 kasus. Sebuah statistik yang mencerminkan tantangan serius. Pasalnya pernikahan anak cenderung berakhir dengan ketidakharmonisan. Hal tersebut diungkapkan oleh beberapa pasangan yang sudah gagal membangun rumah tangganya, karena tidak terbangunnya komunikasi yang baik. Dan tentu saja hubungan yang tidak terbangun komunikasi yang baik akan buntu, dan pada akhirnya akan menimbulkan berbagai permasalahan yang dapat memicu terjadinya perceraian. Angka perkawinan anak di Sulawesi Barat kini mencapai 11,70 persen, jauh di atas rata-rata nasional sebesar 9 persen. Dengan demikian, hampir seperlima anak perempuan usia 15 hingga 19 tahun menikah sebelum usia dewasa. Fakta ini menjadi tantangan serius karena perkawinan anak seringkali mengakibatkan kehamilan pada usia yang sangat muda yang menjadi salah satu penyebab utama stunting. Salah satu dampak dari perkawinan anak adalah lahirnya generasi yang lemah fisik dan lemah mental disebabkan oleh orang tuanya belum layak untuk menikah, tapi sudah dinikahkan, akhirnya lahirlah generasi stunting. Pernikahan bukan hanya sesuatu yang sederhana, tetapi menjadi hal yang kompleks yang di dalamnya terdapat hubungan antara suami istri dan keterlibatan Tuhan. Pernikahan tidak hanya melibatkan dua orang yang saling mencintai tetapi juga menyatukan dua keluarga. Umumnya, pernikahan dilakukan apabila kedua pasangan telah mempunyai kematangan emosi dan fisik, hal ini umumnya dimiliki apabila telah matang usia seseorang. Pernikahan anak dan stunting merupakan dua isu serius yang mempengaruhi perkembangan sosial dan kesehatan di Kabupaten Polewali. Di satu sisi, pernikahan anak sering kali terjadi akibat tekanan budaya, ekonomi, dan rendahnya pemahaman tentang kesehatan reproduksi, yang mengakibatkan dampak negatif pada kesejahteraan fisik dan psikologis anak. Di sisi lain, stunting yang dipengaruhi oleh kurangnya gizi dan perawatan anak yang memadai merupakan kondisi yang semakin mengkhawatirkan karena menghambat perkembangan fisik dan kognitif anak. Dalam kajian Maqāṣid al-Sharī'ah, perlindungan terhadap hak-hak anak, termasuk pencegahan pernikahan anak dan stunting, merupakan kewajiban moral dan agama. Dengan maksud syariah bahwa perlu menjaga keberlanjutan kehidupan yang sehat dan berkualitas bagi umat manusia.