SEKUFU
Oleh : Syafran Lubis
Bu Ani begitu orang memanggilnya, staf kantor kecamatan itu mempunyai suami yang berpenghasilan lebih rendah darinya karena punya perkerjaan serabutan yang kadang sehari tidak dapat kerjaan. Suaminya tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari hari dari kebutuhan rumah tangga mereka yang berimbas pada ketidakpuasan wanita paruh baya itu. Akibatnya bu Ani berfikir untuk mengajukan cerai ke PA. jika ada masalah dalam keluarga mereka pak Edi gampang tersinggung dan gampang marah. Ketika keluar rumah atau ada acara di lingkungan bu Ani sering di cemooh para tetangga karena punya suami yang penganguran, ia merasa malu dan tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang mereka ucapkan memang benar adanya, juga berimbas kepada anak-anak . “Anak-anak sering ditanya teman temannya perihal pekerjaan ayahnya dan mereka tidak bisa menjawab, itu membuat saya merasa sedih sekali.” Ungkapan bu Ani “ ini tekanan buat mereka dan saya “ lanjutnya. Perkataan negatif dari lingkungan sekitar yang menimbulkan tekanan sosial, dampak negatif juga dirasakan oleh anak-anak mereka, yang sering mendapat pertanyaan mengenai pekerjaan ayah mereka dan merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut.
“Saya berpikir segala resiko di dalam rumah tangga kami,bisa kami tanggung berdua” kata bu Eti “ Ternyata salah, orang tua dan anak anak pun terseret di dalam masalah ini, “ lamjutnya “anak saya selalu merasa minder untuk berbaur dengan teman-temannya dan warga setempat, sampai dia memilih sekolah diluar kota untuk menghindari pertanyaan pertanyaan dan cemoohan orang orang sekitar karena ayahnya seorang kuli bangunan.” Cerita bu Eti yang berprofesi sebagai perawat di sebuah puskesmas di desanya.
Penghasilan bu bidan Eri lebih banyak dari suaminya yang berprofesi sebagai kuli panggul di pasar kecil di desanya, rumah tangga mereka tidak berjalan dengan harmonis karena penghasilan dari sang suami tidak bisa mengimbangi penghasilan istrinya. Rumah tangga mereka tidak berjalan dengan baik karena ada ketimpangan penghasilan antar bu bidan dan suaminya. Ibu Eri merasa harkat dan martabatnya ikut turun dari sudut pandang masyarakat, karena ada ketidak sekufuan dalam profesi tersebut di dalam rumah tangganya yang juga menimbulkan ketidak harmonisan.
Pak Arif berprofesi sebagai tukang ojek online sementara istrinya ibu Novi berprofesi sebagai guru tetap di sebuah madrasah di kotanya. Penghasilan pak Arif sama sekali tidak dapat memenuhi atau mencukupi kebutuhan dalam rumah tangga mereka. Omongan masyarakat tentang ketidak sekufuan profesi pasangan ini sering terdengar di telinga mereka, Hingga perselisihan diantara merekapun sering terjadi di rumah tangga mereka. Tekanan batin (internal) dan lingkungan (eksternal) mempengaruhi keharmonisan rumah tangganya. Akhirnya ibu Novi dan suami sepakat untuk bercerai.
Penggalan penggalan kisah diatas adalah menceritakan ketidak sekufuan profesi antara suami istri. Perofesi istri lebih banyak menghasilkan uang dari pada profesi suami. Interaksi sosial merupakan aspek yang sangat penting dalam setiap masyarakat. Begitu juga dengan pernikahan yang tidak sekufu, dapat mempengaruhi status sosial individu dalam masyarakat.
Seorang individu mungkin memperoleh status sosial yang lebih tinggi melalui pernikahan dengan pasangan yang memiliki profesi yang lebih tinggi, atau sebaliknya. Namun, hal ini juga bisa menimbulkan tekanan sosial bagi pasangan untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi baru yang datang dari status sosial yang berbeda. Selain dari aspek agama, tradisi lokal juga mempengaruhi pandangan mengenai kesetaraan derajat calon pasangan suami-istri.
Perspektif para ulama tentang kesetaraan pasangan penting untuk diperhatikan guna mengurangi potensi kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini bertujuan agar keharmonisan dan kerukunan antara keluarga suami dan istri tetap terjaga. Pernikahan yang tidak didasari oleh kesetaraan dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya ketidakharmonisan dan perceraian.
Ketidakjelasan pekerjaan suami dan seringnya menganggur menyebabkan kesulitan dalam berbaur dan bersosialisasi dengan lingkungannya, sehingga menimbulkan perasaan keterasingan dan isolasi sosial. Pasangan yang tidak sekufu dalam profesi bisa menghadapi tekanan sosial dan stigma dari masyarakat. Salah satu pasangan yang memiliki pekerjaan lebih rendah atau tidak bekerja dapat dipandang rendah oleh lingkungan sekitar. Tekanan sosial ini dapat menyebabkan perasaan malu, rendah diri, dan isolasi sosial. Anak-anak dari pasangan yang tidak sekufu dalam profesi berkemungkinan menghadapi pertanyaan atau ejekan dari teman-teman sebaya mengenai pekerjaan orang tua mereka. Hal ini bisa mempengaruhi harga diri dan kesejahteraan emosional anak. Selain itu, ketegangan dan konflik dalam rumah tangga juga dapat berdampak negatif pada perkembangan anak anak.
Istilah sekufu atau sepadan sering digunakan untuk merujuk pada situasi di mana pasangan dalam pernikahan atau hubungan dianggap seimbang atau cocok satu sama lain. Kesepadan ini dapat mencakup berbagai aspek, seperti persamaan dalam nilai-nilai, kebutuhan, tujuan hidup, atau tingkat kompatibilitas secara umum. Dalam konteks pernikahan, kesepadan bisa merujuk pada kecocokan antara suami dan istri dalam berbagai aspek kehidupan, seperti persamaan dalam pandangan agama, keuangan, atau harapan terhadap masa depan. Beberapa orang juga mungkin menganggap pasangan mereka “sekufu” jika terdapat persamaan dalam latar belakang sosial atau budaya, minat, atau nilai-nilai pribadi.
Penting untuk dicatat bahwa persepsi tentang kesesuaian atau kesepadanan dapat sangat subjektif dan dapat bervariasi antarindividu. Apa yang dianggap sebagai kesepadanan oleh satu pasangan mungkin tidak menjadi isu bagi pasangan lain. Dalam banyak kasus, komunikasi terbuka dan pemahaman bersama dapat membantu mengatasi perbedaan dan membangun hubungan yang sehat. Jika ketidaksepadanan tidak dapat diatasi maka akan menyebabkan konflik yang berkelanjutan, beberapa pasangan memilih untuk mengambil langkah-langkah seperti konseling pernikahan atau, bahkan beberapa kasus, mengakhiri rumah tangga mereka.
Keputusan untuk melanjutkan atau mengakhiri hubungan sangatlah individual dan bergantung pada banyak faktor termasuk nilai-nilai pribadi, keyakinan, dan keadaan unik dari masing-masing pasangan. Perkembangan teknologi memiliki dampak sosiologis yang signifikan. Perubahan dalam komunikasi, pekerjaan, dan gaya hidup yang disebabkan oleh teknologi dapat menciptakan perubahan dalam pola sosial dan hubungan antarindividu.
Konsep sekufu seorang calon mempelai diberikan pilihan dan berhak menentukan pasangan hidupnya dengan mempertimbangkan dari sisi agama, nasab, harta, dan pekerjaan. Upaya untuk menjalankan kehidupan rumah tangga perlu adanya berbagai pertimbangan terhadap hal-hal kesekufuan yang dimaksudkan guna untuk menghindari terjadinya ketidakcocokan dan ketimpangan dikemuduan hari. Selain itu, ilmu psikologis mengatakan bahwa seseorang yang telah mendapatkan pasangan yang sesuai dengan kemauannya akan berdampak positif dalam membantu proses sosialisasi tanpa adanya keterpaksaan menuju keluarga yang harmonis dan bahagia.
Kesekufuan merupakan suatu hal yang harus di usahakan untuk menghindari keruntuhan tumah tangga. Dalam konteks pernikahan, sekufu berarti kesepadaanan antara calon suami dan calon istri, berdasarkan agama, status sosial, nasab, ekonomi, pekerjaan dan sebagainya. Sedangkan tujuan daripada disyariatkan sekufu adalah untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan rumah tangga. Sudah menjadi keyakinan yang lumrah jika pasangan suami istri harus ada kesepadanan, maka terjadinya perceraian akan terminimalisir.
Tujuan dari konsep sekufu dalam pernikahan adalah untuk menciptakan hubungan yang harmonis dan aman, bukan untuk menentukan apakah pernikahan tersebut sah atau tidak. Artinya sah atau tidaknya pernikahan tidak bergantung pada kesekufuan. Pernikahan tetap sah menurut hukum walaupun tidak sekufu antara suami istri. Hanya saja, hak bagi wali dan perempuan yang bersangkutan untuk mencari jodoh yang sekufu. Dalam arti, keduanya boleh membatalkan akad nikah dalam pernikahan itu karena tidak sekufu dan boleh menggugurkan haknya.
Sekufu mungkin tidak banyak dikenal di masyarakat umum atau mungkin hanya diterapkan oleh sebagian kecil kelompok tertentu. Namun, sebenarnya, sekufu sangat penting untuk dipertimbangkan agar pasangan dapat mewujudkan tujuan dalam rumah tangga mereka dengan lebih mudah. Kita sering melihat pasangan di sekitar kita yang mengalami ketidakharmonisan dalam pernikahan. Hal ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh perhatian atau ketidakpedulian dalam menerapkan prinsip kesekufuan dalam memilih pasangan.
Saat ini, banyak pernikahan yang hanya didasari oleh rasa cinta dan nafsu, dengan mengabaikan kesekufuan, yang sering dianggap sebagai bentuk diskriminasi. Ada pandangan bahwa orang yang kurang baik tidak berhak mendapatkan pasangan yang baik. Untuk mencapai kehidupan rumah tangga yang harmonis, diperlukan usaha untuk menyelaraskan ilmu dan pemahaman sebagai persiapan awal guna mencegah kerusakan dalam tatanan rumah tangga. Kehidupan ideal tidak selalu dapat dicapai oleh setiap pasangan pernikahan, termasuk dalam hal berperilaku terhadap pasangan ketika terdapat perbedaan profesi.
Pernikahan yang tidak sekufu dalam profesi dapat membawa sejumlah dampak negatif yang mempengaruhi keharmonisan dalam rumah tangga. Ketegangan dan konflik, tekanan sosial, ketidakseimbangan ekonomi, kesulitan dalam penyesuaian peran, kurangnya dukungan dan pemahaman, pengaruh negatif terhadap anak, dan hambatan dalam pertumbuhan karir adalah beberapa tantangan utama.
Selain syarat dan rukun yang mempengaruhi keabsahan sebuah pernikahan, terdapat pula aturan dalam hukum pernikahan Islam. Aturan ini kemudian diterima oleh berbagai madzhab hukum Islam dan beberapa peraturan perundang-undangan negara sebagai hukum yang dikenal dengan istilah sekufu atau kafa’ah.
Pernikahan yang dilangsungkan dengan hanya mempertimbankan kesekufuan dari sisi agama, sedangkan konsep kesekufuan yang lainnya terutama konsep kesekufuan dalam profesi tidak terlalu diperhatikan dan tidak terlalu dipahami. Kemudian faktor yang kedua adalah memprioritaskan perasaan suka dan cinta, Maka profesi dan penghasilan bukanlah suatu yang utama untuk dipertimbangkan dalam pernikahan. karena yang menjadi dasar pertimbangannya mengacu pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 61 dalam kajian pembatalan perkawinan yang berbunyi “tidak se-kufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilafu al-din”.
Sekufu dalam perkawinan menurut istilah hukum Islam adalah keseimbangan atau keserasian antar istri dan suami dalam hal tingkatan sosial, moral, ekonomi, sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan. Batasan sekufu adalah sebagai suatu keadaan keseimbangan, kesesuaian atau keserasian. Namun ketika dihubungkan dengan nikah, sekufu diartikan sebagai kondisi keseimbangan antara suami dan istri baik dari segi kedudukan, agama, keturunan, kemerdekaan, pekerjaan dan sebagainya.
Tidaklah diragukan jika kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebanding, akan merupakan faktor kebahagian hidup suami isteri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. Sekufu dalam pernikahan adalah suatu kondisi di mana dalam suatu pernikahan haruslah didapatkan adanya keseimbangan antara suami dan istri mengenai beberapa aspek tertentu yang dapat mengosongkan dari krisis yang dapat merusak kehidupan pernikahan itu sendiri.
Kriteria sekufu menurut mazhab tidak hanya terbatas pada faktor agama tetapi juga dari segi yang lain. Sedangkan hak menentukan sekufu menurut mereka ditentukan oleh pihak wanita. Dengan demikian yang menjadi obyek penentuan sekufu adalah pihak laki-laki.Pertimbangan sekufu adalah dari pihak perempuan, maksudnya seorang wanita perlu mempertimbangkan apakah laki laki yang akan menikah dengannya sekufu atau tidak. Sedangkan apabila derajat seorang wanita dibawah seorang lelaki itu tidaklah menjadi masalah. Sebab semua dalil yang ada itu mengarah pada pihak lelaki, Selain itu seorang anak pun pada umumnya dinisbatkan pada ayahnya, jadi jika seorang lelaki yang berkedudukan tinggi menikah dengan wanita biasa itu bukanlah suatu aib.
Mazhab empat selain madzhab maliki, mencantumkan profesi/hirfah masuk dari bagian kriteria sekufu. Pekerjaan adalah berkenaan dengan segala sarana maupun prasarana yang dapat dijadikan sumber penghidupan baik perusahaan maupun yang lainnya. Seorang wanita dan keluarga yang pekerjaannya terhormat, tidak sekufu dengan laki-laki yang pekerjaannya kasar. Untuk mengetahui pekerjaan yang terhormat atau kasar, dapat diukur dengan kebiasaan Masyarakat setempat. Sebab adakalanya suatu pekerjaan tidak terhormat dianggap terhormatpada tempat yang lain. Tetapi kalau pekerjaannya itu hampir bersamaan tingkatannya antara satu dengan yang lain maka tidaklah dianggap ada perbedaan. Demikian pendapat imam hanafi.
Seorang aki-laki yang pekerjaannya, seperti tukang sapu jalan raya, tukang jaga pintu dan sebagainya tidak sekufu dengan perempuan yang pekerjaan ayahnya lebih mulia, seperti tukang jahit atau laki laki tukang listrik dsb tidak sekufu dengan perempuan anak saudagar. Dan laki-laki saudagar tidak sekufu dengan perempuan anak ulama atau anak hakim. Adapun mengenai kekayaan tidak termasuk dalam kriteria pekerjaan . Karena itu, laki-laki miskin sederajat dengan perempuan yang kaya. Demikian menurut Imam Syafi’i. Kriteria pernikahan itu diperhitungkan dari pihak perempuan. Adapun laki-laki, ia boleh menikahi perempuan yang tidak sederajat dengan dia, meskipun kepada pembantu atau perempuan budak.
Imam Ahmad berpendapat, apabila ada seorang wanita yang berasal dari kalangan orang yang mempunyai pekerjaan tetap dan terhormat, maka dianggap tidak sekufu dengan orang yang rendah penghasilannya. Pemberlakuan segi profesi ini harus diperhatikan adat dan tradisi yang berlaku pada tempat dimana seorang wanita itu bertempat tinggal dan dinikahi. Konsekuensinya, jika pekerjaan yang disuatu tempat dipandang terhormat tapi di tempat si wanita dianggap rendah, maka pekerjaan tersebut dapat menghalangi terjadinya sekufu.
Sekufu atau tidak sekufu dalam profesi tidak menjadi masalah dalam rumah tangganya. Namun kenyataannya, jika tidak sekufu tidak tercapai malah menimbulkan berbagai dampak negatif. Ketidakmampuan untuk memahami dan menyesuaikan diri dengan perbedaan ini sering kali memicu konflik yang berkelanjutan dalam rumah tangganya.
Kurangnya pertimbangan jangka panjang yang di alami oleh pasangan yang akan menikah. Calon istri dan calon suami mungkin tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang dari perbedaan dalam profesi, yang mungkin menganggap bahwa cinta dan komitmen akan cukup untuk mengatasi segala rintangan yang mungkin muncul dari perbedaan dalam karier dan status sosial. kurangnya pemahaman konsep sekufu, kehendak pribadi dan kurangnya pertimbangan jangka panjang. Dengan memahami alasan alasan ini dapat membantu pasangan dan masyarakat lebih siap dalam menghadapi tantangan yang mungkin timbul dari perbedaan dalam profesi dan status sosial dengan calon pasangannya.
Dampak sosiologis mencakup berbagai aspek yang kompleks dan saling terkait dalam kehidupan sosial. Memahami dampak ini penting untuk mengidentifikasi tantangan yang dihadapi masyarakat dan mengembangkan strategi untuk mengatasi masalah sosial, memperkuat kohesi sosial, dan meningkatkan kesejahteraan serta kualitas hidup semua anggota masyarakat.
Dampak sosiologis juga dapat mempengaruhi kesejahteraan dan kualitas hidup individu dan kelompok dalam masyarakat. Ini mencakup aspek-aspek seperti kesehatan mental, keamanan, dan akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. ketidakadilan sosial dapat mengurangi akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan bagi kelompok-kelompok tertentu, yang berdampak negatif pada kesejahteraan mereka.
Dampak sosiologis dapat mempengaruhi proses integrasi dan eksklusi sosial dalam masyarakat. Integrasi sosial mengacu pada kemampuan individu atau kelompok untuk terlibat sepenuhnya dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat. Eksklusi sosial, sebaliknya, mengacu pada proses di mana individu atau kelompok tertentu terpinggirkan dan tidak dapat berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan masyarakat. Pernikahan tidak sekufu dalam profesi dapat menyebabkan eksklusi sosial bagi pasangan atau keluarga yang dianggap bertentangan dengan norma sosial yang berlaku.
Pada umumnya, seorang perempuan yang tinggi derajatnya akan dijadikan bahan pembicaraan jika dinikahi oleh laki laki yang derajatnya lebih rendah. Tetapi tidak sebaliknya, Jika ada seorang laki-laki yang tinggi derajatnya kemudian menikahi perempuan yang lebih rendah derajatnya, maka tidak akan ada yang membicarakannya.
Dampak sosiologis pernikahan tidak sekufu dalam profesi nimbulkan tekanan sosial dan stigma negatif dari masyarakat sekitar. Pasangan yang tidak sekufu dalam profesi menghadapi tekanan sosial dan stigma dari masyarakat, terutama jika ada perbedaan signifikan dalam status sosial atau profesi. Tekanan dari keluarga, teman, dan lingkungan sekitar bisa menyebabkan perasaan malu dan rendah diri, yang pada gilirannya dapat menimbulkan ketegangan dalam hubungan.
Perbedaan dalam profesi menyebabkan kesulitan dalam penyesuaian peran dan tanggung jawab di rumah. Jika istri memiliki pekerjaan dengan tuntutan tinggi dan suami lebih banyak waktu luang, ini bisa menimbulkan ketidakseimbangan dalam pembagian tanggung jawab rumah tangga. Ketidakseimbangan ini bisa menimbulkan berbagai masalah. Bukan hanya berdampak terhadap masing-masing pasangan, tapi perbedaan status sosial atau pekerjaan juga dapat mempengaruhi kesejahteraan mental dan emosional anggota keluarga, serta mengurangi kualitas hidup mereka. Selain itu, anak-anak dari pasangan tersebut mungkin mengalami diskriminasi atau penolakan dari teman sebaya mereka, yang dapat mempengaruhi perkembangan sosial dan emosional mereka.
Dampak sosiologis dari pernikahan tidak sekufu dalam profesi Dikucilkan oleh masyarakat Kesulitan berbaur dengan masyarakat Menjadi aib bagi keluarganya Anak mengalami deskriminasi Merusak mental dan masa depan anak. Memahami dampak ini penting untuk mengidentifikasi tantangan yang dihadapi masyarakat dan mengembangkan strategi untuk mengatasi masalah sosial, memperkuat kohesi sosial, dan meningkatkan kesejahteraan serta kualitas hidup sebagai anggota masyarakat.
Para ulama dari berbagai mazhab fikih sangat memperhatikan konsep sekufu dan membahasnya secara mendetail mengenai factor faktor apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam kesekufuan. Tujuan utama dari sekufu adalah untuk menghindari bahaya dan kerusakan dalam hubungan pernikahan. Harapan dari sebuah pernikahan adalah memperoleh kehidupan yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Pernikahan tidak sekufu dalam profesi dapat membawa sejumlah dampak negatif yang memengaruhi keharmonisan dalam rumah tangga, perbedaan dalam pendapatan antara suami istri dapat menimbulkan ketidakseimbangan ekonomi dalam rumah tangga. Istri yang berpenghasilan lebih tinggi merasa terbebani dengan tanggung jawab finansial yang lebih besar, sementara suami yang berpenghasilan lebih rendah kurang berkontribusi dalam kebutuhan perekonommian dalam rumah tangganya. Pasangan dengan perbedaan dalam penghasilan menghadapi stres finansial, terutama jika kebutuhan dan gaya hidup yang diinginkan tidak sejalan.
Perbedaan dalam profesi juga dapat menimbulkan kecemburuan dan ketidakpuasan. Istri yang memiliki pekerjaan yang lebih bergengsi atau berpenghasilan lebih tinggi mendapatkan pengakuan di masyarakat, sementara suaminya tidak dihargai. Perasaan ini dapat menyebabkan ketidakpuasan dan kebencian, yang mengganggu keharmonisan rumah tangga.