Menu

Mode Gelap

Opini · 20 Agu 2025 13:54 WIB ·

80 Tahun Merdeka: Sudahkah Rakyat Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri?

Penulis: Mahbub Fauzie


 80 Tahun Merdeka: Sudahkah Rakyat Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri? Perbesar

80 Tahun Merdeka: Sudahkah Rakyat Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri?

Oleh: Mahbub Fauzie*

Delapan puluh tahun bukan usia yang singkat bagi sebuah bangsa. Ia bukan lagi remaja yang sedang mencari arah, melainkan sudah sepatutnya matang dalam berpikir, dewasa dalam bersikap, dan bijak dalam mengambil keputusan. Kemerdekaan bukan hanya soal usia dan perayaan, tetapi tentang bagaimana janji-janji kemerdekaan diwujudkan: keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, dan martabat manusia di tanah kelahirannya.

Kita patut bersyukur bahwa Indonesia terus bertumbuh. Pemerintah pun menyiapkan perayaan HUT ke-80 RI dengan meriah: dari Doa Kebangsaan 1.500 pemuka lintas agama, Ziarah Nasional, hingga Upacara Detik-Detik Proklamasi yang tetap menjadi momen sakral. Tahun ini, istana bahkan membuka ruang bagi publik melalui Pesta Rakyat Kemerdekaan, di mana 80 persen undangan berasal dari masyarakat umum. Ini langkah baik.

Namun, kehadiran rakyat di istana hanyalah simbol. Pertanyaannya, apakah rakyat benar-benar merasa menjadi pemilik rumah ini? Sudahkah negara memberi tempat yang layak bagi rakyat sebagai tuan rumah, bukan sekadar tamu yang diundang saat seremoni?

Dalam perspektif agama, kemerdekaan adalah anugerah sekaligus amanah. Ia bukan sekadar pembebasan dari penjajahan fisik, tetapi juga perjuangan melawan kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11). Namun, perubahan membutuhkan ruang, dukungan, dan keadilan sistem. Di sinilah negara semestinya hadir—bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai pelindung dan pemampu rakyatnya.

Ada langkah-langkah positif yang patut diapresiasi. Salah satunya, pemberian insentif bagi guru honorer, guru PAUD, dan tenaga pendidikan nonformal sebagai “kado kemerdekaan”. Ini bentuk pengakuan atas peran mereka dalam membangun fondasi bangsa.

Namun, kita tidak boleh menutup mata bahwa ketimpangan masih nyata. Masih ada anak-anak yang harus menyeberangi sungai demi bersekolah. Masih ada petani yang menjual panennya di bawah harga pokok produksi. Masih ada nelayan yang kalah bersaing dengan kapal besar, serta buruh yang belum mendapatkan jaminan kerja layak. Mereka adalah wajah sejati republik ini. Selama mereka belum merdeka, maka sesungguhnya kita belum benar-benar merdeka.

Delapan dekade adalah waktu yang cukup untuk melakukan koreksi. Kita telah melewati berbagai fase: penjajahan, kemerdekaan, Orde Baru, reformasi, hingga era digital. Maka, pembangunan ke depan tak cukup hanya fokus pada infrastruktur fisik, tetapi juga harus membangun infrastruktur sosial: pemerataan pendidikan, akses layanan kesehatan, perlindungan tenaga kerja, dan keadilan ekonomi.

Kita bisa belajar dari mana saja, bahkan dari kisah fiksi. Dalam serial animasi Naruto, Desa Konoha digambarkan sebagai tempat di mana seluruh warganya dilindungi, dihargai, dan diberi ruang tumbuh. Pemimpinnya turun langsung ke tengah masyarakat, mendengar aspirasi rakyat, dan mengambil keputusan demi kebaikan bersama. Konoha mungkin fiksi, namun nilai-nilainya sangat nyata dan relevan.

Kita butuh pemimpin yang bukan hanya mampu berpidato di panggung, tapi juga mau mendengarkan suara rakyat di warung kopi. Kita butuh pemerintah yang tidak hanya berkutat pada angka statistik, tapi mampu merasakan denyut nadi rakyat kecil yang makin sesak oleh naiknya harga, sulitnya pekerjaan, dan harapan yang kian terpinggirkan.

Merayakan kemerdekaan adalah bentuk syukur. Namun syukur yang sejati ditunjukkan melalui evaluasi dan perbaikan. Sudahkah janji kemerdekaan ditunaikan? Dan ke mana arah kita di tahun-tahun mendatang?

Sebagai anak bangsa, kita semua punya peran. Rakyat bukan hanya angka dalam survei, bukan pula penonton dalam seremoni. Rakyat adalah roh dari kemerdekaan itu sendiri. Maka sudah sewajarnya rakyat mendapat tempat utama, bukan hanya dalam upacara, tetapi dalam kebijakan.

Mari kita jadikan usia ke-80 ini sebagai momentum: dari seremoni menuju substansi, dari simbol menuju keseimbangan. Negara harus hadir, bukan hanya di panggung acara, tetapi juga di dapur rakyat. Semoga pemimpin diberi hati yang bersih, telinga yang mau mendengar, dan tangan yang ringan membantu. Dan semoga rakyat diberi keberanian untuk terus bersuara dan mendapat tempat sebagai tuan rumah di negeri yang mereka bangun dengan keringat dan doa.

Wallahu a‘lam.

*Penghulu Ahli Madya KUA Kec. Atu Lintang, Aceh Tengah

5 1 vote
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 35 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

“Cuan” Memboming Dengan Aksi Viral [catatan harian penghulu]

1 Oktober 2025 - 00:03 WIB

Mengapa Verifikasi Calon Pengantin Adalah Keharusan di Era Digital?

30 September 2025 - 11:22 WIB

Musrenbang Sebagai Penjembatan Program KUA Kecamatan

29 September 2025 - 21:27 WIB

Taukil Wali bil lisan melalui daring, apakah diperbolehkan?

29 September 2025 - 16:46 WIB

Pengukuhan dan Rakerwil PW APRI Aceh 2025–2029: Momentum Kebersamaan, Profesionalisme, dan Penguatan Peran Penghulu

29 September 2025 - 06:21 WIB

“BIMWIN” Disandingkan Dengan “Tepuk Sakinah”

28 September 2025 - 20:37 WIB

Trending di Opini
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x