Kitab Barzanji. Membaca kitab ini ada yang menghukumi bid’ah. Adapula yang menyebutnya Sunnah atau setidaknya mubah (boleh). Tak masalah, apapun sikap hukum setiap orang terhadapnya. Mau bersikap negatif dengan menuding bid’ah, bukan soal. Hendak memberi apresiasi positif sebagai sunnah atau mubah, juga tak masalah.
Hanya saja, baik mereka yang membid’ahkan maupun yang memubahkan, kerapkali berpijak pada satu kekeliruan yang sama. Sikap apriori. Suatu sikap yang diambil hanya semata berdasarkan asumsi. Bukan merujuk pada kajian mendalam berdasar pengalaman, pengetahuan, dan ilmu. Semacam kesimpulan yang terburu-buru. Begitu terburu-burunya, sampai-sampai mendahului pengalaman dan pengetahuan.
Sikap apriori terhadap tradisi pembacaan Barzanji, nampak begitu terang benderang. Mereka yang menuding bid’ah kebanyakan tidak mau tau dengan latar sejarah kitab karya Ja’far Albarzanji ini. Lebih-lebih kontennya yang berkisah tentang sejarah sang Rasul itu.
Sayangnya, perilaku sama juga ditunjukkan oleh kebanyakan pembela tradisi pembacaan Barzanji ini. Hampir sedikit sekali, pembaca Barzanji yang benar-benar paham makna tekstual rangkaian-rangkaian kalimat bergenre prosa liris (apalagi yang bergenre puisi-nazm) dari karya sastra nan indah ini.
Pokoknya bagi mereka membaca Barzanji, entah di perayaan maulid, akikah, pindah rumah, dan lain sebagainya, adalah sunnah. Boleh. Bukan bid’ah. Titik.
Bahwa penulisan kitab itu memiliki akar kuat pada sikap anti imperiliasme dan berkisah tentang sejarah nabi, tak terlalu penting bagi mereka. Entah mengerti makna rangkaian kalimatnya atau tidak, pokoknya asal ada maulid, harus baca Barzanji. Tidak peduli mengerti sejarahnya atau tidak, asal ada akikahan, mesti baca Barzanji.
Padahal bila mau sedikit saja belajar, setidaknya memahami untaian kalimat-kalimat indahnya tentang sejarah nabi, mereka yang terlanjur membid’ahkan, boleh jadi bisa berubah sikap. Paling tidak bisa menunda kesimpulan apriorinya serba sejenak.
Begitu pula bagi mereka para pembela tradisi Barzanji sebagai bagian dari Sunnah. Kesadaran sejarah pelan-pelan akan tumbuh karena dapat membaca Barzanji serta memahami maknanya di saat yang sama. Semangat peneladanan terhadap nilai-nilai luhur (uswah Hasanah) warisan sang Nabi, juga akan berakar semakin kokoh dalam keseharian kehidupan.
Sebab itulah hakikatnya kandungan utama dari kitab yang aslinya berjudul “‘Iqdul Jawhar fi Mawlid an Nabiyyil Azhar” (Untaian Permata tentang Kisah Kelahiran Sang Nabi Agung) ini.
Lantas bagaimana sesungguhnya sejarah yang melatari penulisan Barzanji dan bagaimana pula kisah kelahiran serta kehidupan nabi Muhammad SAW menurut kitab Barzanji?
Butuh tulisan tersendiri untuk memaparkannya.