Oleh : Khaerul Umam, S.Ag*)
A. PENDAHULUAN
Al-Quran adalah firman Allah SWT yang bersifat syumuli, komprehensif, dan begitu komplek, mencakup seluruh komponen dan sendi-sendi permasalahan yang telah dan akan dihadapi oleh umat manusia di muka bumi ini. Al-Quran adalah kitabullah sekaligus merupakan mukjizat terbesar yang diturunkan sekitar 14 abad yang lalu kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terdapat banyak aspek kehidupan, tidak hanya tentang akidah dan ibadah semata, namun juga terdapat penjelasan-penjelasan mu’amalah untuk seluruh umat manusia sebagai bekal kehidupan mereka di dunia. “Al-Qur’an Dustuurun wa Imaamun lana”.
Al-Quran tidak hanya berisi tentang tuntunan dalam menjalin hubungan kita secara vertikal kepada Allah SWT (Hablum Minallah), namun lebih dari itu, Al-Quran juga memuat aturan-aturan dan tuntunan bagaimana kita berhubungan dan berinteraksi secara horizontal dengan manusia (Hablum Minannas), bagaimana kita menjalin relasi yang baik, sosial yang positif antar sesama. Semua itu telah tersedia lengkap dalam kitab Al-Quran. Al-Quran adalah imam kita, tuntunan kita dalam kehidupan di dunia hingga ke akhirat kelak. “Dzalikal Kitabu laa Raiba Fiih, Hudan lil Muttaqien”.
Salah satu aspek kemukjizatan Al-Quran adalah terletak pada aspek bahasa dan sastranya. Al-Quran bukanlah sebuah karya sastra, namun ia memiliki nilai-nilai keindahan sastra yang tidak pernah tersaingi oleh karya sastra manapun sepanjang masa. Al-Qur’an sangat detail dalam menghadirkan kata-kata dan ibarat-ibarat yang tersusun di dalamnya. Perbedaan bentuk kata meskipun berasal dari rumpun yang sama, dapat mengandung makna yang juga berbeda. Disinilah letak ke-komprehensif-an al-Qur’an. Dihadirkan dalam bentuk yang singkat, namun memiliki makna yang berbeda-beda. Sepintas memiliki makna yang sama, namun ternyata tersirat makna yang beragam di dalamnya. Diantaranya tentang perintah puasa dalam Al-Qur’an, ada yang menggunakan term atau lafadz Shaum dan ada juga yang memakai term atau lafadz Shiyam. Lalu, bagaimana perbedaan antara Shaum dan Shiyam dalam Al-Qur’an?
B. TERM PUASA DALAM AL-QUR’AN
Dalam Al-Quran, puasa diungkapkan melalui dua lafaz, “Shaum” dan “Shiyam”. Kedua lafaz tersebut sama-sama menunjukkan makna puasa dalam arti menahan (al-imsak). Abu Hilal Al-Askari dalam Al-Furuq Al-Lughawiyah menyatakan bahwa setiap ibarat atau bentuk kata yang berbeda, pasti memiliki makna yang juga berbeda.
Lafadz “Shaum” disebutkan satu kali, yaitu dalam surah Maryam ayat 26. “Fa kuli wa syrabi wa qarri ‘aina, fa imma tarayinna min al-basyari ahadan fa quuli inni nadzartu li al-rahmani shauma, fa lan ukallima al-yauma insiyya” Dalam ayat tersebut, para mufassir mengartikan shaum dengan al-shamt yang bermakna diam; tidak berkata dan menahan diri dari berkata. Hal tersebut dipertegas dengan kalimat setelahnya, fa lan ukallima al-yauma insiyya, Aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun hari ini.
Sedangkan lafaz Shiyam dalam Al-Quran disebutkan sembilan kali yang terdapat di dalam tujuh ayat. Yaitu dalam surah Al-Baqarah ayat 183, 187 dan 196, surah Al-Nisa ayat 92, surah Al-Maidah 89 dan 95, dan surah Al-Mujadalah ayat 4. Seluruh kata Shiyam dalam ketujuh ayat tersebut bermakna puasa lebih spisifik secara fikih yaitu menahan dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa, dari terbitnya fajar pada waktu Subuh yang disertai niat hingga terbenamnya matahari pada waktu Maghrib. Sedangkan Shaum lebih umum, yaitu menahan diri dari segala perbuatan atau perkataan, baik karena berpuasa -sebagaimana dalam konteks fikih- atau tidak. Tidak hanya dalam hal hal yang membatalkan puasa secara fikih saja, namun juga menahan dari berbagai perbuatan dan ucapan lainnya yang tidak ada kaitannya dengan syariat puasa, sekalipun itu tidak termasuk ibadah.
Shaum atau Shiyam, keduanya sama-sama terbentuk dari lafaz “Shaama-Yashuumu” yang bermakna menahan dari sesuatu, baik perkataan atau perbuatan. Dalam tataran Ilmu Shorof, keduanya merupakan bentuk Masdar. namun, untuk lafaz Shiyam mengikuti wazan Fi’al yang menurut sebagian ulama mengandung makna Mufa’alah, Musyarakah, Muqawamah dan Mujahadah dan makna-makna lain yang terkandung dalam wazan Mufa’alah. Makna Mufa’alah yang terkandung dalam wazan Fi’al terdapat aspek adanya sebuah upaya atau usaha dalam beribadah secara syariat, yang mana kandungan makna ini tidak terdapat dalam lafaz Shaum.
Dalam kamus Lisan al-‘Arab karya Ibnu al-Mandzur, “shaum” artinya “tark al-tha’am wa al-syarrab wa al-nikah wa al-kalam” atau “tak makan, minum, berhubungan intim, dan berkata-kata”. Sedangkan “shiyam” di ketujuh ayat di atas merujuk pada arti spesifik, yaitu arti secara fikih: imsak ‘an al-‘akl wa al-syurb wa al-jima’ min thulu’ al-fajr ila ghurub al-syams ma’a al-niyyah. Tak makan, tak minum, dan tak berhubungan intim sejak fajar terbit hingga matahari terbenam.
Kesimpulannya, perbedaan “shaum” dengan “shiyam” adalah perihal umum dan khusus. “Shaum” lebih umum daripada “shiyam”. Jika “shiyam” hanya digunakan untuk arti berpuasa secara fikih yaitu “menahan diri dari makan-minum-seks”, “shaum” digunakan untuk semua yang dimaksud dalam arti “menahan diri”. Puasa Ramadan atau puasa Senin-Kamis bisa disebut “shiyam”, juga bisa disebut “shaum”.
Dalam hadis-hadis, Nabi menggunakan kata “shaum” dan juga “shiyam” untuk sama-sama arti puasa secara fikih. La shauma fauqa shaumi dawuda ‘alaihissalam shathr al-dahr. Shum yauman wa afthir yauman (HR. Al-Bukhari). Tidak ada puasa yang melebihi keutamaan puasa Nabi Dawud ‘alaihissalam, yaitu berpuasa dalam setengah tahun. Satu hari berpuasa, satu hari tidak berpuasa (selang-seling). Ahabbu al-shalati ilallah shalatu dawuda ‘alaihi salam. Wa ahabbu al-shiyami shiyamu dawuda (HR. Al-Bukhari). Shalat yang paling disukai Allah adalah shalat Nabi Dawud. dan puasa yang paling disukai Allah adalah puasa Nabi Dawud.
“Shiyam” adalah bagian dari arti “shaum”. Sementara, “shaum” tidak pasti berarti “shiyam”. Menahan diri dari angkara murka, menahan diri dari mengungkapkan rasa cinta, menahan diri dari mencaci sesama. semua itu disebut “shaum” dan tidak bisa disebut “shiyam”. Barangkali dari sini kita tahu hikmah kenapa dalam niat puasa yang digunakan adalah diksi “shaum”, bukan “shiyam”: Nawaitu shauma ghadin ‘an adai fardhi syahri ramadhani hadzihis sanati lillahi ta’ala. Begitu pula dalam hadist Qudsi Allah Swt. Berfirman As-Shaumu li wa Ana ajzi bihi (As-shaum hanya untukku dan Aku yang akan membalasnya).
Dari sini kita tahu berpuasa tak hanya secara fikih, tak hanya menahan diri dari makan, minum, seks, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa secara fikih, tapi juga berpuasa dari segala hal dan sifat buruk. Menahan diri dari makan-minum-seks hanyalah bagian kecil dari shaum yang kita niatkan dalam setiap berpuasa. Dari sini kita juga tahu hikmah lain: kenapa yang diwajibkan oleh Allah adalah shiyam, bukan shaum (ya ayyuhalladzina amanu kutiba ‘alaikum al-shiyam), yaitu karena shaum lebih berat daripada shiyam. Jika shiyam diwajibkan hanya pada siang hari Ramadan, shaum diwajibkan pada setiap saat di sepanjang hayat. Proses ataupun ketentuan dalam perintah puasa disebut dalam Al-Qur’an dengan kata Shiyam sebanyak 9 kali dalam 7 ayat sedangkan Shaum hanya 1 kali ini bermakna bahwa Shaum adalah capaian (nilai) dari Shiyam.
C. PENUTUP
Dari penjelasan di atas, dapat disadari bahwa Al-Qur’an sangat detail dalam menghadirkan kata-kata dan ibarat-ibarat yang tersusun di dalamnya. Perbedaan bentuk kata meskipun berasal dari rumpun yang sama, dapat mengandung makna yang juga berbeda. Disinilah letak ke-komprehensif-an al-Qur’an. Dihadirkan dalam bentuk yang singkat, namun memiliki makna yang berbeda-beda. Sepintas memiliki makna yang sama, namun ternyata tersirat makna yang beragam di dalamnya. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu berupaya menggali makna dan pesan-pesan yang tersirat dalam Al-Qur’an. Wallahu A’lam. (Disarikan dari berbagai sumber referensi).