REFLEKSI SABAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
اَلْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِىْ اَنْزَلَ الْكِتَابَ فِيهِ هُدًى وَنُوْرٌ وَشِفَاءٌ لِمَا فِى الصُّدُورِ. اَشْهَدُ اَنْ لاَّ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ الْعَزِيزُ الْغَفُوْرُ. وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا وَمَوْلاَناَ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْحَبِيْبُ الْمَنْصُورُ. اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبــَارِكْ عَلَـيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَاَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُ عَلَى جَمِيْعِ اْلاَهْوَالِ وَاْلاُمُوْرِ. مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ وَزُمْرَةَ الْمُؤْمِنِيْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ! اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِىْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فِىْ كُلِّ وَقْتٍ لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. وَاِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ. وَاللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يَقُوْلُ، وَبِقَوْلِهِ يَهْتَدِى الْمُهْتَدُوْنَ. اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. يَاأَيــُّـهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَوةِ، إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِينَ {البقرة:١٥٣}.
Ma’asyiral-muslimin wazumrotal-mukminin rahimakumulloh
Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah menurunkan al-Quran yang di dalamnya terdapat obat penawar untuk kesembuhan manusia yang beriman. Salawat beriring salam semoga disampaikan kepada junjungan alam Rasulullah Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat, dan seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.
Ma’asyiral-muslimin wazumrotal-mukminin rahimakumulloh
Pada ayat tersebut di atas, Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, minta tolonglah (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah 2:153)
Menurut para ulama, sabar adalah:
تَرْكُ الشَّكْوَى مِنْ آلــَمِ الْبَلْوَى اِلاَّ اِلـَى اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالـَى.
“Meninggalkan keluh kesah (kepada manusia) dengan apa yang dirasakannya kecuali hanya kepada Allah SWT”. Sebagaimana ungkapan Nabi Yakub ketika kehilangan putra terkasihnya Yusuf, ia berkata:
قَالَ اِنَّمَآ اَشْكُوْا بَثِّيْ وَحُزْنِيْٓ اِلَى اللّٰهِ وَاَعْلَمُ مِنَ اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
“Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku”. (QS. Yusuf 12:86). Jadi jelas, dengan memahami pengertian dan ayat di atas, bahwa sabar adalah kepasrahan secara total atas kehendak Allah SWT yang diiringi dengan tetap berbaik sangka kepada-Nya, dengan terus mengoptimalkan ikhtiar untuk meraih rahmat-Nya.
Ma’asyiral-muslimin wazumrotal-mukminin rahimakumulloh
Disebutkan di dalam kitab Jamiush-Shaghir karangan Syekh Jalaluddin as-Suyuti sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Syekh Ibnu Abi Dunya dari Ali bin Abi Thalib karramallohu wajhah, bahwa Rasulullah SAW membagi kesabaran ke dalam tiga kategori, sebagaimana sabdanya:
الصَّـبْرُ ثَلاَثَةٌ: فَصَبْرٌ عَلَى الْمُصِيْبَةِ، وَصَبْرٌ عَلَى الطَّاعَةِ، وَصَبْرٌ عَنِ الْمَعْصِيَّةِ
Sabar itu terbagi tiga bagian: Pertama, sabar atas musibah yang menimpa. Kedua, sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT. Dan ketiga sabar dalam meninggalkan perbuatan dosa dan tercela.
Pertama, sabar atas segala musibah yang menimpa
Dunia adalah satu dimensi yang alam yang terjadi karena adanya azwaj, berpasang-pasangan. Atas dan bawah, tinggi dan rendah, baik dan buruk, bahagia dan derita, suka dan duka, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk yang dipercaya untuk mengisi dunia ini pasti akan mengalami dimensi azwaj ini. Dimana manusia akan merasakan suka-duka, bahagia-menderita, senang-susah, dan sebagainya, yang semuanya merupakan ujian bagi manusia itu sendiri – ayyukum ahsanu ‘amalan – siapa di antara mereka yang lebih baik amalnya. Allah SWT menganugerahkan kebahagiaan kepada hamba-Nya menjadi ujian bagi manusia, mampukah ia bersyukur atas kebahagiaannya itu. Dan pada waktu yang lain Allah timpakan musibah dan kesulitan juga menjadi ujian bagi manusia, mampukah ia bersabar atas musibah dan kesulitannya itu.
Sabar bukanlah sikap diam dan menerima semua yang terjadi tanpa ada upaya untuk memperbaiki diri. Kesabaran yang diajarkan oleh Islam adalah dimensi hati yang tenang, sikap jiwa yang istiqamah dalam meyakini ketentuan Allah. Sebab Allah tidak akan menurunkan suatu ujian di luar kesanggupan si hamba dalam menerima ujian tersebut. Sehingga betapa pun beratnya suatu ujian, pada hakikatnya tergantung pada keteguhan hati dan sikap jiwa si hamba itu sendiri. Semakin tinggi tingkat keimanannya, ia akan semakin tenang dalam menghadapinya. Semakin luas ilmu dan kesadarannya, ia akan semakin bijak dalam mensikapinya. Tidak ada keluh kesah, resah, dan gelisah. Tidak ada rasa takut, panik, dan kekhawatiran. Yang ada hanyalah keyakinan bahwa Allah akan pernah menzalimi hamba-hamba-Nya yang beriman dan menerima ujian dengan penuh kesabaran.
فَمَنْ صَبَرَ عَلَى الْمُصِيْـبَةِ حَـتَّى يَرُدَّهَا بِحُسْنِ عَـزَائِـهَا كَتَبَ اللهُ لَهُ ثَلاَثَمِائَةِ دَرَجَةٍ، مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْـاَرْضِ.
Barangsiapa bersabar atas musibah yang menimpa dirinya, sehingga ia menerimanya dengan sikap terbaiknya, maka Allah menetapkan 300 derajat untuk dirinya. Antara satu derajat dengan derajat berikutnya seperti jarak antara langit dan bumi
Sebagaimana hal ini juga tersirat dalam al-Quran, Allah SWT berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. dan berilah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah:155)
Informasi Allah tentang “soal-soal ujian” yang meliputi rasa takut, rasa lapar, kekuarangan harta benda, jiwa, dan buah-buahan ini adalah nikmat besar tersendiri. Karena dengan mengetahuinya kita dapat mempersiapkan diri menghadapi aneka ujian itu. Ujian diperlukan untuk kenaikan tingkat. Ujian itu sendiri baik. Yang buruk adalah kegagalan dlam menghadapinya. Dan hanya orang-orang yang sabarlah – sabar dalam arti sebenarnya – yang dapat menyikapi ujian itu dengan baik.
اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ
(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” — Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali. (QS. Al-Baqarah:156)
Kami adalah milik Allah. Bukan hanya sendiri. Yang menjadi milik-Nya adalah kami semua yang juga merupakan makhluk-Nya. Jika kali ini petaka menimpa saya, maka bukan saya yang pertama yang ditimpa musibah, bukan juga yang terakhir. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi kami untuk mempermasalahkan musibah itu, tetapi yang terpenting adalah bagaimana dengan adanya musibah itu hati kami keimanan kami menjadi lebih meningkat.
اُولٰۤىِٕكَ عَلَيْهِمْ صَلَوٰتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna, banyak dan beraneka ragam, antara lain berupa pengampunan, pujian, menggantikan yang lebih baik dari nikmat sebelumnya yang telah hilang, dan mendapat rahmat – karunia yang besar dan melimpah – dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk, bukan saja petunjuk mengatasi kesulitan dan kesedihannya, tetapi juga petunjuk menuju jalan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. (QS. Al-Baqarah :157)