Menu

Mode Gelap

Artikel · 6 Agu 2025 21:18 WIB ·

Hukum Keluarga di Sudan

Penulis: HERIZAL S. Ag.,M.A


 Hukum Keluarga di Sudan Perbesar

Islam diyakini sebagai agama yang universal, tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa ajaran Islam berlaku untuk seluruh umat manusia. Sebagaimana firman Allah swt:

اَفَغَيْرَ دِيْنِ اللّٰهِ يَبْغُوْنَ وَلَهٗ ٓ اَسْلَمَ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ طَوْعًا وَّكَرْهًا وَّاِلَيْهِ يُرْجَعُوْنَ

Artinya: Maka Apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, Padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan. (Q.S. Ali Imran:83)[1]

Dari ayat di atas, Islam seharusnya dapat diterima oleh setiap manusia, tanpa harus ada pertentangan dengan situasi dan kondisi di mana manusia itu berada. Islam dapat berhadapan dengan masyarakat modern, sebagimana ia dapat berhadapan dengan masyarakat yang bersahaja. Ketika berhadapan dengan masyarakat modern dengan tantangan modernitasnya, Islam tentunya dituntut untuk dapat menghadapi tantangan modernitas.

Dalam konteks ini tak terkecuali hukum keluarga yang berlaku di Indonesia yang terjelmakan dalan UU. No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), juga membutuhkan pembaharuan terkait dengan kondisi sosiologis, kultur dan kompleksitas persoalan hidup bangsa Indonesia yang selalu bergerak dinamis kedepan. Walaupun mungkin dulu diawal atau pada saat hukum keluarga tersebut dibentuk sedikit banyak dapat menjadi jawaban bagi tuntutan realitas sosial yang ada.

Pembahasan

  1. Sejarah Hukum di Sudan

Seperti banyak negara-negara Afrika (terutama negara-negara Afrika Timur) Sudan mewarisi sistem hukum kolonial. Sudan merupakan negara Muslim, dengan Muslim yang membentuk lebih dari 75 persen dari populasi (1), dan pemerintah yang telah berkuasa di Sudan sejak tahun 1989 telah secara sadar administrasi berdasarkan nilai-nilai Islam. Michael Field ‘Inside the Arab World’ menyatakan bahwa Sudan pasca-1989 adalah unik di antara polities Islam: “Satu-satunya negara Arab yang telah diberlakukan, republik, ide-ide Islam “. (2) Sementara Sudan telah disalah pahami sebagai teokratis, negara Islam fundamentalis, pengalaman Islam Sudan berbeda dari pengalaman Arab Saudi dan sangat berbeda dari model Islam di Iran.

Sistem peradilan Sudan yang ada sekarang merupakan puncak dari sejarah hukum yang dilalui oleh negeri ini. Akarnya dimulai sejak abad pertengahan, bahkan jauh sebelum itu. Perkembangan tersebut dimulai dari masa Kerajaan Funji, disebut juga Kesultanan Islam Sennar (1504-1820), dilanjutnya dengan masa pemerintahan penjajahan Turki (1880-1899), pemerintahan al-Mahdi (1821-1885), dan masa pemerintahan Inggeris-Mesir (1899-1956).[2] Peradilan nasional dimulai sejak 1 Januari 1956 ketika Sudan menyatakan diri terlepas dari kekuasaan Inggeris-Mesir.

Pada masa Kesultanan Islam Sennar, pengadilan tertinggi disebut Mahkamah al-‘Umum (Court of Common) dan pengadilan yang berada di bawahanya disebut Mahkamah Syar’iyah. Hukum Islam yang diterapkan adalah mengikuti mazhab Maliki. Di antara hakim-hakim yang terkenal pada masa ini tersebut nama Hakim Dishin dan Hakim Alaraki.

Di zaman pemerintahan Turki, Mahkamah Agung masih disebut Mahkamah al-‘Umum, tetapi hukum yang diterapkan mengikuti mazhab Hanafi sesuai mazhab yang berlaku di seluruh wilayah Turki Usmani. Selain itu, ibukota negara dipindahkan dari Sennar ke Wad Madani, dan akhirnya Khartoum.

Selanjutnya dalam pertempuran Skekan, Muhammad Ahmad al-Mahdi (meninggal 1885) berhasil mengusir pemerintahan Turki. Al-Mahdi memulai pemerintahan baru garis keras dengan mengumumkan Syari’at Islam sebagai hukum negara. Ia membuat kompilasi hukum yang disebut al-Mansyurat al-Mahdiyyah (The Mahdi Circular) serta memindahkan ibukota dari Khartoum ke Omdurman. Mahkamah Agung disebut Mahkamah al-Islam dan peradilan di bawahnya mempunyai kompetensi tertentu seperti Pengadilan Pasar dan Pengadilan Militer. Al-Mahdi sebagai kepala negara mengangkat dan memberhentikan hakim. Di zamannya, al-Mahdi telah mengangkat dua Ketua Mahkamah Agung berturut-turut. Pertama adalah Qadhi al-Islam (Ketua MA) Ahmad Ali yang menjabat selama 12 tahun. Setelah meninggal di penjara, ia digantikan oleh Hussain Wad Zahra.[3]

Masa Inggeris-Mesir disebut sebagai pemerintahan bilateral berdasarkan kesepatakan antara kedua negara Inggeris dan Mesir pada tanggal 19 Januari 1899 yang disebut Condominium Agreement. Di antara isi perjanjian tersebut dinyatakan bahwa hukum Mesir tidak akan diberlakukan di Sudan dan syari’at Islam priode al-Mahdi dinyatakan tidak berlaku. Untuk mengisi kekosongan, pemerintah jajahan mengimpor hukum Inggeris yang berlaku di anak benua India, baik perdata maupun pidana.

Pengadilan di zaman Inggeris-Mesir terbagi dua. Pertama adalah Bagian Sipil dan yang kedua Bagian Syariah.[4] Bagian Sipil terdiri dari perdata dan pidana dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung berkebangsaan Inggeris sampai tahun 1956. Bagian Sipil menerapkan hukum acara perdata dan pidana Inggeris di India dan hukum substantif menerapkan murni hukum Inggeris.

Sedangkan Bagian Syariah diketuai oleh the Grand Qadhi atau Qadhi al-Qudhat yang diisi oleh orang Mesir sampai tahun 1947. Kewenangannya terbatas dalam bidang Hukum Pribadi (al-Ahwal ash-Shakhshiyyah) berdasarkan mazhab Hanafi. Istilah Hukum Pribadi, menurut Syekh Mustafa

Zarqa’ dari Suria, tidak berasal dari perbendaharaan hukum Islam, tetapi dari hukum Perancis. Kewenangannya menyangkut masalah perkawinan, perceraian, keturunan, penyusuan, hadhanah, perwalian, warisan dan sejenisnya. Hukum acaranya diatur berdasarkan Ordonansi Hukum Islam Tahun 1902 (The Mohammadan Law Court Odinance of 1902). Kedua bagian pengadilan ini berada di bawah Sekretaris Hukum yang merupakan salah seorang anggota Majelis Gubernur-Jendral (Governor-General’s Council) yang memerintah Sudan. Dewan ini dibentuk pada tahun 1910. Gubernur Jendral mempunyai tiga orang sekretaris. Sekretaris pertama menangani masalah sipil, sekretaris kedua masalah keuangan, dan sekretaris ketiga masalah hukum.

Sekretaris I bertugas dalam bidang pelayanan administrasi seperti kesehatan, pendidikan, pertanian, kehutanan, pemerintahan daerah, administrasi bumi putera, polisi, penjara polisi, penerbangan sipil dan perburuhan. Sekretaris II menangani auditing, pabean, irigasi, perkeretaapian dan lain-lain. Sedangkan Sekretaris III mengurus masalah legislasi, peradilan, pertanahan dan pencatatan tanah.[5] Ketiga sekretaris ini berperan seolah-olah menteri koordinator dalam sebuah kabinet yang dipimpin oleh Gubernur Jeneral. Kekuasaan penuh Gubernur-Jenerral adalah berdasarkan Perjanjian Kondominium (Condominium Agreement) 19 Januari 1899 yang memberi kuasa Inggerís untuk menunjuk seorang perwira Inggeris sebagai Gubernur-Jendral yang memegang kepemimpinan militer dan politik serta mengendalikan kekuasaan eksekutif dan legislatif.

Berdasarkan Pasal 5 Ordonansi Peradilan Sipil Tahun 1900 (The Civil Judiciary Ordinance of 1900), maka urutan Peradilan Sipil terdiri Pengadilan Komisioner (Courts of the Judicial Commissioner) sebagai Mahkamah Agung, Pengadilan Kelas I Magistrate, Pengadilan Kelas II Magistrate, dan Pengadilan Kelas III Magistrate.

Dengan kekuasaan yang diberikan oleh Gubernur-Jendral, Pengadilan Komisioner berwenang mengatur hukum acara peradilan, membentuk peradilan khusus, menggugat para pihak, menentukan biaya perkara, mengangkat pengacara, menetapkan saksi-saksi dan lain-lain.

Pada tahun 1906, Sir Auction Colvin, penguasa tertinggi Inggeris di Mesir, menjadikan Pengadilan Komissioner menjadi Departemen Para Hakim Sipil (the Departement of Civil Judges) sebagai pengadilan banding. Ketua Mahkamah Agung disebut Chief Judge (Ketua Hakim). Berdasarkan Ordonansi Tahun 1915, Mahkamah Agung (High Court) terdiri dari Pengadilan Banding (Court of Appeal) dan Pengadilan Tingkat Pertama (Court of the Original Jurdisdiction). Dengan demikian, Pengadilan Komisioner dan Pengadilan Kelas I, II, dan III Magistrate dinyatakan hapus. Ketua Mahkmah Agung (High Court) disebut Chief-Justice.

Pada masa kolonial, hakim yang diangkat Pemerintah pada umumnya adalah hakim darurat berasal dari profesi militer atau administrarif, dan sedikit sekali yang merupakan hakim profesional.

Sistem peninggalan Inggeris-Mesir berlanjut sampai ke masa kemerdekaan tahun 1956 dengan berbagai penyesuaian penting, antara lain melalui proses sudanisasi dan islamisasi di Sudan. Proses sudanisasi, intinya adalah mengganti aparat peradilan, terutama hakim, dengan tenaga-tenaga asli Sudan dan mengganti administrasi peradilan dengan yang lebih berciri Sudan serta menggunakan bahasa Arab. Sedangkan proses islamisasi adalah memperbaiki sistem dan perundang-undangan sehingga lebih sejalan dengan syari`at Islam.

Dalam Konstitusi Sementara Sudan yang diberlakukan oleh Majelis Komando Revolusi pada bulan Agustus 1973 dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah badan yang independen dan terpisah dari badan eksekutif dan legislatif. Lembaga peradilan berada di bawah kekuasaan Ketua Mahkamah Agung. Hal yang mirip juga dicantumkan dalam Konstitusi Transisi Sudan Tahun 1985, Konstitusi Sudan Tahun 1998, dan Konstitusi Sudan Tahun 2005.

Peradilan Sipil (Perdata), diatur dalam Ordonansi Peradilan Sipil, mempunyai satu Pengadilan Tinggi (High Court of Justice, Mahkamah Agung) dan beberapa Pengadilan Propinsi (Provincial Courts). Sedangkan Peradilan Pidana dengan KHUP dan KUHAPidana mempunyai beberapa Pengadilan Besar (Major Courts), Pengadilan Kecil (Minor Courts) dan Pengadilan Magistrate (Magistratrate’s Courts).

Sementara itu masalah hukum personal atau keluarga warga beragama Islam dilaksanakan oleh Mahâkim Syar’iyyah yang merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman di Sudan. Setelah UU Hukum Personal atau Keluarga Tahun 1991, Mahâkim Syar’iyyah (Mahkamah Syar’iyah) disebut sebagai Mahakim al-Ahwal ash-Shakhshiyyah (Pengadilan Hukum Personal atau Keluarga) karena kewenangannya yang menyangkut masalah personal atau keluarga. Pengadilan Hukum Personal atau Keluarga terdiri dari sebuah Mahkamah Banding (Court of Appeal), beberapa Pengadilan Tinggi (High Courts) dan Pengadilan Qadhi (Qâdhi Courts). Pengadilan ini berada di bawah seorang Qâdhî al-Qudhât (Grand Qâdhi).[6]

Selain itu, Sudan juga pernah mengenal jabatan Mufti yang merangkap sebagai hakim agung. Dalam keadaan Qadhi al-Qudhat berhalangan, maka Mufti menggantikan peranan Qadhi al-Qudhat. Tugasnya adalah menerbitkan fatwa (legal oponion) berdasarkan hukum Islam untuk kepentingan negara dan masyarakat.[7] Jabatan Mufti berlanjut sampai tahun 1991, ketika disahkan UU Hukum Pribadi atau Keluarga.[8] Fungsi Mufti kemudian digantikan oleh Lembaga Hukum Islam (Majma’ al-Fiqh al-Islami) yang dibentuk berdasarkan undang-undang.

Berdasarkan UU Pokok-Pokok Kahakiman (The Judiciary Act) 1986, UU Hukum Acara Perdata (The Civil Procedure Act) 1983, dan UU Hukum Acara Pidana (The Criminal Procedure Act) 1991, Ketua Mahkamah Agung Sudan mengepalai dua lembaga sekaligus, yaitu Mahkamah Agung/The Supreme Court, dan Majelis Tinggi Peradilan/The Supreme Council of Judiciary sebagai Komisi Yudisial. Ketua Mahkamah Agung sebagai puncak kekuasaan kehakiman dengan mengepalai peradilan, bidang administrasi dan bidang keuangan.[9]

Mahkamah Agung mempunyai 70 hakim agung. Majelis Hakim Agung bersidang dengan tiga hakim. Putusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Putusan yang sudah diambil tidak dapat direvisi, kecuali bila Ketua Mahkamah Agung melihat sesuatu menyangkut hukum syari`at sehingga dibentuk majelis baru beranggotakan 5 orang hakim agung yang meninjau kembali putusan yang sudah diambil.

Hakim Agung diangkat oleh Presiden berdasarkan usulan Majelis Tinggi Peradilan yang dipilih dari kalangan hakim tinggi dan profesi lainnya dengan kualifikasi serta syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Majelis Tinggi Peradilan yang diketahui KMA beranggotakan Wakil-Wakil KMA, 2 orang ketua pengadilan, Menteri Kehakiman dan Keuangan mewakili eksekutif, dan 2 orang pejabat tinggi yang menangangi fungsi keuangan dan peradilan. Sekretaris Majelis adalah salah seorang hakim agung. Majelis Tinggi Peradilan mempunyai empat devisi, yaitu kesekretariatan, inspeksi peradilan, statistik peradilan dan personalia.

Penerpan hukum Islam di luar hukum keluarga dimulai pada masa pemerintahan Presiden Numeiri yang mengumumkan ‘pemberlakuan hukum pidana Islam pada bulan September 1983 menyangkut hudûd.[10] Untuk itu Numeiri membentuk sebuah komite yang mempersiapkan UU Hukum Pidana 1983, UU Hukum Perdata, UU Hukum Personal atau Keluarga dan beberapa UU Hukum Acara.[11] B’’erbagai UU ini kemudian dinyatakan berlaku, merevisi berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelumnya.

Setelah diterapkan selama satu tahun atau lebih ternyata menimbulkan berbagai kritikan dari kalangan penantang dan pendukung pidana Islam. Kritikan tersebut pada dasarnya karena sifat ketergesa-gesaan pembuatan perundang-undangan, minimnya penelitian ilmiah yang memadai,[12] sumber daya yang terbatas dan lain-lain. Kritikan dari pihak penantang, terutama dari pihak Gereja di wilayah Selatan dan kekuatan Barat, dengan berbagai dalih, antara lain karena Sudan pada dasarnya adalah sebuah negara multi agama dan budaya, khususnya di wilayah Selatan yang lama bergolak sampai akhirnya dicapai perjanjian perdamaian.[13]

Fase kedua penerapan hukum Islam dalam bentuk yang lebih luas dilakukan pada tahun 1991 di bawah kepemimpinan Presiden ’Umar Basyir dengan merevisi beberapa pasal berbagai undang-undang yang diundangkan selama Presiden Numeiri. Penekanan pada fase revisi ini tidak hanya dalam bidang penengakan hukum, tetapi lebih-lebih lagi dalam bidang pendidikan dan ekonomi, dengan tujuan membentuk warga negara yang berkemampuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan ekonomi sehingga pada masa depan tidak ada alasan untuk menangguhkan pelaksanaan hukum pidana hudud.[14]

  1. Sekilas Hukum Diskriminatif

Diskriminasi terhadap perempuan dalam hal akses karir dan pengembangan sangat sering dan kerangka hukum saat ini tidak memadai memungkinkan perempuan membela kasus mereka di pengadilan. Menurut Undang-Undang Kebangsaan 1991 pemberian kewarganegaraan Sudan berdasarkan kondisi dinyatakan oleh Pasal No.4 (Seseorang dianggap sebagai Sudan dengan kelahiran berikut kondisi (a) jika ia memperoleh kewarganegaraan Sudan kelahiran (b) terlebih dahulu telah lahir di Sudan atau ayahnya lahir di Sudan harus pada saat berlakunya undang-undang ini seorang warga di Sudan dan dia atau keturunan orang tua nya adalah penduduk di Sudan sejak hari pertama Januari 1956.

Menurut hukum ini anak perempuan Sudan yang lahir dari ayah Non Sudan tidak memiliki hak untuk negara Sudan untuk anak-anaknya. Sesuai dengan paspor dan peraturan emigrasi dan aturan 1995, Hal ini dilarang untuk setiap wanita (selain anggota parlemen perempuan dan anggota tinggi peringkat pemerintah) bepergian ke luar negara tanpa persetujuan wali laki-lakinya (wali laki-laki bisa menjadi suami, ayah, saudara atau bahkan anaknya).

Aturan ini juga mempengaruhi perjalanan dalam negeri, sebagai persetujuan wali sering dianggap diperlukan bagi perempuan untuk bergerak dalam Sudan. Pasal 28 peraturan emigrasi menyatakan bahwa (persetujuan tertulis dari suami dalam kasus perjalanan seorang wanita yang sudah menikah untuk misi dan program studi resmi. Juga persetujuan wali diperlukan dalam kasus wanita yang belum menikah.

Pihak yang berwenang dapat memerlukan kehadiran suami atau wali, menurut kasus ini, secara pribadi setiap kali yang diperlukan. The Public Law Orders, bagi negara Khartoum 1996 membawa diskusi kontroversial dan dialog tentang artikel yang yang mengontrol kebebasan dan mobilitas perempuan. Setiap Negara memiliki nya hukum sendiri dan tidak ada perbedaan besar dalam isinya. Pasal (7) melarang tari campuran dan tidak mengizinkan wanita untuk menari di depan pria. Pasal (9) menentukan satu pintu dan 10 kursi untuk perempuan di angkutan umum. Pasal (16) menentukan usia perempuan mengelola rambut Mulailah toko dengan 35 tahun. Pasal (18) melarang pria untuk berlatih menjahit bekerja untuk wanita kecuali setelah mendapat persetujuan dari pemerintah setempat. Peraturan Pelayanan Publik, 1995, mengatur pegawai pemerintah, Pasal 1 didefinisikan keluarga sebagai (Istri pekerja (tidak melebihi empat) dan anak-anak tanggungannya. keluarga hanya mengakui ketika dipimpin oleh laki-laki. Pasal (43) dari peraturan yang sama, menyatakan: (berkomitmen bekerja seragam, apakah itu umum atau khusus satu, asalkan seragam tersebut cocok, sopan dan (sesuai dengan Syari’ah) Hukum Perburuhan 1997, berdasarkan Pasal 19 wanita tidak diizinkan untuk bekerja di shift malam dengan kecuali perempuan yang bekerja di administrasi, profesional dan teknis karya, dan artikel ini dirampas perempuan lain untuk berlatih pekerjaan selama periode malam bahkan jika mereka mampu run bekerja.

Undang-Undang Asuransi Sosial 1990 – definisi keluarga dalam bab hanya mengakui laki-laki sebagai kepala keluarga menyatakan Article: (keluarga pekerja berarti istri, laki-laki dan anak-anak perempuan orang tua, saudara-saudara). Pasal (57) dari tindakan asuransi, asuransi terhadap usia tua laki-laki diasuransikan pada 60 perempuan diasuransikan pada usia 55 tahun. Meskipun hukum Syari’ah hanya harus berlaku untuk warga Muslim, wanita milik agama keyakinan selain Islam harus mengadopsi kode pakaian Islam. Ini termasuk kebutuhan bagi perempuan untuk menutupi kepala mereka dengan jilbab dan penuntutan yang ditemukan pembuatan bir alkohol. Untuk banyak perempuan pengungsi berasal dari Sudan Selatan, bir alkohol dimaksud sebagai kejahatan dalam UU Pidana. Perempuan sering dihukum dan barang dagangannya bisnis mereka disita sebagai hasilnya, sehingga merampas satu-satunya sumber pendapatan. [15]

  1. Sifat dan Definisi Pernikahan:

Pasal 11 of kaum Muslim Personal Law 1991 Pernikahan didefinisikan sebagai “tak terbatas kontrak di titik waktu antara seorang pria dan seorang wanita yang memungkinkan kenikmatan bersama mereka dengan satu sama lain dalam sesuai dengan Syari’ah “. Definisi ini tampaknya tidak sesuai dengan tujuan dan tujuan perkawinan dalam Islam, juga bertentangan dengan semangat Syari’ah yang terlihat di pernikahan sebagai hubungan keramahan dan cinta yang membawa perdamaian dan sisanya untuk mitranya sebagaimana firman Allah swt:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Artinya: dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(QS. Arrum: 21).[16]

Dari pernyataan ayat dia atas ini menurut sebagian besar masyarakat Sudan mengatakan bahwa definisi pernikahan harus direvisi untuk mencerminkan inti dari Islam.

  1. Perkawinan campuran

Ketentuan hukum yang mengatur Sudan pernikahan dan perceraian tidak berlaku untuk non-Muslim: dalam perkawinan campuran, kontrak pernikahan disusun sesuai dengan undang-undang nasional masing-masing pasangan. Namun, efek dari sebuah pernikahan, seperti hak milik dan hak asuh anak, diatur oleh hukum negara suami, dengan demikian, perkawinan campuran di mana suami adalah warga negara Sudan akan diatur oleh undang-undang status pribadi Sudan. Dengan pengecualian dari hak warisan (lihat di bawah), istri asing akan memiliki hak perkawinan yang sama hukum sebagai wanita Sudan.

Menurut hukum Sudan, ada tiga kondisi untuk kontrak pernikahan sipil yang sah. Pertama, para pihak harus sama-sama sepakat untuk pernikahan dan kondisi. Kedua, pasangan harus memenuhi persyaratan yang tepat umur (usia minimum untuk pria adalah 18, 16 untuk wanita). Akhirnya, kontrak pernikahan harus diumumkan, notaris dan ditandatangani oleh dua saksi Muslim.[17]

Unofficial, pernikahan yang tidak terdaftar – yang dikenal sebagai orfy atau tradisional pernikahan – berlaku namun tidak menjamin hak-hak hukum istri. Sebagai contoh, dalam pernikahan adat orfy, seorang wanita tidak berhak atas tunjangan atau pensiun, tidak memiliki perlindungan hukum tanpa pengakuan resmi oleh suaminya, dan harus mengajukan petisi hukum untuk mendirikan ‘keturunan anak-anaknya.

Langkah pertama dalam proses perkawinan adalah pertunangan (khutbah), ketika permintaan pria untuk menikahi seorang wanita. Selama pertunangannya, pria dan wanita menegosiasikan isi kontrak pernikahan. Seorang wanita Sudan memiliki hak untuk menerima atau menolak tawaran pertunangan dan dia mungkin menegosiasikan kontrak pernikahan dirinya.

The Kawin Kontrak. Pernikahan selesai melalui penandatanganan kontrak sipil. Prosedur ini diresmikan oleh ma’azuun (pejabat agama yang biasanya ditunjuk oleh pemerintah), seorang kadi (hakim) atau proxy hukum dan disaksikan oleh dua laki-laki atau dua perempuan dan satu laki-laki. Seorang wanita dapat menunjuk wali untuk menandatangani kontrak atas namanya. Berbeda dengan gagasan Kristen, pernikahan Muslim tidak dianggap sebagai sakramen spiritual dan tidak ada upacara keagamaan diperlukan. Namun, pengumuman pernikahan kepada publik, dengan pesta pernikahan atau kontrak gathering, sangat penting.

Salinan kontrak pernikahan ditandatangani diberikan kepada pasangan dan satu lagi disimpan di kota atau kota arsip. Dalam suatu proses perkawinan campuran, melibatkan Sudan dan warga negara asing, duplikat juga diajukan di Kantor Sertifikasi Pernikahan Luar Negeri di Khartoum, bagian dari Kehakiman.

Hukum Sudan memungkinkan masuknya setiap ketentuan yang berlaku saling dalam kontrak. Jika pengantin latihan hak ini, hak nya dapat ditingkatkan secara signifikan. Kondisi berikut menggambarkan kemungkinan ketentuan:

Mahar (mahar), persyaratan kontrak pernikahan, adalah hak yang diberikan kepada pengantin wanita. Dinegosiasikan oleh para pihak sebelum finalisasi kontrak itu, tidak ada jumlah tertentu dalam hukum. Mungkin properti, uang, layanan atau penggunaan gratis milik pengantin pria untuk jangka waktu tertentu (S. 17).

Kontrak pernikahan dapat mencakup ketentuan untuk perceraian harus perkawinan dibubarkan. Salah satu kondisi tersebut mungkin mengizinkan istri untuk mengajukan perceraian. Hal ini tidak akan menghilangkan suami hak untuk penolakan sepihak tetapi akan membebaskan istri dari membuktikan kerusakan dalam rangka untuk bercerai.

Kontrak tersebut juga bisa melarang orang dari mengambil istri tambahan. Haruskah ia melanggar ketentuan ini, istri pertama akan memperoleh perceraian tanpa kewajiban untuk membuktikan kerusakan. Selain itu, hukum memungkinkan perempuan untuk mengajukan perceraian dalam waktu satu tahun belajar bahwa suaminya telah mengambil istri kedua jika dia dapat menunjukkan materi atau cedera moral.

Akhirnya, kontrak mungkin mengulangi hak istri untuk bekerja di luar rumah. Menurut hukum Sudan, perempuan memiliki hak untuk bekerja tanpa persetujuan suami, namun, disarankan untuk memasukkan ketentuan tersebut dalam dokumen. Pria telah berhasil menghindari pembayaran tunjangan dengan menyatakan bahwa istri bekerja tanpa memperoleh izin terlebih dahulu. Oleh karena itu, pengakuan khusus hak wanita untuk bekerja dapat menghilangkan masalah yang mungkin dalam hal perceraian.

Dimasukkannya ketentuan dalam kontrak pernikahan adalah praktek yang relatif baru di Sudan, meskipun hal itu dilakukan cukup sering di Arab Saudi dan sama sekali tidak melanggar hukum Islam.

Pembatasan sementara pada Pernikahan. Kesimpulan dari kontrak pernikahan adalah dikenakan pembatasan tertentu, diuraikan di bawah ini. Keterbatasan ini dibagi menjadi hambatan sementara dan permanen.

hubungan dan kondisi arious bertindak sebagai hambatan sementara untuk pernikahan. Sebagai contoh, tidak diperbolehkan untuk menikahi istri orang lain, dan pernikahan simultan untuk dua wanita yang kerabat dekat tidak diizinkan. (S. 19)

Seorang wanita sementara dilarang menikah ketika dia berada di iddat, masa tunggu setelah perceraian atau kematian suami. Iddat berlangsung empat bulan dan sepuluh hari untuk seorang janda dan sekitar tiga bulan untuk bercerai, setelah itu ia bisa menikah lagi. Periode iddat dirancang untuk memastikan bahwa seorang wanita tidak hamil dari pernikahan sebelumnya.

Bagi seorang pria Muslim, pernikahan diperbolehkan hanya dengan individu yang praktek salah satu “agama samawi” (Yahudi, Kristen atau Islam). Seorang wanita Muslim tidak dapat menikahi seorang non-Muslim kecuali dia menerima Islam. Karena ini adalah ayah yang menganugerahkan agama kepada anak-anak di bawah praktek Islam, ini berarti anak-anak akan secara otomatis menjadi Muslim. (S. 19-E)

Pembatasan permanen pada Pernikahan. Pernikahan secara permanen dilarang untuk individu berbagi darah tertentu dan ikatan perkawinan karena hubungan tersebut tidak dapat dihentikan. Mereka kerabat dilarang meliputi ascendants perempuan (yaitu ibu, nenek dll), keturunan (yaitu putri, cucu dll), dan kerabat agunan (yaitu saudara, setengah saudara dll) dan keturunan mereka.

Dalam hal kekerabatan karena perkawinan, seorang pria bisa tidak menikah ascendants istrinya perempuan, istri-istri ascendants sendiri, maupun istri dari anak-anaknya. Seorang wanita diperbolehkan untuk menikah tidak saudara mantan suami maupun dari ascendants laki-lakinya.

  1. Perwalian:

Pasal 33 undang-undang menyatakan keberadaan wali laki-laki sebagai salah satu persyaratan untuk keabsahan kontrak pernikahan, wali laki-laki memiliki hak untuk mengajukan petisi (permohonan resmi kepada pemerintah )[18] pengadilan untuk pembatalan pernikahan jika disimpulkan tanpa izin wali kecuali.

  1. Memeilih Suami

Untuk urusan calon suami bagi wanita yang akan menikah hal ini diserahkan kepada wali untuk memutuskan kesesuaian suami tertentu untuk wanita di bawah nya perwalian, (Pasal 22), dan (Pasal 20). melakukan bahwa ia (wali) harus mempertimbangkan karakter dan kesalehan suami

  1. Usia Minimum untuk Pernikahan:

Hukum Muslim Personal 1991 terbatas usia minimum untuk menikah dengan “usia kebijaksanaan ‘yang 10 tahun (Pasal 40-2), meskipun Sudan telah meratifikasi CRC (Hak Anak Konvensi) sejak tahun 1990 yang melarang pernikahan anak, hukum Sudan dalam hal ini kontras dengan sebagian besar undang-undang negara-negara tetangga ‘yang mulai minimal perempuan 14. tahun laki-alaki 18 tahun bukan 10 tahun.

Di beberapa Negara muslim tidak menerapkan intervensi administrasi dan pengadilan, dan mereka masih cenderung menganut hukum Islam tradisional. Mereka masih mengakui hak suami untuk menjatuhkan talak kepada istri. Diantara Negara-negara ini adalah Libanon, Mesir, Sudan, Jordania, Syiria, Maroko dan Irak. Di Negara-negara ini, bentuk ucapan talak dari suami harus benar-benar dimaksudkan untuk mengungkapkan kehendak suami untuk mentalak istrinya, tidak bersifat bahasa metafora, tidak karena ancaman ataupun adanya provokasi.[19]

Anak yang sah adalah anak yang lahir dalam perkawinan yang sah. Namun, dalam fiqh terdapat konsep tentang masa iddah, yatu masa menunggu setelah perceraian. Hal ini penting untuk mengetahui apakah istri ketika dicerai dan setelah cerai, dalam keadaan mengandung atau tidak. Jika setelah cerai, dalam masa iddah si istri mengandung, maka berarti anak tersebut masih anak dari suami yang telah menceraikannya.

Di beberapa Negara muslin, hukum keluarga mengatur tentang masa iddah, hak nafkah dan hak waris bagi istri serta status anak dalam masa ini. Di Mesir menetapkan masa iddah tidak lebih dari satu tahun, begitu juga di Sudan. Di India dan Pakistan juga diatur tentang hal tersebut, bahwa seorang anak yang dilahirkan dalam masa iddah, dan ibunya belum menikah dengan orang lain, anak tersebuat masih mendapatkan status anak sah dari perkawinan sebelumnya. [20]

Sementara itu dalam kaitannya dengan hukum waris, dikenal adanya pewarisan secara intestate dan pewarisan secara testament. Yang pertama, pewarisan karena golongan darah, hubungan perkawinan dan kekerabatan; sedangkan yang kedua, pewarisan karena adanya wasiat. Diantara Negara-negara muslim hanya ada beberapa Negara yang membuat undang-undang tentang hukum warisnya secara komprehensif, yaitu di Mesir, Syiria, Tunisia, dan Maroko. Adapun Negara Sudan, Irak dan Pakistan melakukan pembaharuan hukum waris dari konsep hukum waris Islam klasik.

  1. Saksi Pernikahan

Pasal 26 dari UU tersebut menyatakan bahwa dua saksi diperlukan untuk keabsahan pernikahan, para saksi harus berupa dua orang saksi laki-laki atau satu saksi laki-laki dan dua saksi perempuan, itu berarti satu saksi perempuan masih kompeten menyaksikan pernikahan.

  1. Poligami

Muslim Personal Law 1991 terus diam tentang poligami, terlepas dari perdebatan tentang isu poligami di antara kalangan yang berbeda di Sudan, namun Pasal 51 menyatakan bahwa istri memiliki hak perlakuan yang sama dalam pernikahan poligami, Pasal 79 menyatakan bahwa suami harus menyediakan perumahan yang terpisah untuk masing-masing istrinya kecuali mereka menerima perumahan bersama. Namun hukum tidak membatasi perkawinan poligami kecuali penetapan perlakuan yang adil bagi istri yang berbeda yang tampaknya menjadi lebih etis daripada kewajiban hukum.

Dalam hal ini hukum reformasi diperlukan untuk menyatakan kondisi tertentu untuk keabsahan pernikahan poligami misalnya seharusnya Ada k dengan pemberitahuan dan persetujuan dari istri / istri-istri lain, hak untuk perceraian harus diberikan keabsahan hukum kepada istri dalam kasus ketidaksetujuanya, akhirnya, kaum Muslim Personal Law 1991 yang tergolong dari berbagai etnis terutama berasal dari berbagai interpretasi dari sekolah-sekolah Islam untuk Holy Quraan dan Sunnah, provisi diambil dari bersatu hukum pribadi untuk Negara Arab (draft yang disiapkan oleh Liga Arab), peradilan Sudan preseden dan surat edaran, kebiasaan dan tradisi sosial masyarakat Sudan, tercerahkan Islam (ijtihad) sama sekali tidak ada (seperti yang tercantum oleh legislator) serta pemikiran Islam modern, legislator Sudan telah memilih untuk mengabaikan interpretasi fleksibel Syari’ah dan mengadopsi ketat satu, ini membuat panggilan untuk reformasi hukum sangat penting dalam rangka memetakan jalan ke Personal Muslim  Hukum yang sesuai dengan hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia.

Undang-undang hukum Islam di Sudan , selain mencakup wilayah perdata dan pidana, tidak terikat pada suatu mazhab saja, dengan pertimbangan, bahwa sebuah mazhab saja bagaimanapun luasnya tidak akan mampu memenuhi tuntunan zaman yang terus berkembang. Padahal kondisi objektif msyarakat Sudan terdiri dari beragam etnis yang tentunya berimplikasi pada kebudayaan dan kebiasaan yang berlaku dimasing-masing etnis. Dengan kata lain, undang-undang Hukum Islam di Sudan menghindari panatisme terhadap mazhab tertentu dan tetap diarahkan pada koridor Al-Ushul Al- Fiqhiyah Al-Asasiah (Al-Qur’an, Sunnah, Dan Fiqih ulama Salaf secara lebih terperinci penerapan undang-undang Hukum Islam Sudan.

  1. Hukum Zina

Undang-undang hukum pidana Islam Sudan berdasarkan al-Ijtihad al-Fiqh, menetapkan jarimah al-Zinah bagi seorang perawan, dengan pencara selama satu tahun sedangkan bagi al-untsa. Dicambuk sebanyak seratus kali tanpa ada pengasingan baginya dan bagi pezina non muslim hukumnya diserahkan kepada ketentuan agamanya.

  1. Hukum Pencurian

Pada jarimah al-saroqah terdapat perluasan depenisi pencurian dengan penghilangan syarat al-khufiah, al-satr dan al-khirjh, mazhab al-Zahiri, sedangkan dalam nisab pencurian mengikuti pendapat jumhur yang membatasi dengan seperempat dinar emas dan tiga dirham perak, begitu juga mereka memperluas al-Subuhat yang dapat menolak hukuman pencurian, seperti tidak adanya had pada kasus pencurian oleh suami istri atau saudara kandung.

  1. Hukum Qhisash

Dalam jaraim al-qishah diterangkan menegenai ragam pembunuhan seperti pembunuhan sengaja, semi sengaja, dan tidak sengaja begitu juga diterangkan unsur dan hukum Jarimah al-katl al-‘amd  tanpa terikat pada suatu mazhab tertentu. Misalnya dam (jiwa), al-Maktl disamakan dengan darhnya al-qatl dalam berbagai hal. Tidak ada perbedaan antara darahnya muslim dengan non muslim, antara yang kaya dengan yang miskin antara pria dengan wanita. Maka apabila seorang muslim membunuh non muslim tetap dikenakan hukuman qisash (serupa) kecuali di maafkan oleh keluarga al-maqtl mazhab Hanafi.

  1. Mazhab yang diberlakukan di Sudan

Sumber hukum adalah hukum Islam, konsensus penduduk, konstitusional, dan adat.   Dalam hukum keluarga, surat edaran peradilan (manshurat) yang dikeluarkan oleh Qadhi al-Quda (pertama kali diterbitkan pada tahun 1916) disajikan untuk melembagakan reformasi atau menginstruksikan penerapan interpretasi tertentu kodifikasi prinsip-prinsip syariah dan interpretasi dari beberapa manshurat dan menghapuskan yang lain.

Pasal 5 Kode menunjukkan fiqh Hanafi sebagai sumber hukum, Mahkamah Agung (syariat Circuit) punya wewenang untuk mengeluarkan interpretasi dari Kode Sumber hukum adalah hukum Islam, dalam hukum keluarga, surat edaran peradilan (manshurat) yang dikeluarkan oleh Qadhi al-Quda (pertama kali diterbitkan pada tahun 1916) disajikan untuk melembagakan reformasi atau menginstruksikan penerapan interpretasi tertentu.

Kode Family lulus pada tahun 1991, prinsip-prinsip syariah dikodifikasikan dan interpretasi dari beberapa manshurat dan dihapuskan lain. Bagian 5 dari Kode menunjukkan fiqh Hanafi sebagai sumber hukum; Mahkamah Agung (syariat Circuit) dipegang dengan kekuasaan untuk mengeluarkan interpretasi dari Code.

Konstitusi mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1998, setelah disetujui dalam referendum bulan sebelumnya; Art. 1 menyatakan bahwa Islam adalah agama mayoritas penduduk, tetapi tidak menyatakan untuk menjadi agama bagi negara; Art. 65 mengidentifikasi sumber-sumber hukum sebagai syariah, konsensus rakyat, konstitusi, dan adat.

Penutup

Pada konstitusi Sudan disebutkan bahwa syari`at Islam adalah sumber utama legislasi dan karena itu negara ini berusaha merevisi peraturan perundang-undangannya yang tidak sesesuai dengan syari`at. syari`at Islam Sudan diterapkan melalui Peradilan Hukum Keluarga Mazhab yang di sahkan di Sudan adalah Mazhab Hanafi sebagaimana disebutkan Pasal 5 Kode menunjukkan  fiqh Hanafi sebagai sumber hukum, Mahkamah Agung (syariat Circuit) punya wewenang untuk mengeluarkan interpretasi dari Kode Sumber hukum adalah hukum Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Agama RI, (2012), Al-qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT Sinergi Pustaka Indonesia

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (2005), Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Baalai Pustaka

Hassab el-Rasoul Ahmed Muhammad Khair, “Current Development of Shariah Law in Sudan” dalam Najm, Muhammad Amin M.M.A. Najim, al-Qadhâ’ wa Syurûth al-Qadhâ’ wa Atsaru Tathbîqihi fi al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Sa‘udiyyah, tanpa tahun dan tanpa penebit

http://www.sudanjudiciary.org/judiciariye3n/16.htm. Di aksese melalui internet pada tanggal 19-12-13 jam 11: 18

Inamullah (Editor in Chief), Muslim World Gazetter (Karachi: Umma Khan Publication, 1975 Edition)

Ka’bah Rifyal, (1984),  “Penerapan Syari’at Islam di Sudan”, dalam majalah Panji Masyarakat No. 414 Tahun 1983, h. 46-47; “Dr. at-Turabi dan Hukum Islam di Sudan” dalam majalah Panji Masyarakat No. 420, Tahun 1984, h. 42-45; “Mengapa Langkah Sudan Tidak Diikuti di Mesir” dalam majalah Panji Masyarakat No. 463

 

Khifa Hamid Mohammed, (2007), Sudan & Pakistan Judicial System (Khartoum: n.p

 

Laporan hasil konsultasi luas antara LSM, aktivis hak-hak perempuan dan spesialis yang diselenggarakan dari September 2008-todate di Salmmah Wanita Resource Centre / Khartoum. Di aksese melalui internet pada tanggal 19-12-13 jam 10: 15

 

luehr-Lobban Carolyn, (1995),  “Sudan” dalam John L. Esposity (Editor in Chief), The Oxford Encyclopeida of the Modern Islamic World, Vol. 4 (Oxford, New York: Oxford University Press

 

Mohamed Ibrahim Mohamed, (2008), History of Sudan Judiciary Between Two Eras 1899-2006 (Khartoum: The National Judiciary, the Republic of Sudan,

 

 

[1]Kementerian Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 76

[2] Mohammed Khifa Hamid, Sudan & Pakistan Judicial System (Khartoum: n.p., 2007), h.27-30,

[3] Ibid., h. 29-39.

[4] Mohamed Ibrahim Mohamed, History of Sudan Judiciary Between Two Eras 1899-2006 (Khartoum: The National Judiciary, the Republic of Sudan, 2008), h. 39.

[5] Ibid, h. 15.

[6] Inamullah Khan (Editor in Chief), Muslim World Gazetter (Karachi: Umma Publication, 1975 Edition), h. 759.

[7] Mohamed Ibrahim Mohmamed, Op.Cit., h. 49.

[8] Ibid., h. 48.

[9] http://www.sudanjudiciary.org/judiciariye3n/16.htm. Di akses melalui internet pada tanggal 25-8-13 jam 11: 18

[10] Rifyal Ka’bah, “Penerapan Syari’at Islam di Sudan”, dalam majalah Panji Masyarakat No. 414 Tahun 1983, h. 46-47; “Dr. at-Turabi dan Hukum Islam di Sudan” dalam majalah Panji Masyarakat No. 420, Tahun 1984, h. 42-45; “Mengapa Langkah Sudan Tidak Diikuti di Mesir” dalam majalah Panji Masyarakat No. 463 Tahun 1984, h. 53-54.

[11] Muhammad Khair Hassab el-Rasoul Ahmed, “Current Development of Shariah Law in Sudan” dalam Najm, Muhammad Amin M.M.A. Najim, al-Qadhâ’ wa Syurûth al-Qadhâ’ wa Atsaru Tathbîqihi fi al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Sa‘udiyyah, tanpa tahun dan tanpa penebit, h. 11.

[12] Ibid., h. 45-46.

[13] Carolyn Fluehr-Lobban, “Sudan” dalam John L. Esposity (Editor in Chief), The Oxford Encyclopeida of the Modern Islamic World, Vol. 4 (Oxford, New York: Oxford University Press, 1995), h. 101.

[14] Muhammad Khair Hassab el-Rasoul Ahmed, Op.Cit h. 47.

[15] Laporan ini adalah hasil konsultasi luas antara LSM, aktivis hak-hak perempuan dan spesialis yang diselenggarakan dari September 2008-todate di Salmmah Wanita Resource Centre / Khartoum. Di aksese melalui internet pada tanggal 25-8-13 jam 10: 15

[16] Kementerian Agama RI, Op.Cit.h. 572

[17] Pasal 26, Muslim Personal Matters Act, 1991

[18] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Baalai Pustaka, 2005), h.  869

[19] http://sriwahyuni-suka.blogspot.com/2012/10/artikel-jurnal_3775.html

[20] Ibid

0 0 votes
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 46 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Memaknai Kesaktian Pancasila dari Meja Akad Nikah: Refleksi Seorang Penghulu

1 Oktober 2025 - 12:24 WIB

Konsepsi Mazhab dalam Islam: Definisi, Teori, Dalil, Pandangan Ahli, dan Relevansi Kontemporer

1 Oktober 2025 - 11:37 WIB

Revolusi Administrasi di Kementerian Agama: Mengupas Tuntas KMA No. 9 Tahun 2016

30 September 2025 - 15:15 WIB

Peran Pencatatan Perkawinan dalam Perspektif Islam sebagai Fondasi Legalitas dan Solusi Masalah Kependudukan: Sebuah Kajian Transdisipliner

27 September 2025 - 16:17 WIB

Perbandingan Mazhab dalam Fiqh: Analisis Epistemologis dan Relevansi Kontemporer

26 September 2025 - 15:58 WIB

Sentuhan hati ……,pelayanan ASN KUA Wonosari Kab. Klaten, untuk mewujudkan harapan warga.

24 September 2025 - 14:43 WIB

Trending di Artikel
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x