Keluarga sebagai unit kecil yang berperan sebagai lingkungan pertama dalam membentuk individu menjadi sangat penting keberadaannya. Layaknya ungkapan dari sebuah lagu yang menyatakan bahwa keluarga adalah harta paling berharga bukanlah sebuah ungkapan tanpa tendensi. Lirik tersebut seolah-olah ingin mengungkapkan bahwa antara emas dan keluarga, maka keluarga adalah lebih berharga dari emas. Karena itu sangat logis jika keluarga sebagai pilar paling penting juga turut memberikan implikasi pada pembentukan karakter seorang individu.
Perkawinan sebagai pintu masuk dalam proses pembentukan keluarga menjadi hal krusial yang harus diperhatikan. Tidak hanya menjadi bukti keabsahan secara formil dan materil dalam aspek hukum semata, tetapi dalam konteks sosio-kultural, perkawinan menjadi simbol status quo bahwa individu tersebut secara lantang ingin mengatakan “saya siap menjalankan peran berdasarkan struktur dan relasi dalam sistem perkawinan yang sudah diikrarkan saat janji suci tersebut terucap”.
Kesiapan dalam menjalankan kehidupan perkawinan menjadi dimensi penting yang harus dipersiapkan. Terutama di tengah banyaknya godaan karena “modernisme” yang kini kian menjamur melalui lajur media sosial, menjadikan kesiapan perkawinan sebagai tonggak utama yang harus dipersiapkan agar dapat tegak dan tetap kokoh jika berhadapan dengan godaan tersebut. Tingginya angka perceraian selama 1 dekade terakhir menjadi bukti bahwa upaya dalam membentuk kehidupan perkawinan yag didambakan banyak orang berupa Sakinah mawaddah wa rohmah tidaklah semudah membalik telapak tangan.
Upaya pembentukan keluarga Sakinah mawaddah wa rohmah selama ini telah dijalankan secara massif dan serius oleh pemerintah. Kementerian Agama melalui layanan bimbingan perkawinan yang dijalankan oleh setiap KUA di seluruh Indonesia senantiasa berupaya untuk memberikan bekal yang dapat dijadikan pegangan oleh para pengantin, terutama di era society 5.0 yang memberikan kemudahan bagi setiap individu untuk dapat mengkases setiap dimensi kehidupan baik privat ataupun publik. Kemudahan tersebut memang dapat menjadi berkah bagi stakeholder seperti KUA dalam menjalankan program bimbingan perkawinannya, tetapi hal tersebut juga menjadi tantangan tersendiri, karena dibalik kemudahan tersebut terdapat jalan terjal yang harus dilalui. Mengingat tingginya angka perceraian di Indonesia, yang juga secara logis dapat disimplifikasi sebagai akibat dari kurang efektifnya bimbingan perkawinan. Jalan terjal dalam pembentukan keluarga Sakinah di era society 5.0 setidaknya disebabkan oleh 3 hal yang perlu diperhatikan yaitu:
Masiffnya Konten Negatif Tentang Kehidupan Perkawinan
Mudahnya seseorang untuk berselancar dalam dunia maya memberikan dampak positif tersendiri dalam pola komunikasi sosial sehari-hari yakni menjadikan komunikasi menjadi semakin mudah. Selain itu, media sosial juga mejadi salah satu isntrumen yang dapat dijadikan untuk memperluas wawasan. Akan tetapi, kemudahan tersebut juga menimbulkan resiko yang cukup riskan bagi pengguna yang masih tidak mengetahui akan etika bermedia sosial dan tidak mengerti cara untuk memilah informasi yang benar. Tidak dapat dipungkiri karena hal demikian, media sosial juga menjadi salah satu instrumen yang sering digunakan sebagai instrumen brain wash yang ditujukan untuk meracuni pikiran setiap orang.
Salah satunya dapat dilihat dari banyaknya konten negatif terkait kehidupan perkawinan kini lebih mudah untuk tersebar luaskan. Mulai dari kasus perzinaan, perselingkuhan dan masifnya konten feminisme ekstrimis yang kemudian dijadikan standar baku oleh beberapa orang, menjadikan kehidupan perkawinan yang mulanya didaku sebagai kehidupan privat dan berorientasi kepada ibadah, kini menjadi sebuah bahan yang digunakan sebagai ajang perlombaan. Bahkan lebih-lebih konten demikian dijadikan sebagai instrumen patronase untuk membandingkan standar tersebut dengan kehidupan perkawinannya. Sehingga, tidak sedikit orang yang termakan oleh konten-konten tersebut menuntut lebih dari kemampuan pasangannya. Pada akhirnya, keserakahan tersebut berimplikasi pada goyahnya pondasi kehidupan perkawinan dan hanya meninggalkan kehancuran semata. Naudzubillah.
Interaksi Bebas Tanpa Batasan
Pola komunikasi bebas aktif yang ada di media sosial membuat setiap orang dapat berinteraksi baik secara privat atau publik tanpa mengenal batasan mahram dan ajnabi. Hal demikian menjadi problem tersendiri, mengingat dalam konteks Islam, interaksi setiap orang yang bukan mahram memiliki ruang dimensi yang dibatasi. Bukan karena Islam anti interaksi, tetapi hal demikian dimaksudkan agar setiap orang dapat menjaga marwah dirinya dari godaan dan fitnah.
Godaan interaksi secara privat melalui media sosial adalah lebih kuat jika dibandingkan dengan godaan interaksi secara real life. Bagaimana tidak ? seseorang dapat berinteraksi layaknya di real life tanpa harus bertemu tetapi seperti seolah-olah sedang bertemu, karena media sosial menyediakan berbagai fitur yang memungkinkan seseorang dapat bertukar gambar dan suara secara real time serta hal tersebut tidak dapat dilihat orang lain. Hal demikian secara potensial dapat memicu seseorang untuk dapat berinteraksi dengan lawan jenisnya dengan cara yang tidak halal. Terutama bagi pasutri, hal demikian dapat menjadi celah yang dapat mempengaruhi kehidupan perkawinannya.
Perubahan Makna Perkawinan secara Radikal
Benar kiranya bahwa zaman telah berubah, sehingga tidak heran jika nilai-nilai dalam kehidupan perkawinan lambat laun juga mengalami perubahan atau pergeseran makna. Seperti diungkapkan oleh Sofi Indriyanti, dkk. (2024) bahwa makna perkawinan dahulu hanya bertendensi pada sakralitas dan kewajiban beragama semata, tetapi makna itu kini berubah menjadi lebih berorientasi pada praktik sosial dan ekonomis. Re-orientasi makna perkawinan tidak terjadi begitu saja. Era society 5.0 yang memberikan kemudahan bagi seseorang untuk mengakses informasi, kemudian dijadikan sebagai landasan untuk mere-interpretasi makna perkawinan yang dahulu dimaknai sebagai ikatan suci, kini hanya sebatas ikatan untuk tukar komiditas ekonomi belaka. Tidak heran jika dilihat dari data statistik yang dikeluarkan oleh BPS pada tahun 2024, alasan yang menempati peringkat dua dalam kasus perceraian adalah karena masalah ekonomi.
Tiga hal di atas setidaknya secara subjektif penulis jabarkan sebagai bahan pertimbangan bagi kita semua agar terlibat aktif dalam membantu proses pembentukan keluarga Sakinah di tengah terjalnya jalan menuju kesana. Terutama bagi stakeholders seperti Penghulu yang bertugas di KUA masing-masing dalam prosesi Bimbingan Perkawinan. Ketiga hal tersebut sudah seharusnya mejadi landasan bagi setiap fasilitator bimwin untuk dapat memberikan pencerahan atas tiga faktor tersebut yang dapat mempengaruhi pembentukan keluarga Sakinah dalam kehidupan perkawinan calon pengantin, sehingga setiap calon pengantin dapat melakukan langkah preventif agar terhindar dari tiga faktor yang dapat menggagalkan pembentukan keluarga sakinah.
Di tengah tantangan tersebut, KUA secara ideal harus hadir di tengah-tengah peradaban sebagai representasi dari nilai sholih li kulli makan wa zaman. Bukan hanya sekedar hadir tetapi juga berdampak, sehingga KUA tidak menjadi instansi yang wujuduhu ka adamihi. Dan untuk hadir dan berdampak, tentu KUA tidak boleh jumud dalam melihat permasalahan demikian. Diperlukan upgrading manajemen agar layanan bimbingan perkawinan tidak hanya menjadi sekedar program formalitas, tetapi juga menjadi layanan yang menjadi garda terdepan untuk membekali calon pengantin menghadapi tantangan pembentukan keluarga Sakinah.