Pagi itu ruang pelayanan KUA masih lengang. Kopi hitam saya belum sempat dingin ketika sepasang muda-mudi masuk dengan langkah ragu. Dari cara mereka berpakaian, jelas keduanya masih mahasiswa. Si laki-laki membawa map plastik biru, sedangkan si perempuan lebih banyak menunduk.
“Assalamu’alaikum, Pak Penghulu. Kami mau mendaftarkan pernikahan,” ucap si laki-laki, agak terbata.
Saya persilakan duduk, lalu menanyakan berkas-berkas yang harus dilampirkan. Semuanya tampak lengkap, kecuali satu hal yang akhirnya membuka cerita panjang: mahar.
“Pak, kami agak bingung soal mahar,” kata si calon istri, suaranya pelan tapi tegas. “Saya tidak ingin memberatkan calon suami. Tapi keluarga besar meminta ada mas kawin berupa emas dua suku, padahal keadaan kami masih sederhana.”
Calon suami menimpali dengan wajah cemas. “Saya sebenarnya mampu membeli cincin sederhana, tapi kalau harus emas dua suku, saya belum siap. Saya takut kalau memaksakan diri, justru rumah tangga kami nanti dimulai dengan hutang.”
Saya tersenyum, karena kasus semacam ini bukan yang pertama. Di balik meja penghulu, sering kali saya menemukan dilema sederhana yang ternyata bisa jadi batu sandungan besar.
Saya jelaskan pelan-pelan, bahwa mahar dalam Islam sejatinya bukanlah beban. Allah berfirman dalam QS. An-Nisa’ ayat 4: “Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” Yang ditekankan adalah kerelaan, bukan kemewahan. Rasulullah ﷺ bahkan pernah menikahkan seorang sahabat hanya dengan mahar hafalan ayat-ayat Al-Qur’an.
Calon istri itu menatap saya, lalu menoleh ke calon suami. “Kalau begitu, saya lebih rela dengan cincin sederhana. Yang penting sah dan halal.”
Saya lihat wajah calon suami langsung berbinar, seolah lepas dari beban. Mereka berdua tersenyum untuk pertama kalinya sejak masuk ke ruangan itu. Saya pun ikut merasa lega, karena barangkali inilah satu langkah kecil untuk menyelamatkan masa depan rumah tangga mereka.
Catatan Munakahat
Dalam hukum munakahat, mahar adalah hak istri yang wajib diberikan oleh suami, tetapi bentuk dan jumlahnya tidak ditentukan secara kaku. Prinsip utamanya adalah kerelaan kedua belah pihak, sesuai kemampuan suami, tanpa memberatkan. Ulama menegaskan bahwa mempersulit mahar justru bertentangan dengan tujuan pernikahan, yaitu menghadirkan kemudahan dan keberkahan.