Menu

Mode Gelap

Karya Ilmiah · 25 Agu 2025 08:45 WIB ·

Nabi Yusuf Menikah dengan Zulaikha, Benarkah? (Analisis terhadap Do’a untuk Pengantin setelah Akad Nikah)

Penulis: Khaerul Umam


 Nabi Yusuf Menikah dengan Zulaikha, Benarkah? (Analisis terhadap Do’a untuk Pengantin setelah Akad Nikah) Perbesar

Oleh : Khaerul Umam, S.Ag*)

 

A. PENDAHULUAN

       Prosesi akad nikah adalah sebuah peristiwa penting yang dilalui oleh setiap Muslim dalam hidupnya. Ia adalah pintu gerbang utama untuk masuk ke dalam sebuah kehidupan baru yang disebut dengan rumah tangga. Setelah akad nikah selesai, banyak doa dipanjatkan oleh para tokoh agama untuk kebaikan kedua pengantin yang baru sah sebagai suami isteri. Mendoakan kedua mempelai seusai ijab qabul pernikahan adalah hal penting yang mesti dilakukan demi mengantar dan membekali keduanya dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Namun ada satu doa yang diajarkan oleh Rasulullah kepada kita saat mendoakan sepasang pengantin yang baru saja menjalani proses akad nikah. Doa tersebut memohonkan keberkahan bagi kedua mempelai baik di kala keduanya dalam keadaan suka maupun ketika keduanya menghadapi suatu permasalahan yang tidak menggembirakan. Redaksi doa tersebut sebagai berikut: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ Artinya: “Semoga Allah memberkahimu dalam suka dan duka dan semoga Allah mengumpulkan kalian berdua di dalam kebaikan”.

       Selain doa yang diajarkan oleh Rasulullah di atas kita juga bisa menambahi berbagai macam doa untuk kebaikan bersama khususnya bagi kedua mempelai. Di antara doa-doa yang sering kita dengar dan dipanjatkan oleh para tokoh agama saat menghadiri acara ijab qabul pernikahan adalah sebagai berikut:

 اَللّٰهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ اٰدَمَ وَحَوَّاءَ وَأَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَسَارَةَ وَأَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا أَلَّفْتَ سَيِّدَنَا يُوْسُفَ وَزُلَيْخَاءَ وَأَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَيِّدَتِنَا خَدِيْجَةَ الْكُبْرَى وَأَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا أَلَّفْتَ بَيْنَ سَيِّدِنَا عَلِيِّ وَسَيِّدَتِنَا فَاطِمَةَ الزَّهْرَاءَ

      Artinya: “Ya Allah, rukunkan keduanya sebagaimana Engkau rukunkan Nabi Adama dan Hawa, rukunkan keduanya sebagaimana Engkau rukunkan Nabi Ibrahim dan Sarah, rukunkan keduanya sebagaimana Engkau rukunkan Nabi Yusuf dan Zulaikha, rukunkan keduanya sebagaimana Engkau rukunkan Baginda Nabi Muhammad SAW dan Khadijah Al-Kubra, dan rukunkan keduanya sebagaimana Engkau rukunkan Ali dan Fathimah Az-Zahra.”

       Dari redaksi do’a di atas, terdapat kalimat; “rukunkan keduanya sebagaimana Engkau rukunkan Nabi Yusuf dan Zulaikha (وَأَلِّفْ بَيْنَهُمَا كَمَا أَلَّفْتَ سَيِّدَنَا يُوْسُفَ وَزُلَيْخَاءَ), dan kalimat ini pernah ditanyakan oleh seorang tokoh agama kepada penulis ketika menghadiri pelaksanaan akad nikah, benarkah nabi Yusuf ‘Alaihissalam menikah dengan Zulaikha? Adakah ayat Al-Qur’an dan hadits sahih yang dijadikan rujukan bahwa mereka adalah pasangan suami istri?  Sebuah pertanyaan menggelitik dan menarik untuk ditelusuri kebenarannya, yang akhirnya penulis mencoba membahasnya dalam tulisan kali ini.

B. PEMBAHASAN

  1. Benarkah Nabi Yusuf Menikahi Zulaikha?

      Kisah dan sejarah merupakan satu unsur penting yang terdapat dalam al-Qur’an. Darinya, Allah SWT memberikan kepada umat Islam berbagai pelajaran penting yang dapat diambil hikmahnya. Berbicara tentang kisah, tentu tak lepas dari tokoh-tokoh yang menjadi penggerak cerita tersebut. Di antara banyak tokoh yang diceritakan dalam al-Qur’an, mulai dari para rasul yang shalih sampai seorang kafir yang sombong, ada salah satu tokoh yang cukup menggelitik, yaitu wanita yang menggoda Nabi Yusuf ‘alaihis-salam untuk berzina. al-Qur’an menyebutnya dengan istilah ‘istri Al-Aziz’, sedangkan masyarakat luas mengenalnya dengan sebutan Zulaikha. Entah sejak kapan asal muasalnya, istri Al Aziz ini sering disebut-sebut umat Islam, baik dalam doa-doa, maupun gubahan syair dan puisi. Dalam salah satu doa pernikahan misalnya, namanya dipasangkan dengan Nabi Yusuf; “Ya Allah, satukan mereka berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dengan cinta-Mu, sebagaimana Engkau satukan antara Nabi Adam dan Hawa. Satukanlah keduanya sebagaimana Engkau satukan Nabi Yusuf dan Zulaikha, Nabi Muhammad Saw dan Khadijah al-Kubra. Baikkanlah penyatuan keduanya di dunia dan akhirat, berikanlah rahmat dan ‘penyejuk mata’ kepada keduanya. Jadikanlah keduanya hamba-Mu yang bermanfaat terhadap agama-Mu dan kemaslahatan orang-orang yang beriman, berkat rahmat-Mu, wahai Tuhan Yang Maha Penyayang.”

       Fokus renungan kita pada Nabi Yusuf ‘alaihis-salam dan Zulaikha karena kisah mereka paling menarik perhatian banyak orang. Mungkin terinspirasi oleh doa itu dan kisah yang sering diceritakan oleh para “kiai”, dibuatlah film dengan versi yang di dalam­nya terda­pat tokoh Nabi Yusuf ‘alaihis-salam dan Zulaikha se­bagai pasangan suami istri. Namun, film versi ini tampak tidak jadi tayang. Pernah ada film yang berisi kisah Nabi Yusuf ‘alaihis-salam yang ditayangkan pada Ramadan tiap menjelang berbuka puasa di Tv-Mu dengan versi di dalamnya tidak ada adegan yang dapat ditafsirkan bahwa Nabi Yusuf ‘alaihis-salam menikah dengan Zulaikha.

         Sebenarnya bila ditinjau dari segi nama, kata ‘Zulaikha’ sendiri belum jelas asal usulnya. Al- Qur’an hanya menyebutnya sebagai ‘istri Al Aziz’, seperti yang termaktub dalam al-Qur’an Surah Yusuf ayat 30, “Dan wanita-wanita di kota berkata, ‘Istri Al-Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata.’”

            Masih terkait penamaan, adalah menarik bila kita simak catatan kaki Surah Yusuf ayat 21 dalam al-Qur’an dan Terjemahannya terbitan Departemen Agama RI. Di situ tertulis, “Orang dari Mesir yang membeli Yusuf itu seorang pembesar Mesir Al-Aziz, biasa disebut dengan nama Qiftir. Dalam sebuah kitab tafsir disebutkan nama istrinya Ra’il, dan ada juga yang menyebut Zulaikha atau Zalikha. Namun riwayat yang menyebutkan nama-nama tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.”

             Dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-Hakim atau lebih masyhur dengan nama Tafsir al-Manar, Muhammad Rasyid Ridha menjelaskan bahwa al-Qur’an tidak menyebutkan sama sekali nama istri Al- Aziz bahkan nama Al-Aziz itu sendiri. Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitabnya Qishash Al Anbiya’ juga menyebut nama Zulaikha, namun beliau menggunakan istilah ‘qilla’, konon. Kisah Nabi Yusuf ‘alaihis-salam dengan Zulaikha kemudian timbul di kalangan mufassirin. Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir al Qur’an yang ditunjuk oleh Departemen Agama Republik Indonesia (DEPAG-RI) dalam al Qur’an dan Terjemahnya, memberikan penafsiran ayat tersebut. Ketika terjemah ayat tersebut menuturkan: “Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada istrinya”, dalam footnote (no. 748), Tim menulis: “Orang Mesir yang membeli Yusuf AS. itu seorang Raja Mesir bernama Qithfir dan nama isterinya Zulaikha.” Tidak sampai di situ, lebih jauh lagi nama Zulaikha tersebut langsung dicantumkan di dalam terjemah ayatnya. Hal ini dapat kita lihat pada terjemah Surat Yusuf ayat 23: “Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya…”. Begitu pula dalam footnote (no. 750) yang menafsiri ayat tersebut. “Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa Nabi Yusuf AS. punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu Zulaikha….”. Demikian nama Zulaikha disinggung sebanyak tiga kali dalam al-Qur’an dan Terjemahnya yang dicetak dan disebarluaskan oleh DEPAG-RI. Usaha penerjemahan itu dilangsungkan selama delapan tahun oleh tim khusus yang diketuai oleh Prof. R.H. A. Soenarjo, S.H. dari Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al Qur’an. Selesai pada tahun 1971.

            Dengan demikian, tersebarnya Al Qur’an dan Terjemahnya versi DEPAG-RI kala itu, diawali keterangan para ulama yang menukil kisah itu dari kitab-kitab tafsir klasik, akhirnya penamaan Zulaikha tersebut melembaga di masyarakat. Mereka tidak tahu menahu tentang otentisitas riwayat seputar itu. Yang mereka kenal, bahkan sudah menjadi keyakinan, Zulaikha itu adalah nama wanita yang merayu Nabi Yusuf ‘alaihis-salam. Kemudian setelah Nabi Yusuf ‘alaihis-salam diangkat menjadi pembesar Mesir, Zulaikha dinikahi oleh beliau. Mereka berdua hidup seia-sekata, saling mengasihi dan menyayangi. Menurut mereka, itulah dambaan setiap keluarga dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Maka tak heran jika tipologi Yusuf – Zulaikha, oleh mereka, disamakan dengan tipologi Adam – Hawa, Muhammad – Khadijah, dan Ali – Fatimah. Padahal tidak ada riwayat yang shahih menerangkan bahwa istri al Aziz itu bernama Zulaikha dan Nabi Yusuf pernah menikahinya. Karenanya, ada yang berseloroh bahwa orang yang berdoa agar kedua mempelai itu saling sayang-menyayangi seperti Yusuf dan Zulaikha, maka hal itu sama saja dengan mendoakan agar seseorang itu menyayangi istri orang lain, alias berselingkuh.

  1. Persfektif Para Ulama Tentang Pernikahan Nabi Yusuf dan Zulaikha

         Banyak ulama yang menyata­kan bahwa tidak ada satu pun ayat Al-Qur’an dan hadits yang berisi pen­jelasan bahwa Nabi Yusuf ‘alaihis-salam beristrikan Siti Zulaikha. Quraisy Shihab dalam pengajian di salah satu sta­siun televisi nasional menya­takan bahwa tidak ada dasar­nya, baik Al-Qur’an maupun hadits untuk berpendapat bahwa Yusuf dan Zulaikha adalah pasangan suami-istri.  Oleh karena itu, tidak tepat jika ber­doa pada resepsi perni­kahan dengan doa yang di dalam­nya disebutkan Yusuf-Zulaikha sebagai pasangan suami istri dan berdosa orang yang berdoa demikian. Yunahar Ilyas juga berpen­dapat bahwa tidak satu ayat Al-Qur’an dan hadits yang dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa Yusuf dan Zulaikha adalah pasangan suami istri. Sementara itu, Ali Mustofa Yakub, dalam suatu pengajian di salah satu stasi­un televisi  nasional me­nyatakan bahwa jika hadir dalam acara resepsi perni­­kahan dan  mendengar doa ter­se­but dibacakan, bukannya mengucapkan aamiin, me­lainkan beristighfar!

          Sementara itu, Ali Mursyid dan Zidna Khaira Amalia, dosen Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta, telah mene­liti status Nabi Yusuf ‘alaihis-salam dan Zulaikha. Dalam penelitian­nya yang berjudul  “Benar­kah Yusuf dan Zulaikha Menikah? Analisa Riwayat Isra’iliyyat dalam Kitab Tafsir”,mereka sam­pai pada simpulan bahwa riwayat-riwayat yang berisi ­­­ce­rita tentang pernikahan Nabi Yusuf dengan Zulaikha, ti­dak berdasar, baik dari Al-Qur’an maupun hadits sahih dan ulama Al-Jarḥ dan Al-Ta’dil (ulama yang  menyeli­diki kesalahan dan keadil­an rawi), ulama yang menja­di san­daran dari orang-orang yang meri­wa­yatkan kisah tersebut ada­lah orang yang thiqah, mes­ki­­pun riwayat-riwayat terse­but tidak merusak akidah umat muslim.

         Pimpinan Lembaga Pengembangan Dakwah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah, Cirebon, KH Yahya Zainul Ma’arif alias Buya Yahya menceritakan sekelumit kisah hubungan Nabi Yusuf dan Zulaikha. Ia menyebut tidak ada riwayat yang menyebutkan detail pernikahan dua insan tersebut. “Tidak ada riwayat yang shahih atau benar dari Nabi tentang pernikahan Yusuf dan Zulaikha. Yang jelas dalam Alquran hanya disebutkan Imra’atul Aziz, atau Zulaikha, yang merupakan seorang pemimpin Mesir, sempat gandrung kepada Sayyidina Yusuf karena ketampanannya. Ditemukan dari sumur setelah dibuang oleh saudara-saudaranya, lalu diambil oleh pihak kerajaan dan dibesarkan sampai tumbuh dewasa dan tampan. Terpesonalah perempuan ini,” kata Buya Yahya, dikutip dari channel YouTube Al-Bahjah TV, Senin (20/7/2020).

           Para ulama itu berpen­da­pat demikian karena mereka telah mela­kukan ka­jian yang mendalam dan sampai pada simpulan bahwa tidak ada satu ayat Al-Qur’an dan hadits yang da­pat dipakai sebagai rujukan untuk menyatakan bahwa Nabi Yusuf ‘alaihis-salam dan Zulaikha adalah suami istri. Mari kita berpikir dengan jernih tentang Nabi Yusuf ‘alaihis-salam. Dia adalah utusan Allah; orang suci. Jadi, tidak mungkin dia mencintai Zulaikha karena Zulaikha sudah bersuami. Bagaimana halnya dengan Zulaikha? Betapa rusaknya akhlak Zulaikha; sudah bersuami, tetapi men­cintai Nabi Yusuf. dan beta­pa rusaknya akhlak umat Islam jika menjadikan Zulaikha sebagai perempuan teladan, sampai-sampai da­lam doa untuk mempelai pun menyebut namanya menjadi satu rangkai­an dengan Hawa dan Hadijah. Jadi, semestinya kita kembali pada Al-Qur’an dan hadits. Berdoa untuk mempe­lai adalah beribadah yang telah ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hamba Allah dan utusan-Nya yang sudah dijamin kebenarannya.

           Dalam kitab-kitab tafsir banyak yang menceritakan pernikahan Zulaikha dengan Nabi Yusuf ‘alaihis-salam. Imam Ath Thabari meriwayatkan dari Muhammad bin Ishaq bahwa ketika Nabi Yusuf ‘alaihis-salam keluar dari penjara dan menawarkan diri menjadi bendaharawan negara, Raja Mesir saat itu menempatkan Nabi Yusuf di posisi Al Aziz yang membelinya. Al-Aziz pun dicopot dari kedudukannya. Tak berapa lama kemudian, Al Aziz meninggal dunia, dan Raja Mesir menikahkan Nabi Yusuf ‘alaihis-salam dengan mantan istri Al Aziz, Ra’il atau Zulaikha. Kisah yang sama juga diriwayatkan oleh banyak mufassir, diantaranya Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsir Al Qur’an Al `Azhim, Imam Az Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasysyaf `an Haqa’iq At Tanzil wa `Uyun al-Aqawil fi Wujuh At Ta’wil, Imam Fakr Ad Din Ar Razi dalam tafsir Mafatih Al Ghaib, dan lain-lain.

           Al Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya juga menceritakan kisah lain namun serupa yang panjang mengenai pernikahan Nabi Yusuf ‘alaihis-salam dengan mantan istri Al Aziz, Zulaikha. Namun muhaqqiq tafsirnya, Dr. Muhammad Ibrahim Al Hifnawi dan Dr. Muhmud Hamid Utsman menjelaskan bahwa kisah ini sama sekali tidak benar. Berhadapan dengan riwayat-riwayat tersebut, terdapat perbedaan perlakuan antara ulama hadits dengan ulama tarikh (sejarah). Ulama hadits sepakat, riwayat seperti ini dinilai lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali. Sebaliknya, ulama tarikh menerima riwayat seperti ini, karena standar periwayatan sejarah (yang tidak ada kaitannya dengan agama) tidak seketat standar periwayatan hadits yang berkaitan dengan agama. Sedangkan dalam kitab Perjanjian Lama (salah satu bagian dari kitab suci umat Kristen yang isinya identik dengan Tanakh, kitab suci umat Yahudi) disebutkan bahwa Nabi Yusuf ‘alaihis-salam dinikahkan oleh Raja Mesir saat itu dengan wanita yang bernama Asnat, putri dari Potifera,

         Menurut Imam Mujahid (ahli Tafsir dari kalangan shahabat dan riwayatnya diambil Ibnu Jarir at Thobari dalam buku tafsirnya yang paling banyak menjadi refrensi tafsir bil ma’tsur Jamiul Bayan fi Ta’wil al Qur’an,) bahwa Ithfir meninggal dunia beberapa malam setelah dicopot dari Menkeu Mesir oleh Raja Arroyyan Bin Al-Walid. Lalu Raja Arrayyan Bin Al-Walid mempunyai inisiatif untuk menikahkan Nabi Yusuf ‘alaihis-salam dengan mantan Istri Ithfir (al Aziz) yang benama Rael atau Zulaikha. Lalu mereka (Nabi Yusuf ‘alaihis-salam dan Zulaikha) bertemu kembali, tapi dalam kesempatan yang berbeda dan sekarang sudah resmi dan halal layaknya pasutri. Yang menarik adalah, diriwayatkan bahwa ketika mereka berdua berada di dalam kamar, terjadilah dialog yang akan menjadi jawaban dari rasa penasaranku tadi. Diriwayatkan Nabi Yusuf ‘alaihis-salam membuka pembicaraan dengan berkata: “Bukankah kesempatan seperti ini lebih baik dan terhormat daripada pertemuan kita dahulu ketika engkau menggebu-gebu melampiaskan hasratmu, wahai Zulaikha”. Lalu diriwayatkan bahwa Zulaikha pun menjawab dengan jawaban yang diplomatis dan romantis:“Wahai orang yang terpercaya, janganlah engkau memojokkanku dengan ucapanmu itu (cinta ini membunuhku, kata grup band The Masiv) ketika kita bertemu dulu jujur dan akuilah bahwa di matamu akupun cantik dan mempesona, hidup mapan dengan gelar kerajaan dan segalanya aku punya, namun ketika itu aku tersiksa karena suamiku tidak mau menjamah perempuan manapun termasuk aku, lantas akupun mengakui dengan sepenuh hatiku akan karunia Allah yang diberikan atas ketampanan dan keperkasaan dirimu wahai Nabi Yusuf”.
Kemudian diriwayatkan para mufassir bahwa ternyata Nabi Yusuf ‘alaihis-salam baru menyadari kebenaran ucapan Zulaikha setelah membuktikan bahwa ternyata Zulaikha masih perawan. Mereka menikah dan dikaruniai dua orang anak laki laki. Jadi begitu ceritanya. Kesimpulannya adalah memang Istri Nabi Yusuf ‘alaihis-salam adalah Rael atau Zulaikha. Dan keduanya memang “Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama”, karena memang ayat al-Qur’an menyebutkan begitu. Dan hikmahnya tentu model hubungan yang paling mendapatkan barakah adalah jika melalui jalan yang disyariatkan Islam. Menurut riwayat dari Ibnu Katsir di dalam Kitab Qishashul Anbiya’ mengatakan jika Nabi Yusuf ‘alaihis-salam menikahi Ra’il (Nama dari Zulaikha). Kemudian melahirkan 2 orang putra, yaitu Mansya dan Afrayim. Keduanya adalah berjenis kelamin laki-laki. Tidak ada satu riwayat dan di dalam Al Qur’an dan Hadist yang menjelaskan tentang anak perempuan Nabi Yusuf ‘alaihis-salam.

  1. Cerita Isra`iliyyat dalam riwayat pernikahan Nabi Yusuf dan Zulaikha

          Membaca sejarah kehidupan Nabi Yusuf ‘alaihis-salam, berarti membaca sketsa kehidupan manusia yang telah dianugerahi wahyu oleh Allah SWT dan dijadikan Nabi-Nya, serta sosok yang dijadikan Allah SWT teladan dalam moralitas dan pekerti yang tinggi bagi kemanusiaan secara universal. Hal yang perlu dicermati dalam membaca kisah-kisah para nabi, utamanya para nabi dari Bani Israil, adalah banyaknya Isra`iliyyat, yang disisipkan dalam kisah tersebut. Seseorang yang membaca kisah-kisah itu tanpa sebelumnya mendalami pokok-pokok dasar aqidah atau menelaah kisah tersebut secara global, boleh jadi akan membenarkan bumbu Isra`iliyyat tersebut. Akibatnya aqidahnya akan rusak. Minimal, dalam hatinya akan tumbuh keragu-raguan yang akan menodai pola pikir dan kepercayaannya terhadap kesucian para nabi. Padahal, mereka adalah insan-insan suci yang telah Allah swt pilih dari sekian banyak manusia.

            Dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihis-salam dan Zulaikha banyak terselip kisah-kisah israiliyat yang disisipkan oleh kalangan ahlu kitab dan belum banyak diketahui oleh umat islam yaitu tentang nama keotentikan nama Zulaikha dan tentang rayuan Zulaikha kepada Nabi Yusuf ‘alaihis-salam yang membutnya masuk penjara. Sebelumnya, mari kita kenali terlebih dahulu ap aitu yang dimaksud dengan kisah-kisah Isra`iliyyat?

              Isra`iliyyat, dalam pengertian bahasa, merupakan bentuk jamak dari kata Isrâîliyyât yang terhubung dengan nama Israil (dalam bahasa Ibrani), yang memiliki makna hamba Allah. Dalam konteks yang lebih luas, Isrâîliyyât memiliki keterkaitan erat dengan agama Yahudi, dan hal ini merupakan fakta yang melekat. Banî Isrâîl mengacu pada silsilah atau keturunan suatu bangsa, sementara Yahudi mengacu pada pola pikir dalam bentuk agama dan dogma. Abu Syahbah memberikan definisi Isrâîliyyât sebagai pengetahuan yang berasal dari sumber Yahudi dan Nasrani. Selanjutnya, Sayyid Ahmad Khalili mendefinisikan Isrâîliyyât sebagai kisah, berita, dan bahkan kebohongan yang diselundupkan oleh komunitas Yahudi dan Nasrani, yang kemudian diterima oleh umat Islam. Muhammad Khalifah mengartikan Isrâîliyyât sebagai kebudayaan khas yang dimiliki oleh kelompok Nasrani. Husein Adz-Dzahabi, di sisi lain, mendefinisikan Isrâîliyyât sebagai pengaruh kebudayaan Yahudi dan Nasrani dalam bentuk cerita dan dongeng yang asal riwayatnya berasal dari tradisi Yahudi dan Nasrani, serta dengan sengaja diinfiltrasi oleh musuh-musuh Islam.

            Dalam pengelompokan Isrâîliyyât, terdapat pandangan dari para ahli yang dikemukakan oleh Rosihon Anwar dalam karyanya. Para ulama umumnya mengklasifikasikan Isrâîliyyât dalam konteks tafsir menjadi tiga kategori. Pertama, Isrâîliyyât yang sejalan dengan ajaran Islam. Kedua, Isrâîliyyât yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Ketiga, Isrâîliyyât yang tidak termasuk dalam kategori pertama dan kedua. Menurut Muhammad Abu Syahbah, ragam Isrâîliyyât dalam bentuk berita dan perkataan Banî Isrâîl dapat dibagi menjadi tiga bagian: Pertama, bagian yang memiliki kebenaran yang dapat kita ketahui berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah yang ada pada kita. al-Qur’an berfungsi sebagai kitab yang menguji dan menjadi saksi terhadap kitab-kitab Samawi sebelumnya. Sesuatu yang sejalan dengan al-Qur’an adalah benar dan tepat, sementara yang bertentangan dengannya adalah batil dan palsu. Kedua, bagian yang kita ketahui kebohongannya berdasarkan pengetahuan yang kita miliki, yaitu hal-hal yang bertentangan dengan kebenaran. Contohnya adalah apa yang mereka sampaikan dalam cerita-cerita tentang para Nabi, yang mencemarkan kesucian mereka, seperti kisah Yusuf, Daud, dan Sulaiman. Ketiga, bagian yang tidak termasuk dalam kategori pertama maupun kedua. Bagian ini tidak bisa kita percayai secara mutlak, namun juga tidak kita tolak begitu saja. Mungkin bagian ini mengandung kebatilan, namun terkadang juga mengandung kebenaran. Bagian ini boleh disampaikan dengan izin untuk meriwayatkannya. Imam Adz-Dzahabi juga membagi Isrâîliyyât menjadi tiga komponen, Pertama kualitas Sanad, kedua, doktrin Islam, dan ketiga, perspektif materi Isrâîliyyât.40

         Agama Islam datang setelah Agama Yahudi dan Nashrani. Begitu pula pengikutnya. Kaum Yahudi dan Nashrani memiliki dasar-dasar pengetahuan agama yang diperolehnya dari kitab suci mereka, Taurat untuk Yahudi dan Injil untuk Nashrani, sebelum mereka akhirnya memeluk Islam. Bahkan, khusus mengenai cerita para nabi dan umat terdahulu, mereka memiliki data-data yang sangat rinci. Maka tidak heran, ketika al Qur’an menuturkan cerita-cerita tersebut, mereka langsung memberikan responnya berdasarkan kitab suci mereka dengan sangat mendetail.

           Memang al Qur’an bukan kitab sejarah. Tetapi al Qur’an memuat fakta sejarah, khususnya para nabi dan umat-umat terdahulu. Dari segi penuturannya, menunjukkan bahwa al Qur’an ingin menunjukkan ke-i’jazan-nya. Sedangkan dari segi isinya, semua itu agar dijadikan pelajaran yang berharga bagi umat manusia yang hidup setelahnya. Pengikut Islam periode pertama, yaitu masa Rasulullah Saw dan para shahabatnya, menyikapi cerita-cerita mereka dengan sangat hati-hati. Dalam sebuah hadits shahih dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda:“Kamu jangan membenarkan penuturan Ahl al-Kitab, jangan pula mendustakannya. Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan apa-apa (kitab) yang diturunkan kepada kami dan (kitab-kitab) yang diturunkan kepadamu”.
Dalam menyikapi isrâiliyyât, Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan kepada para sahabat agar tidak membenarkan atau mendustakannya. Di lain kesempatan, Nabi juga meperbolehkan para sahabat untuk menceritakan apa-apa yang datang dari ahli kitab selagi tidak ada kedustaan dan juga tidak menyangkut masalah akidah dan hukum. Pelansiran riwayat isrâiliyyât dari ahli kitab ini semakin marak pada masa tabiin sehingga seorang pembaca tafsir akan sulit membedakan mana cerita yang sahih dengan cerita yang dibuat-buat ahli kitab.

            Sikap kehati-hatian ini diperintahkan oleh Nabi SAW kepada para shahabatnya, sebab di dalam penuturan Ahl al-Kitab mengandung dua kemungkinan, benar dan salah. Tetapi Nabi SAW juga tidak hitam-putih. Bersikap fleksibel dalam masalah ini, beliau, yang diikuti para shahabatnya, tetap menerima penuturan mereka, sejauh tidak menyangkut akidah dan hukum-hukum syariah. Kebolehan tersebut terbetik dari sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr sebagai berikut: “Sampaikan apa-apa dariku meskipun itu berupa satu ayat. Kamu tidak apa-apa meriwayatkan penuturan Bani Isra`il (Ahl al-Kitab). Siapa yang mendustakanku dengan sengaja, maka bersiaplah dirinya untuk menempati tempatnya di neraka.”

           Hadits di atas melukiskan kepada kita bahwa Nabi SAW membolehkan para shahabatnya (dan umatnya) untuk mengambil tafsir Isra`iliyyat. Tetapi lagi-lagi tetap dengan syarat, tidak boleh berisi riwayat palsu. Jadi harus betul-betul diketahui keshahihannya. Demikian pula halnya dengan kisah romantis Nabi Yusuf ‘alaihis-salam dan Zulaikha.  Ketika al-Qur’an dalam ayat di muka tadi (surat Yusuf ayat 21) disinggung, para Ahl al-Kitab pun sibuk menuturkan alur cerita tersebut dengan detail. Nama Zulaikha yang dilansir sebagai istri dari al Aziz (pejabat tinggi Negeri Mesir saat itu), tersebar luas setelah Ahl al Kitab menuturkannya. Karenanya, di sini kita perlu hati-hati dalam menyikapinya. Apakah benar seperti itu atau hanya bualan mereka yang tidak ada dasarnya. Atau jangan-jangan riwayat tentang hal itu adalah palsu. Sikap hati-hati seperti inilah yang harus kita lakukan ketika menghadapi kisah tentang Nabi Yusuf ‘alaihis-salam dan Zulaikha.

            Sedikit sekali kitab tafsir yang menuturkan nama Zulaikha sebagai istri al-Aziz dengan metodologi transmisi. Berdasarkan suatu riwayat, namanya bukan Zulaikha, tetapi Ra’il binti Ra’a`il. Adapun yang lain menuturkan penamaan istri al Aziz tersebut dengan beberapa riwayat yang berbeda. Nama Ra’il didapatkannya dari riwayat Ibnu Ishaq yang dituturkan oleh al-Mawardi. Sedangkan nama Zulaikha tidak disebutkan sumber riwayatnya. Disebutkan nama Zulaikha tersebut bersumber dari riwayat Abu al-Syeikh dari Syu’aib al-Juba’i. Adapun nama Ra’il binti Ra’ayil didapatkannya dari riwayat Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim dari Muhammad bin Ishaq. Selain itu ada juga para mufassir yang menuturkan penamaan istri al Aziz itu, baik dengan Zulaikha atau Ra’il, dalam kitab-kitab tafsir mereka, tetapi tidak menyebutkan sumber periwayatannya.

           Hal senada dilontarkan pula oleh al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, mufassir kontemporer, dalam kitabnya Tafsir al-Manar. Dia mengatakan bahwa al Qur’an tidak menyebutkan secara jelas nama orang Mesir yang membeli Yusuf. Begitu juga nama istrinya. Menurut beliau al Qur’an itu bukan kitab cerita atau sejarah, melainkan di dalamnya terdapat hikmah, nasihat, pelajaran, dan pendidikan akhlak. Karenanya al Qur’an hanya menyebut orang Mesir itu dengan al Aziz. Sebab gelar al Aziz itu nantinya akan disandang oleh Nabi Yusuf ‘alaihis-salam setelah diangkat menjadi kepercayaan raja di Mesir.

              Ada juga mufassir yang hati-hati dalam menyikapi masalah ini. Lihat saja misalnya al-Imam al Fakhr al Razi (w. 604 H). Setelah beliau menyajikan menu cerita beraroma isra`iliyyat seputar identitas orang Mesir yang membeli Yusuf berikut istrinya secara mendetail, dengan tegas beliau mengatakan bahwa riwayat-riwayat di atas tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an. Begitu juga Hadis yang shahih tidak ada yang menguatkannya. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa penafsiran kitab suci al Qur’an itu tidak disandarkan pada riwayat-riwayat ini. Karenanya, orang yang  berakal harus berhati-hati dalam mengambil riwayat tersebut sebelum  menceritakannya pada orang lain. Begitu juga halnya dengan al-Imam Ibn al-Qayyim (w. 751 H) dalam kitabnya al Tafsir al Qayyim. Ketika menafsiri ayat di atas, beliau tidak menyebutkan nama istri al-Aziz tersebut. Menurut beliau para ulama yang dijadikan pegangan olehnya tidak ada yang menyebutkan nama wanita itu. Tetapi mereka hanya menuturkan sifat-sifatnya yang buruk sebagaimana al-Qur’an menuturkannya.

             Menurut pandangan Ibnu Katsir, dilihat dari kajian mata rantai riwayat maupun kandungan matan seputar nama istri al-Azîz, ketergodaan Nabi Yusuf ‘alaihis-salam, serta pernikahan Nabi Yusuf ‘alaihis-salam dapat dipastikan keotentikan riwayat tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan. Meski dalam hal ketersambungan riwayat tak ada yang terputus, namun kredibilitas periwayat yang ada dalam riwayat tersebut masih diperselisihkan ulama‘. Al-Alûsî, menerima isrâîliyyât dalam tafsirnya dengan persepsi bahwa riwayat-riwayat tersebut telah dikenal oleh mayarakat dan tidak menimbulkan kerugian dan bahaya bagi agama seperti Tafsîr Muqâtil bin Sulaimân. Sementara itu, Ibnu Katsîr berada di sisi yang sedikit berbeda yaitu menerima riwayat-riwayat isrâîliyyât dengan syarat, Ibnu Katsîr saat mengemukakan riwayat isrâîliyyât dalam tafsirnya, setidaknya begitu mempertimbangkan dua hal, yakni kualitas sanad dan kesesuaian dengan syarî‘at Islam.

C. PENUTUP

           Banyak ulama yang menyata­kan bahwa tidak ada satu pun ayat Al-Qur’an dan hadits yang berisi pen­jelasan bahwa Nabi Yusuf ‘alaihis-salam beristrikan Siti Zulaikha. Para ulama tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkan riwayat tentang Nabi Yusuf ‘alaihis-salam dan Zulaikha ini, terutama ketika membahas QS.Yusuf ayat 21, 23, 30 dan 56. Kata ‘Zulaikha’ sendiri belum jelas asal usulnya, al-Qur’an hanya menyebutnya sebagai ‘istri Al Aziz’ seperti disebutkan pada ayat-ayat QS. Yusuf tersebut. Dalam meriwayatkan kisah Nabi Yusuf ‘alaihis-salam dan Zulaikha tersebut, terdapat perbedaan perlakuan antara ulama hadits dengan ulama tarikh (sejarah). Ulama hadits sepakat, riwayat seperti ini dinilai lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali. Sebaliknya, ulama tarikh menerima riwayat seperti ini, karena standar periwayatan sejarah (yang tidak ada kaitannya dengan agama) tidak seketat standar periwayatan hadits yang berkaitan dengan agama.

          Dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihis-salam dan Zulaikha banyak terselip kisah-kisah israiliyat yang disisipkan oleh kalangan Ahlul kitab dan belum banyak diketahui oleh umat Islam yaitu tentang nama keotentikan nama Zulaikha dan tentang rayuan Zulaikha kepada Nabi Yusuf ‘alaihis-salam yang membutnya masuk penjara, dan cerita-cerita beraroma isra`iliyyat inilah yang diambil oleh sebagian mufasir dalam meriwayatkan kisah Nabi Yusuf dan Zulaikha ini dengan alasan karena hal tersebut berkaitan dengan periwayatan Sejarah yang tidak ada kaitannya dengan agama dan Aqidah. Ketika al-Qur’an dalam ayat di muka tadi (surat Yusuf ayat 21) disinggung, para Ahlul kitab pun sibuk menuturkan alur cerita tersebut dengan detail. Nama Zulaikha yang dilansir sebagai istri dari al Aziz (pejabat tinggi Negeri Mesir saat itu), tersebar luas setelah Ahlul kitab menuturkannya. Karenanya, di sini kita perlu hati-hati dalam menyikapinya. Apakah benar seperti itu atau hanya bualan mereka yang tidak ada dasarnya. Atau jangan-jangan riwayat tentang hal itu adalah palsu. Sikap hati-hati seperti inilah yang harus kita lakukan ketika menghadapi kisah tentang Nabi Yusuf ‘alaihis-salam dan Zulaikha.

          Memang benar, perbedaan mengenai status Zulaikha ini tidak masuk ranah aqidah. Artinya, seseorang tidak dikategorikan sebagai zindiq atau munafiq hanya lantaran meyakini bahwa Zulaikha menikah dengan Nabi Yusuf ‘alaihis-salam, dan semacamnya. Bukan bermaksud membesar-besarkan, namun kaum muslimin harus terbiasa bersikap ilmiah. Dalam artian, segala yang disampaikan haruslah memiliki dasar yang jelas. Hal itu telah disampaikan oleh Allah Ta’ala dalam surah Al Isra’ ayat 36, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. Selain itu, alangkah baik dan mulianya untuk menjaga agama dan keyakinan kita sebagai seorang muslim meninggalkan hal-hal yang meragukan kita dan mengambil hal-hal atau perkara-perkara yang tidak meragukan kita. Meninggalkan hal yang syubhat dalam masalah apapun dapat mengarahkan seorang muslim kepada sikap wara’ yang sangat potensial untuk menangkal bisikan syaitan. Hal ini mendatangkan manfaat yang besar baik di dunia maupun di akhirat. Rasulullah SAW bersabda:

عن ابى محمد الحسن بن على بن ابى طالب سبط رسول الله صلى الله عليه وسلم وريحانته رضى الله عنهما قال حفظت من رسول الله صلى الله عليه وسلم دع مايريبك الى مالا يريبك

 (رواه الترمذى والنسائ وقال الترمذى حديث حسن صحيح)

     Artinya: “Dari Muhammad yaitu Hasan bin Ali bin Abu Thalib cucu kesayangan rasulullah saw, beliau berkata: “Aku telah hafal (suatu hadits) dari Rasulullah saw: Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan kamu dan (beralihlah) kepada sesuatu yang tidak meragukan kamu. (HR. Tirmizi dan Nasa’i).

          Mendoakan kedua mempelai seusai ijab qabul pernikahan adalah hal penting yang mesti dilakukan demi mengantar dan membekali keduanya dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Selain do’a masyhur yang diajarkan Rasulullah SAW diatas, bisa juga ditambahkan do’a-doa lain untuk kedua mempelai yang tujuannya untuk keberkahan dan kebahagiaan kedua mempelai, seperti do’a ini:

 

 اَللّٰهُمَّ اجْعَلْ هٰذَا الْعَقْدَ عَقْدًا مُبَارَكًا مَعْصُوْمًا وَأَلْقِ بَيْنَهُمَا أُلْفَةً وَقَرَارًا دَائِمًا وَلَا تَجْعَلْ بَيْنَهُمَا فِرْقَةً وَفِرَارًا وَخِصَامًا وَاكْفِهِمَا مُؤْنَةَ الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ

      Artinya: “Ya Allah, jadikanlah akad ini sebagai ikatan yang diberkahi dan dilindungi, tanamkan di antara keduanya kerukunan dan ketetapan yang langgeng, jangan Engkau jadikan di antara keduanya perpecahan, perpisahan dan permusuhan, dan cukupi keduanya bekal hidup di dunia dan akhirat.”


                                                      –**Wallahu‘AlamuBishawab**—

 

REFERENSI

Al-Quran dan Terjemahanya, Shafra’. Solo, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri: 2013.

At-Thabary, Tafsir at-Thabari Fi Ta’wil A-Qur’an (Terjemah Bahasa Indonesia), Tahqiq: Amhad

Abdurraziq, dkk: Jakarta, Pustaka Azzam, 2002.

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI. Tafsir Al-Quran Tematik, Kesehatan dalam Perspektif Al-Quran. Jakarta: 2009.

Manna al-Qaththan, Mabâhits fi „Ulûm al-Qur‟ân, Kairo: Maktabah Wahbah, t.th,.

Muhammad Ulinnuha Husnan, Metode Kritik Ad-Dakhîl fit Tafsir, Jakarta: Qaf Media Kreativa, 2019.

Muhammad Mahmud Hijazi, Fenomena Keajaiban Al-Qur‟an; Kesatuan Tema dalam al-Quran, terj.

Abdul Hayyie Al-Kattani dan Sutrisno Hadi, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani, 2010.

Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsȋr ath-Thobari dan Tafsȋr Ibnu Katsȋr,

Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Rosihon Anwar, Unsur-Unsur Isrâîliyyât Dalam Tafsir Ath-Thobari Dan Tafsir Ibnu Katsîr, Bandung:

Pustaka Setia, 1999.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah, Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Quran. Volume 1. Tangerang Selatan, Lentera Hati: 2017.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah, Kesan, Pesan dan Keserasian Al-Quran. Volume 3. Tangerang Selatan, Lentera Hati: 2017.

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, Jakarta: 1996.

Syaikh Muhammad Mahmud Nida, Min Qishash Al-Haq, Dar Al-Qashim: 1415 H.

Muhammad Mahmud Hijazi, Fenomena Keajaiban Al-Qur‟an; Kesatuan Tema dalam al-Quran, terj.

Abdul Hayyie Al-Kattani dan Sutrisno Hadi, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani, 2010.

Tafsir Al-Qur‟an, Kritik Nalar Penafsiran Al-Qur’an, Depok : Keira Publishing, 2016.

Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Tafsir Ibnu Asyur,  At-Tahrir wat Tanwir: Nama penafsir / mufassir: Muhammad Thahir Ibnu ‘Ashur

 

———-

**) Penulis adalah Penghulu Ahli Madya pada KUA Pakuhaji Kab.Tangerang, Da’i/Penceramah, penulis, dan pemerhati sosial keagamaan

 

5 1 vote
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 191 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Peran Pencatatan Perkawinan dalam Perspektif Islam sebagai Fondasi Legalitas dan Solusi Masalah Kependudukan: Sebuah Kajian Transdisipliner

27 September 2025 - 16:17 WIB

Perbandingan Mazhab dalam Fiqh: Analisis Epistemologis dan Relevansi Kontemporer

26 September 2025 - 15:58 WIB

Perkawinan dalam Islam: Analisis Normatif, Maqasid Syariah, Keadilan, Teori Sistem, dan Perbandingan dengan Hukum Positif serta Hukum Adat

24 September 2025 - 13:27 WIB

Pengikat Keharmonisan Pasutri

19 September 2025 - 11:31 WIB

Hukum Zakat di Indonesia: Peran Negara dan Pengelolaannya

17 September 2025 - 11:45 WIB

Nikah Yes, Living Together No….!!!

15 September 2025 - 13:36 WIB

Trending di Karya Ilmiah
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x