H. Deni Firman Nurhakim
Penghulu Ahli Madya/Kepala KUA Karawang Timur
Kantor Kementeriaan Agama Kabupaten Karawang Propinsi Jawa Barat
Pendahuluan
Nikah sirri seringkali menjadi bahan perbincangan hangat, baik di media sosial maupun media elektronik. Terlebih lagi, ada di antara pelaku nikah sirri yang termasuk pesohor atau mendadak sohor karena menikah sirri. Akibatnya, gaung nikah sirri pun kian santer.
Sebagai sebuah isu menarik, nikah sirri sudah banyak diulas di pelbagai media, baik secara akademis seperti ditulis oleh Luthfi, et.al (2010) misalnya, maupun yang bercorak infotainment (baca: hiburan) seperti Film Serial asal negeri jiran Malaysia, Bidaah yang dirilis 6 Maret 2025 yang lalu.
Tulisan ini berupaya membahas nikah sirri dari perspektif sosiologis, yakni suatu perspektif yang menjadikan interaksi sosial sebagai basis utama kajian (Abercrombie, et.al., 1988). Melalui optik sosiologis ini, fenomena nikah sirri akan dicarikan penjelasannya dari hubungan isu ini dengan strata sosial para pelakunya.
Untuk keperluan tulisan ini, selama satu bulan terakhir ini, seiring dengan launching program Gerakan Sadar (GAS) Pencatatan Nikah dari Kemenag RI pada bulan Juli 2025 lalu, penulis melakukan pengamatan (observasi) secara langsung terhadap fenomena nikah sirri di wilayah kerja penulis, ditunjang wawancara tidak terstruktur kepada pelaku. Kegiatan observasi tersebut dilakukan guna memetakan motif si pelaku nikah sirri serta mengaitkannya dengan strata sosial yang bersangkutan.
***
Kekeliruan Konseptual
Secara konseptual, tampaknya, telah terjadi analogisasi istilah “nikah sirri” dengan “nikah di bawah tangan” dan “nikah bodong”. Sehingga apabila disebutkan “nikah sirri”, maka pikiran kita akan mengasosiasikannya pada: pernikahan yang tidak tercatat di KUA (baca: nikah di bawah tangan) dan tidak memiliki buku kutipan akta nikah (baca: nikah bodong).
Padahal, merujuk pada makna literalnya dalam bahasa Arab, nikah sirri tersusun dari dua kata, yakni nikah yang bermakna nikah, kawin; dan sirri yang berarti rahasia, sembunyi (Yunus, tt:167 & 468). Jadi, sebetulnya, nikah sirri adalah pernikahan yang dilakukan secara rahasia atau sembunyi-sembunyi.
Oleh karena demikian, yang menjadi dasar nikah itu disebut sirri adalah penyelenggaraannya yang sembunyi-sembunyi. Berbanding terbalik dengan anjuran Nabi Saw agar mendeklarasikan nikah usai akad nikah, “a’linuu haadzan nikah wa dhribuu ‘alaihi bil ghirbaal” (umumkan pernikahan ini, dan pukullah rebana – HR. Ibnu Majah), atau anjuran menyelenggarakan walimah (resepsi), “awlim wa lau bi syaatin” (selenggarakan walimah sekalipun dengan -menyembelih- seekor kambing -HR. Bukhori).
Sehingga, tidak semua pernikahan di bawah tangan atau pernikahan bodong ini secara konseptual dikategorikan sirri. Karena di beberapa tempat terpencil, model pernikahan di bawah tangan atau pernikahan bodong itu masih banyak ditemukan, dan penyelenggaraannya pun tidak sembunyi-sembunyi, melainkan juga ada resepsinya.
Tapi, bisa dimaklumi juga, apabila banyak orang menyamakan nikah sirri dengan nikah di bawah tangan atau nikah bodong. Karena biasanya, penyelenggaraan nikah di bawah tangan atau nikah bodong itu cenderung tertutup, sembunyi-sembunyi, hanya mengundang keluarga terdekat, dan tidak mengundang tetangga/kerabat jauh.
Terjadinya Nikah Sirri
Merujuk pada Teori Pertukaran (Exchange Theory) yang dikembangkan George C. Homans, seorang Sosiolog Amerika, nikah sirri itu bisa terjadi karena si pelaku merasa memperoleh banyak keuntungan dibandingkan kerugian dari tindakannya tersebut. Beberapa pokok pikiran teori ini menyatakan, manusia selalu berusaha mencari keuntungan dalam transaksi sosialnya dengan orang lain; dalam melakukan transaksi sosial -apapun itu, termasuk nikah sirri, pen.-, manusia melakukan perhitungan untung-rugi (Sunarto, 2000:232). Menurut teori ini, seseorang akan semakin cenderung melakukan suatu tindakan, manakala tindakan tersebut dinilai menguntungkan dirinya. Dan sebaliknya, jika hasil kalkulasi itu dinilai merugikan, maka ia akan meninggalkannya.
Dengan demikian, secara teoritik, fenomena nikah sirri bisa diminimalisir lajunya apabila potensi-potensi keuntungan yang melempangkan nikah sirri berhasil di-preteli. Kemudian, membuat wacana tandingan dengan membedah serta mem-blow up potensi-potensi kerugian nikah sirri, antara lain: secara legal, eksistensi nikah sirri tidak diakui secara hukum oleh negara. Implikasinya, hak-hak isteri dan anak -selaku pihak yang acapkali menjadi korban- tidak terlindungi.
Mengapa Memilih Nikah Sirri ?
Untuk membahas soal ini, terlebih dahulu dilakukan pengelompokan pelaku nikah sirri berdasarkan strata sosialnya, yaitu: 1. kelompok orang tidak punya (the have not) atau kategori strata menengah ke bawah; dan 2. kelompok orang punya (the have) atau kategori menengah ke atas[1].
Kelompok Pertama (The Have Not) melakukan nikah sirri didasari oleh motif keuangan, yakni tidak memiliki cukup biaya untuk memproses pernikahannya secara resmi. Meskipun biaya pencatatan nikah menurut PP No. 48 Tahun 2014 yang kemudian diperbaharui dengan PP No. 59 Tahun 2018 tentang Jenis dan Tarif Jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian Agama hanya Rp. 0,- (nol rupiah) kalau dilaksanakan di KUA pada hari dan jam kerja, dan Rp. 600.000,- (enam ratus ribu rupiah) kalau dilaksanakan di luar KUA. Tetapi harus diakui, biaya tersebut di luar biaya lain saat pengurusan berkas-berkas, mulai dari RT, RW, desa/kelurahan, kecamatan, bahkan hingga Pengadilan Agama (untuk kasus seperti mempelai di bawah umur atau belum memiliki Akta Cerai). Alhasil, biaya yang harus dikeluarkan pun cukup besar.
Selain itu, nikah sirri juga menjadi pilihan wanita dari kelompok pertama ini yang sangat membutuhkan biaya hidup atau mengharapkan perbaikan nasib, karena merasa tidak ada pilihan lain. Dipaksa keadaan tersebut, akhirnya mau dinikahi secara sirri oleh pria beristeri yang dinilai lebih memiliki kemapanan ekonomi.
Berbeda dengan Kelompok Pertama, motif utama Kelompok Kedua (The Have) melakukan nikah sirri adalah menyembunyikan pernikahan, supaya tidak diketahui khalayak umum. Hal tersebut dilakukan, karena ada sesuatu yang menghalangi dideklarasikannya pernikahan tersebut, seperti sudah beristeri tapi tidak ada ijin poligami, memeluk keyakinan agama yang berbeda, tidak direstui orangtua, atau khusus anggota TNI/POLRI belum memperoleh ijin komandan.
Di luar perbedaan motif yang khas tadi, ada juga motif yang bisa terjadi pada kedua kelompok tersebut, yaitu motif usia, merasa terlalu tua atau terlalu muda, seperti pernikahan yang dilakukan pasangan yang sudah tua (kakek-nenek) atau sebaliknya, pasangan yang masih belia (pernikahan dini). Bagi pasangan tua, mereka merasa malu untuk mencatatkan pernikahan mereka di KUA. Adapun bagi pasangan belia, umumnya terbentur peraturan mengenai batas usia nikah yaitu 19 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (perubahan Pasal 7:1 UU No. 16/2019 tentang Perubahan atas UU No. 1/1974 tentang Perkawinan). Serta tidak mau repot mengurus dispensasi ke Pengadilan Agama (Pasal 7:2).
Terlepas dari aneka ragam motif di atas, orang memilih melakukan nikah sirri karena setidaknya ada 3 (tiga) alasan yang dinilai menguntungkan posisinya:
- Meyakini nikah model ini pun dibenarkan alias tidak melanggar peraturan agama dan negara. Dari sisi peraturan agama, dalam hal ini Islam, suatu pernikahan itu sudah sah apabila telah terpenuhi kelima rukun berikut syaratnya, yaitu: ada shigot ijab qabul, calon isteri, calon suami, wali, dan saksi (Az-Zuhaili, Juz VII, 1989:36-37). Apabila kelima rukun nikah tersebut sudah terpenuhi, maka pernikahan pun diyakini sah. Dilihat dari sisi peraturan negara, ada celah yang bisa “diutak-atik”, sehingga bisa dimanfaatkan untuk menjustifikasi pernikahan sirri. Seperti, belum ada ketentuan yang secara tegas memasukan pencatatan pernikahan sebagai elemen penting bagi sahnya suatu pernikahan. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2:1 hanya menyatakan, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu”. Menurut ayat ini, dasar ke-sah-an suatu pernikahan adalah hanya apabila dilakukan berdasarkan aturan agama atau kepercayaan yang diyakini. Adapun masalah pencatatan nikah sebagaimana tertulis dalam Ayat 2, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, hanya dijadikan pelengkap administratif belaka. Bukan substantif.
- Belum ada peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengatur penerapan sanksi bagi pelaku nikah sirri. Aturan mengenai sanksi sangat diperlukan untuk memberikan efek jera bagi pelaku. Memang ada pasal 279 KUHP yang bisa dikenakan kepada pelaku nikah sirri. Namun, menurut Pakar Hukum Pidana, Chairul Huda, penggunaan pasal tersebut di pengadilan belum konsisten. (lihat Huda, www.hukumonline.com, 17 November 2016).
- Pernikahan sirri dinilai pelaku ‘mudah untuk dimulai’ dan ‘mudah pula untuk disudahi’. Bagaimana tidak demikian, orang yang hendak melaksanakan nikah sirri, tantangan “terberatnya” hanya menghadirkan wali. Kalau walinya enggan hadir (‘adhol), bisa diatur beralih kepada wali hakim. Siapa wali hakimnya? Ya, bisa siapa saja. Yang terpenting, kedua mempelai mengangkat seseorang untuk menjadi wali hakim (muhakkam) bagi dirinya. Begitu pula, kalau mau bercerai, cukup dengan pernyataan cerai, jadilah perceraian. Kelonggaran prosedural yang melekat pada model pernikahan sirri ini menjadi daya tarik bagi pelaku. Coba bandingkan dengan prosedur yang mesti ditempuh oleh calon mempelai untuk menikah atau suami-isteri yang akan mengurus perceraian.
Penutup: Saran dan Rekomendasi
Penjelasan di atas mengukuhkan asumsi bahwa maraknya pernikahan sirri disebabkan si pelaku melihat keuntungan dari nikah sirri, terutama bagi dirinya. Oleh karena itu, -sebagaimana telah disinggung di muka- guna menekan massifnya fenomena nikah sirri diperlukan ragam cara untuk memutus mata rantai keuntungan tersebut. Berikut ini beberapa cara yang bisa dilakukan:
- Peraturan perundang-undangan yang memberikan celah pada nikah sirri perlu diselaraskan. Dalam konteks ini, UU No. 1/1974 tentang Perkawinan Pasal 2:2 yang mengatur tentang pencatatan nikah seyogyanya dijadikan elemen penting bagi kesahan suatu perkawinan sebagaimana disinggung Pasal 2:1. Untuk memberikan kekuatan pada aturan pencatatan nikah, aturan mengenai sanksi tegas bagi pelaku nikah sirri juga perlu diatur secara normatif dalam perundang-undangan.
- Tidak sedikit pengabaian terhadap pentingnya pencatatan nikah muncul dari orang-orang yang memiliki pemahaman keagamaan di lingkungannya. Sehubungan dengan hal itu, sosialisasi mengenai pentingnya pencatatan nikah seyogyanya juga menggunakan bahasa-bahasa keagamaan, misalkan dengan meng-qiyas aulawi-kan perintah pencatatan nikah dengan perintah pencatatan hutang sebagaimana dibahas dalam ayat mudayanah (QS. Al-Baqarah:282). Hal tersebut penting dilakukan, agar mereka lebih mudah memahami tentang betapa maslahatnya pencatatan nikah. Karena hutang-piutang pun penting dicatat, apalagi pernikahan yang memiliki dimensi hukum lebih luas. Karena bukan hanya terhadap suami-isteri, melainkan juga anak-anak yang terlahir dari pernikahan tersebut.
- Tidak dapat dipungkiri, yang banyak menjadi korban pernikahan sirri adalah wanita dan anak-anak. Mereka ini adalah pihak yang paling banyak dirugikan. Oleh karena itu, penyuluhan mengenai dampak negatif nikah sirri dan pentingnya pencatatan pernikahan kepada masyarakat, seperti melalui program GAS Pencatatan Nikah, menjadi sebuah keniscayaan.
Alaa kulli haal, agar keberhasilannya maksimal, program pengentasan nikah sirri seyogyanya menjadi kemauan dan upaya bersama. Utamanya, aparatur pemerintah, tokoh agama dan tokoh masyarakat, serta insan pers. Wallahu a’lam.
***
DAFTAR PUSTAKA
Abercrombie, et.al. Dictionary of Sociology. USA: Penguin Books, 1988, 2nd Edition
Az-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu. Juz ke-7. Lebanon: Darul Fikri, tt
Huda, Chairul. Penerapan Pasal 279 KUHP untuk Kawin Siri Dinilai Belum Konsisten. 17 November 2016. www.hukumonline.com, diakses 29 Agustus 2025
Luthfi, M. Musthafa, et.al. Nikah Sirri. Surakarta: Wacana Ilmiah Press, 2010
Sujatmiko, Iwan Gardono. “Stratifikasi dan Mobilitas Sosial: Suatu Studi Awal Masyarakat Jakarta”. Jurnal Sosiologi Indonesia No.1/Juli/1996: 81-95
Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 1996
UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
PP No.59 Tahun 2018 tentang Jenis dan Tarif Jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian Agama
www.quran.kemenag.go.id
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Hidakarya Agung, tt
[1] Mengenai “strata atas, menengah, dan bawah” pernah ditelaah dan dipetakan oleh Sujatmiko (1996: 81-95).