Menu

Mode Gelap

Karya Ilmiah · 30 Agu 2025 16:19 WIB ·

Membongkar Bahaya Pernikahan Tanpa Pencatatan

Penulis: Dian Rahmat Nugraha


 Membongkar Bahaya Pernikahan Tanpa Pencatatan Perbesar

 

Abstrak

Penelitian ini menganalisis fenomena pernikahan yang tidak tercatat (sering disebut nikah siri) melalui tiga pisau analisis hukum yang komprehensif: Teori Sistem Hukum oleh Lawrence M. Friedman, Teori Gunung Es, dan Teori Progresif Hukum yang terinspirasi oleh pemikiran Yassir Auda tentang Maqasid al-Shari’ah. Praktik ini, meskipun dianggap sah secara agama, menimbulkan bahaya serius terhadap perlindungan hak-hak istri dan anak karena tidak diakui secara legal-formal oleh negara. Analisis dengan Teori Sistem Hukum mengungkapkan ketidakselarasan antara substansi hukum yang mewajibkan pencatatan, struktur hukum yang kurang aksesibel, dan budaya hukum masyarakat yang mengabaikan pentingnya administrasi negara. Iceberg teori menunjukkan bahwa masalah legalitas di permukaan hanyalah manifestasi dari faktor-faktor tersembunyi seperti kendala ekonomi, birokrasi, dan minimnya kesadaran hukum. Dengan Teori Progresif Hukum, tulisan ini berargumen bahwa pencatatan perkawinan adalah langkah krusial untuk mencapai tujuan utama (maqasid) syariat, yaitu melindungi keluarga dan menjamin keadilan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penanganan masalah ini membutuhkan pendekatan holistik yang mencakup reformasi hukum, edukasi budaya, dan penegakan hukum.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus dan wawancara . Data dikumpulkan dari berbagai wilayah yang menunjukkan maraknya praktik pernikahan tidak tercatat di tengah masyarakat dengan kultur religius yang kuat. Data empiris diperoleh melalui wawancara dengan perwakilan tokoh agama, praktisi hukum, serta beberapa pasangan yang telah menikah secara tidak tercatat. Fakta-fakta di lapangan juga diperkuat dengan data dari berbagai kegiatan isbat nikah massal yang diselenggarakan di beberapa daerah, yang mencatat tingginya jumlah pasangan yang menjalani pernikahan tidak tercatat. Analisis data dilakukan dengan mengkaji keterkaitan antara temuan empiris di lapangan dengan tiga kerangka teori hukum yang relevan.

Pembahasan

Pernikahan dalam Perspektif Hukum Negara dan Hukum Agama. Secara umum, pernikahan diatur oleh dua entitas: hukum agama dan hukum negara. Hukum agama menetapkan rukun-rukun sahnya pernikahan, yaitu adanya wali, saksi, dan ijab kabul. Sementara itu, hukum negara mengesahkan pernikahan melalui pencatatan resmi. Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan menyatakan, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Ayat ini menegaskan pentingnya aspek spiritual.

Namun, Pasal 2 Ayat (2) menambahkan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Ayat ini menunjukkan bahwa pencatatan adalah kewajiban yang tidak terpisahkan. Kedua pasal ini harus dipahami secara komulatif, bukan alternatif. Artinya, sah secara agama adalah syarat awal, tetapi keabsahan hukum negara baru terpenuhi setelah dicatat.

Dalil Naqli dan Dalil Aqli terkait Pencatatan. Dalil naqli, atau dalil yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, sering kali digunakan untuk membenarkan pernikahan tidak tercatat. Mereka berargumen bahwa tidak ada perintah eksplisit dalam Al-Qur’an untuk mencatatkan pernikahan. Dalil seperti Q.S. Al-Baqarah ayat 282 yang memerintahkan pencatatan transaksi utang piutang justru dipahami secara parsial. Ayat tersebut berbunyi, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”

Pemahaman yang lebih mendalam (dalil aqli) menunjukkan bahwa perintah pencatatan transaksi, yang bersifat muamalah (hubungan antarmanusia), adalah dasar yang kuat untuk menganalogikan pernikahan. Jika transaksi finansial yang sederhana saja perlu dicatat demi menjaga hak-hak, apalagi pernikahan yang merupakan ikatan sakral dan menyangkut hak-hak vital perempuan dan anak.

Pernikahan sebagai Mītsāqan Ghalīẓā. Al-Qur’an menyebut pernikahan sebagai mītsāqan ghalīẓā atau “perjanjian yang kuat”. Ini bukan sekadar akad, melainkan sebuah perjanjian yang memiliki konsekuensi besar. Konsekuensi ini tidak hanya spiritual, tetapi juga sosial dan hukum. Pencatatan adalah perwujudan konkret dari pemeliharaan perjanjian ini, yang menjamin bahwa hak-hak yang timbul dari pernikahan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan hukum.

Bahaya Laten Nikah Tidak Tercatat. Di balik argumen “sudah sah secara agama,” tersembunyi bahaya yang mengancam hak-hak fundamental:

  • Perlindungan Istri yang Tidak Ada: Istri dalam pernikahan tidak tercatat tidak memiliki bukti legal untuk menuntut hak-haknya. Jika suami meninggal, ia tidak memiliki hak waris. Jika terjadi perceraian, ia tidak bisa menuntut nafkah atau harta gono-gini. Statusnya tidak diakui oleh negara, membuatnya rentan terhadap eksploitasi dan penelantaran.

  • Status Anak yang Terancam: Anak yang lahir dari pernikahan tidak tercatat seringkali tidak memiliki akta kelahiran yang sah. Ini membuat mereka kesulitan dalam mengakses pendidikan, layanan kesehatan, dan hak-hak perdata lainnya di kemudian hari. Meskipun ada putusan Mahkamah Konstitusi yang mengakui hubungan perdata anak dengan ayah biologisnya, proses pembuktiannya di pengadilan seringkali rumit dan jarang dijadikan acuan oleh masyarakat.
  • Poligami Gelap: Pernikahan tidak tercatat sering menjadi jalan pintas bagi praktik poligami yang tidak memenuhi syarat hukum, yaitu tanpa izin istri pertama dan pengadilan. Ini melahirkan ketidakadilan dan konflik dalam keluarga.
  1. Analisis Menggunakan Teori Sistem Hukum Friedman. Teori ini membedah sistem hukum menjadi tiga komponen utama:
    • Substansi Hukum: Di Indonesia, substansi hukum (Undang-Undang Perkawinan) sudah mewajibkan pencatatan. Namun, ketidakadaan sanksi pidana yang tegas bagi pelanggar membuat norma ini kurang efektif. Hukum yang lemah tidak mampu memaksa masyarakat untuk patuh.
    • Struktur Hukum: Struktur hukum (lembaga KUA dan pengadilan) seringkali dianggap birokratis dan tidak efisien. Prosedur yang dianggap rumit dan lambat, terutama dalam mengurus perceraian, mendorong masyarakat mencari jalan pintas melalui pernikahan tidak tercatat.
    • Budaya Hukum: Ini adalah akar masalah yang paling dalam. Budaya hukum masyarakat masih menganggap pernikahan tidak tercatat sah, karena mereka memisahkan antara urusan agama dan urusan negara. Mereka menganggap pencatatan hanyalah urusan administratif yang tidak penting. Padahal, pencatatan adalah perwujudan dari kehadiran negara untuk melindungi warga negaranya.
  2. Analisis dengan Teori Iceberg . Teori ini menjelaskan bahwa masalah yang terlihat di permukaan hanyalah bagian kecil dari permasalahan yang jauh lebih besar dan kompleks yang tersembunyi.
    • Puncak Gunung Es (Masalah yang Terlihat): Masalah legalitas, seperti ketiadaan akta nikah dan kesulitan dalam menuntut hak-hak hukum, hanyalah gejala yang tampak di permukaan .
    • Bagian Tersembunyi (Akar Masalah): Di bawah permukaan, terdapat akar-akar masalah yang lebih dalam, seperti:
      • Faktor Ekonomi: Biaya yang dianggap mahal untuk mengurus perceraian atau proses isbat nikah.
      • Faktor Sosial-Budaya: Pandangan masyarakat yang menganggap pencatatan sebagai urusan administratif yang tidak penting.
      • Faktor Pendidikan: Rendahnya literasi hukum di kalangan masyarakat.
      • Faktor Aksesibilitas: Keterbatasan akses terhadap layanan pencatatan resmi, terutama di wilayah terpencil.

Urgensi Pencatatan Perkawinan dalam Teori Progresif Hukum. Teori Progresif Hukum, terutama dalam konteks pemikiran Yassir Auda tentang pendekatan sistemik terhadap Maqasid al-Shari’ah, memberikan perspektif inovatif terhadap masalah ini.

Tujuan Pernikahan (Maqasid al-Nikah): Tujuan utama dari pernikahan dalam Islam adalah untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, yang didalamnya terjamin perlindungan terhadap hak-hak individu, khususnya perempuan dan anak. Ini sejalan dengan tujuan syariat yang lebih luas, yaitu menjaga keturunan (hifz al-nasl), menjaga kehormatan (hifz al-‘ird), dan menjaga harta (hifz al-mal).

Pencatatan sebagai Sarana (Washilah): Dalam kerangka progresif, pencatatan perkawinan tidak lagi dipandang sekadar formalitas administratif. Sebaliknya, pencatatan adalah sarana (washilah) yang esensial untuk mencapai maqasid tersebut. Tanpa pencatatan, tujuan perlindungan hak anak dan istri menjadi sulit dicapai karena ketiadaan bukti hukum yang kuat.

Analisis Dalil Q.S. An-Nisa’ ayat 34: Ayat ini sering menjadi kontroversi karena menyebut laki-laki sebagai pemimpin perempuan (qawwamun). Namun, pemahaman yang komprehensif, seperti yang dijelaskan dalam tafsir, menunjukkan bahwa kepemimpinan ini bukan dominasi, melainkan tanggung jawab yang diemban dengan adil dan penuh kasih sayang.

Dalil Naqli Q.S. An-Nisa’ ayat 34:

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُۗ وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًاۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا1

Terjemahan: “Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para p2erempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya”.

Kepemimpinan yang adil ini hanya dapat terwujud jika hak-hak istri dan anak dilindungi. Pencatatan adalah alat yang efektif untuk melindungi hak-hak tersebut, sehingga sejalan dengan semangat keadilan yang ditekankan oleh ayat ini. Dengan kata lain, pencatatan perkawinan adalah upaya konkret untuk memastikan kepemimpinan laki-laki tidak berubah menjadi dominasi, melainkan menjadi tanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Urgensi Reformasi Menuju Hukum yang Progresif. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang holistik dan komprehensif. Pertama, reformasi hukum dan birokrasi perlu dilakukan. Pemerintah perlu menyederhanakan prosedur dan mengurangi biaya pencatatan perkawinan, serta meningkatkan aksesibilitas layanan pencatatan resmi di daerah terpencil.

Kedua, edukasi dan sosialisasi harus dilakukan secara masif. Tokoh agama dan pemerintah harus bekerja sama untuk memberikan edukasi tentang pentingnya pencatatan perkawinan, dengan menekankan bahwa hal ini bukan hanya kewajiban negara, tetapi juga bentuk perlindungan hak-hak dalam bingkai syariat.

Ketiga, penegakan hukum harus lebih tegas. Tindakan tegas perlu diambil terhadap pihak-pihak yang secara terang-terangan memfasilitasi pernikahan tidak tercatat dan menelantarkan hak-hak perempuan dan anak.

Kesimpulan

Pernikahan tidak tercatat adalah masalah multidimensi yang kompleks, yang bahayanya melampaui sekadar masalah administratif. Analisis menggunakan Teori Sistem Hukum menunjukkan adanya ketidakselarasan antara regulasi, implementasi, dan pandangan masyarakat. Teori Gunung Es mengungkap bahwa akar masalahnya jauh lebih dalam daripada yang terlihat, mencakup faktor ekonomi, sosial-budaya, dan literasi hukum yang rendah. Sementara itu, Teori Progresif Hukum menegaskan bahwa pencatatan perkawinan adalah langkah krusial yang selaras dengan tujuan luhur syariat, yaitu melindungi hak-hak perempuan dan anak. Oleh karena itu, diperlukan intervensi holistik dan komprehensif dari pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat untuk mengatasi masalah ini, demi memastikan keadilan dan perlindungan hukum bagi semua pihak.

Daftar Pustaka

  • Friedman, Lawrence M. The Legal System: A Social Science Perspective. New York: Russell Sage Foundation, 1975.
  • Nugraha, Dian Rahmat. “Implementasi Ketentuan Pencatatan Perkawinan dan Implikasinya terhadap Perlindungan Hukum Hak-Hak Isteri dan Anak.”
  • Syahuri, Taufiqurrahman. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2014.
  • Yassir, Auda. Maqasid Al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: The International Institute of Islamic Thought, 2008.
  • Undang-Undang tentang Perkawinan, Pasal 1 dan Pasal 2.
  • “Kajian Tafsir Q.S. An-Nisa’ Ayat 34,” 2022..
  • S. An-Nisa’ ayat 34.
  • S. Al-Baqarah ayat 282.

5 1 vote
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 109 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Antara Ibadah Abadi dan Tantangan Teknologi dalam Pernikahan di Era Digital

1 Oktober 2025 - 13:31 WIB

Konsepsi Mazhab dalam Islam: Definisi, Teori, Dalil, Pandangan Ahli, dan Relevansi Kontemporer

1 Oktober 2025 - 11:37 WIB

“Cuan” Memboming Dengan Aksi Viral [catatan harian penghulu]

1 Oktober 2025 - 00:03 WIB

Mengapa Verifikasi Calon Pengantin Adalah Keharusan di Era Digital?

30 September 2025 - 11:22 WIB

Musrenbang Sebagai Penjembatan Program KUA Kecamatan

29 September 2025 - 21:27 WIB

Taukil Wali bil lisan melalui daring, apakah diperbolehkan?

29 September 2025 - 16:46 WIB

Trending di Opini
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x