Abstrak
Praktik perkawinan siri, yang sah secara agama namun tidak tercatat secara negara, menimbulkan permasalahan sosial-hukum yang kompleks, khususnya terkait perlindungan hak-hak istri dan anak. Studi ini menganalisis fenomena tersebut melalui kerangka Maslahah Mursalah (kemaslahatan umum) dan Maqashid al-Syari’ah (tujuan-tujuan syariat). Metode studi pustaka dan analisis data empiris di beberapa wilayah menunjukkan bahwa pencatatan perkawinan, meskipun tidak ada di era awal Islam, merupakan instrumen esensial untuk menjamin kepastian hukum dan mewujudkan keadilan. Hasil penelitian menegaskan bahwa pencatatan bukan sekadar urusan administratif, melainkan perwujudan prinsip kemaslahatan untuk melindungi keturunan (hifz al-nasl) dan harta (hifz al-mal).
Pendahuluan
Kajian tentang legalitas perkawinan dan perlindungan hukum bagi istri dan anak merupakan isu krusial dalam dinamika hukum keluarga Islam kontemporer. Di banyak wilayah, fenomena nikah siri menjadi permasalahan sosial-hukum yang mengkhawatirkan. Meskipun secara agama dianggap sah, realitasnya praktik perkawinan yang tidak dicatatkan secara resmi masih marak terjadi.
Permasalahan ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan sering kali berakibat pada hilangnya hak-hak fundamental bagi pihak yang rentan, khususnya istri dan anak. Tanpa akta nikah sebagai bukti autentik, mereka kehilangan akses terhadap hak waris, hak nafkah, dan status hukum yang jelas di mata negara.
Secara historis, pada zaman Rasulullah SAW, tidak ada istilah pencatatan perkawinan formal. Praktik yang dianjurkan adalah i’lan an-nikah (pengumuman suatu perkawinan di tengah masyarakat), salah satunya melalui walimah al-’urs (resepsi pernikahan). Acara walimah ini berfungsi sebagai bentuk pengakuan dan jaminan sosial bagi masyarakat.
Namun, seiring dengan kemajuan administrasi dan ketatanegaraan, bentuk pengakuan dan jaminan ini berevolusi. Bentuk pengakuan dan jaminan di masa sekarang muncul dalam bentuk pencatatan perkawinan berupa akta nikah. Oleh karena itu, diperlukan suatu kerangka pemikiran yang dapat menjembatani antara validitas agama dan kebutuhan akan legalitas negara.
Konsep Maslahah Mursalah adalah metode penetapan hukum yang berorientasi pada kemaslahatan umum, meskipun tidak ada dalil eksplisit yang mengaturnya. Prinsip ini memungkinkan hukum Islam untuk beradaptasi dengan realitas sosial demi mewujudkan kebaikan dan menolak keburukan bagi umat manusia.
Prinsip ini sangat relevan dengan Maqashid al-Syari’ah (tujuan-tujuan syariat), yang bertujuan menjaga lima hal pokok (al-Kulliyyat al-Khamsah): agama, jiwa, akal, keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal). Pencatatan perkawinan secara langsung berkontribusi pada perlindungan keturunan dengan memastikan status hukum anak, serta melindungi harta dengan menjamin hak waris dan nafkah.
Pencatatan perkawinan menjadi maslahah mursalah karena bertujuan untuk menghindari kemudaratan yang nyata, yaitu hilangnya hak-hak legal bagi perempuan dan anak. Tanpa pencatatan, sebuah pernikahan yang sah secara agama tetap rentan secara hukum. Dengan mencatatkan pernikahan, negara mewujudkan tujuan syariat untuk melindungi hak-hak individu dalam keluarga.
Dalil naqli yang mendukung perlunya pencatatan, meskipun tidak spesifik tentang pernikahan, dapat dianalogikan dengan perintah Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 282, “…hendaklah kamu menuliskannya.” Ayat ini memerintahkan pencatatan transaksi utang-piutang demi menjaga hak-hak dan menghindari perselisihan.
Jika akad muamalah yang sederhana saja perlu dicatatkan untuk menghindari perselisihan, maka akad pernikahan, yang merupakan perjanjian suci yang jauh lebih luhur (mitsaaqan ghalizhan), lebih utama lagi untuk dicatatkan. Dalil lain yang relevan adalah QS. An-Nisa’ ayat 34, yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin yang bertanggung jawab.
Kepemimpinan ini bukan bentuk dominasi, melainkan tanggung jawab yang mencakup aspek finansial dan perlindungan. Pencatatan adalah cara untuk memastikan tanggung jawab ini dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Hasil dan Pembahasan
Perkembangan dari tradisi i’lan an-nikah ke pencatatan perkawinan modern mencerminkan adaptasi hukum Islam terhadap kebutuhan masyarakat yang terus berubah. Jika pada masa lalu pengumuman publik cukup untuk menjamin pengakuan sosial, di era modern ini diperlukan bukti hukum yang kuat untuk menjamin hak dan kewajiban para pihak di hadapan negara.
Akta nikah berfungsi sebagai bukti tertulis yang autentik, yang sangat penting saat berurusan dengan lembaga resmi pemerintah, terutama pengadilan. Ini sejalan dengan prinsip hukum yang mengutamakan kepastian dan ketertiban hukum.
Secara hukum positif, pencatatan perkawinan diatur dalam berbagai regulasi. Sebuah undang-undang perkawinan di suatu negara secara tegas menyatakan bahwa setiap perkawinan harus dicatat. Bagi umat Islam, sahnya perkawinan ditentukan oleh hukum agama, sementara pencatatan adalah kewajiban administratif untuk memberikan kekuatan hukum.
Kompilasi Hukum Islam juga memperkuat ketentuan ini. Pasal 5 ayat (1) menegaskan bahwa setiap perkawinan harus dicatat untuk menjamin ketertiban masyarakat Islam. Tujuan ketertiban ini selaras dengan tujuan hukum Islam (ghayat al-tasyri’) yaitu menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat.
Perkawinan yang tidak dicatatkan menimbulkan kemudaratan yang nyata bagi suami, istri, dan anak. Pihak yang dirugikan tidak dapat melakukan upaya hukum untuk menuntut haknya, karena tidak memiliki bukti yang sah dan autentik.
Ketiadaan akta nikah berdampak pada tidak terlaksananya hukum keluarga Islam dengan baik, terutama terkait nafkah istri, nafkah anak, dan waris. Pihak yang tidak bertanggung jawab dapat dengan mudah menelantarkan kewajibannya tanpa dapat dituntut secara hukum.
Pernikahan tidak tercatat juga berdampak pada status hukum anak. Anak yang lahir dari pernikahan tidak tercatat akan menghadapi masalah hukum dan dianggap tidak sah di mata negara. Hal ini membuat mereka kesulitan dalam mengakses pendidikan, layanan kesehatan, dan hak-hak perdata lainnya di kemudian hari.
Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa masyarakat masih menganggap pencatatan sebagai “hanya urusan administratif”. Pandangan ini adalah sebuah kekeliruan mendasar, karena akta nikah berfungsi sebagai alat bukti tertulis yang otentik dan vital saat berurusan dengan lembaga resmi pemerintah.
Penutup
Secara keseluruhan, pencatatan perkawinan, meskipun tidak termasuk dalam rukun nikah, merupakan instrumen hukum yang esensial dalam konteks negara modern. Penerapannya didasarkan pada prinsip Maslahah Mursalah yang bertujuan untuk melindungi hak-hak dan menghindari kemudaratan yang mungkin timbul dari perkawinan yang tidak tercatat. Oleh karena itu, perlu ada pergeseran paradigma dalam masyarakat, dari menganggap pencatatan sebagai formalitas administratif menjadi kesadaran akan urgensinya sebagai instrumen perlindungan hak yang vital. Dengan demikian, hukum keluarga Islam tidak hanya berjalan sesuai norma agama, tetapi juga berfungsi sebagai alat yang efektif untuk mewujudkan keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan keluarga di tengah kompleksitas kehidupan modern.
Daftar Pustaka dan Referensi
- Kompilasi Hukum Islam.
- Nugraha, Dian Rahmat. “Implementasi Ketentuan Pencatatan Perkawinan dan Implikasinya terhadap Perlindungan Hukum.” Jurnal Hukum Keluarga Islam, 14, no. 2 (2017).
- Syahuri, Taufiqurrahman. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2014.
- Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
- Wahab, Rochmat. Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional. Jakarta: Kencana, 2018.
- Zulhaqqi, Rizky. Pencatatan Perkawinan di Indonesia: Antara Administrasi dan Hak Perdata. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2020.