Akad nikah merupakan ikrar sehidup semati yang sakral kedudukannya. Sakralitas akad nikah digambarkan dapat membuat Arsy begemuruh saat seseorang sedang melakukan ijab qabul. Gemuruh arsy tidak lantas dapat dipahami secara literal, tetapi metafora ini dibuat sebagai petunjuk bagi kita semua terkait keagungan dari akad nikah itu sendiri, sehingga setiap orang yang melangsungkan akad nikah dapat memiliki kesadaran akan value dari akad nikah dan dapat menjaga sakralitas tersebut semaksimal mungkin.
Salah satu ikhtiar untuk menjaga nilai agung dari akad nikah adalah dengan mencatatkannya pada pihak yang berwajib, yakni Kantor Urusan Agama bagi orang muslim atau Kantor Dukcapil setempat bagi orang non-muslim. Rasionalisasi pencatatan nikah sebagai ikhtiar dari menjaga nilai agung adalah apabila anda menganggap bahwa mencatatkan hutang itu penting, maka mencatatkan perkawinan haruslah dianggap lebih penting dari sekedar mencatat hutang yang dimiliki. Mengapa demikian ? hutang tidaklah berhubungan dengan martabat manusia secara langsung, tapi perkawinan akan senantiasa berhubungan dengan marwah dan martabat manusia secara langsung. Hutang hanya berkaitan dengan individu perorangan yang terbatas, tapi perkawinan bersinggungan dengan banyak pihak mulai dari pasangan, anak, keluarga besar dan masyarakat luas. Lebih pentingnya lagi, perkawinan yang tercatatkan akan memudahkan seseorang dalam aspek perlindungan hukum dan pengurusan berkas administrasi negara.
Jumlah dari perkawinan tidak tercatat sebagaimana dirilis oleh Dirjen Dukcapil disinyalir mencapai 35 juta pasangan. Angka ini memang tidak dapat dipastikan kevalidannya 100%. Tapi angka ini menunjukkan bahwa masih banyak di luar sana pasangan yang sudah menikah tapi tidak dalam keadaan tercatat. Mafhum kita lihat juga di sekeliling kita bahwa perkawinan tidak tercatat juga kerap kita temui. Istilah perkawinan tidak tercatat mungkin lebih masyhur dikenal dalam nomenklatur perkawinan di Indonesia dengan nikah sirri atau nikah di bawah tangan.
Alibi Nikah Sirri di Masyarakat
Tidak sedikit masyarakat yang memahami bahwa sahnya sebuah perkawinan cukuplah dengan memenuhi rukun dan persyaratan nikah dalam syariat saat proses akad nikah. Sebagai bagian dari praktik ritual keagamaan, yang terpenting dalam sebuah perkawinan adalah sah atau tidaknya akad tersebut dalam perspektif agama. Tidak perlu memperhatikan hal lainnya, seperti pencatatan nikah dan hal formil lainnya, karena dalam doktrin agama hal demikian tidaklah menjadi rukun dan syarat sahnya sebuah perkawinan. Keterpenuhan rukun dan syarat sebagaimana diatur oleh hukum syara’, memang terbayang sangat mudah untuk dipenuhi bagi tiap orang. Karena kemudahan inilah, tidak sedikit masyarakat yang bergegas untuk melegalkan sebuah hubungan antara laki-laki dengan perempuan melalui prosesi nikah sirri, tanpa mempertimbangkan implikasi yang akan diterimanya. Begitulah pikiran kebanyakan orang yang melangsungkan nikah sirri.
Beberapa orang yang melangsungkan nikah sirri juga memiliki alasan terkait dengan keterbatasan biaya dan keadaan darurat yang membuat pihak yang bersangkutan berkeinginan agar dilangsungkan perkawinan secepatnya. Alasan demikian sangatlah logis, karena jika menikah secara tercatat, ada beberapa prosedur yang dapat menghambat keinginan tersebut. Meskipun, pada kenyataannya pihak berwajib yakni KUA juga akan senantiasa memberikan solusi atas kendala yang dihadapi tersebut.
Lebih parah lagi, alibi melakukan nikah sirri juga didapati untuk menutupi akad perkawinan yang dilangsungkan. Hal demikian dapat ditemui dalam kasus-kasus poligami ilegal, yang secara prosedural memiliki cacat formil dan materil karena tidak dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiga alibi di atas setidaknya menjadi alibi yang banyak digunakan oleh orang-orang yang melanggengkan praktik nikah sirri. Umumnya, doktrin agama banyak digunakan untuk membungkus praktik nikah demikian dengan dalih bahwa perkawinan sebagai ritus keagamaan, maka dengan dilangsungkannya perkawinan berdasarkan ketentuan agama, selesai sudah urusan terkait perkawinan tersebut. Tentu paradigma demikian memiliki cacat logika yang dapat berimplikasi pada kaburnya keagungan akad nikah itu sendiri. Penulis dalam hal ini tidak sedang menjustifikasi secara radikal bahwa praktik tersebut salah 100%, tapi rasa-rasanya kurang tepat jika doktrin agama hanya diejawantahkan secara parsial sebagaimana praktik nikah sirri dilakukan.
Parsialitas Pemahaman Doktrin Agama Tentang Nikah Sirri
Nikah sirri atau nikah di bawah tangan dalam perspektif doktrinal keagamaan dianggap tidak memiliki permasalahan urgen yang harus dijadikan sebuah polemik. Karena dalam pelaksanaannya, nikah sirri secara de facto memiliki landasan otoritatif berdasarkan hukum syara’. Tetapi, anggapan ini menjadi perception bias karena kendati dilaksanakan berdasarkan landasan otoritatif hukum syara’, tidak ada subjek otoritatif yang dapat bertindak sebagai penjamin atas keabsahan pelaksanaan perkawinan dengan model sirri.
Kenyataan ini tidak dapat disangkal, jika kita melihat praktik nikah sirri yang ada di masyarakat, orang yang diminta untuk mengakadkan seseorang secara sirri umumnya tidak mengetahui secara detail tentang orang yang diakadkan. Hal ini berpotensi pada terjadinya kesalahan penentuan subjek yang termasuk dalam rukun nikah, seperti adanya manipulasi subjek yang menjadi wali nikah. Kesalahan potensial demikian sangat besar kemungkinannya, mengingat orang yang diminta untuk mengakadkan tidak mengetahui asal usul dari calon pengantin dan tidak ada satu pun data pendukung untuk mengetahui asal usul dari pengantin tersebut. Pengakuan dan persaksian yang dibawakan oleh calon pengantin sangat besar kemungkinannya untuk dapat dimanipulasi. Karena itu, sangat fatal sekali jika nikah sirri dianggap perkawinan yang secara pelaksanaannya didasarkan pada hukum syara’, tapi tidak memiliki subjek yang secara otoritatif dapat menentukan apakah perkawinan tersebut sejalan dengan hukum syara’ itu sendiri. Pendapat ini penulis dapatkan dari Bapak H. Ahmad Najib, S.Ag., M.HI. selaku Ketua Tim Kepenghuluan dan Bina Keluarga Sakinah Kanwil Kementerian Agama Jawa Timur saat Bimtek Kepenghuluan di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Malang.
Alasan keadaan dharurat banyak menjadi alibi yang melandasi terjadinya pernikahan sirri. Memang benar bahwa berdasarkan kaidah daf’u dhoror, maka seseorang dapat menolak kemudhorotan tersebut dengan suatu tindakan yang memungkinkan. Tapi alasan demikian tidaklah relevan, mengingat alibi seperti “sudah lama menjalin hubungan dan ditakutkan berbuat zina”, sehingga keadaan ini dianggap dharurat dan membuat seseorang memilih untuk melangsungkan perkawinan secara sirri merupakan kesalahan memaknai keadaan dharurat. Al-Dardiri sendiri sebagaimana dikutip oleh Nur Asia Hamzah (Hamzah: 2020) menyebutkan bahwa dharurat adalah keadaan yang membuat seseorang berpotensi untuk mendapati kematian atau kesusahan yang teramat sangat, sehingga seseorang menjaga dirinya dengan usaha yang berlebih, bahkan dengan melanggar batasan keharaman yang sudah ditetapkan. Hamzah juga menambahkan bahwa dharurat secara sederhana adalah keadaan dimana seseorang mengelami kesulitan yang tidak dapat diatasi dengan tindakan umum.
Batasan dharurat di atas secara paradigmatik telah menegasikan alasan sebagaimana penulis ungkapkan di atas. Secara rasional, hubungan yang telah lama terjalin dan ketakutan akan terjerumus pada perbuatan zina merupakan tindakan yang masih dapat dihindari. Sebagaimana dapat dilihat dalam hadis Nabi sebagai berikut:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya: “Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang telah mempunyai ba’ah, maka hendaklah ia menikah, dan barangsiapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa karena hal itu akan lebih bisa meredakan gejolaknya.” (H.R. Al-Bukhari)
Berdasarkan konteks kasus di atas, jika keadaan dharurat yang dimaksud takut akan terjerumus pada perbuatan zina tetapi seseorang tidak memiliki kemampuan untuk menikah, maka solusi yang ditawarkan oleh Rasulullah adalah berpuasa, bukan malah menjerumuskan diri pada perbuatan yang dapat mengakibatkan timbulnya mudhorot lainnya. Tetapi jika keadaan tersebut juga didukung oleh adanya keadaan ba’ah sebagaimana rumusan hadis di atas, maka disunnahkan, bahkan diwajibkan bagi seseorang untuk segera menikah. Namun, kesunnahan dan kewajiban tersebut tidak lantas dapat membuat seseorang memilih melangsungkan perkawinan melalui nikah sirri.
Pencatatan Nikah: Solusi Disparitas Doktrin Agama dan Sosial
Benar kiranya bahwa menikah adalah ibadah yang agung. Tetapi, jika perkawinan hanya dilandaskan pelaksanaannya terbatas pada pemenuhan rukun dan syarat perkawinan sebagaimana pelaksanaan nikah sirri, sudah tentu nilai keagungan tersebut akan pudar. Ada beberapa aspek juga yang perlu diperhatikan dalam perkawinan, memang benar bahwa keterpenuhan rukun sangatlah penting, tetapi aspek lainnya seperti keadaan seseorang dikatakan ba’ah untuk menikah juga sangat penting. Selain itu, nilai kemaslahatan dalam perkawinan juga senantiasa harus dikedepankan.
Kebijakan pencatatan nikah telah selaras dengan doktrin agama, hal ini secara jelas telah dijabarkan oleh Dian Rahmat Nugraha dalam tulisannya dengan judul “Pernikahan Tercatat: Menjaga Martabat Keluarga di Era Modern” di laman Pustaka Penghulu, yang secara sedehana ia menjelaskan bahwa pencatatan nikah telah selaras dengan tujuan hukum Islam yakni menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. Penulis dalam hal ini sangat setuju dengan penjelasan tersebut, mengingat kemaslahatan adalah hal utama yang idealnya harus dikedepankan.
KUA sebagai institusi yang diberikan atribusi dalam bidang pencatatan perkawinan bagi orang Islam senantiasa mengedepankan pelayanannya yang didasarkan pada nilai-nilai kemaslahatan baik dari doktrin agama dan peraturan perundang-undangan. Hal ini kemudian menegasikan setiap alasan atas tindakan nikah sirri yang dilakukan, terutama yang berkaitan dengan rumitnya prosedur pencatatan perkawinan. Padahal KUA secara prosedural senantiasa mengutamakan bagaimana masyarakat dapat terlayani dengan mudah, cepat dan sederhana. Apapun kesulitannya, KUA sebagai garda terdepan Kementerian Agama yang beresonasi langsung dengan masyarakat akan senatiasa melayani dengan prinsip-prinsip tersebut. Oleh karena itu, Catatkan perkawinanmu di KUA, maka paripurna-lah perkawinanmu.