Oleh: Mahbub Fauzie, S.Ag., M.Pd
Penghulu Ahli Madya dan Kepala KUA Kecamatan Atu Lintang, Aceh Tengah
Pernyataan Menteri Agama RI, Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA., saat membuka kegiatan Pendidikan Profesi Guru (PPG) Dalam Jabatan Batch 3 Tahun 2025 di Auditorium Harun Nasution, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 3 September 2025, menyita perhatian publik. Salah satu bagian pernyataan beliau yang berbunyi, “Kalau niatnya cari uang, jangan jadi guru, tapi jadi pedagang,” ramai dipotong, dibagikan, dan kemudian memicu kontroversi luas di media sosial.
Sebagai ASN Kementerian Agama, sekaligus berasal dari keluarga besar pendidik (ayah, 2 paman, istri, 6 saudara kandung, dan 3 ipar saya semuanya guru) saya merasa berkepentingan untuk ikut menyuarakan respons yang jernih dan berimbang terhadap pernyataan tersebut.
Meluruskan Konteks Pernyataan yang Dipotong
Pertama dan paling penting, kita tidak dalam posisi menyalahkan pernyataan Menteri Agama. Justru, bila dicermati secara utuh dan tidak sepotong-potong, pidato beliau sarat dengan nilai-nilai spiritual dan filosofi luhur profesi guru. Dalam sambutannya, Menag menegaskan bahwa guru adalah profesi yang sangat mulia. Guru bukan hanya pengajar, tetapi pendidik, pembentuk karakter, bahkan “nabi kecil” yang bertugas membangun manusia sujud (sajid), bukan sekadar tempat sujud (masjid).
Dalam video resmi yang diunggah oleh akun YouTube @pendischannel milik Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI, berjudul “Pembukaan | Pembelajaran PPG Batch 3 dan Doa Guru Lintas Agama untuk Bangsa”, pernyataan lengkap Menag sangat menggugah. Beliau menekankan bahwa menjadi guru adalah jalan keberkahan, bahkan menyebut: “Guru harus masuk surga duluan sebelum muridnya.”
Sayangnya, potongan kalimat yang menyinggung soal mencari uang seperti pedagang, telah keluar dari konteks besar pidato tersebut. Padahal, konteks lengkapnya adalah ajakan agar guru menjaga keikhlasan, integritas, dan kesucian niat dalam mengabdi, bukan semata-mata soal menolak penghasilan.
Klarifikasi dan Penegasan Menag
Menyadari adanya tafsir yang keliru akibat potongan video tersebut, Menteri Nasaruddin segera menyampaikan klarifikasi dan permintaan maaf resmi. Dalam rilis yang dimuat oleh situs resmi Kementerian Agama (kemenag.go.id) pada 3 September 2025, Menag menyatakan:
“Saya menyadari bahwa potongan pernyataan saya tentang guru menimbulkan tafsir yang kurang tepat dan melukai perasaan sebagian guru. Untuk itu, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya. Tidak ada niat sedikit pun bagi saya untuk merendahkan profesi guru.”
Lebih lanjut, beliau menegaskan:
“Puluhan tahun hidup saya, saya abdikan di ruang kelas, mendidik mahasiswa, menulis, dan membimbing. Karena itu, saya sangat memahami bahwa di balik kemuliaan profesi ini, guru tetap manusia yang membutuhkan kesejahteraan yang layak.”
Pernyataan ini tidak hanya menunjukkan empati, tetapi juga menjadi teladan kepemimpinan yang rendah hati dan bertanggung jawab secara moral.
Guru, Manusia Biasa dengan Amanah Luar Biasa
Guru memang profesi yang sarat pengabdian, tapi tetap manusia biasa. Mereka juga harus membayar listrik, membeli sembako, menyekolahkan anak, dan menabung untuk masa depan. Ketulusan dalam mendidik tidak bertentangan dengan hak untuk sejahtera. Oleh karena itu, semangat spiritualitas yang disampaikan Menag seharusnya tidak ditafsirkan sebagai penolakan terhadap hak ekonomi guru, melainkan sebagai seruan untuk menjaga niat di tengah derasnya arus materialisme.
Kesejahteraan guru adalah keniscayaan. Guru tidak boleh selamanya hanya diminta untuk “ikhlas”, sementara kebutuhan hidup mereka dikesampingkan. Kritik-kritik warganet yang menyuarakan realita gaji rendah, status honorer berkepanjangan, dan beban administratif yang berat, adalah cermin dari kondisi lapangan yang perlu perhatian serius.
Komitmen Kemenag, Upaya Nyata untuk Guru
Untungnya, di balik kontroversi ini, ada fakta konkret yang patut diapresiasi. Pemerintah, melalui Kementerian Agama, telah mencatat sejumlah capaian positif dalam meningkatkan kesejahteraan dan kapasitas guru. Di antaranya:
Sebanyak 227.147 guru non-PNS menerima kenaikan tunjangan profesi dari Rp1,5 juta menjadi Rp2 juta per bulan. Kemudian, tercatat ada 206.411 guru telah mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) sepanjang tahun 2025, naik 700% dari tahun sebelumnya. Dalam tiga tahun terakhir, 52 ribu guru honorer telah diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Dari data-data tersebut, menunjukkan bahwa niat baik pemerintah untuk memperhatikan kesejahteraan guru tidak hanya berhenti pada wacana, tapi telah bergerak ke arah implementasi yang terukur.
Pengalaman Pribadi dan Spirit Pendidikan
Sebagai pribadi yang sempat mengajar secara sukarela di Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah Jagong Jeget, Aceh Tengah, selepas SMA tahun 1993, dan kembali diminta mengajar di SMP Negeri 2 Linge, Aceh Tengah, tahun 2002–2003 usai menyelesaikan S1 di Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, saya merasakan langsung bahwa menjadi guru bukan hanya soal profesi, tetapi panggilan jiwa. Dan panggilan jiwa ini harus dibarengi dengan dukungan negara yang adil dan layak, agar guru bisa fokus mendidik tanpa dibebani keresahan ekonomi.
Mencari rezeki yang halal tidak bertentangan dengan idealisme. Bahkan Rasulullah SAW adalah pedagang sebelum menjadi nabi. Jika seorang guru ingin mencari penghasilan tambahan yang halal, tidak ada yang salah selama tidak mengganggu tugas utamanya. Karena itu, kalimat Menag tentang “jangan cari uang seperti pedagang” sebaiknya dipahami dalam kerangka ajakan moral, bukan sebagai batasan profesi.
Menjaga Martabat Guru, Menjaga Masa Depan Bangsa
Di tengah era digital dan disrupsi nilai, guru tetap menjadi penjaga peradaban. Sebagaimana dikatakan Menag dalam pidatonya, kata “guru” berasal dari bahasa Sanskerta: gu berarti kegelapan, ru berarti cahaya. Guru adalah pelita yang mengusir kegelapan, bukan hanya lewat ilmu, tetapi juga lewat karakter dan teladan.
Kalau dalam istilah ‘gothak-gathuk-matuk’ dalam Bahasa Jawa, Guru adalah singkatan bebas dari kalimat: ‘di-gugu dan ditiru’. Maksudnya, Guru merupakan sosok yang layak dikuti dan yang patun untuk diteladani.
Saya percaya, niat luhur Menag Prof. Nasaruddin Umar adalah untuk mengangkat kemuliaan guru, bukan merendahkannya. Maka semoga kontroversi ini menjadi pelajaran penting, baik dalam cara menyampaikan pesan moral, maupun dalam menyikapi isu publik secara utuh.
Akhirnya, kita semua bertanggung jawab menjaga martabat guru, bukan hanya melalui kata-kata manis, tetapi lewat kebijakan nyata, penghargaan profesional, dan kesejahteraan yang berkeadilan. Sebab dari tangan para guru, masa depan bangsa ini ditempa dan ditentukan. Wallahul muwafiq ilaa aqwamith thariq.