Dalam Rumah Tangga Harus Elastis dan Fleksibel
Oleh: Mahbub Fauzie (Kepala KUA Kec. Atu Lintang, Aceh Tengah)
Pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang bukan hanya menyatukan dua insan, tetapi juga dua keluarga, dua latar belakang, dan dua kepribadian yang berbeda. Seperti yang disampaikan oleh Menteri Agama, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA dalam acara Nikah Fest di Masjid Istiqlal, 4 September 2025 lalu, rumah tangga ibarat karet, dapat meregang saat ada perbedaan, tetapi harus kembali menyatu. Di sinilah pentingnya sifat elastisitas dan fleksibilitas dalam mengelola dinamika rumah tangga.
Rumah Tangga, Bukan Surga, Tapi Jalan Menuju Surga
Banyak pasangan baru yang memiliki ekspektasi bahwa kehidupan rumah tangga akan selalu dipenuhi dengan cinta, tawa, dan kebahagiaan. Kenyataannya, rumah tangga tidak akan lepas dari konflik, perbedaan pendapat, bahkan pertengkaran kecil. Inilah yang dimaksud Menag ketika mengatakan bahwa rumah tangga bisa merenggang, tetapi tidak boleh putus.
Dalam Islam, pernikahan bukan sekadar kontrak sosial, tapi juga mitsaqan ghalidzan, perjanjian yang sangat kuat, sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nisa: 21. Allah menyebut pernikahan dengan istilah yang sama dengan perjanjian para nabi, menandakan betapa agung dan sakralnya ikatan ini.
Elastis, Mampu Menahan Tekanan dan Kembali ke Bentuk Semula
Sifat elastis berarti mampu menyesuaikan diri dalam tekanan, namun tidak patah. Dalam rumah tangga, tekanan bisa datang dari dalam (perbedaan karakter, krisis ekonomi, masalah anak) maupun dari luar (intervensi keluarga besar, tekanan sosial, dsb.). Pasangan yang tidak memiliki elastisitas emosi dan pikiran akan mudah rapuh. Ketika masalah datang, mereka saling menyalahkan, bukan saling menguatkan.
Padahal, Rasulullah SAW telah memberikan teladan luar biasa dalam rumah tangganya bersama Sayyidah Khadijah dan para istri lainnya. Beliau sabar, lapang dada, dan selalu mencari solusi, bukan memperpanjang konflik. Salah satu hadis yang sangat relevan adalah: “Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika dia tidak menyukai salah satu sifatnya, maka dia akan menyukai sifat yang lainnya.” (HR. Muslim)
Hadis ini secara tidak langsung mengajarkan kita untuk bersikap elastis—melihat pasangan sebagai manusia biasa yang tidak sempurna, namun tetap layak dicintai.
Fleksibel, Mampu Berubah dan Menyesuaikan Diri
Sifat fleksibel sangat diperlukan ketika menghadapi perubahan dalam kehidupan berumah tangga. Ketika anak lahir, ketika ekonomi menurun, atau ketika pasangan mengalami sakit, maka penyesuaian adalah kunci. Fleksibel bukan berarti lemah prinsip, tetapi adaptif terhadap situasi dan kebutuhan.
Sebagai contoh, jika suami biasanya terbiasa dilayani, lalu istri jatuh sakit atau sibuk mengurus bayi, maka suami harus bersedia menyesuaikan diri: mencuci piring, memasak, atau sekadar membantu menggendong anak. Ini bukan soal pembagian tugas gender, tapi tentang kerja sama dan empati. Inilah yang dimaksud dengan fleksibilitas dalam cinta dan pengorbanan.
Menyelesaikan Masalah dengan Cara Langit
Salah satu pesan Menag yang sangat menyentuh adalah: “Jangan curhat ke tetangga, tapi curhatlah kepada Allah di atas sajadah.” Ini bukan sekadar ungkapan religius, tetapi juga solusi konkret. Ketika kita menghadapi masalah rumah tangga, melibatkan Allah SWT dalam penyelesaiannya akan membuka jalan keluar yang tidak disangka-sangka.
Allah berfirman: “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 45)
Dengan memperbanyak doa, salat malam, dan zikir, kita mengundang ketenangan dalam jiwa, yang menjadi modal utama dalam menghadapi konflik rumah tangga.
Hormati Orang Tua dan Mertua Tanpa Membeda-bedakan
Seringkali rumah tangga goyah bukan karena masalah internal, tapi karena ketidakseimbangan dalam memperlakukan orang tua dan mertua. Menag mengingatkan bahwa ridha Allah ada pada ridha orang tua. Maka, suami dan istri harus saling mendukung untuk berbakti kepada orang tua masing-masing, tanpa merasa terancam atau cemburu.
Islam mengajarkan keadilan dalam memperlakukan kedua belah pihak. Tidak ada salahnya berbagi waktu, perhatian, bahkan rezeki secara adil antara orang tua dan mertua. Justru, keberkahan rumah tangga akan datang dari doa orang tua yang tulus.
Terimalah Pasangan Apa Adanya
Terakhir, pesan Menag yang sangat mendalam adalah: “Tidak ada manusia yang sempurna. Terimalah pasangan sebagai anugerah Allah.” Pernikahan bukan tempat mencari yang sempurna, tapi belajar mencintai dalam ketidaksempurnaan. Di sinilah cinta diuji, dan di sinilah pahala dibuka.
Rumah tangga yang elastis dan fleksibel adalah rumah tangga yang tangguh, sabar, dan penuh cinta. Ia tidak mudah retak karena badai, dan tidak runtuh karena gempa. Justru, ia menjadi tempat berlindung, tempat pulang, dan tempat tumbuhnya cinta yang diridhai Allah SWT.
Wallahu a’lam.