Menu

Mode Gelap

Pernikahan · 10 Sep 2025 22:53 WIB ·

Kemunkaran Dalam Pesta Pernikahan

Penulis: UMI FIRMANSYAH


 Kemunkaran Dalam Pesta Pernikahan Perbesar

Kemunkaran Dalam Pesta Pernikahan

Sebagian kebiasaan yang harus dijauhi secara mutlak, karena syari’at melarangnya. Karena kebiasaan-kebiasaan ini sering dilakukan ketika langsung menikah, maka tepat sekali bila kami mengungkapkannya di sini.

 

Pertama:

Mencabut Alis.

Syaikh al-Albani mengatakan: “Apa yang dilakukan sebagian wanita berupa mencabut kelopak mata, sehingga menjadi seperti busur atau bulan sabit yang mereka lakukan untuk mempercantik diri menurut dugaan mereka, maka hal ini termasuk perbuatan yang diharamkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pelakunya dilaknat; berdasar-kan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

 

لِلْحُسْنِ، الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللهِ.

 

“ Allah melaknat orang yang mentato dan wanita yang minta ditato, wanita yang menyambung rambutnya (dengan rambut palsu), yang mencukur alis dan yang minta dicukur, dan wanita yang merenggangkan (mengikir) cenderung untuk kecantikan, yang mengubah ciptaan Allah .” [1]

 

Hal ini diharamkan, walaupun dilakukan untuk suami, karena terdapat larangan yang tegas.

 

Kedua:

Mentato, Merenggangkan (Mengikir) Gigi Dan Menyambung Rambut.

Disebutkan dalam kitab ash-Shahiihain dan selainnya, dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Allah melaknat wanita yang mentato dan yang minta ditato, wanita yang mencukur kelopak mata, wanita yang merenggangkan gigi untuk kecantikan, yang me-rubah ciptaan Allah.”

 

Hal itu sampai kepada seorang wanita dari Bani Asad yang (biasa) dipanggil Ummu Ya’qub, maka ia datang seraya berkata: “Telah sampai padaku darimu, bahwa engkau melaknat demikian dan demikian.” Ia (Ibnu Mas’ud) menjawab: “Mengapa saya tidak (boleh) melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang dilaknat dalam Kitabullah?” Ia mengatakan: “Saya telah membaca al-Qur-an dan saya tidak mengetahui apa yang Anda katakan.” Dia menjawab: “Jika kamu telah membacanya, maka kamu (telah) mendapatinya.bukankah kamu membaca:

 

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

 

‘Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah. ..’” [Al-Hasyr/59: 7].

 

Ia menjawab: “Tentu.” Dia mengatakan: “Sejujurnya dia telah menganutnya.” Ia berkata: “Aku melihat keluargamu melakukannya.” Dia berkata: “Pergilah, lalu lihatlah!” Kemudian dia pergi untuk melihatnya, tetapi dia tidak menemukan sesuatu pun dari apa yang ditujunya.” Dia mengatakan: “Seandainya begitu, niscaya aku tidak menggaulinya.” [2]

 

Dalam kitab ash-Shahiihain dari ‘Aisyah, bahwa seorang gadis dari Anshar telah menikah. Kemudian ia sakit sehingga rambut rontok, lalu ia ingin memanjangkan rambutnya, lalu mereka bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia bersabda:

 

لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ.

 

“ Allah melaknat wanita yang memanjangkan rambut dan wanita yang meminta untuk menyambung rambutnya .” [3]

 

An-naamishah ialah wanita yang mencukur bulu alis.

 

Al-wasyr ialah merenggangkan gigi dan mengikirnya dengan alat pengikir dan selainnya, sehingga menjadi indah. Inilah makna al-mutafallijaat lil husni , yakni wanita yang bersedia untuk kecantikan.

 

Adapun al-wasym ialah menusuk anggota tubuh dengan jarum atau selainnya sampai darahnya mengalir, kemudian diberi celak atau selainnya sehingga menjadi biru. Kadangkala berbentuk hiasan atau selainnya. Pelaku atas semua perbuatan itu akan dilaknat.

 

Sedangkan arti laknat ialah dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 

Keberadaan tato itu najis, sebagaimana disebutkan oleh sebagian ulama karena darah tercampur di dalamnya. Oleh karena itu, harus dihilangkan meskipun dengan melukainya, jika hal itu memungkinkan. [4]

Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin berkata: “Merias itu ada dua macam:

 

Bersifat tetap dan berkelanjutan, seperti tato, memperindah gigi dan mencabut alis mata, maka semua ini diharamkan; bahkan termasuk dosa besar, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pelaku-

Merias yang bersifat sementara, maka hal ini tidak mengapa, seperti merias dengan celak, make up dan selainnya (yang dilakukan di rumah untuk suami-red.).” [5]

Wig Memakai.

Syaikh al-Fauzan mengatakan: “Di antara menyambung rambut yang diharamkan adalah memakai wig yang dikenal pada zaman ini, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

 

مَا مِنِ امْرَأَةٍ تَجْعَلُ فِيْ رَأْسِهَا شَعْرًا مِنْ شَعْرِ غَيْرِهَا، إِلاَّ كَانَ زُوْرًا.

 

‘Tidaklah seorang wanita meletakkan rambut dari rambut selainnya, malainkan itu suatu penipuan .’

 

Wig adalah rambut buatan yang menyerupai rambut kepala, dan memakainya adalah sebuah penipuan.” [6]

 

Dan berdasarkan hadits Ummul Mukminin, ‘Aisyah Radhiyallahu anha tentang seorang gadis yang rambutnya rontok dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya memanjangkan rambut dengan rambut selainnya. [7]

 

Dari Humaid bin ‘Abdirrahman, bahwasanya ia mendengar Mu’awiyah Radhiyallahu anhu pada musim haji (berada) di atas mimbar seraya mengambil sejumlah rambut yang berada di tangan Horasi (hamba sahaya amir) lalu berkata, “Wahai penduduk Madinah, di mana-kah ulama-ulama kalian? Aku telah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perbuatan semacam ini. Beliau bersabda:

نِسَاؤُهُمْ.

 

‘ Binasanya Bani Israil adalah ketika wanita-wanita mereka menggunakan ini. ‘” [8]

 

Sebagian ulama menyebutkan bolehnya memakai wig pada saat rambut wanita tidak tumbuh, yakni botak, maka tidak me-ngapa memakai wig dalam keadaan demikian.

 

Al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ditanya: “Apakah wanita halal menggunakan wig, yaitu rambut palsu demi suaminya?

 

Beliau menjawab: “Wig itu diharamkan dan ia termasuk dalam ketegori menyambung rambut, meskipun tidak tersambung. Sebab, wig ini menampakkan rambut wanita yang lebih panjang dari rambut sebenarnya sehingga serupa dengan menyambung. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat wanita yang menyambung rambut dan yang meminta menyambungnya.

 

Tetapi jika asal di kepala wanita tidak ada rambutnya, misalnya botak, maka tidak mengapa menggunakan wig untuk menutupi aib ini; karena menghilangkan aib itu boleh. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan orang yang hidungnya terpotong di salah satu peperangan untuk membuat hidung dari emas. Permasalahannya lebih luas dari itu, sehingga -dengan demikian- masalah-masalah mempercantik diri disertai berbagai proses seperti memperkecil hidung dan selainnya masuk dalam ketegorinya. Mempercantik bukan menghilangkan aib. Jika hal itu untuk menghilangkan aib, maka tidak mengapa, misalnya hidungnya bengkok lalu ia meleurus-kannya atau menghilangkan bercak hitam, misalnya, maka tidak mengapa. Adapun jika mengubahnya dengan menghilangkan aib, seperti tato misalnya, maka ini dilarang. Menggunakan wig, meski dengan seizin suami dan restunya, maka ini diharamkan; karena izin dan restu tidak berlaku dalam perkara yang diharamkan Allah.” [9]

 

Berkaitan dengan menghilangkan tato setelah mengetahui keharamannya atau setelah bertaubat dari hal itu, Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata: “Jika manusia mampu menghilangkannya, maka ia harus menghilangkannya. Jika tidak dapat menghilangkan dari aspek kedokteran, maka – alhamdulillah – ia mendapatkan udzur karena tidak mampu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

 

“ Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut sangggupanmu.. .” [At-Taghabun/64:16].” [10]

 

Ketiga:

Mencat Dan Memanjangkan Kuku.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الشَّارِبَ، وَتَقْلِيْمُ اْلأَظْفَارِ، وَنَتْفُ اْلإِبْطِ.

 

“ Yang termasuk fitrah manusia itu ada lima; khitan, men-cukur bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak .” [11]

 

Anas Radhiyallahu anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menentukan waktu bagi kami untuk memotong kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan memotong rambut kemaluan, yaitu tidak dibiarkan lebih dari 40 malam.” [12]

 

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Inilah kebiasaan buruk yang ditularkan dari wanita-wanita berkelakuan buruk dari bangas Eropa kepada kebanyakan wanita muslimah, yaitu mencat kuku mereka dengan warna merah dan memanjangkan sebagiannya. Dan sebagian pemuda pun melakukannya.” [13]

 

Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata: “Tidak boleh memanjangkan kuku; karena memanjangkan kuku menyerupai binatang dan sebagian kaum kafir. Mencat kuku sebaiknya tidak dilakukan dan wajib menghilangkannya ketika berwudhu’, karena menghalangi sampainya air ke kuku.” [14] Kemudian beliau menyebutkan dua hadits tentang fitrah di atas.

 

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]

_______

Catatan Kaki

[1] HR. Al-Bukhari (no. 4886) kitab Tafsiirul Qur-aan , Muslim (no. 2125) kitab al-Libaas waz Ziinah (no. 2782) kitab al-Adab , an-Nasa-i (no. 5099) kitab az- Ziinah , Abu Dawud (no. 4169) kitab at-Tarajjul , Ibnu Majah (no. 1989) kitab an-Nikaah , Ahmad (no. 3871), ad-Darimi (no. 2647) kitab al-Isti’-dzaan.

[2] Telah ditakhrij sebelumnya.

[3] SDM. Al-Bukhari (no. 5205) kitab an-Nikaah , Muslim (no. 2123) kitab al-Libaas waz Ziinah , an-Nasa-i (no. 5097) kitab az-Ziinah , Ahmad (no. 24282).

[4] Kitab Ziinatul Mar-ah bainath Thibb wasy Syar’i , Muhammad al-Musnid (hal. 42, no.42), dan lihat Fat-hul Baari (X/372).

[5] Ziinatul Mar-ah bainath Thibb wasy Syar’i (hal. 42).

[6] Ibid (hal. 43), dan dinisbatkan kepada kitab ad-Dakwah (no. 1240).

[7] SDM. Al-Bukhari (no. 5205) dan takhrijnya telah disebutkan.

[8] SDM. Al-Bukhari (no. 5932) kitab Ahaadiitsul Anbiyaa’ , Muslim (no. 2127) kitab al-Libaas waz Ziinah , at-Tirmidzi (no. 2781) kitab al-Adab , Abu Dawud (no. 4167) kitab at-Tarajjul , Ahmad (no. 16388), Malik (no. 1765) kitab al-Jaami’ .

[9] Fataawaa al-Mar-ah , dihimpun oleh Muhammad al-Musnid (hal. 183).

[10] Ziinatul Mar-ah bainath Thibb wasy Syari’ (hal. 43), dan dinisbatkan kepada ad-Dakwah (no. 1375).

[11] SDM. Al-Bukhari (no. 5889), kitab al-Libaas , Muslim (no. 257) kitab ath-Thahaarah , at-Tirmidzi (no. 2756) kitab al-Adab , an-Nasa-i (no. 10) kitab ath-Thahaarah , Abu Dawud (no. 4198) kitab at-Tarajjul , Ibnu Majah (no. 292) kitab ath- Thahaarah , Ahmad (no. 7092), Malik (no. 1709) kitab al-Jimaa’ .

[12] SDM. Muslim (no. 258) kitab ath-Thahaarah , at-Tirmidzi (no. 2758) kitab al-Adab , an-Nasa-i (no. 14) kitabath-Thahaarah , Abu Dawud (no. 4200) kitab at-Tarajjul , Ibnu Majah (no. 295) kitab ath-Thahaarah wa Sunanuha , Ahmad (no. 11823).

[13] Aadaabuz Zifaaf , Syaikh al-Albani (hal. 204).

[14] Fataawaa al-Mar-ah , dikumpulkan dan disusun oleh Muhammad al-Musnid, (hal. 167).

5 1 vote
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 14 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Antara Ibadah Abadi dan Tantangan Teknologi dalam Pernikahan di Era Digital

1 Oktober 2025 - 13:31 WIB

Waris (Faraidh V)

1 Oktober 2025 - 04:12 WIB

Mengapa Verifikasi Calon Pengantin Adalah Keharusan di Era Digital?

30 September 2025 - 11:22 WIB

Taukil Wali bil lisan melalui daring, apakah diperbolehkan?

29 September 2025 - 16:46 WIB

Menggapai Keluarga SAMARA

29 September 2025 - 11:36 WIB

Waris (Faraidh IV)

25 September 2025 - 15:37 WIB

Trending di Pernikahan
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x