Menu

Mode Gelap

Pernikahan · 11 Sep 2025 17:44 WIB ·

Poligami

Penulis: UMI FIRMANSYAH


 Poligami Perbesar

POLIGAMI

 

Allah Ta’ala berfirman:

 

فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَة

 

“…Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja…” [An-Nisaa’/4: 3]

 

Pertanyaan : Apakah poligami itu dianjurkan?

 

Jawab : Syaikh Musthafa al-‘Adawi حفظه الله تعالى mengatakan : “Letak dianjurkannya poligami itu adalah jika seorang laki-laki mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya. Hal itu sesuai dengan firman Allah Ta’ala : ( فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً ) ‘Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.’ Dan jika dirinya merasa aman dari fitnah dari isteri-isterinya dan tidak akan menyia-nyiakan hak Allah atas dirinya karena mereka, serta bisa menyibukkan dalam beribadah kepada Rabb karena mereka. Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman:

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ وَاَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْۚ

 

‘Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.’ [At-Taghaabun/64: 14]

 

Selain itu, dia melihat adanya kemampuan untuk menjaga kesucian mereka serta memberikan perlindungan kepada mereka sehingga dia tidak akan memberikan kerusakan kepada mereka. Sebab, Allah tidak menyukai kerusakan.

 

Dan sesuai dengan kemampuannya dia harus memberikan nafkah kepada mereka. Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman:

 

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ نِكَاحًا حَتّٰى يُغْنِيَهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ

 

‘Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.’  [An-Nuur/24: 33]”[1]

 

Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah pernah ditanya tentang hukum poligami, apakah sunnah?

 

Dia menjawab, “Tidak sunnah, tetapi boleh.”

Memberi Setiap Isteri Sebuah Rumah Sebagai Upaya Mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

 

Allah Ta’ala berfirman:

 

وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ

 

“Dan Hendaklah mereka tetap tinggal di rumah mereka.” [Al-Ahzaab/33: 33]

 

Dia juga berfirman:

 

وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلٰى فِيْ بُيُوْتِكُنَّ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِ وَالْحِكْمَةِۗ

 

“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu).” [Al-Ahzaab/33: 34]

 

Dia juga berfirman:

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَدْخُلُوْا بُيُوْتَ النَّبِيِّ اِلَّآ اَنْ يُّؤْذَنَ لَكُمْ

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan.” [Al-Ahzaab/33: 53]

 

Dengan demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan bahwa rumah Nabi itu ada beberapa buah dan bukan hanya satu saja.

 

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta ketika sakit yang mengantar beliau wafat, “Di mana aku besok? Di mana aku besok?” Yang beliau maksudkan adalah hari (giliran) ‘Aisyah. Lalu isteri-isteri beliau mengizinkan beliau untuk menetap di mana beliau kehendaki, sehingga beliau tinggal di rumah ‘Aisyah sampai beliau wafat di sisinya. ‘Aisyah berkata, “Maka beliau meninggal pada hari yang menjadi giliranku di rumahku. Lalu Allah mencabut nyawa beliau sementara kepala beliau bersandar di dadaku, sementara keringat beliau bercampur dengan keringatku.” [HR. Al-Bukhari].

 

Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi pernah berada di rumah salah seorang isterinya, lalu salah seorang Ummahatul Mukminin (isteri-isteri Nabi) mengirimkan satu piring berisi makanan. Kemudian wanita yang rumahnya ditempati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul tangan pelayan sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan piring dan kemudian mengumpulkan kembali makanan tersebut ke dalamnya seraya berkata, ‘Ibumu telah cemburu.’ Selanjutnya, pelayan itu ditahan sehingga dia diberi piring dari isteri yang rumahnya ditempati Nabi. Lalu pelayan itu menyerahkan piring yang baik kepada isteri yang dipecahkan piringnya. Sementara Nabi tetap menahan piring yang pecah itu di rumah kejadian peristiwa piring pecah.” [HR. Al-Bukhari].

 

Ibnu Abu Syaibah rahimahullah di dalam kitab al-Mushannaf (IV/388) berkata, ‘Abad bin al-‘Awam mengabarkan kepadaku dari Ghalib, dia berkata, “Aku pernah tanyakan kepada Hasan -atau ditanya- tentang seorang laki-laki yang mempunyai dua isteri di dalam satu rumah? Dia menjawab, ‘Mereka (para Sahabat) memakruhkan al-wajs, yakni dia menggauli salah seorang dari keduanya sementara yang lainnya melihat.’” Atsar ini shahih.

 

Di dalam kitab al-Mughni (VII/26), Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Seorang laki-laki tidak boleh menghimpun dua isterinya di dalam satu tempat tinggal tanpa keridhaan keduanya, baik itu masih kecil maupun sudah tua, karena antara keduanya terdapat mudharat, dimana antara keduanya ada permusuhan dan kecemburuan. Sementara penyatuan keduanya dapat menyulut pertengkaran dan peperangan. Dan masing-masing dari keduanya akan mendengar gerakannya jika dia menggauli isterinya yang lain atau bisa juga dia akan melihat hal tersebut. Dan jika keduanya sama-sama setuju dengan hal tersebut, maka hal itu dibolehkan, karena hak itu milik keduanya, sehingga keduanya diberi toleran untuk meninggalkannya.

 

Demikian juga jika keduanya rela suami mereka tidur di antara keduanya dalam satu selimut. Dan jika keduanya rela untuk suami mereka mencampuri salah seorang dari mereka dengan disaksikan oleh yang lainnya, maka yang demikian itu tidak diperbolehkan, karena hal tersebut mengandung kehinaan, kenistaan, dan jatuhnya kewibawaan sehingga hal tersebut tidak diperbolehkan meskipun keduanya membolehkan.”

 

Imam al-Qurthubi (XIV/217) berkata, “Tidak diperkenankan mengumpulkan para isteri di satu rumah, kecuali jika mereka rela.”

 

Di dalam kitab al-Majmuu’ Syarhul Muhadzdzab dikatakan (XVI/415), “Jika seorang suami memiliki beberapa isteri yang tidak ditempatkan di dalam satu rumah, kecuali dengan kerelaan mereka atau salah seorang dari mereka, karena hal itu dapat menimbulkan pertengkaran di antara mereka. Dan tidak diperbolehkan baginya untuk mencampuri salah seorang dari mereka ketika yang lainnya tengah berada bersamanya karena yang demikian itu adalah adab yang tidak baik lagi merusak hubungan.”

 

Catatan:

Diantara bentuk kelaziman rumah yang mandiri bagi setiap isteri adalah tidak ada campur tangan dalam hal makanan di antara isteri-isteri. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits terdahulu, “Lalu salah seorang Ummahatul Mukminin mengirimkan satu piring yang di dalamnya terdapat makanan.” Hadits itu menunjukkan bahwa makanan masing-masing isteri terlepas dari yang lainnya. Tetapi, jika mereka tengah berkumpul dalam suatu jamuan dengan keridhaan dari semua isteri, maka hal itu tidak ada masalah. Wallahu a’lam.

 

Apa yang Dilakukan Suami pada Pagi Hari Setelah Malam Pertama

Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah dari hadits Anas Radhiyallahu anhu  ia berkata:

 

أَوْلَمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَنَى بِزَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ فَأَشْبَعَ النَّاسَ خُبْزًا وَلَحْمًا ثُمَّ خَرَجَ إِلَى حُجَرِ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ كَمَا كَانَ يَصْنَعُ صَبِيحَةَ بِنَائِهِ فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِنَّ وَيُسَلِّمْنَ عَلَيْهِ وَيَدْعُو لَهُنَّ وَيَدْعُونَ لَهُ.

 

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengadakan walimah ketika menikahi Zainab binti Jahsyin. Beliau mengenyangkan orang-orang dengan roti dan daging. Setelah itu beliau pergi ke rumah-rumah Ummahatul Mukminin, sebagaimana yang biasa beliau lakukan pada pagi hari setelah malam pertama. Lalu beliau mengucapkan salam kepada mereka seraya mendo’akan mereka, sementara mereka pun memberi ucapan selamat kepada beliau seraya mendo’akan beliau.”

 

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]

______

Footnote

[1]  Fiqh Ta’addud az-Zaujaat, hal. 5, Syaikh Musthafa al-‘Adawi.

 

 

  1. Masa Tinggal Suami di Sisi Isteri yang Masih Gadis dan yang Janda Setelah Pernikahan

Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah dari hadits Anas Radhiyallahu anhu, ia berkata:

 

Disunnahkan bagi seorang pria untuk tinggal bersama seorang wanita perawan setelah menikahi wanita yang pernah menikah sebelumnya, dan membagi waktu di antara mereka. Jika seorang pria menikahi wanita yang pernah menikah setelah menikahi wanita yang masih perawan, ia harus tinggal bersamanya selama tiga hari, kemudian membagi waktu di antara mereka. Abu Qilabah berkata: Jika aku mau, aku bisa mengatakan bahwa Anas meriwayatkannya dari Nabi ﷺ .

 

“ Ada sunnahnya di bawah sinar matahari, sehingga orang-orang yang hidup di bawah sinar matahari tidak bisa tidur di bawah sinar matahari, tetapi mereka tidak bisa melakukannya. Abu Qilabah mengatakan, “Jika aku mau, maka dapat aku katakan, ‘Bahwa Anas berkata memarfu’kan (mengangkat) hadits ini kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .’”

 

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu and her bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menikah dengan Ummu Salamah, menetap di sisinya selama tiga hari seraya berkata:

 

Kamu tidak dipermalukan oleh keluargamu. Jika kamu mau, aku akan memberimu tujuh hari, dan jika aku memberimu tujuh hari, aku akan memberimu tujuh hari kepada istri-istriku.

 

“ Begini yang terjadi dengan kotoran bagimu atas keluargamu. Jika mau, aku akan menetap tujuh hari untukmu dan jika aku menetap tujuh hari untukmu, maka aku harus menetap tujuh hari untuk isteri-isteriku (yang lain). ” [HR. Muslim].

 

Wajib Hukumnya Meyamakan Giliran Di Antara Isteri-Isteri yang Dimiliki

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 

Dan jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap gadis-gadis yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, sepertiga, atau seperempat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan berlaku adil, maka kawinilah satu orang saja atau budak-budakmu. Yang demikian itu lebih baik agar kamu tidak dizalimi.

 

Demikianlah yang terjadi pada orang lain yang sedang jatuh cinta (hak-hak) dengan niat (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak- budak yang kamu miliki Yang demikian itu dekat untuk tidak berbuat anyaya. An-Nisaa’/4:3]

 

Allah Ta’ala berfirman:

 

Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, yang dapat menyebabkan kamu menyimpang dari keadilan. Dan jika kamu menyimpang atau berpaling, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

 

” Apapun yang dibicarakan orang, apa yang menjadi nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi Saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan .” [An-Nisaa’/4: 135]

 

Dia juga menjelaskan:

 

Dan janganlah kebencian suatu kaum menghalangimu untuk berlaku adil. Bersikaplah adil, karena yang demikian itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

 

” Tidak ada Tuhan selain Allah, tidak ada Tuhan selain Allah, tidak akan ada kebenaran di dalamnya. Cinta Allah, insya Allah, adalah yang terbaik. Doa-doa Allah akan dikabulkan, Allah akan melindungimu dari Allah. ” [Al-Maa-idah/5:8]

 

Selain itu, Allah Ta’ala juga berfirman:

 

Jangan miringkan sepenuhnya dan biarkan menggantung.

 

“ Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu membiarkan yang lain terkatung-katung. ” [An-Nisaa’/4: 129]

 

Ada orang yang ingin bahagia, ini yang mereka katakan:

 

Nabi, semoga Allah memberkati beliau dan memberinya kedamaian, memiliki sembilan istri. Ketika beliau membagi waktunya di antara mereka, beliau tidak akan menemui istri pertama sampai istri kesembilan. Mereka akan berkumpul setiap malam di rumah orang yang beliau kunjungi. Beliau berada di rumah Aisyah. Zainab datang dan beliau mengulurkan tangannya. Aisyah berkata, “Ini Zainab.” Nabi, semoga Allah memberkati beliau dan memberinya kedamaian, menarik tangannya, dan mereka bertempur sampai… Mereka bersembunyi dan salat pun dikumandangkan. Abu Bakar lewat dan mendengar suara mereka. Beliau berkata, “Keluarlah, wahai Rasulullah, untuk salat dan lemparkan debu ke mulut mereka.” Nabi, semoga Allah memberkati beliau dan memberinya kedamaian, keluar dan Aisyah berkata, “Sekarang Nabi, semoga Allah memberkati beliau dan memberinya kedamaian, akan menyelesaikan salatnya dan Abu Bakar akan datang dan melakukan ini dan itu padaku.” Ketika Nabi, semoga Allah memberkati beliau dan memberinya kedamaian, selesai salat. Saat beliau salat , Abu Bakar datang kepadanya dan berkata sesuatu yang kasar, katanya: “Apakah kamu melakukan ini?”

 

“ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki sembilan orang isteri.data.“Kemudian Nabi menarik tangan beliau (tidak jadi menarik tangan Zainab).” Lalu keduanya (‘Aisyah dan Zainab) Saling Berbicara Samai Saling Morendahkan Suara dan Iqamat Shalat Pun Dikumandangkan. Lalu Abu Bakar lewat pria mendengar suara keduanya, maka Abu Bakar berkata, ‘Mari pergi menunaikan shalat, wahai Rasulullah. Anas berkata, “Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, maka’ Aisyah berkata, ‘Sekarang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah menunaikan shalatnya. Lalu Abu Bakar datang dan melakukan pa yang dia lakukan terhadapku.’ Setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai menunaikan shalatnya, Abu Bakar mendatanginya seraya mengucapkan kata-kata keras kepadanya seraya berucap, ‘Apakah pantas kamu melakukan hal seperti ini ‘” [HR. Muslim].

 

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha, dia berkata:

 

Setiap kali Rasulullah (saw) hendak bepergian, beliau akan mengundi istri-istri beliau, dan istri yang terpilih akan beliau bawa. Beliau membagi waktu sehari semalam untuk setiap istri, kecuali Saudah binti Zam`ah yang memberikan waktu sehari semalamnya untuk Aisyah, istri Nabi ( saw), dengan tujuan mencari keridhaan Rasulullah (saw) .

 

“ Biasanya, jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak melakukan suatu perjalanan, semoga ia mengadakan undian di antara isteri-isteri beliau. Setiap isteri-isteri beliau hari dan malamnya, hanya saja Saudah binti Zam’ah telah memberikan ikan dan malamnya kepada ‘Aisyah, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan harapan mendapatkan keridhaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .’ [HR.Al-Bukhari].

 

Hari berikutnya Beliau juga Memberikan giran kepada Isteri yang Sakit, yang sedang Haid dan yang Lainnya

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha, dia berkata:

 

Ketika salah seorang dari kami sedang haid dan Rasulullah, semoga Allah memberkahinya dan memberinya kedamaian, beliau akan memerintahkannya untuk segera mengenakan korset setelah haid, lalu beliau akan menggaulinya. Ia berkata, “Siapa di antara kalian yang dapat menahan syahwatnya sebagaimana Rasulullah, semoga Allah memberkahinya dan memberinya kedamaian ?”

 

“Jika salah seorang di antara kami haid, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak bercumbu di dekatnya, maka beliau menyuruhnya untuk mengencangkan kain di sekitar tempat haidnya kemudian bercumbu di dekatnya.” ‘Aisyah berkata, “Siapakah di antara kalian yang mampu mengendalikan nafsunya sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu menahan nafsunya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat , Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah , Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]

 

 

  1. Seorang Suami Tidak Boleh Keluar dari Rumah Salah Seorang Isterinya pada Malam Hari Menuju ke Rumah Isterinya yang Lain, kecuali karena Suatu Keperluan

Imam Muslim rahimahullah berkata, Harun bin Sa’id al-Ailiyyu menceritakanku, ia berkata, ‘Abdullah bin Wahab memberitahu kami, ia berkata, Ibnu Juraij memberitahu kami dari ‘Abdullah bin Katsir bin al-Muthallib bahwasanya dia pernah mendengar Muhammad bin Qais berkata, “Aku pernah mendengar ‘Aisyah menyampaikan hadits seraya berucap, ‘Maukah kalian aku menceritakan tentang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga tentang diriku sendiri?’ ‘Mau,’ jawab kami.”

 

Imam Muslim berkata dalam riwayatnya yang lain:

Orang yang mendengar Hajjaj, yang buta sebelah matanya -dan lafazh ini miliknya- memberitahuku, dia berkata, Hajjaj bin Muhammad memberitahu kami, dia berkata, Ibnu Juraij memberitahu kami, dia berkata, Hamba Allah -seseorang dari kaum Quraisy- memberitahuku dari Muhammad bin Qais bin Makhramah bin al-Muthallib bahwasanya dia berkata pada suatu hari, “Maukah kalian aku menceritakan tentang menceritakan dan tentangnya?”

 

Seorang berkata, “Lalu kami mengira bahwa yang dia maksudkan adalah ibu yang telah melahirkannya.”

 

Muhammad bin Qais mengatakan, “Lalu ‘Aisyah berkata, ‘Maukah kalian aku menceritakan tentang diriku dan tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ ‘Mau,’ jawab kami.”

 

Muhammad bin Qais berkata, “’Aisyah berkata, ‘Ketika malam giliranku, dimana Nabi ada bersamaku, pulang kembali. Lalu dia meletakkan rida’nya (selendangnya) dan melepas kedua sandalnya serta meletakkan di dekat kakinya, lalu dia membentangkan ujung kainnya di atas tempat tidurnya, kemudian berbaring, dan tidak beberapa lama, kecuali selama dia mengira bahwa aku telah tidur.

 

Setelah itu beliau mengambil rida’nya pelan-pelan dan memakai sandalnya secara perlahan pula serta membuka pintu untuk kemudian keluar dan menutupnya secara perlahan pula. Lalu aku meletakkan baju di kepalaku, lalu memakai kerudung dan menutupkan kainku untuk kemudian pergi mengikuti jejaknya.

 

Kemudian beliau mengunjungi al-Baqi’ dan berdiri di sana cukup lama. Selanjutnya, dia mengangkat kedua tangannya tiga kali, lalu dia berbalik dan aku pun berbalik. Selanjutnya, dia berjalan cepat dan aku susul dengan cepat pula. Beliau lari kecil, maka aku pun berlari kecil pula, beliau tiba maka aku pun tiba. Kemudian saya memperkenalkan beliau dan tidak ada yang saya lakukan, kecuali awam.

 

Lalu beliau masuk seraya bertanya, ‘Apa yang terjadi padamu, wahai ‘Aisyah, terlihat bimbang dan ragu?’

‘Aisyah berkata, ‘Lalu aku katakan, ‘Tidak ada apa-apa.’

Beliau berkata, ‘Engkau harus memberitahuku atau Rabb Yang Mahalembut lagi Maha Mengetahui Yang akan memberitahuku.’

‘Aisyah berkata, ‘Lalu aku katakan, ‘Wahai Rasulullah, demi ayahku, dirimu, dan ibuku.’

Kemudian ‘Aisyah memberitahukannya. Maka dia bertanya, ‘Apakah Anda bayangan hitam yang terlihat di hadapanku?’

‘Ya,’ jawabku.

 

Maka dia menampar dadaku sekali tepukan yang terasa sakit. Kemudian beliau bersabda, ‘Apakah kamu mengira Allah dan Rasul-Nya akan menzhalimi dirimu?’ [1]

 

‘Aisyah menjawab, ‘Bagaimana umat manusia bersembunyi, pasti akan diketahui oleh Allah Azza wa Jalla.’

 

Beliau bersabda, ‘Benar.’

 

Lebih lanjut, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Jibril mendatangiku ketika aku melihat, lalu Jibril memanggilku, maka aku menyembunyikannya darimu. Lalu aku menjawabnya dengan menyembunyikannya darimu. Dan dia tidak masuk menemuimu, karena kamu telah melepas bajumu. Sementara aku mengira kamu sudah tidur, sehingga aku tidak ingin membangunkanmu dan khawatir akan membuatmu tidak berkenan. Lalu Jibril berkta, ‘Sesungguhnya Rabb-mu telah menyuruhmu untuk mendatangi penghuni kuburan Baqi’ dan memohon ampunan bagi mereka.’

 

‘Aisyah berkata, kutanyakan, “Lalu bagaimana aku mengatakan kepada mereka, wahai Rasulullah?”

 

Beliau menjawab, “Ucapkanlah:

 

اَلسَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا أْخِرِيْنَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَحِقُوْنَ.

 

‘ Semoga keselamatan terlimpahkan kepada penghuni kuburan ini dari kalangan orang-orang mukmin dan kaum muslimin. Dan semoga Allah menyayangi orang-orang yang terdahulu di antara kita maupun yang akan datang kelak. Dan sesungguhnya kami insya Allah akan melompat bersama kalian .’”

 

Ibnu Qudamah rahimahullah di dalam kitab al-Mughni (VIII/146) mengatakan, “Adapun mendatangi madunya ketika waktu bermalamnya pada isteri yang mendapat giliran, jika mendatanginya pada malam hari, maka tidak diperbolehkan, kecuali keadaan darurat, misalnya, mampir di tempatnya dengan maksud untuk menjenguknya atau memberi pesan kepadanya atau untuk suatu yang harus disampaikan. Jika dia melakukan hal tersebut, lalu dia keluar, maka dia tidak perlu mengganti. Dan jika dia menetap dan wanita itu telah tiba dari sakitnya, maka dia harus mengganti bagi isteri yang lain sesuai dengan malam-malam dimana dia menginap.”

 

  1. Seorang Suami Tidak Boleh Berjima’ dengan Seorang Isteri di Luar Waktu Gilirannya, kecuali dengan Seizin Isteri yang Mendapat Giliran

Dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, dia berkata, ‘Aisyah berkata, “Wahai keponakanku, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan sebagian atas sebagian lainnya dalam pembagian menginap di rumah kami. Dan sering sekali dia mengelilingi kami semua, lalu dia mendekati setiap isteri tanpa sentuhan, sehingga sampai pada isteri yang memang mendapat, lalu dia Menginap di rumahnya. Dan Saudah binti Zam’ah berkata ketika sudah tua dan merasa akan ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Hari giliranku untuk ‘Aisyah.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hal tersebut darinya.” ‘Aisyah berkata, “Kami katakan, ‘Berkenaan dengan hal tersebut Allah Ta’ala menurunkan ayat, Dia berfirman:-

 

فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗوَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّۗ وَاِنْ تُحْسِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

 

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) meskipun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. ‘ [2] [HR. Abu Dawud dengan sanad hasan]. [3]

 

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Seorang suami dibolehkan mendatangi semua isterinya dalam sehari yang menjadi giliran salah seorang dari mereka, tetapi dia tidak boleh mencampuri isteri yang tidak mendapatkan giliran.” [4]

 

Pembahasan Firman Allah Azza wa Jalla :

 

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

 

“ Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kalian terlalu cenderung (kepada yang kalian cintai), sehingga kalian membiarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kalian mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari pengaturan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ” [An-Nisaa’/4: 129]

 

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Artinya, wahai manusia kalian tidak akan sanggup berdoa sama di antara isteri-isteri kalian dari berbagai segi, karena walaupun pembagian malam demi malam dapat terjadi, akan tetapi tetap saja ada tingkatan dalam rasa cinta dan keinginan jima’.”

 

Dan firman Allah Ta’ala: ( فَلاَ تَمِيْلُ كُلَّ الْمَيْل ) “ Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung (kepada yang kalian cintai) ,” Ibnu Katsir mengatakan, “Jika kalian cenderung kepada salah satu di antara mereka, maka janganlah lebihan dalam penuh ke sebagian secara keseluruhan. ( فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ) ‘ Membiarkan kamu membiarkan yang lain terkatung-katung ,’ yaitu membiarkan sebagian dalam kehidupan yang tergantung tidak menentu. Dan dinukil dari sebagian ulama sesungguhnya maknanya adalah wanita yang seolah-olah tidak memiliki suami dan tidak pula wanita yang diceraikan.

 

Dan firman-Nya :

( وَإِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَحِيْمًا ) ‘ Jika kalian mengadakan perbaikan dan memelihara diri, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ,’ yaitu jika kalian berdamai dalam perkara-perkara kalian dan kalian gilir dengan adil sesuai kemampuan kalian serta kalian bertakwa kepada Allah dalam semua kondisi, niscaya Allah akan mengampuni kalian terhadap kecenderungan kalian kepada sebagian isteri-isteri kalian.” [5]

 

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat , Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah , Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]

______

Footnote

[1]   Syaikh Musthafa al-‘Adawi mengatakan, “Ucapan Rasulullah, ‘Apakah kamu mengira Allah dan Rasul-Nya akan menzhalimi dirimu?’ menunjukkan bahwa keluarnya seorang suami dari rumah salah seorang isterinya ke rumah isterinya yang lain termasuk perbuatan zhalim.” Fiqih Ta’addud az-Zaujaat , hal. 65

[2]   QS. An-Nisaa’/4: 128.

[3]   Hadits ini terdapat di dalam kitab asy-Shahiih al-Musnad mimmaa Ikan Laisa-Shahiihain (II/493).

[4]   Zaadul Ma’aad (V/152).

[5] Tafsiir Ibnu Katsir (I/563).

 

 

 

  1. Tidak ada Kewajiban bagi Seorang Suami untuk Menyamaratakan dalam Hal Cinta dan Hubungan Badan

Imam al-Bukhari rahimahullah berkata, ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah memberitahu kami, ia berkata, Sulaiman memberitahu kami, dari Yahya dari ‘Ubaid bin Hunain, dia mendengar dari Ibnu ‘Abbas dari ‘Umar Radhiyallahu anhu, “Dia pernah masuk menemui Hafshah seraya berkata, ‘Wahai puteriku, janganlah engkau tertipu pada seorang wanita, yang mana Rasulullah dibuat kagum oleh kecantikannya -yang dia maksudkan adalah ‘Aisyah.- Lalu aku menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun tersenyum.”

 

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَتَعَذَّرُ فِي مَرَضِهِ أَيْنَ أَنَا الْيَوْمَ أَيْنَ أَنَا غَدًا اسْتِبْطَاءً لِيَوْمِ عَائِشَةَ فَلَمَّا كَانَ يَوْمِي قَبَضَهُ اللَّهُ بَيْنَ سَحْرِي وَنَحْرِي وَدُفِنَ فِي بَيْتِي

 

Dari ‘Aisyah Radhiyallauh anha, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat sakit bertanya-tanya, ‘Di mana aku sekarang? Di mana aku besok?’ karena beliau merasa terlalu lama menunggu hari giliran ‘Aisyah. Dan ketika hari giliranku itu tiba, Allah mewafatkan beliau dengan bersandar di dadaku dan dimakamkan di rumahku.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha, dia berkata,

 

أَرْسَلَ أَزْوَاجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَتْ عَلَيْهِ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ مَعِي فِي مِرْطِي فَأَذِنَ لَهَا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَزْوَاجَكَ أَرْسَلْنَنِي إِلَيْكَ يَسْأَلْنَكَ الْعَدْلَ فِي ابْنَةِ أَبِي قُحَافَةَ وَأَنَا سَاكِتَةٌ قَالَتْ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيْ بُنَيَّةُ أَلَسْتِ تُحِبِّينَ مَا أُحِبُّ فَقَالَتْ بَلَى قَالَ فَأَحِبِّي هَذِهِ قَالَتْ فَقَامَتْ فَاطِمَةُ حِينَ سَمِعَتْ ذَلِكَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَجَعَتْ إِلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَتْهُنَّ بِالَّذِي قَالَتْ وَبِالَّذِي قَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَ لَهَا مَا نُرَاكِ أَغْنَيْتِ عَنَّا مِنْ شَيْءٍ فَارْجِعِي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُولِي لَهُ إِنَّ أَزْوَاجَكَ يَنْشُدْنَكَ الْعَدْلَ فِي ابْنَةِ أَبِي قُحَافَةَ فَقَالَتْ فَاطِمَةُ وَاللَّهِ لَا أُكَلِّمُهُ فِيهَا أَبَدًا قَالَتْ عَائِشَةُ فَأَرْسَلَ أَزْوَاجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَيْنَبَ بِنْتَ جَحْشٍ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ الَّتِي كَانَتْ تُسَامِينِي مِنْهُنَّ فِي الْمَنْزِلَةِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ أَرَ امْرَأَةً قَطُّ خَيْرًا فِي الدِّينِ مِنْ زَيْنَبَ وَأَتْقَى لِلَّهِ وَأَصْدَقَ حَدِيثًا وَأَوْصَلَ لِلرَّحِمِ وَأَعْظَمَ صَدَقَةً وَأَشَدَّ ابْتِذَالًا لِنَفْسِهَا فِي الْعَمَلِ الَّذِي تَصَدَّقُ بِهِ وَتَقَرَّبُ بِهِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى مَا عَدَا سَوْرَةً مِنْ حِدَّةٍ كَانَتْ فِيهَا تُسْرِعُ مِنْهَا الْفَيْئَةَ قَالَتْ فَاسْتَأْذَنَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ عَائِشَةَ فِي مِرْطِهَا عَلَى الْحَالَةِ الَّتِي دَخَلَتْ فَاطِمَةُ عَلَيْهَا وَهُوَ بِهَا فَأَذِنَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَزْوَاجَكَ أَرْسَلْنَنِي إِلَيْكَ يَسْأَلْنَكَ الْعَدْلَ فِي ابْنَةِ أَبِي قُحَافَةَ قَالَتْ ثُمَّ وَقَعَتْ بِي فَاسْتَطَالَتْ عَلَيَّ وَأَنَا أَرْقُبُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَرْقُبُ طَرْفَهُ هَلْ يَأْذَنُ لِي فِيهَا قَالَتْ فَلَمْ تَبْرَحْ زَيْنَبُ حَتَّى عَرَفْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَكْرَهُ أَنْ أَنْتَصِرَ قَالَتْ فَلَمَّا وَقَعْتُ بِهَا لَمْ أَنْشَبْهَا حَتَّى أَنْحَيْتُ عَلَيْهَا قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَبَسَّمَ إِنَّهَا ابْنَةُ أَبِي بَكْرٍ

 

Baca Juga  Nafkah dan Tempat Tinggal bagi Wanita yang Ditalak Raj’i

“Isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia meminta izin kepada beliau yang ketika itu tengah berbaring bersamaku di atas kainku. Lalu beliau memberikan izin kepadanya. Maka Fathimah berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteri-isterimu telah mengutusku kepadamu untuk meminta keadilan mengenai puteri Abu Quhafah (‘Aisyah).’ Dan aku pun diam.”

 

‘Aisyah berkata, “Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, ‘Wahai puteriku, bukankah engkau mencintai apa yang aku cintai?’

 

Fathimah pun menjawab, ‘Ya.’

‘Kalau begitu, maka cintailah wanita ini,’ pinta Rasulullah.”

 

Lebih lanjut, ‘Aisyah berkata, “Lalu Fathimah berdiri ketika mendengar hal tersebut dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia kembali kepada isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu memberitahu mereka apa yang telah dia katakan dan juga jawaban yang diberikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.’ Maka mereka berkata kepadanya, ‘Menurut kami, kamu belum berhasil menyampaikan pesan kami sedikit pun. Oleh karena itu, kembali lagi kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan katakan kepada beliau, ‘Sesungguhnya isteri-isterimu meminta sikap adil menyangkut puteri Abu Quhafah (‘Aisyah).’

 

Maka Fathimah mengatakan, ‘Demi Allah, aku tidak akan berbicara kepada beliau mengenai dirinya (untuk selamanya).’”

 

‘Aisyah berkata, “Maka isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Zainab binti Jahsyin, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ketika itu dia menyertaiku dalam kedudukan di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan aku tidak melihat seorang wanita pun di dunia ini yang lebih baik daripada Zainab, lebih bertakwa kepada Allah, lebih jujur dalam ucapan, dan lebih giat menyambung silaturahmi, lebih besar dalam bersedekah, lebih gigih dalam mengerahkan dirinya dalam beramal dan bertaqarrub kepada Allah Ta’ala.”

 

‘Aisyah melanjutkan, “Lalu Zainab meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah bersama ‘Aisyah di dalam kainnya dalam keadaan seperti ketika Fathimah masuk ke rumahnya, yang sedang bersamanya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengizinkannya. Lalu Zainab berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteri-isterimu mengutusku kepadamu untuk meminta sikap adil terhadap puteri Abu Quhafah.’”

 

‘Aisyah berkata, “Kemudian dia terus berbicara tentang diriku sehingga aku merasa sesuatu tentangnya dalam diriku. Sementara aku mengawasi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengawasi pandangannya, apakah beliau mengizinkan aku untuk membela diriku. Sedang Zainab tidak berkenan sehingga dia mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keberatan jika aku membela diriku.”

 

 

‘Aisyah berkata, “Tatkala aku melihatnya, aku tidak lama-lama melihatnya hingga aku pun berpaling darinya.”

Lebih lanjut, ‘Aisyah berkata, “Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda seraya tersenyum:

‘Sesungguhnya dia adalah puteri Abu Bakar.’” [HR. Muslim].

 

Ibnul Qayyim rahimahullah (V/151) mengatakan, “Tidak ada keharusan untuk menyamakan di antara isteri-isteri dalam hal cinta, karena hal itu di luar kuasa manusia. Dan ‘Aisyah Radhiyallahu anha merupakan isteri yang paling dicintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwasanya tidak ada kewajiban menyamaratakan di antara para isteri dalam hal hubungan badan, karena hal tersebut tergantung pada kecintaan dan kecenderungan. Dan hal itu sudah pasti berada di tangan Allah Yang membolak-balikkan hati. Dan dalam masalah ini terdapat penjelasan secara rinci, yaitu jika dia meninggalkan kecenderungan karena tidak adanya pendorong dan tidak adanya hasrat kepadanya, maka hal itu bisa dimaafkan. Dan jika meninggalkan kecenderungan dengan adanya dorongan kepadanya tetapi pendorong kepada madu lebih kuat, maka hal itu masih berada di bawah kendali dan kekuasaannya, karenanya jika dia menunaikan kewajiban padanya, maka tidak ada lagi hak baginya (isteri) dan tidak ada keharusan kepadanya (suami) untuk menyamaratakan. Dan jika dia (suami) meninggalkan yang wajib darinya (isteri), maka dia berhak menuntut hal itu darinya (suami).”

 

Syaikh Mushthafa al-‘Adawi hafizhahullah memberikan dua peringatan:

 

Peringatan pertama: Persamaan dalam hal hubungan badan meskipun hal itu tidak wajib, hanya saja dia disunnahkan untuk bersikap adil dalam masalah tersebut. Dan hal itu lebih baik dan sempurna serta lebih jauh dari kecenderungan yang berlebih-lebihan. Dan hal tersebut telah dikemukakan oleh sejumlah ulama.

 

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan di dalam kitab al-Mughni (VII/35), ‘Jika dimungkinkan untuk melakukan penyamaan antara keduanya dalam hal hubungan badan, maka yang demikian itu lebih baik dan tepat. Dan demikian itu lebih sempurna dalam hal keadilan.’

 

Di dalam kitab al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab (XVI/430) disebutkan, ‘Disukai bagi seorang suami yang memberikan giliran di antara isteri-isterinya untuk menyamaratakan dalam hal bersenang-senang (hubungan badan), karena yang demikian itu lebih sempurna dalam hal keadilan.’

 

Dalam kitab yang sama (XVI/433) juga disebutkan, ‘…hanya saja, yang disukai adalah menyamakan di antara mereka dalam hal hubungan badan, karena hal itu yang menjadi tujuan.’

 

Peringatan kedua: Seorang suami harus memenuhi kebutuhan biologis isterinya sesuai dengan kemampuannya. Sebab, jika dia tidak mengamankan isterinya dari kerusakan, maka yang demikian itu bisa jadi akan menjadi sebab permusuhan, kebencian, dan perpecahan di antara keduanya.”[1]

 

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]

______

Footnote

[1] Fiqhu Ta’addudi az-Zaujaat, hal. 95.

 

 

  1. Kewajiban Meyamaratakan (Secara Adil) Semua Isteri dalam Hal Pemberian Nafkah (Lahir/Materi).

Dari kitab Al-Fataawaa (XXXII/270), Ibnu Taimiyah menyebutkan, “Adapun keadilan dalam masalah nafkah dan sandang, maka yang disunnahkan adalah mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau sangat adil dalam keanggotaanikan nafkah di antara Kemarin, dengan senang hati aku akan membantumu dengan pekerjaan keluargamu. Kamu akan dapat menggunakannya (kamu harus memakannya. -ed ) itu akan lebih baik bagiku, tetapi akan ada gunanya bila kamu meninggalkannya.sunnah ? Sikap adil dalam hal memberikan nafkah, apakah yang demikian itu wajib atau sunnah?

 

Sayakih Musthafa al-‘Adawi berkata, “Dan yang tampak secara lahiriah -wallahu a’lam- adalah bahwa pendapat yang mewajibkan itu lebih kuat dengan didukung oleh al-Qur-an dan as-Sunnah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyyah Rahimahullah. [1]

 

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwa Ummu Sulaim pernah mengutusnya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa sebuah kain yang di atasnya terdapat kurma ruthab (yang belum kering). Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulurkannya kemudian mengirimkannya kepada beberapa orang isterinya. Dia setelah itu beliau pun mengambil lagi sebagian kurma tersebut dan memberikannya kepada sebagian isterinya yang lain. Ini mungkin alasan hilangnya waktu, yang mungkin sama dengan orang lain yang pernah mendengar lagu ini. [HR. Ahmad]. [2]

 

  1. Sekelumit Tentang Sikap Adil Para Ulama Salaf

Ibnu Abi Syaibah rahimahullah di dalam kitab al-Mushannaf (IV/387) mengatakan, Abu Dawud ath-Thayalisi mengabarkan kepada kami dari Harun bin Ibrahim, dia berkata, Aku pernah mendengar Muhammad berkata tentang seorang Laki-laki yang memiliki dua orang isteri, “Dimakruhkan karenanya untuk berwudhu’ di rumah salah seorang dari keduanya dan tidak di rumah yang lainnya.” Aku adalah atsar yang shahih.

 

Ibnu Abi Syaibah rahimahullah mengatakan di dalam kitab al-Mushannaf (IV/387), “Jarir memberitahu kami dari Mughirah dari Abu Ma’syar dari Ibrahim mengenai seorang laki-laki yang menghimpun antara dua madunya, lalu dia berkata, ‘sebenarnya dia menyamaratakan di ‘Antara persis seperti orang yang sampai sisa kelebihan tepung dankanan yang telah ditakar, lalu dia membaginya segenggam demi segenggam, hingga masih juga berakhir tetapi tidak bisa ditakar lagi.’ Atsar ini shahih. Dan Abu Ma’syar adalah Ziyad bin Kulaib, yang dia perstatus tsiqah (dapat dipercaya).

 

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Setiap kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak bepergian, beliau akan mengundi istri-istri beliau, dan istri yang diundi akan ikut dengannya. Beliau membagi waktu sehari semalam untuk setiap istri, kecuali Saudah binti Zam`ah yang memberikan waktu sehari semalamnya untuk Aisyah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan harapan hal ini membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senang.

 

“ Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha, dia berkata: Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak melakukan suatu perjalanan, maka dia mengadakan undian di antara isteri-isteri beliau. Orang-orang yang bias terhadap kelompok ini mempunyai orang yang berbeda dengan orang lain yang hidup di malamnya, yang makan makanan yang bukan anggota keluarga dan malamnya yang mencintai ‘Aisyah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan harapan mendapatkan rasulullah. Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

 

Dari Aisyah, ia berkata: Setiap kali Rasulullah, semoga Allah memberkahinya dan memberinya kedamaian, beliau akan mengundi di antara istri-istri beliau. Pengundian jatuh pada Aisyah dan Hafsa, sehingga mereka berdua pun ikut bersamanya. Ketika malam tiba, Rasulullah, semoga Allah memberkahinya dan memberinya kedamaian, akan berjalan bersama Aisyah dan berbicara dengannya. Hafsa berkata kepada Aisyah, “Mengapa kau tidak menunggangi untaku malam ini dan aku akan menungganginya?” Untamu, jadi kau melihat dan aku melihat. Ia berkata, “Ya.” Maka Aisyah pun menunggangi unta Hafsa, dan Hafsa menunggangi unta Aisyah. Kemudian Rasulullah, semoga Allah memberkahinya dan memberinya kedamaian, mendatangi unta Aisyah, dan Hafsa berada di atasnya. Beliau menyapa mereka, lalu berjalan bersamanya hingga mereka turun. Aisyah merindukannya dan menjadi cemburu. Ketika mereka turun dari kudanya, ia mulai meletakkan kakinya di antara idhkhir dan berkata, “Ya Tuhanku, kirimkanlah seekor kalajengking atau ular kepadaku, niscaya Utusan-Mu akan menyengatku, dan aku tidak akan dapat mengatakan apa pun kepadanya.”

 

D ari ‘Aisyah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa, jika akan melakukan suatu perjalanan, maka beliau mengadakan undian di antara esteri-isterinya. Tidak akan sampai kepada siapapun yang mengucapkan ‘Aisyah dan Hafshah. Dan jika malam hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan bersama ‘Aisyah sambil berbincang-bincang. Maka Hafshah berkata, “Tidakkah malam ini kamu (‘Aisyah) menaiki untaku dan aku akan menaiki untamu dengan sama-sama saling melihat?” Mungkin dijawab, “Ya.” Jangan khawatir tentang hal itu. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam men datangi unta ‘Aisyah yang di atasnya terdapat Hafshah, lalu dia mengucapkan salam kepadanya, kemudian dia berjalan sampai akhirnya mereka singgah. Dan ‘Aisyah kehilangan beliau. Ada sebuah lagu sederhana yang bunyinya seperti lagu yang berbunyi ‘Kisah Aisyah dengan antara tumbuhan Idzkhir dan berkata, “Ya Rabb-ku, kirimkanlah padaku atau ular yang akan menyengatku, dan aku tidak dapat berkata apa-apa .” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

Kembali ke   Ikhtilath (Ber Campur Baur Antara Pria dan Wanita yang Bukan Mahram) dan Bahayanya

Dari kitab Al-Mughni (VII/40), Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Secara global dapat dikatakan bahwa seorang suami jika ingin melakukan perjalanan, lalu dia ingin membawa isterinya semua atau meninggalnya, apa dia tidak perlu lagi melakukan undian, karena Dan kemudian banyak sekali orang yang ingin tinggal di tempat baru, namun inilah yang terbaik untuk dilakukan, dan orang yang melakukannya harus melakukan apa yang mereka inginkan. Inilah yang diinginkan undian. Dan inilah yang menjadi pendapat sebagian besar ulama. There adalah perbedaan antara pendapat Malik yang menurutnya semua yang berhubungan dengan dunia, pendapat yang lain yaitu niat shahih, karena ‘Aisyah Radhiyallahu bahwa dia mempunyai hati yang indah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika akan mengadakan perjalanan, sesuatu yang beliau selalu Mengadakan undian di antara esteri-isterinya.

 

Dan karena perjalanan dengan salah seorang isteri tanpa undian akan berarti sebagai pilih kasih sehingga tidak boleh dilakukan tanpa undian, sebagaimana dalam menentukan awal belokan.

 

Inilah yang ada di hati orang lain, tetapi ia tidak punya pilihan selain melakukannya. Aisyah berhak berbagi atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, setiap orang berhak melakukannya, tetapi ada juga sesuatu yang dapat ditemukan di sisi lain rumah, dan itu sama dengan Aisyah dan Hafshah. [HR. Al-Bukhari].

 

Ada tempat di mana banyak orang yang ingin makan sesuatu seperti orang ini, tetapi ada banyak orang yang ingin makan sesuatu yang lebih baik daripada yang lain.”

 

[Desalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat , Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah , Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]

______

Footnote

[1]   Fiqhu Ta’addudi az-Zaujaat , hal. 111.

[2]   Hadits ini terdapat di dalam kitab ash-Shahiih al-Musnad mimmaa Laisa fii ash-Shahiihain (I/52).

 

 

  1. Menyelesaikan Perselisihan antara Isteri-Isteri

Ummu Ruman -ibunda ‘Aisyah Radhiyallahu anha- pernah berkata kepada ‘Aisyah, “Wahai puteriku, tolonglah aku dalam menuntunmu. Demi Allah, semakin seorang wanita merendah diri di sisi suami yang mencintainya sedang dia memiliki madu, melainkan dia akan banyak berpihak kepadanya.” (HR. Al-Bukhari (no. 4750) di dalam hadits Ifki (kisah kebohongan orang-orang munafik).

 

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا غِرْتُ عَلَى امْرَأَةٍ مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيجَةَ مِنْ كَثْرَةِ ذِكْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِيَّاهَا قَالَتْ وَتَزَوَّجَنِي بَعْدَهَا بِثَلَاثِ سِنِينَ وَأَمَرَهُ رَبُّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَوْ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام أَنْ يُبَشِّرَهَا بِبَيْتٍ فِي الْجَنَّةِ مِنْ قَصَبٍ

 

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha bahwasanya dia berkata, “Aku tidak cemburu kepada seorang pun dari isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti kecemburuanku kepada Khadijah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak menyebutnya (Khadijah) dengan menyampaikan berita kepadanya bahwa dia akan mendapatkan rumah di Surga dari emas dan perak.” [HR. Al-Bukhari].

 

Dari ‘Urwah bin Zubair, dia berkata, ‘Aisyah Radhiyallahu anha pernah berkata, “Pada suatu hari aku tidak mengetahui Zainab masuk menemuiku tanpa izin sedang dia dalam keadaan marah. Kemudian dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau sudah merasa cukup, jika datang kepadamu puteri Abu Bakar.’ Kemudian dia mendatangiku, lalu aku berpaling darinya sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Belalah dirimu.’ Lalu aku menghadap kepadanya sehingga aku melihatnya telah mengering keringatnya, di dalam mulutnya tidak terdapat sesuatu pun untuk menjawabku. Kemudian aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseri wajahnya.” [HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shahih].[1]

 

Dari Yahya bin ‘Abdirrahman bin Hathib bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anha, dia berkata, “Aku pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa khuzairah yang telah aku masak untuk beliau. Lalu kukatakan kepada Saudah -sedang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di antara diriku dan dirinya- ‘Makanlah.’ Lalu dia menolak, maka aku katakan, ‘Engkau makan atau aku akan lumurkan ke wajahmu.’

 

Tetapi, dia tetap menolak. Maka aku letakkan tanganku ke dalam khuzairah, lalu aku laburkan ke wajahnya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa, lalu beliau meletakkan tangan beliau ke tangannya (Saudah) seraya berkata kepadanya, ‘Lumuri pula wajahnya.’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa untuknya.

 

Kemudian ‘Umar lewat seraya berucap, ‘Wahai hamba Allah, wahai hamba Allah.’ Beliau mengira bahwa ‘Umar akan masuk, maka beliau bersabda, ‘Bangun dan cucilah wajah kalian berdua.’

 

Baca Juga  Kewajiban Memberi Nafkah Anak Perempuan

Maka ‘Aisyah berkata, ‘Dan aku segan kepada ‘Umar karena kewibawaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’” [HR. Abu Ya’la dengan sanad yang hasan].

 

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha, dia berkata, “Aku pernah katakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Cukuplah engkau begini dan begitu terhadap Shafiyah.’ -Ghairu Musaddad mengatakan, ‘Yang dimaksudkannya adalah mengurangi perhatian beliau-.’ Maka beliau bersabda,

 

لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ.

 

‘Sesungguhnya engkau telah mengatakan kalimat yang jika dicampur dengan air laut, niscaya ia akan bercampur dengannya…’” [HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih].

 

عَنْ أَنَسٍ، قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ فَأَرْسَلَتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ بِصَحْفَةٍ فِيهَا طَعَامٌ، فَضَرَبَتِ الَّتِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي بَيْتِهَا يَدَ الْخَادِمِ فَسَقَطَتِ الصَّحْفَةُ فَانْفَلَقَتْ، فَجَمَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِلَقَ الصَّحْفَةِ، ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ فِيهَا الطَّعَامَ الَّذِي كَانَ فِي الصَّحْفَةِ وَيَقُولُ ‏ “‏ غَارَتْ أُمُّكُمْ ‏”‏، ثُمَّ حَبَسَ الْخَادِمَ حَتَّى أُتِيَ بِصَحْفَةٍ مِنْ عِنْدِ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا، فَدَفَعَ الصَّحْفَةَ الصَّحِيحَةَ إِلَى الَّتِي كُسِرَتْ صَحْفَتُهَا، وَأَمْسَكَ الْمَكْسُورَةَ فِي بَيْتِ الَّتِي كَسَرَتْ فِيه

 

Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi pernah berada di salah seorang isterinya, lalu salah seorang Ummahatul Mukminin mengirimkan satu piring berisi makanan. Kemudian isteri yang rumahnya ditempati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul tangan pelayan sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan piring dan kemudian mengumpulkan kembali ke dalamnya makanan yang ada di piring tersebut seraya berkata, ‘Ibumu telah cemburu.’ Selanjutnya, pelayan itu ditahan sehingga didatangkan kepada pelayan sebuah piring dari isteri yang rumahnya ditempati Nabi. Lalu pelayan itu menyerahkan piring yang baik kepada isteri yang dipecahkan piringnya. Sementara beliau tetap menahan piring yang pecah itu di rumah yang menjadi tempat pecahnya.” [HR. Al-Bukhari].

 

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha, dia berkata, “Pada suatu malam aku pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga aku mengira beliau pergi mendatangi salah seorang isterinya yang lain. Lalu aku mencari tahu dan kemudian kembali lagi dan ternyata beliau tengah ruku’ -atau sujud- seraya berucap:

 

سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ فَقُلْتُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي إِنَّكَ لَفِي شَأْنٍ وَإِنِّيْ لَفِي آخَرَ.

 

‘Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Mu, tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Engkau.’ Lalu aku katakan, ‘Demi ayah dan ibuku, sesungguhnya engkau berada dalam satu kesibukan, sementara aku dalam kesibukan yang lain.’” [HR. Muslim].

 

Peringatan:

Di antara manusia ada yang tergesa-gesa dan menceburkan diri dalam poligami tanpa mencermati dari keadaan dan tanpa pemikiran yang matang sehingga hanya akan menghancurkan kebahagiaan keluarga serta memecah belah kesatuan, hingga akhirnya menjadi seperti orang badui yang mengatakan:

 

تَزَوَّجْتُ اثْنَتَيْنِ لِفَرْطِ جَهْلِـي        بِـمَا يَشْقَى بِـهِ زَوْجُ اثْنَتَيْنِ

فَقُلْتُ أَصِيْرُ بَـيْنَهُمَا خَرُوْفًـا أُنَعِّـمُ بَيْنَ أَكْـرَمِ نَعْجَتَـيْنِ

 

فَصُرْتُ كَنَعْجَةٍ تُضْحِي وَتُمْسِيْ     تُـدَاوِلُ بَيْن أَخْبَثِ ذِئْبَتَـيِنِ

رِضَا هَذِي يَهِيْجُ سَخَطُ هَذِي     فَمَا أَنْجُوْ مِنْ إِحْدَى السُّخْطَتَيْنِ

 

وَأَلْقِى فِـي الْمَعِيْشَةِ كُلَّ ضُرٍّ        كَـذَاكَ الضُّرُّ بَـيْنَ الضَّرَّتَيْنِ

لِـهَذِي لَيْـلَةٌ وَلِتِلْكَ أُخْرَى    عِـتَابُ دَائِـمِ فِـي اللَّيْلَتَيْنِ

 

فَـإِنَّ أَحْبَبْتُ أَنْ تَبْقَى كَرِيْمًا مِنَ الْخَيْرَاتِ مَمْلُوْءُ الْيَدَيْـنِ

فَعِشْ عَزْبًا فَـإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْهُ فَوَاحِدَةً تَكْفِيْكَ شَرَّ الضَّرَّتَيْنِ

 

Aku menikahi dua orang wanita karena ketidaktahuanku yang parah

Terhadap kesengsaraan yang dialami oleh orang yang beristeri dua

 

Lalu kukatakan, aku berjalan di antara keduanya bagaikan seekor kambing

Digembalakan di antara dua ekor kambing betina terhormat.

 

Sehingga aku menjadi seperti kambing yang pergi pagi dan sore hari

Yang berkeliling di antara dua ekor serigala yang jahat

 

Keridhaan yang ini akan memicu kemarahan yang lain

Sehingga aku tidak pernah selamat dari salah satu dari dua ke-marahan

 

Dalam hidup ini aku singkirkan semua bahaya

Demikian juga dengan bahaya di antara dua madu

 

Untuk yang ini satu malam dan yang lainnya satu malam juga

Selalu ada celaan pada kedua malam tersebut.

 

Oleh karena itu, jika Anda ingin tetap mulia

Dengan berbagai kebaikan yang ada di tangan

 

Maka hiduplah membujang, kalau memang tidak bisa

Maka hidup dengan satu isteri saja sudah cukup daripada mendapatkan keburukan dua isteri.

 

Apa yang diungkapkan oleh orang badui ini tidak mutlak benar, tetapi orang yang membebani dirinya dengan poligami sedang dia tidak mempunyai kemampuan untuk memberi nafkah, mendidik, dan mengurus dengan baik, maka tidak mustahil dia akan terjerumus ke dalam apa yang dirasakan oleh si badui itu, berupa kejenuhan dan kepenatan hidup.

 

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]

______

Footnote

[1] Hadits ini terdapat dalam kitab ash-Shahiih al-Musnad mimmaa Laisa fii ash-Shahiihain (II/462).

 

 

  1. Nafkah dan Tempat Tinggal bagi Wanita yang Ditalak Raj’i

Allah Ta’ala berfirman:

 

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَطَلِّقُوْهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَاَحْصُوا الْعِدَّةَۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ رَبَّكُمْۚ لَا تُخْرِجُوْهُنَّ مِنْۢ بُيُوْتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍۗ وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ ۗوَمَنْ يَّتَعَدَّ حُدُوْدَ اللّٰهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهٗ ۗ لَا تَدْرِيْ لَعَلَّ اللّٰهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذٰلِكَ اَمْرًا

 

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabb-mu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” [Ath-Thalaaq/65: 1]

 

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam menafsirkan ayat di atas mengatakan, “Yakni, selama dalam masa ‘iddah dia masih berhak bertempat tinggal di rumah suaminya yang telah menceraikannya dan suaminya tidak boleh mengusirnya dari rumahnya itu. Di lain pihak, dia tidak boleh keluar dari rumah tersebut, karena dia masih terikat dengan hak suami.”

 

Dapat kami katakan, “Yakni, bagi wanita yang ditalak raj’i (masih boleh rujuk kembali), karena wanita yang sudah ditalak ba’in, tidak lagi mempunyai hak nafkah. Sebagaimana yang disebutkan di dalam Shahiih Muslim dari hadits Fathimah binti Qais bahwa Abu ‘Umar bin Hafsh pernah menalak ba’in kepadanya sedang dia tidak berada di tempat, lalu dia mengirimkan wakilnya kepada isterinya itu dengan membawa gandum, maka dia pun marah. Lalu Abu ‘Umar berkata, ‘Demi Allah, engkau tidak memiliki hak apa pun atas kami.’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, lalu kuceritakan hal tersebut kepada beliau, maka beliau berkata, ‘Engkau sudah tidak mempunyai hak apa-apa atas dirinya.’”

 

 

  1. Nafkah bagi Wanita yang Ditalak Ba’in Tetapi dalam Keadaan Hamil

Allah Ta’ala berfirman:

 

اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ وَلَا تُضَاۤرُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّۗ

 

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kalian tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” [Ath-Thalaaq/65: 6]

 

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman seraya memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya, jika salah seorang dari mereka menceraikan isterinya, maka hendaklah dia menempatkannya di dalam rumah sehingga dia selesai menjalani masa ‘iddahnya, dimana Dia berfirman : أَسْكِنُوْا هُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ  ‘Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kalian bertempat tinggal.’ Maksudnya, di sisi kalian. مَاسْتَطَعْتُمْ  ‘Menurut kemampuan kalian.’ Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan beberapa ulama lainnya mengatakan, ‘Yakni, kesanggupan kalian.’ Sampai Qatadah mengemukakan, ‘Kalau memang kamu tidak mendapatkan tempat kecuali di samping rumahmu, maka tempatkanlah dia di sana.’”

 

Allah Ta’ala berfirman:

 

وَاِنْ كُنَّ اُولَاتِ حَمْلٍ فَاَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتّٰى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّۚ

 

“Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah di talak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka itu nafkahnya hingga mereka bersalin.” [Ath-Thalaaq/65: 6]

 

Banyak ulama, yang di antaranya Ibnu ‘Abbas dan sekelompok ulama Salaf serta beberapa kelompok ulama belakangan mengatakan bahwa hal itu berkenaan dengan wanita yang ditalak ba’in. Jika dia ditalak dalam keadaan hamil, maka dia harus diberi nafkah sehingga melahirkan. Dalam hal itu mereka berdasarkan pada dalil bahwa wanita yang ditalak raj’i itu harus diberi nafkah, baik dalam keadaan hamil atau tidak.”[1]

 

  1. Mut’ah (Pemberian) bagi Wanita yang Ditalak

Allah Ta’ala berfirman:

 

وَلِلْمُطَلَّقٰتِ مَتَاعٌ ۢبِالْمَعْرُوْفِۗ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ

 

“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang yang takwa.” [Al-Baqarah/2: 241]

 

Syaikh Musthafa al-‘Adawi hafizhahullah mengatakan, “Ayat mulia ini mengandung makna bahwa setiap wanita yang ditalak itu berhak mendapatkan mut’ah, baik ia sebagai wanita yang ditalak dengan keadaan sudah dicampuri maupun belum pernah dicampuri, baik wajib bagi wanita itu maupun tidak wajib baginya.

 

Ini pula yang menjadi pendapat Sa’id bin Jubair rahimahullah sebagaimana yang diriwayatkan darinya oleh Ibnu Jarir ath-Thabari dengan sanad yang shahih (V/263).

 

Dan hal tersebut telah dikuatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah dan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam Fathul Baari (IX/496). Dan itu pula yang menjadi pendapat Imam asy-Syafi’i rahimahullah.”[2]

 

Defenisi Mut’ah:

Ath-Thabari (V/262) mengatakan, “Yaitu apa yang dapat menyenangkan seorang wanita, baik itu berupa baju, pakaian, nafkah atau pelayan, dan lain-lain sebagainya yang bisa membuatnya senang.”

 

Ukuran Mut’ah:

Allah Ta’ala berfirman:

 

وَّمَتِّعُوْهُنَّ عَلَى الْمُوْسِعِ قَدَرُهٗ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهٗ ۚ مَتَاعًا ۢبِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ

 

“Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” [Al-Baqarah/2: 236]

 

Ath-Thabari rahimahullah (V/120) mengatakan, “Yakni, berilah mereka apa yang bisa membuat mereka senang dari harta-harta kalian sesuai dengan kemampuan kalian dan juga kedudukan kalian dalam hal kekayaan dan kemiskinan. Wallaahu a’lam.”

 

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]

______

Footnote

[1] Ahkaam ath-Thalaaq fii asy-Syarii’ah al-Islamiyyah, karya Musthafa al-‘Adawi, hal. 177.

[2] Ahkaam ath-Thalaaq fii asy-Syarii’ah al-Islamiyyah, karya Musthafa al-‘Adawi, hal. 180.

 

 

  1. Pesan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Berkenaan dengan Wanita

Allah Ta’ala berfirman:

 

وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ

 

“Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu.” [Al-Baqarah/2: 237]

 

Di antara pesan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai wanita itu adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

اِسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَـإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِـنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا.

 

“Sampaikanlah pesan kebaikan kepada kaum wanita, karena sesungguhnya seorang wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan sesungguhnya bagian yang paling bengkok pada tulang rusuk adalah bagian atasnya, dimana jika engkau meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau membiarkannya, maka ia akan tetap bengkok. Sampaikanlah pesan kebaikan kepada kaum wanita.” [Muttafaq ‘alaih].

 

Sebagian mereka mengatakan:

 

هِـيَ الضِّلَعُ الْعَوْجَـاءُ لَسْتُ تُقِيمُـهَا

أَلاَ إِنَّ تَقْوِيْـمَ الضُّلُـوْعِ اِنْكِسَارُهَـا

 

أَتَجْمَعُ ضَعْفًا وَاقْتِـدَارًا عَلَـى الْفـَتَى

أَلَيْـسَ غَرِيْـبًا ضَعْفُـهَا وَاقْتِـدَارُهَا

 

Dia itu tulang rusuk yang bengkok, engkau tidak akan bisa melu-ruskannya

Ketahuilah sesungguhnya pelurusan tulang rusuk itu berarti me-matahkannya

 

Apakah engkau akan menghimpun kelemahan dan kemampuan pada seorang pemuda

Apakah bukan suatu hal yang aneh ada kelemahan dan kemam-puannya.

 

Dari ‘Abdullah bin Zam’ah Radhiyallahu anhu bahwasanya dia pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah dan menyebut tentang unta dan yang disembelihnya, dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman:

 

اِذِ انْۢبَعَثَ اَشْقٰىهَاۖ

 

‘Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka.’[1]

 

Baca Juga  Kesabaran Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Terhadap Kaum Wanita

Ketika dibangkitkan bagi jiwa-jiwa tersebut seorang laki-laki yang perkasa lagi kasar yang menjadi pelindung di dalam rombongannya.”” Kemudian beliau menyinggung soal wanita, lalu beliau memberikan nasihat tentang mereka seraya berkata, “Ada salah seorang di antara kalian datang, lalu memukul isterinya seperti pukulan terhadap budak, siapa tahu dia akan berjima’ dengannya pada akhir hari.” Kemudian beliau menasihati mereka (para Sahabat) mengenai tertawa mereka karena keluar angin yang berbunyi, seraya berkata,

 

لِمَ يَضْحَكُ أَحَدُكُمْ مِمَّا يَفْعَلُ؟

 

“Mengapa salah seorang di antara kalian tertawa atas apa yang dikerjakannya sendiri?” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

 

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhnu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ أَوْ قَالَ غَيْرَهُ

 

“Janganlah seorang laki-laki mukmin membenci wanita mukminah, kalau memang dia membenci satu karakter darinya, pastilah dia menyukai karakter lainnya.” Atau beliau mengatakan, “Yang lainnya.” [HR. Muslim].

 

Dari ‘Amr bin al-Ahwash al-Jusyami Radhiyallahu annhu bahwa dia pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu haji Wada’ bersabda setelah beliau memanjatkan pujian kepada Allah Ta’ala serta memberikan sanjungan kepada-Nya, memberikan peringatan, dan nasihat. Kemudian beliau bersabda:

 

أَلاَ وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُـمْ لَيْسَ تَمْلِكُـونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلاَّ أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، فَـإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً، أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا فَحَقُّكُمْ عَلَيهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُـمْ مَنْ تَكْرَهُونَ وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوتِكُـمْ لِمَنْ تَكْرَهُونَ أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا إِلَيْهِنَّ فِي كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ.

 

“Ketahuilah, sampaikanlah pesan kebaikan kepada wanita, karena mereka adalah penolong bagi kalian. Kalian tidak berhak melakukan apa pun terhadap mereka, kecuali mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Jika mereka melakukannya, maka pisahkanlah tempat tidur mereka, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas. Jika mereka mentaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk berbuat kasar terhadapnya. Ketahuilah bahwa kalian memiliki hak atas isteri-isteri kalian dan isteri-isteri kalian pun memiliki hak atas kalian. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan orang yang kalian benci untuk menginjakkan kaki di kamar kalian dan tidak boleh pula memberikan izin masuk rumah kalian kepada orang yang kalian tidak sukai. Ketahuilah bahwa hak mereka atas kalian adalah kalian harus berbuat baik kepada mereka dalam memberi sandang dan pangan kepada mereka.” [HR. At-Tirmidzi].

 

Hadits ini hasan dengan beberapa syawahidnya, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya dalam pembahasan tentang memperlakukan isteri dengan baik.

 

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكـُمْ لِنِسَائِهِمْ.

 

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik di antara kalian kepada isterinya.” [HR. At-Tirmidzi dengan sanad yang hasan].

 

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]

______

Footnote

[1] QS. Asy-Syams/91: 12.

 

 

 

5 1 vote
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 41 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Antara Ibadah Abadi dan Tantangan Teknologi dalam Pernikahan di Era Digital

1 Oktober 2025 - 13:31 WIB

Waris (Faraidh V)

1 Oktober 2025 - 04:12 WIB

Mengapa Verifikasi Calon Pengantin Adalah Keharusan di Era Digital?

30 September 2025 - 11:22 WIB

Taukil Wali bil lisan melalui daring, apakah diperbolehkan?

29 September 2025 - 16:46 WIB

Menggapai Keluarga SAMARA

29 September 2025 - 11:36 WIB

Waris (Faraidh IV)

25 September 2025 - 15:37 WIB

Trending di Pernikahan
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x