Menu

Mode Gelap

Tanya Jawab Fikih · 15 Sep 2025 15:20 WIB ·

99 Tanya Jawab Seputar Shalat (IV)

Penulis: UMI FIRMANSYAH


 99 Tanya Jawab Seputar Shalat (IV) Perbesar

99 Tanya Jawab Seputar Shalat (IV)

Pertanyaan 16: Apakah hukum membaca doa Iftitah?

Jawaban:

Mazhab Maliki: Makruh hukumnya membaca doa iftitah. Orang yang melaksanakan shalat langsung bertakbir dan membaca al-Fatihah, berdasarkan riwayat Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar mengawali shalat dengan Alhamdulillahi Rabbil’alamin”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Jumhur Ulama: Sunnat hukumnya membaca doa Iftitah setelah Takbiratul-Ihram pada rakaat pertama. Ini pendapat yang Rajih (kuat) menurut saya (Syekh Wahbah az-Zuhaili. Bentuk doa Iftitah ini banyak. Doa pilihan menurut Mazhab Hanafi dan Hanbali adalah:

“Maha Suci Engkau ya Allah dan dengan pujian-Mu, Maha Suci nama-Mu dan Maha Tinggi keagungan- Mu, tiada tuhan selain Engkau”. Berdasarkan riwayat Aisyah, ia berkata: “Rasulullah Saw ketika mengawali shalat, beliau membaca: “Maha Suci Engkau ya Allah dan dengan pujian-Mu, Maha Suci nama-Mu dan Maha Tinggi keagungan-Mu, tiada tuhan selain Engkau”. (HR. Abu Daud dan ad- Daraquthni dari riwayat Anas. Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’I, Ibnu Majah dan Ahmad dari Abu Sa’id. Muslim dalam Shahih-nya: Umar membaca doa ini dengan cara jahar [Nail al-Authar: 2/195])9.

Pendapat pilihan dalam Mazhab Syafi’I adalah bentuk doa:

“Aku hadapkan wajahku kepada Dia yang telah menciptakan langit dan bumi, aku condong kepada kebenaran, berserah diri kepada-Nya, aku tidak termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku hanya untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dengan itulah aku diperintahkan, aku termasuk orang-orang yang berserah diri (muslim)”. Berdasarkan riwayat dari Ahmad, Muslim dan at-Tirmidzi, dinyatakan shahih oleh at-Tirmidzi, diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib10.

Pertanyaan 17: Adakah bacaan Iftitah yang lain?

Jawaban: 9 Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu: 2/62-63.

10 Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu: 2/65.

 

Riwayat Pertama:

Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan dosa-dosaku sebagaimana telah Engkau jauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, sucikanlah aku dari dosa-dosa sebagaimana disucikannya kain yang putih dari kotoran. Ya Allah basuhlah dosa-dosaku dengan air, salju dan air yang sejuk”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Riwayat Kedua:

 

Aku hadapkan wajahku kepada Dia yang telah menciptakan langit dan bumi, aku condong kepada kebenaran, berserah diri kepada-Nya, aku tidak termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku hanya untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dengan itulah aku diperintahkan, aku termasuk orang-orang yang berserah diri (muslim). Ya Allah, Engkaulah Penguasa, tidak ada tuhan selain Engkau. Engkau adalah Tuhanku, aku adalah hamba-Mu, aku telah menzalimi diriku, aku mengakui dosaku, ampunilah aku atas dosa-dosaku semuanya, sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau, tunjukkan padaku kebaikan akhlaq, tidak ada yang dapat menunjukkannya kecuali Engkau, alihkan dariku kejelekan prilaku, tidak ada yang dapat mengalihkannya kecuali Engkau, aku sambut panggilan-Mu, semua kebaikan berada dalam kedua tangan-Mu dan kejelekan tidak ada pada-Mu, aku bersama-Mu dan kepada-Mu, Maha Suci Engkau, Maha Tinggi Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu dan aku kembali kepada-Mu”. (HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’I, Ibnu Majah dan Ahmad).

 

 

Riwayat Ketiga:

 

Maha Suci Engkau ya Allah dan dengan pujian-Mu, Maha Suci nama-Mu dan Maha Tinggi keagungan- Mu, tidak ada tuhan selain Engkau”. (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’I, Ibnu Majah dan Ahmad).

 

 

Riwayat Keempat:

Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: “Ketika kami shalat bersama Rasulullah, tiba-tiba seorang laki-laki diantara banyak orang mengucapkan: “Allah Maha Besar, segala puji bagi-Nya pujian yang banyak, Maha Suci Allah pagi dan petang”. Rasulullah Saw bertanya: “Siapakah orang yang mengucapkan kalimat anu dan anu”. Seorang laki-laki menjawab: “Saya wahai Rasulullah”. Rasulullah Saw berkata: “Aku merasa takjub dengan kalimat itu, dibukakan untuknya pintu-pintu langit”. Umar berkata: “Aku tidak pernah meninggalkan kalimat-kalimat itu sejak aku mendengar Rasulullah Saw mengatakan itu”. (HR. Muslim).

 

 

Riwayat Kelima:

 

Dari Anas, ada seorang laki-laki datang, ia masuk ke dalam barisan, nafasnya sesak (karena tergesa-gesa, ia mengucapkan: “Segala puji bagi Allah, pujian yang banyak, baik dan penuh keberkahan di dalamnya”. Ketika Rasulullah Saw selesai melaksanakan shalat, beliau bertanya: “Siapakah diantara kamu yang mengucapkan kalimat tadi?”. Orang banyak terdiam. Rasulullah Saw berkata: “Siapa diantara kamu yang mengucapkannya, sesungguhnya ia tidak mengatakan yang jelek”. Seorang laki-laki berkata: “Saya datang, nafas saya tersengal-sengal, lalu saya mengucapkannya”. Rasulullah Saw berkata: “Aku telah melihat dua belas malaikat segera mendatanginya, berlomba ingin mengangkatnya”. (HR. Muslim).

Riwayat Keenam:

 

Ya Allah, bagi-Mu segala puji, Engkau cahaya langit dan bumi. Bagi-Mu segala puji, Engkau Pengatur langit dan bumi. Segala puji bagi-Mu, Engkau Pemilik langit dan bumi beserta isinya. Engkau Maha Benar, janji-Mu benar, firman-Mu benar, pertemuan dengan-Mu benar, surga itu benar, neraka itu benar, hari kiamat itu benar. Ya Allah, kepada-Mu aku berserah diri, dengan-Mu aku beriman, kepada- Mu aku bertawakkal, kepada-Mu aku kembali, dengan-Mu aku melawan orang-orang yang memusuhi- Mu, kepada-Mu aku berhukum, ampunilah aku atas dosaku di masa lalu dan akan datang, yang aku rahasiakan dan aku nyatakan, Engkaulah Tuhanku, tiada tuhan selain Engkau”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Riwayat Ketujuh:

Abu Salamah bin Abdirrahman bin ‘Auf berkata: “Saya bertanya kepada Aisyah Ummul Mu’minin: “Dengan apa Rasulullah Saw mengawali shalatnya pada sebagian malam?”. Aisyah menjawab: “Apabila Rasulullah Saw bangun untuk Qiyamullail, beliau mengawali shalatnya:

Ya Allah Rabb Jibra’il, Mika’il dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang Mengetahui alam yang ghaib dan yang tampak. Engkaulah yang menetapkan hukum diantara hamba-hamba-Mu tentang apa yang mereka perselisihkan. Berikanlah hidayah kepadaku tentang kebenaran yang dipertentangkan, dengan

 

izin-Mu, sesungguhnya Engkau memberikan hidayah pada orang-orang yang Engkau kehendaki menuju jalan yang lurus”. (HR. Muslim).

 

 

Pertanyaan 18:

Ketika akan membaca al-Fatihah dan Surah, apakah dianjurkan membaca Ta’awwudz (A’udzubillah)?

Jawaban:

Ulama tidak sepakat dalam masalah ini.

Mazhab Maliki: Makruh hukumnya membaca Ta’awwudz dan Basmalah sebelum al-Fatihah dan Surah

berdasarkan hadits Anas: “Sesungguhnya Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar mengawali shalat mereka dengan membaca alhamdulillahi rabbil’alamin”.

Mazhab Hanafi: Mengucapkan Ta’awwudz pada rakaat pertama saja.

Mazhab Syafi’i dan Hanbali: Dianjurkan membaca Ta’awwudz secara sirr pada awal setiap rakaat sebelum membaca al-Fatihah, dengan mengucapkan: (Aku berlindung kepada

Allah dari setan yang terkutuk). Dari Imam Ahmad, ia berkata:  (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk). Dalilnya adalah hadits riwayat Imam Ahmad dan at-Tirmidzi dari Abu Sa’id al-Khudri, dari Rasulullah Saw, ketika Rasulullah Saw akan melaksanakan shalat, beliau mengawali dengan mengucapkan: [ ] (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar dan Mengetahui dari setan yang terkutuk, dari bisikannya, kesombongan dan sihirnya). Ibnu al-Mundzir berkata: “Diriwayatkan dari Rasulullah Saw bahwa beliau mengawali bacaan dengan:  (Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk)11. Kemudian beliau mengucapkan: dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Dibaca sirr menurut Mazhab Hanafi dan Hanbali.

Dibaca Jahr menurut Mazhab Syafi’I, mereka berdalil tentang disunnahkan                                                                                                 nya Ta’awwudz berdasarkan firman Allah: “Apabila kamu membaca Al-Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk”. (Qs. an-Nahl [16]: 98)12.

 

 

Pertanyaan 19: Ketika membaca al-Fatihah, apakah Basmalah dibaca Jahr atau Sirr?

Jawaban:

Yang membaca Sirr berdalil dengan hadits:

.

Dari Anas bin Malik, ia meriwayatkan: “Saya shalat di belakang Rasulullah Saw, Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mereka memulai dengan ‘Alhamdulillah Rabbil’alamin’. Mereka tidak menyebutkan ‘Bismillahirrahmanirrahim’ pada awal bacaan dan di akhir bacaan. (HR. Muslim).

Akan tetapi dalil ini dijawab oleh para ulama yang mengatakan Basmalah dibaca jahr.

kalimat: ‘Illat, mengandung ini hadits Pertama,

(Mereka tidak menyebutkan ‘Bismillahirrahmanirrahim’ pada awal bacaan dan di akhir bacaan). Kalimat ini bukan ucapan Anas bin Malik, akan tetapi ucapan tambahan dari periwayat yang memahami bahwa

makna kalimat: اْ(Mereka memulai dengan ‘Alhamdulillah

Rabbil’alamin’), ia fahami membaca Alhamdulillahi Rabbil’alamin tanpa Basmalah. Padahal yang

dimaksud Anas dengan kalimat: (Mereka memulai dengan ‘Alhamdulillah Rabbil’alamin’).

Maka makna hadits di atas adalah: mereka memulai dengan surat Alhamdulillahi Rabbil’alamin. Bukan memulai dengan Alhamdulillahi Rabbil’alamin. Ini didukung hadits:

11 Imam asy-Syaukani, Nail al-Authar: 2/196 dan setelahnya.

12 Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu: 2/67.

“Jika kamu membaca Alhamdulillah, maka bacalah: Bismillahirrahmanirrahim. Sesungguhnya al-Fatihah itu adalah Ummul Qur’an, Ummul Kitab, as-Sab’u al-Matsani dan Bismillahirrahmanirrahim adalah salah satu ayatnya.

Hadits ini dinyatakan shahih oleh Nashiruddin al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah dan Shahih wa Dha’if al-Jami’ ash-Shaghir.

ari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda: “Alhamdulillah Rabbil’alamin itu tujuh ayat, salah satunya adalah: Bismillahirrahmanirrahim. Dialah tujuh ayat yang diulang-ulang, al-Qur’an yang Agung, Ummul Qur’an dan pembuka kitab (Fatihah al-Kitab)”. Imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-Haitsami berkata:

Diriwayatkan Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, para periwayatnya adalah Tsiqat (para periwayat yang terpercaya)13.

Maka makna ucapan Anas bin Malik:

Mereka memulai dengan surat Alhamdulillahi Rabbil’alamin.

Kedua, para ahli hadits menjadikan hadits riwayat Anas diatas sebagai contoh hadits yang mengandung ‘Illat pada matn, hadits yang mengandung ‘Illat tidak dapat dijadikan dalil.

 

Imam Ibnu ash-Shalah dan Imam Zainuddin memberikan contoh hadits riwayat Anas tentang Bismillah, hadits tersebut adalah contoh ‘Illat pada matn14.

Ketiga, riwayat Anas di atas bertentangan dengan riwayat lain yang juga diriwayatkan Anas bin Malik:

13 Al-Hafizh al-Haitsami, Majma’ az-Zawa’id wa Manba’ al-Fawa’id: 2/129.

14 Imam ash-Shan’ani, Taudhih al-Afkar li Ma’ani Tanqih al-Anzhar: 2/28.

 

Dari Qatadah, ia berkata: “Anas bin Malik ditanya tentang bacaan Rasulullah Saw”. Anas menjawab: “Menggunakan Madd”. Kemudian ia membaca Bismillahirrahmanirrahim, menggunakan madd pada Bismillah. Menggunakan madd pada ar-Rahman. Dan menggunakan madd pada ar-Rahim. (HR. al- Bukhari).

Keempat, hadit riwayat Anas bin Malik terdapat perbedaan, antara yang menetapkan dan menafikan, kaedah menyatakan:

Yang menetapkan lebih didahulukan daripada yang menafikan.

Kelima, salah satu alasan yang membaca Basmalah secara sirr adalah karena Basmalah bukan bagian dari al-Fatihah, maka dibaca Sirr.

Sedangkan riwayat menyebutkan:

[“Jika kamu membaca Alhamdulillah, maka bacalah: Bismillahirrahmanirrahim. Sesungguhnya al-Fatihah itu adalah Ummul Qur’an, Ummul Kitab, as-Sab’u al-Matsani dan Bismillahirrahmanirrahim adalah salah satu ayatnya.

Hadits ini dinyatakan shahih oleh Nashiruddin al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah dan Shahih wa Dha’if al-Jami’ ash-Shaghir.

Jika Basmalah itu adalah bagian dari al-Fatihah berdasarkan hadits yang shahih, mengapa dibaca Sirr?!15

Adapun hadits yang menyatakan Rasulullah Saw membaca jahr, Imam an-Nawawi berkata:

 

Adapun hadits-hadits membaca Basmalah dengan cara Jahr adalah hujjah yang kuat terbukti keshahihannya (diantaranya) adalah hadits-hadits yang diriwayatkan dari enam orang shahabat Rasulullah Saw; Abu Hurairah, Ummu Salamah, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Ali bin Abi Thalib dan Samurah bin Jundub semoga Allah Swt meridhai mereka semua16. 15 Lihat Shahih Shifat Shalat Nabi, Syekh Hasan as-Saqqaf: 113-114.

16 Imam an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab: 3/344.

 

Pertanyaan 20: Apakah hukum membaca al-Fatihah bagi Ma’mum?

Jawaban:

Mazhab Hanafi:

Ma’mun tidak perlu membaca al-Fatihah, berdasarkan dalil-dalil berikut ini:

Pertama, ayat al-Qur’an: “Dan apabila dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”. (Qs. al-A’raf *7+: 204). Imam Ahmad bekrata: “Umat telah sepakat bahwa ayat ini tentang shalat”. Perintah agar mendengarkan bacaan al- Fatihah yang dibacakan, khususnya pada shalat Jahr. Diam mencakup shalat Sirr dan Jahr, maka orang yang shalat wajib mendengarkan bacaan imam yang dibaca jahr dan diam pada bacaan Sirr. Hadits- hadits mewajibkan bacaan, maka makna ayat ini mengandung makna wajib, menentang yang wajib berarti haram.

Kedua, dalil Sunnah. Dalam hadits disebutkan:

 

Siapa yang shalat di belakang imam, maka bacaan imam sudah menjadi bacaan baginya”. (HR. Abu Hanifah dari Jabir). Ini mencakup shalat Sirr dan Jahr.

Hadits lain:

Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti, apabila imam bertakbir maka bertakbirlah kamu. Apabila imam membaca maka diamlah kamu”. (HR. Muslim, dari Abu Hurairah).

Hadits lain:

Rasulullah Saw melaksanakan shalat Zhuhur, ada seorang laki-laki di belakang membaca ayat: “Sabbihisma rabbika al-a’la”. Ketika selesai shalat, Rasulullah Saw bertanya: “Siapakah diantara kamu yang membaca ayat?”. Laki-laki itu menjawab: “Saya”. Rasulullah Saw berkata: “Menurutku salah seorang kamu telah melawanku dalam membaca ayat”. (HR. al-Bukhari dan Muslim dari ‘Imran bin Hushain). Ini menunjukkan pengingkaran terhadap bacaan ma’mum dalam shalat Sirr, maka dalam shalat Jahr lebih diingkari lagi.

Ketiga, dalil dari Qiyas. Jika membaca al-Fatihah itu wajib bagi ma’mum, mengapa digugurkan kewajibannya bagi orang yang masbuq seperti rukun-rukun yang lain. Maka bacaan ma’mum diqiyaskan kepada bacaan masbuq dalam hal gugur kewajibannya, dengan demikian maka bacaan al-Fatihah tidak disyariatkan bagi ma’mum.

 

Jumhur Ulama:

Rukun bacaan dalam shalat adalah bacaan al-Fatihah. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw:

Tidak sah shalat orang yang tidak membaca al-Fatihah”.

Hadits lain:

Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Fatihah al-Kitab (al-Fatihah)”. (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Juga berdasarkan perbuatan Rasulullah Saw sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Muslim dan hadits yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari:

Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”.

Adapun membaca surat setelah al-Fatihah pada rakaat pertama dan rakaat kedua dalam semua shalat adalah sunnat. Ma’mum membaca al-Fatihah dan surat pada shalat Sirr saja, tidak membaca apa pun pada shalat Jahr, demikian menurut Mazhab Maliki dan Mazhab Hanbali. Membaca al-Fatihah dalam shalat Jahr saja menurut Mazhab Syafi’i.

Dapat difahami dari pendapat Imam Ahmad bahwa beliau menganggap baik membaca sebagian al- Fatihah ketika imam diam pada diam yang pertama, kemudian melanjutkan bacaan al-Fatihah pada diam yang kedua. Antara kedua diam tersebut ma’mum mendengar bacaan imam.

Mazhab Syafi’i: Imam, Ma’mum dan orang yang shalat sendirian wajib membaca al-Fatihah dalam setiap rakaat, apakah dari hafalannya, atau melihat mushaf atau dibacakan untuknya atau dengan cara lainnya. Apakah pada shalat Sirr ataupun shalat Jahr, shalat Fardhu ataupun shalat Sunnat, berdasarkan dalil- dalil diatas dan hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit,Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit, ia berkata: “Rasulullah Saw melaksanakan shalat Shubuh, Rasulullah Saw merasa berat melafazkan ayat. Ketika selesai shalat, Rasulullah Saw berkata: “Aku melihat kamu membaca di belakang imam kamu”. Kami menjawab: “Ya wahai Rasulullah”. Rasulullah Saw berkata: “Janganlah kamu melakukan itu, kecuali membaca al-Fatihah, karena sesungguhnya tidak sah shalat orang yang tidak membaca al-Fatihah”. (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Hibban).

Ini nash (teks) yang jelas mengkhususkan bacaan bagi ma’mum, menunjukkan bahwa bacaan tersebut wajib. Makna nafyi (meniadakan) menunjukkan makna tidak sah, seperti menafikan zat pada sesuatu. Menurut Qaul Jadid: jika seseorang meninggalkan bacaan al-Fatihah karena terlupa, maka tidak sah. Karena rukun shalat tidak dapat gugur disebabkan lupa, seperti ruku’ dan sujud. Tidak gugur bagi orang yang shalat, kecuali bagi masbuq dalam satu rakaat, maka imam menanggungnya.

Sama hukumnya seperti masbuq, orang yang berada dalam keramaian, atau terlupa bahwa ia sedang shalat, atau terlambat dalam gerakan; ma’mum belum juga bangun dari sujud sementara imam sudah ruku’ atau hampir ruku’. Atau ma’mum ragu membaca al-Fatihah setelah imamnya ruku’, lalu ia terlambat membaca al-Fatihah17.

(Disalin dari buku 99 Tanya Jawab Seputar Shalat, penulis H.Abdul Somad,Lc,MA, Penerbit Tapaqquh Media Pekanbaru-Riau, cet ke V, Agustus 2017).

5 1 vote
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 108 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

99 Tanya Jawab Seputar Shalat (III)

13 September 2025 - 14:46 WIB

99 Tanya Jawab Seputar Shalat (II)

13 September 2025 - 14:05 WIB

99 Tanya Jawab Seputar Shalat (I)

12 September 2025 - 17:47 WIB

Menyatukan Langkah Pendukung dan Penentang Maulid Nabi

9 September 2025 - 14:51 WIB

Masa Iddah untuk Laki-laki, antara Fikih Klasik dan Regulasi Hukum di Indonesia

19 Agustus 2025 - 06:42 WIB

Mendirikan Shalat Tahajud tapi Belum Tidur, Sahkah?

18 Agustus 2025 - 17:11 WIB

Trending di Tanya Jawab Fikih
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x