Menu

Mode Gelap

Pernikahan · 16 Sep 2025 15:27 WIB ·

Hukum Perkawinan di Indonesia (IV)

Penulis: UMI FIRMANSYAH


 Hukum Perkawinan di Indonesia (IV) Perbesar

Hukum Perkawinan di Indonesia (IV)

Pencegahan Perkawinan.

Kata pencegahan berasal dari kata “cegah”,197 dengan arti “tegah”, “mencegah”, berarti menegahkan; menahan (menolak dsb); merintangi (melarang dsb); mengikhtiarkan supaya jangan (terjadi dsb).198 Sedangkan kata pencegahan berarti penegahan; penolakan.199 Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami secara sederhana bahwa pencegahan perkawinan diartikan dengan perbuatan menghalang-halangi, merintangi, menahan jangan sampai terjadi perkawinan yang sudah direncanakan sejak semula menjadi tertunda atau gagal.

Amiur Nuruddin menyebutkan, seiring dengan perkembangan global seperti yang kita saksikan saat ini, maka terjadinya pelanggaran terhadap larangan perkawinan sangat mungkin terjadi. 197 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, … hlm. 191.

198 Ibid.

199 Ibid.

 

Untuk itulah pasal-pasal pencegahan merupakan strategi jitu untuk menghindari perkawinan yang terlarang.200

Salah satu manfaat pengumuman selama 10 (sepuluh) hari sebelum pelaksanaan perkawinan adalah untuk memberi kesempatan kepada siapa saja yang merasa keberatan terhadap perkawinan yang akan dilangsungkan untuk melakukan pencegahan terhadap perkawinan tersebut.201

Christian Kohler sebagaimana yang dikutip oleh J. Prins menyatakan bahwa undang-undang Indonesia yang baru (UU. No. 1/1974) itu meberikan bagi mereka yang dapat menuntut pencegahan perkawinan suatu peluang yang besar; mencakup semua orang yang merasa berkepentingan.202

Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan perundang-undanga.203 Pencegahan perkawinan diatur dalam Bab II Pasal 13 s.d. 20 UUP, KHI mengaturnya dalam Bab X Pasal 60 s.d. 68, sedangkan fiqh tidak mengenal adanya pencegahan perkawinan.

Pasal 13 UU. No. 1/1974 menegaskan “Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Sementara Pasal 60 KHI menyatakan:

  1. Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan perundang-
  2. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.                                                                                                                                                                                       2

200 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam … hlm. 99-100.

201 Baharuddin Ahmad, Hukum Perkawinan … hlm. 150.

202 J. Prins, Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia, Alih Bahasa G.A. Ticoalu, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 51.

203 Ahmad Rafiq, Hukum Islam … hlm. 139.

Pencegahan perkawinan dilakukan sebelum perkawinan dilaksanakan. Tidak dikenalnya institusi pencegahan perkawinan dalam fiqh Islam, disebabkan karena kecilnya kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap larangan perkawinan. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian pencatatan perkawinan, kuatnya posisi saksi (ingatan yang kuat, dabit sadran) dan tradisi walimatul urusy tanpa disadari merupakan kontrol yang baik dari masyarakat terhadap kedua mempelai. Jika pada diri kedua mempelai diketahui terdapat larangan-larangan perkawinan maka masyarakat segera mengetahuinya.204 Menurut Hilman Hadikusuma, bahwa istilah pencegahan perkawinan yang diatur dalam UU. No. 1/1974 ini tampaknya dipengaruhi oleh KUH Perdata (BW) yang sebelumnya tidak berlaku bagi masyarakat hukum adat terutama yang beragama Islam.205

Terlepas dari persoalan pengaruh mempengaruhi, menurut hemat penulis, pencegahan perkawinan ini bermuara atau bertujuan untuk menghindari perkawinan yang terlarang. Akhir yang dituju adalah dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bagi suami dan isteri serta anak-anak mereka.

Agar di dalam upaya mencegahan perkawinan tidak menimbulkan kerancuan, maka UU. No. 1/1974 dan KHI mengatur siapa-siapa yang berhak untuk mengajukan pencegahan perkawinan tersebut. Yang berhak untuk melakukan pencegahan perkawinan diatur dalam Pasal 14 s/d 16 UUP jo Pasal 62 s/d 64 KHI, adalah sebagai berikut:

  1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah
  2. Saudara dari salah seorang calon
  3. Wali
  4. Pihak-pihak yang
  5. Pejabat yang

 

204 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam … hlm. 100.

205 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, … hlm. 71.

 

Dalam penjelasan Pasal 62 ayat (2) KHI dikemukakan, bahwa “Ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain.”

Menurut hemat penulis, pada prinsipnya siapa saja yang melihat atau mengetahui bahwa dalam perkawinan yang akan dilangsungkan oleh kedua calon mempelai terdapat halangan, baik menurut ketentuan syara’ maupun undang-undang, berhak untuk mencegah perkawinan yang akan berlangsung tersebut.

Suami atau isteri yang masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, (Pasal 15 UU. No. 1/1974 jo Pasal 63 KHI). Ini maksudnya untuk mengatasi perkawinan atau poligami liar, yang dilakukan tanpa izin dari pengadilan atau dari isteri yang sudah ada. Kasus semacam ini muncul kepermukaan, disebabkan berbagai masalah yang sangat kompleks, misalnya pemalsuan identitas calon mempelai laki-laki, sudah kawin dan punya anak, di tempat calon isteri (kedua atau ketiga) mengaku masih perjaka, kenyataan semacam ini memang masih sering terjadi. Atau bisa terjadi, karena sengaja untuk menghindari peraturan perundangan yang mengatur bahwa poligami harus ada izin pengadilan. Sementara menurut mereka, untuk memperoleh izin tersebut dibutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Tidak berbeda halnya dengan kawin “sirri” yang dilakukan tanpa melibat PPN. Jika demikian halnya, maka kembali kepada persoalan kesadaran hukum mereka menjadi faktor utama terwujudnya tertib administrasi dan tertib hukum dalam masyarakat.206

206 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, … hlm. 142.

Demikian pula dengan pejabat yang ditunjuk, yakni PPN, sebagaimana yang dituangkan dalam Pasal 16 UU. No. 1974 jo Pasal 64 KHI diberi wewenang untuk mencegah perkawinan yang tidak memenuhi syarat, baik menurut hukum Islam maupun perundang- undangan. Hal ini dimaksudkan untuk berupaya semaksimal mungkin sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam agama maupun dalam perundang-undangan. Maka dalam konteks ini, PPN mempunyai tugas ganda, selain sebagai petugas yang ditunjuk untuk mencatat perkawinan, ia juga ditugasi untuk mengawasi apakah terdapat larangan perkawinan antara calon mempelai atau tidak.

Adapun mekanisme yang ditempuh bagi pihak-pihak yang akan melakukan pencegahan adalah dengan cara mengajukan permohonan pencegahan perkawinan itu ke Pengadilan Agama dalam daerah hukum di mana perkawinan itu akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada PPN. Selanjutnya PPN harus memberitahukan mengenai pencegahan perkawinan tersebut kepada kedua calon mempelai, (Pasal 17 UU. RI. No. 1/1974 jo Pasal 65 KHI). Pasal 19 dan 20 UU. RI. No. 1/1974 jo Pasal 66 s.d. 68 menentukan bahwa apabila ada pencegahan perkawinan, maka PPN tidak boleh melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan, bila ia

mengetahui adanya pelanggaran syarat-syarat perkawinan.

UUP tidak menentukan, bagaimana cara pengajuan pencegahan perkawinan ke pengadilan, apakah dengan tertulis atau cukup dengan lisan, bagaimana caranya pemanggilan dan pemeriksaan oleh pengadilan, apakah orang yang akan melangsung perkawinan itu juga harus menghadap pengadilan, bagaimana tindakan orang yang akan kawin itu karena adanya pengaduan untuk pencegahan itu, dan sebagainya, yang masih banyak persoalannya.207

Menurut Eoh, pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberi keputusan, apakah akan menguatkan pencegahan  tersebut  atau  memerintahkan  agar  perkawinan

207 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, … hlm. 30.

uddin Ahmad M.H.I.   127

 

dilangsungkan.208 Apa yang dimaksud dengan acara singkat ini tidak dijelaskan oleh pembentuk undang-undang. Mungkin yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang dengan acara singkat adalah pengadilan singkat (kort geding).209

Kort geding adalah pemeriksaan perkara oleh hakim dengan acara singkat karena memerlukan penyelesaian secepat mungkin atau menghendaki keputusan yang segera. Dalam acara singkat ini para pihak yang berperkara mengharapkan perkara yang diperiksa oleh pengedilan segera mendapatkan keputusan karena mereka sangat berkepentingan untuk mengetahui secepatnya putusan dari perkara tersebut.210

Permohonan pencegahan perkawinan ini termasuk perkara yang sederhana pembuktiannya, maka untuk cepatnya proses pengadilan dapat diperiksa dan diadili oleh hakim tunggal.211

Memang sebaiknya, pemeriksaan atas permohonan pencegahan perkawinan oleh Pengadilan Agama (PA) dilakukan secepatnya, sehingga pemohon dan calon mempelai dapat mengetahui putusan dari PA tersebut. Apakah mereka boleh atau tidak boleh melangsungkan perkawinannya. Seandainya PA menguatkan pencegahan dari pemohon, maka perkawinan tidak boleh untuk dilangsungkan, sebaliknya kalau PA membatalkan pencegahan tersebut, maka PPN dapat melangsungkan perkawinan.

Demikian pula halnya, perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pemcegahan belum dicabut. Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan PA atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan dari PA oleh yang melakukan pencegahan, (Pasal 18 dan 19 UU. RI. No. 1/1974 jo Pasal 66 dan 67 KHI).

Sehubungan dengan dicabutnya permohonan pencegahan perkawinan, menurut Ahmad Rafiq, apabila di dalam pengajuan 208 O. S. Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori … hlm. 90.

209 Ibid.

210 Ibid., hlm. 91.

211 Ibid.

permohonan pencegahan perkawinan dipandang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, atau di tengah proses pengajuan ditemukan bukti-bukti akurat bahwa perkawinan yang akan dilangsungkan telah memenuhi syarat dan rukunnya, maka pencegahan dapat dicabut.212

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa lembaga pencegahan perkawinan diciptakan oleh pembentuk undang-undang dengan maksud agar setiap perkawinan yang akan dilangsungkan harus memenuhi syarat-syarat dan melalui prosedur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Oleh karena itu, apabila ada calon mempelai yang tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan diberikan kesempatan kepada orang-orang yang merasa keberatan untuk melakukan pencegahan dengan mengajukan permohonan kepada PA. Setelah menerima permohonan pencegahan perkawinan itu, PA segera memeriksa dan menetapkan apakah permohonan tersebut dapat dikabulkan atau ditolak. Jadi, pada akhirnya PA yang akan memutuskan apakah perkawinan yang dicegah itu dapat dilangsungkan atau tidak.

Penolakan Perkawinan.

Penolakan perkawinan ini dilakukan oleh PPN. PPN juga berhak untuk melakukan pencegahan terhadap perkawinan yang akan dilangsungkan bilamana perkawinan yang akan dilangsungkan itu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum Islam dan undang-undang.

Penolakan perkawinan yang dilakukan oleh PPN ini diatur dalam Pasal 21 UU. No. 1/1974 jo Pasal 69 KHI. Apabila PPN berpendapat bahwa terhadap suatu perkawinan yang akan dilangsungkan ternyata ada larangan menurut undang-undang, maka ia akan menolak untuk melangsungkan perkawinan tersebut. Penolakan terhadap permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh PPN akan diberikan surat keterangan dengan alasan-alasan penolakan tersebut.

212 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, … hlm. 145.

 

Alasan untuk penolakan perkawinan itu terdiri dari:

  1. Salah satu atau kedua calon penganten belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan yaitu pria berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun.
  2. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas atau ke
  3. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
  4. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak
  5. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman
  6. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
  7. Mempunyai hubungan oleh agama atau peraturan lain yang berlaku dilarang
  8. Salah seorang atau keduanya masih terikat dalam suatu tali
  9. Seorang isteri yang telah dijatuhi talak tiga kali oleh suaminya, keduanya tidak dapat melangsungkan perkawinan kembali sebelum isteri kawin dengan pria
  10. Terjadinya pelanggaran terhadap tata cara 213

213 Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm. 25.

PERJANJIAN PERKAWINAN DAN KAWIN HAMIL

 

Perjanjian Perkawinan.

Perjanjian perkawinan yaitu persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah.228

  1. RI. No. 1/1974 mengatur tentang perjanjian perkawinan ini pada Pasal 29 bunyi selengkapnya sebagai berikut:
  2. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
  3. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan
  4. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan

228 Ghozali, Fiqh Munakahat, … hlm. 119.

  1. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak

Dalam penjelasan Pasal 29 ini dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “perjanjian” dalam pasal ini tidak termasuk taklik-talak. Namun dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 pasal 11 menyebutkan:

  1. Calon suami isteri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
  2. Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah
  3. Sighat taklik talak ditentukan oleh Menteri 229

Ternyata KHI mengikuti apa yang diatur di dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 tersebut. KHI mengatur tentang perjanjian perkawinan ini dalam Pasal 45 s.d. 52.

Pasal 45 menyatakan: Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:

  1. Taklik talak, dan
  2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum

Jadi, perjanjian perkawinan seperti yang dijelaskan dalam penjelasan Pasal 29 UU. No. 1/1974, dengan sendirinya diubah, atau setidaknya diterapkan bahwa taklik talak termasuk salah satu macam perjanjian perkawinan.

Perjanjian yang dapat dibenarkan kata M. Ali Hasan adalah perjanjian yang membawa manfaat (faedah) kepada kedua belah pihak suami-isteri.230 Perjanjian yang tidak bermanfaat, atau yang bertentangan dengan syariat Islam, atau bertentangan dengan hakikat perkawinan, maka perjanjian yang demikian tidak wajib untuk diikuti. Tetapi menurut Ahmad bin Hanbali menyatakan, perjanjian atau syarat yang demikian wajib dituruti.231

229 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, … hlm. 153-154.

230 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Cet. ke II, (Jakarta: Siroja, 2006(, hlm. 126.

 

Sebagai contoh perjanjian yang tidak boleh diikuti, misalnya selama dalam perkawinan si isteri tidak boleh keluar rumah atau si suami tidak boleh kawin lagi. Syarat atau perjanjian tersebut tidak sah dan tidak boleh diikuti. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW:

كُُّ شَـرْطٍ لَيْسَ فِ كِتَـابِ الَِّل فَـهُـوَ بَـاطِـلٌ وإَنِْ كَنَ مِـاَئَةُ

شَـرْطٍ.

Segala syarat yang tidak terdapat di dalam Kitabullah adalah batal, sekalipun seratus kali syarat. Muttafaq ‘Alaih.

Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda:

الـمُسْلِـمُـوْنَ عَـلَ شُـرُوْطِـهِـمْ إلَّا شَـرْطًا أحَـلَّ حَـرَامًـا وَحَـرَّمَ

حَـلَالًا.

Orang-orang Islam itu menurut syarat mereka, kecuali apabila berupa syarat yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Salah satu bentuk perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 45 adalah taklik talak. Mengenai taklik talak ini dalam Pasal 46 dijelaskan sebagai berikut:

  1. Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum
  2. Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul- betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan
  3. Perjanjian taklik talak bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjiankan tidak dapat dicabut 23                        Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh, … hlm. 123.

dah menjadi kebiasaan setelah akad nikah dilangsungkan, si suami membaca sighat taklik talak. Maksudnya ialah agar si isteri tidak tersia-sia dan teraniaya oleh perbuatan dan tingkah laku suami.232 Sepanjang perjanjian itu mengenai taklik talak, maka Kementerian Agama RI sudah mengaturnya, di mana isi atau teks dari sighat taklik talak itu seragam untuk seluruh Indonesia.

Adapun teks atau shigat taklik talak yang diucapkan oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan adalah sebagai berikut:

Sesudah akad nikah, saya bin berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli isteri saya bernama … binti … dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran syari’at Islam.

Selanjutnya saya mengucapkan sighat taklik talak atas isteri saya itu seperti berikut:

Sewaktu-waktu saya:

  1. Meninggalkan isteri saya tersebut dua tahun berturut-turut,
  2. Atau saya tidak memberi nafhah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,
  3. Atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya itu,
  4. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya itu enam bulan

Kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, dan isteri saya itu membayar uang sebesar Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwadl (pengganti) itu dan kemudian memberikannya untuk keperluan ibadah sosial.

232 Ibid.

 

………., …………………………………

(tempat, tanggal, bulan dan tahun)

Suami,

………………………………………

(tanda tangan dan nama)

Memperhatikan muatan sighat taklik talak tersebut, kandungan maksudnya cukup baik dan positif, yaitu melindungi perempuan dari kesewenang-wenangan suami dalam memenuhi kewajibannya, sebagai hak-hak yang seharusnya diterima si isteri. Meskipun sesungguhnya isteri, telah mendapatkan hak berupa khulu’ (gugat cerai) maupun hak fasakh. Karena itu sekali lagi, yang perlu diperhatikan adalah apakah suami benar-benar menyetujui dan membaca serta menandatangani sighat taklik talak tersebut atau tidak. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekeliruan dan kesulitan dalam menyelesaikan persoalan yang timbul.233

Selain perjanjian dalam bentuk taklik talak, KHI juga mengatur tentang perjanjian lainnya, sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Seperti perjanjian harta bersama suami isteri, hal ini KHI mengaturnya dari Pasal 47 s.d. 50.

Sedangkan Pasal 51 mengatur tentang pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan, selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada isteri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.

Menurut hemat penulis Pasal 51 KHI ini secara inplisit berlaku juga bagi si suami. Seandainya si isteri yang melanggar perjanjian perkawinan, maka si suami mempunyai hak untuk membatalkan perkawinan atau sebagai alasan untuk cerai talak yang diajukan ke Pengadilan Agama.

Segala bentuk perjanjian yang dibuat oleh suami isteri dan disahkan oleh PPN, terutama syarat yang berkenaan langsung dengan

pelaksanaan perkawinan, umpamanya suami isteri bergaul dengan baik, suami mesti memberi nafhah untuk anak dan isterinya, isteri mesti melayani kebutuhan seksual suaminya dan mesti memelihara anak yang lahir dari perkawinan tersebut, kata Amir Syarifuddin perjanjian yang demikian wajib dipatuhi.234 Dalam al-Quran Allah SWT menegaskan, supaya perjanjian yang sudah dibuat untuk ditaati dan dipatuhi, di antaranya ayat 1 surat al-Maidah:

َٰيٓأَيُّهَا ٱلَِّينَ ءَامَنُوٓا أَوْفُوا بِٱلْعُقُودِ…

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah perjanjian-perjanjian itu…

Dan ayat 34 dari surat al-Isra’:

…وَأَوْفُوا بِٱلْعَهْدِ ۖ إِنَّ ٱلْعَهْدَ كَانَ مَسْـُٔولً

… dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.

Di antara hadits yang menuntut supaya suami isteri mentaati perjanjian yang sudah disepaki, terutama perjanjian yang berkeanaan dengan tanggung jawab suami isteri, sebagai berikut:

اِنَّ اَحَـقَّ الـشُُوْطِ مَـااسْتَحْـلَلْـتُـمْ بِهِ الـفُـرُوْجَ.

Syarat-syarat yang lebih utama dipenuhi ialah syarat-syarat untuk menghalalkan hubungan suami isteri (H. R. Al-Bukhari).

Berdasarkan kepada ayat-ayat dan hadits di atas, perjanjian yang sudah disepakati oleh suami isteri dan disahkan oleh PPN, sepanjang tidak bertentangan dengan al-Quran dan hadits serta tidak bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia wajib untuk ditaati.

 

233 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, … hlm. 157.

234 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam … hlm. 147.

 

 

5 1 vote
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 16 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Antara Ibadah Abadi dan Tantangan Teknologi dalam Pernikahan di Era Digital

1 Oktober 2025 - 13:31 WIB

Waris (Faraidh V)

1 Oktober 2025 - 04:12 WIB

Mengapa Verifikasi Calon Pengantin Adalah Keharusan di Era Digital?

30 September 2025 - 11:22 WIB

Taukil Wali bil lisan melalui daring, apakah diperbolehkan?

29 September 2025 - 16:46 WIB

Menggapai Keluarga SAMARA

29 September 2025 - 11:36 WIB

Waris (Faraidh IV)

25 September 2025 - 15:37 WIB

Trending di Pernikahan
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x