Hukum Perkawinan di Indonesia (V)
Pengertian Nikah Siri
Kata siri (sirri) berasal dari bahasa Arab سـّر jamaknya أسـرار artinya “rahasia”.242 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata siri berarti “gaib”, “rahasia”, “tersembuhyi”.243
Nikah siri yang dalam kitab fiqh disebut الـسـرى الـزواج sebagai rangkaian dari dua kata yaitu الـزواج dan الـسـرى. Istilah nikah (الـزواج) merupakan bentuk masdar (زّوج) yang menurut bahasa berarti pernikahan. Sedangkan istilah siri (الـسـرى) merupakan bentuk masdar dari kata (سـّر) yang secara bahasa berarti rahasia. Berdasarkan pengertian tersebut, maka padanan kata az-zawaj as- siri (الـسـرى الـزواج) dapat diartikan pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi/rahasia.244
Nikah siri ini tidak dikenal pada masa Rasulullah. Nikah siri baru dikenal pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Ketika itu, Umar diberitahu telah terjadi perkawinan yang tidak dihadiri oleh saksi yang memadai. Umar tidak memperbolehkan pernikahan siri serta
mengancam pelakunya dengan hukuman rajam,245 sebagaimana yang dikutib oleh Burhanuddin pernyataan Umar bin Khattab sebagai berikut:
هـذا نـكاح الـسـر, ولا أجـيـزه لـوكـنـت تـقـدمـت
لـرجـمـت.
Ini nikah siri, saya tidak membolehkannya, dan sekiranya saya tahu lebih dahulu, maka pasti akan saya rajam.246
Memahami pernyataan di atas, maka yang dimaksud dengan nikah siri adalah pernikahan yang tidak memenuhi rukunnya. Karena setiap pernikahan itu wajib dipenuhi rukunnya, yang terdiri dari calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab qabul. Sementara pernikahan yang dimaksud dihadiri saksi yang tidak memadai, yakni seorang saksi pria dan seorang wanita. Pernikahan yang tidak cukup rukunnya, maka pernikahan tersebut menjadi batal. Di kalangan masyarakat Indonesia sekarang, mereka juga mengenal dengan nikah siri adalah pernikahan yang memenuhi rukun dan syarat-syaratnya sebagaimana yang terdapat di dalam fiqh, artinya sesuai dengan ketentuan agama Islam, tetapi tidak dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau penghulu sebagai petugas resmi yang telah diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga pernikahan tersebut tidak memiliki akta nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah, dalam hal ini Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUAKEC). Pernikahan yang demikian selain dikenal dengan nikah siri dikenal pula oleh masyarakat dengan
pernikahan di bawah tangan.
Istilah nikah siri, memang tidak jelas siapa pertama kali yang memberi istilah nikah siri ini di Indonesia, sebab Majlis Ulama Indonesia (MUI) sendiri tidak pernah menyebut istilah “nikah siri”.
242 Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Quran, 1973), hlm. 167.
243 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, … hlm. 953.
244 Burhanuddin S., Nikah Siri Menjawab Semua Pertanyaan tentang Nikah Siri, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), hlm. 13.
mengancam pelakunya dengan hukuman rajam,245 sebagaimana yang dikutib oleh Burhanuddin pernyataan Umar bin Khattab sebagai berikut:
هـذا نـكاح الـسـر, ولا أجـيـزه لـوكـنـت تـقـدمـت
لـرجـمـت.
Ini nikah siri, saya tidak membolehkannya, dan sekiranya saya tahu lebih dahulu, maka pasti akan saya rajam.246
Memahami pernyataan di atas, maka yang dimaksud dengan nikah siri adalah pernikahan yang tidak memenuhi rukunnya. Karena setiap pernikahan itu wajib dipenuhi rukunnya, yang terdiri dari calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab qabul. Sementara pernikahan yang dimaksud dihadiri saksi yang tidak memadai, yakni seorang saksi pria dan seorang wanita. Pernikahan yang tidak cukup rukunnya, maka pernikahan tersebut menjadi batal. Di kalangan masyarakat Indonesia sekarang, mereka juga mengenal dengan nikah siri adalah pernikahan yang memenuhi rukun dan syarat-syaratnya sebagaimana yang terdapat di dalam fiqh, artinya sesuai dengan ketentuan agama Islam, tetapi tidak dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau penghulu sebagai petugas resmi yang telah diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga pernikahan tersebut tidak memiliki akta nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah, dalam hal ini Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUAKEC). Pernikahan yang demikian selain dikenal dengan nikah siri dikenal pula oleh masyarakat dengan
pernikahan di bawah tangan.
Istilah nikah siri, memang tidak jelas siapa pertama kali yang memberi istilah nikah siri ini di Indonesia, sebab Majlis Ulama Indonesia (MUI) sendiri tidak pernah menyebut istilah “nikah siri”.
245 Republika Online, Islam Tidak Mengenal Nikah Siri, Tanggal 31 Maret 2013.
246 Burhanuddin S., Nikah Siri … hlm. 14.
Sepadan dengan istilah ini, MUI hanya menyebut istilah “nikah di bawah tangan”.247
Jika anda adalah sepasang suami iateri yang menikah di mana pernikahan anda tersebut tidak ada catatan atau berkas, atau bukti hitam di atas putih, atau apa pun istilah yang sejalan dengan ini, di Catatan Sipil atau Kontor Urusan Agama Kementerian Agama, maka pernikahan anda disebut sebagai pernikahan siri. Nikah di bawah tangan yang dimaksudkan oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI) adalah sama dengan istilah “nikah siri” ini.248
Namun demikian, tidak bisa disebut sebagai nikah siri manakala anda menyembunyikan nikah anda dari pengetahuan banyak orang, tetapi pernikahan anda telah dicatat di Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama (KUA). Sebaliknya, pernikahan anda tetap akan disebut sebagai nikah siri karena tidak ada bukti hitam di atas putih yang ada di Catatan Sipil atau Kontor Urusan Agama, walaupun banyak orang telah menyaksikan pernikahan anda, dan bahkan pernikahan anda dirayakan secara mewah dan megah di tempat yang indah sekalipun.249
Berdasarkan pembahasan di atas, maka pengertian nikah siri itu dapat dilihat dari berbagai sudut pandang.
- Pernikahan yang tidak dihadiri oleh saksi yang lengkap atau ada salah satu rukun pernikahan yang kurang.
- Pernikahan yang memenuhi rukun dan syarat, tapi tidak tercatat pada Kantor Urusan Agama Kecamatan, sebagai pencatat pernikahan yang resmi bagi umat
- Pernikahan yang memenuhi rukun dan syarat serta tercatat pada Kantor Urusan Agama Kecamatan, tapi kedua belah pihak minta kepada saksi untuk tidak mengi’lankan pernikahan tersebut.
247 Taufiqurrahman al-Jazizy, Jangan Sirri-kan Nikahmu, Cet. I, (Jakarta: Himmah Media, 2010), hlm. 38.
248 Ibid., hlm. 39.
249 Ibid., hlm. 40-41.
Dari penjelasan dan rumusan tentang nikah siri di atas, dapat penulis simpulkan sebagai berikut: Nikah siri adalah pernikahan yang memenuhi syarat dan rukun sesuai syariat Islam yang dilakukan secara rahasia atau tersembunyi serta tidak melalui prosedur perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak tercatat pada administrasi Negara.
Faktor-faktor Penyebab Nikah Siri.
Nikah siri sebagaimana sudah dikemukakan di atas, adalah nikah yang tidak melalui prosedur hukum yang berlaku di Indonesia, sekalipun menurut hukum Islam sudah memenuhi rukun dan syarat perkawinan, maka pernikahan yang demikian tidak diakui oleh hukum yang berlaku di Indonesia.
Walaupun tidak dapat diterima oleh Negara, ternyata nikah siri tetap dijadikan sebagai solusi untuk memperoleh isteri oleh sebagian orang, tidak hanya dilakukan oleh rakyat biasa, tapi juga dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai jabatan di pemerintahan di negeri ini. Terjadinya nikah siri bagi pelaku nikah siri, tentu mereka mempunyai alasan tersendiri, sekalipun keinginan mereka untuk menikah secara formal seperti yang dilakukan oleh banyak orang, di mana pernikahan mereka disaksikan oleh keluarga, sanak-saudara, kaum kerabat dan sahabat karib, serta diadakan walimah sekalipun secara sederhana, namun keinginan dan inpian yang indah tersebut belum dapat terwujud dalam kenyataan dan yang terjadi tetap nikah siri.
Ada beberapa faktor sebagai penyebab terjadinya nikah siri, sebagai berikut:
- Faktor orang tua
Nikah siri tidak hanya terjadi antara laki-laki dengan perempuan yang sudah mandiri dan mempunyai tanggung jawab untuk mengurus rumah tangganya. Ternyata nikah siri juga banyak terjadi di kalangan anak muda dan sebagian mereka masih berstatus mahasiswa, di mana mereka masih menjadi tanggung jawab orang tua. Menurut Taufiqurrahman, fenomina nikah siri di kalangan pemuda dan mahasiswa menjadi kenyataan.250
Bagaimana mereka tidak mensirikan nikahnya, sementara orang tua mereka tidak atau belum menyetujui bila anak-anak mereka menikah. Pada saat yang demikian itu, rasa cinta dan kasih sayang telah muncul pada diri laki-laki dan perempuan tersebut. Rasa yang demikian ini telah mendorong mereka untuk bisa berdekatan. Terjadilah saling ketertarikan. Demi bisa menyelamatkan perasaan cinta dan kasih sayang yang tulus dan suci, dan demi menghindari dorongan syahwat yang bisa dilampiaskan secara tidak sah dan tidak halal, maka mekanisme apa yang bisa dijadikan sarana untuk itu, kecuali apa yang disebut pernikahan.
Sering terjadi kasus di mana seorang laki-laki tidak lagi bisa menahan syahwatnya, walau dia telah melakukan berbagai cara dan upaya untuk mengatasinya. Satu-satunya cara yang harus dia lakukan adalah menikah. Begitu pula kasus yang dialami oleh sebagian perempuan. Anda tidak bisa terus-menerus berpuasa, misalnya, untuk mengatasi dorongan seksual anda. Anda pun tidak bisa terus-menerus berolah raga atau mengikuti aktifitas tertentu untuk mengurangi atau menghindari dorongan ini. Maka, bagi anda yang tidak bisa melakukan hal yang demikian ini, mekanisme apakah yang tepat dan benar bila dipandang dari sudut Islam, kecuali pernikahan.
Namun, karena anda tidak berani menentang keinginan orang tua yang belum menghendaki anda untuk menikah terlebih dahulu, sedangkan anda juga ingin mensucikan dorongan seksual anda dengan jalan yang makruf, serta anda ingin tetap menjaga kesucian cinta dan kasih sayang anda kepada kekasih hati, maka nikah siri adalah jalan yang halal dan tepat sebagai sarana yang sah mengantarkan kehalalan hubungan anda.251
250 Taufiqurrahman, Jangan Siri-kan Nikahmu, … hlm. 61.
251 Ibid., hlm. 62-63.
- Faktor umur
Di Indonesia ketentuan umur untuk menikah diatur oleh Undang-Undang Perkawinan (UUP), yakni UU. No. 1/1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini berlaku untuk seluruh warga Indonesia, tanpa memandang agama dll. Selain UUP bagi umat Islam di Indonesia berlaku pula Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI). Baik UUP maupun KHI mengatur tentang umur minimal untuk boleh menikah.
Pasal 7 ayat (1) UU. No. 1974 jo Pasal 15 ayat (1) KHI menegaskan: Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun ketentuan ini menjadi berubah dengan lahirnya UU No. 16 Tahun 2019 tentang perkawinan yang menegaskan pada Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa : Perkawinan hanya dapat diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun”.
Dalam Islam, pernikahan dini lebih disarankan dari pada para remaja melakukan pacaran sebelum menikah.252 Untuk menghindari dosa lewat pacaran, maka lebih baik mereka menikah. Tapi, untuk dapat menikah di hadapan PPN tidak dapat dilakukan, karena calon penganten masih berumur kurang dari umur yang telah ditentukan dalam undang-undang, maka tidak ada cara lain untuk memperoleh kehalalan dalam berhubungan kecuali melakukan pernikahan secara siri.
- Faktor Biaya
Tidak semua orang diberi rezki berlebih oleh Allah SWT, sekalipun telah diusahakan dengan berbagai cara dan usaha, sehingga untuk bisa melaksanakan pernikahan sesuai dengan yang diatur oleh perundang-undangan tidak dapat terwujud. Karena menurut peraturan perkawinan yakni Pasal 2 ayat (2) UU.
252 M. Musthafa Luthfi dan Mulyadi Luthfy, Nikah Siri, Cet. ke I, (Surakarta: Wacana Ilmiah Press, 2010), hlm. 147.
No.1/1974 tentang Perkawinan, setiap perkawinan harus dicatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan perkawinan bagi yang beragama Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama. Untuk melakukan pencatatan perkawinan ini – sesuai dengan PP. No. 9/1975 – kadang- kadang memerlukan biaya yang besar, lebih besar dari tarif yang resmi ditetapkan oleh pemerintah. Pada kenyataannya, biaya pernikahan resmi jauh lebih besar dari pada biaya nikah siri, walaupun kedua-duanya tidak menyertakan walimah yang begitu rupa. Atas alasan inilah ada pasangan suami-isteri yang menikah secara siri.253
- Faktor Kekayaan
Masih banyak sekali di sebagian desa, suku atau bahkan Negara yang mempunyai adat istiadat bermahal-mahalan dalam mahar, masyarakat yang strata social dan tingkat perekonomiannya tinggi, maka semakin mahal pula mahar yang ditetapkan. Keluarga yang bisa membayar mahar dengan harga tinggi akan mempunyai rasa bangga di hadapan masyarakat sekitar dan citranya dan gengsi meningkat. Nah, saat ada pasangan pria atau wanita yang saling rela dan setuju untuk melakukan pernikahan dengan mahar murah pada kondisi masyarakat seperti di atas, maka mungkin saja mereka akan malu, dan untuk menutupi ini mereka menempuh pernikahan secara siri.254
- Hamil di Luar Nikah
Ini merupakan salah satu perbuatan yang tak terpuji, malah termasuk kategori perbuatan dosa besar, lantaran mereka menuruti syahwat dan dorongan biologis tanpa memperhatikan norma agama dan social.. Mereka tidak takut azab Allah SWT yang disiapkan atas para pezina dan orang yang berhubungan suami-isteri di luar pernikahan; mereka hanya malu pada masyarakat sekitar; dan rasa malu mereka terhadap pandangan sinis tetangga lebih besar dari pada malu mereka terhadap Allah SWT, untuk menutupi rasa malu mereka karena hamil di luar nikah, maka mereka melakukan nikah siri.255
253 Taufiqurrahman, Jangan Siri-kan Nikahmu, … hlm. 69.
254 Lutfi, Nikah Siri, … hlm. 148.
- Prosedur Berbelit-Belit
Birokrasi kita ini terkenal berbelit.256 Untuk menghindari prosedur administratif yang berbelit-belit, seperti syarat-syarat administrasi dari RT, Lurah, KUA, izin isteri pertama, izin Pengadilan Agama, izin atasan jika PNS/anggota TNI/Polri dan sebagainya.257 Karenanya, dibandingkan dengan nikah yang harus dicatat di KUA dan lebih susah dilakukan. Nikah siri lebih mudah untuk dilakukan.
- Faktor Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu yang amat penting. Pengabaian terhadap pendidikan mengakibatkan seseorang menjadi bodoh. Karena bodoh, menyebabkan yang bersangkutan banyak tidak tahu dengan perkembangan dan perubahan keadaan. Demikian pula dengan masalah perkawinan, mereka tidak banyak tahu perubahan dalam urusan administrasi perkawinan.
Pencatatan perkawinan dianggap tidak ada artinya, yang penting perkawinan mereka sah menurut agama Islam, karena sudah memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan dalam agama Islam.
- Halangan Berpoligami
Pernikahan jenis ini dilakukan oleh sebagian pria saat dia menginginkan menikahi wanita lebih dari satu orang (poligami). Hukum Islam dan hukum yang berlaku di Indonesia membolehkan seorang pria yang sudah mempunyai isteri untuk kawin lagi dengan perempuan lain.Tapi kebolehan ini oleh UUP harus memenuhi syarat-syarat yang cukup sulit untuk dipenuhi, seperti harus mendapat izin tertulis dari isteri pertama, izin dari Pengadilan Agama dan syarat- syarat lainnya.
Menyadari akan sulitnya berpoligami melalui jalan legal yang diakui oleh peraturan perundang-undangan, ternyata menyebabkan seseorang yang sudah berniat untuk berpoligami berusaha mengambil jalan pintas dengan melangsungkan pernikahannya secara nikah siri. Melalui nikah siri ini, mereka mendapat kemudahan dan di samping dapat menghindari tuntatan hukum dari isteri pertama, karena pernikahan yang tidak tercatat di KUA, tidak dapat dituntut di Pengadilan Agama.
255 Ibid., hlm. 146.
256 Taufiqurrahman, Jangan Siri-kan Nikahmu, … hlm.70.
257 D. Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materiil UU Perkawinan, Cet. I, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012), hlm. 153.
- Menghindari Hukuman Administratif
Faktor nikah siri ini ada kaitannya dengan faktor yang sebelumnya, yakni nikah untuk kedua kalinya (poligami). Selain untuk menghindari tuntutan hukum dari isteri pertama, juga untuk menghindari sanksi adminstratif yang bakal diterima dari atasan bagi mereka yang berstatus PNS atau anggota TNI/Polri yang melakukan poligami ilegal/nikah siri.
- Faktor Beda Agama
Menurut Luthfi, beda keyakinan, yakni antara seorang muslim dengan seorang non-muslim saling jatuh cinta, saat mereka memutuskan untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan, mereka terbentur sebuah peraturan yang melarang pernikahan beda agama. Maka untuk bisa menikah dengan orang yang beda agama tersebut, mereka menempuh pernikahan siri.258
Nikah Siri dalam Perspektif Hukum Islam.
Pada bagian terdahulu sudah dijelaskan bahwa nikah siri adalah pernikahan yang sudah memenuhi rukun dan syarat perkawinan sesuai dengan syariat Islam, tapi perkawinan tersebut tidak tercatat secara resmi pada lembaga pencatat perkawinan, dalam hal ini KUAKEC. Perkawinan yang demikian disebut dengan perkawinan siri atau dirahasiakan.
258 Luthfi, Nikah Siri, … hlm. 149.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab terjadi pernikahan yang tidak dihadiri oleh saksi yang memadai, maksudnya dalam akad nikah ini hanya dihadiri seorang saksi laki-laki dan seorang saksi perempuan, bukan dua orang laki-laki. Pada hal yang menjadi saksi pernikahan itu adalah dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki ditambah dua orang perempuan259. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT sebagai berikut:
…وَٱسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ ۖ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيِْن فَرَجُلٌ وَٱمْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحْدَٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَٰىهُمَا ٱلْخُْرَٰى…
… dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya …
Ketika persoalan ini disampaikan kepada Umar bin Khattab, beliau mengatakan bahwa ini nikah siri, saya tidak membolehkannya, dan seandainya saya tahu lebih dahulu, maka pasti akan saya rajam.
Pernikahan yang tidak dihadiri saksi yang lengkap tersebut oleh Umar disebut nikah siri. Ulama-ulama besar sesudahnya pun seperti Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa nikah siri seperti itu tidak boleh dan jika itu terjadi harus di-fasakh (batal).260
259 Menurut Hanafi dan Hambali saksi itu boleh seorang lelaki dan dua oran perempuan. Baca Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh, … hlm. 108.
260 Burhanuddin S, Nikah Siri, … hlm. 14.
Pengertian Poligami dan Dasar Hukumnya.
Kata poligami (الـّزوجـات تـعـّدد) berasal dari bahasa Latin polygamia (poly dan gamia)281 atau berasal dari paduan kata dari bahasa Yunani poly dan gamy dari akar kata polus (banyak)282 dan gamos (kawin).283 Jadi secara harfiyah arti poligami adalah suatu perkawinan yang banyak
Secara terminologi poligami adalah suatu keadaan atau praktik (perkawinan) lebih dari satu isteri atau suami, pasangan yang dilakukan pada satu waktu (bersamaan).284 Dalam istilah bahasa Indonesia poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.285
281 William Morris (Ed), The Heritage Illustrated Dictionery of The English Language, Vol. II, (Boston: Houghton Miffin Campany, 1979), hlm. 1016.
282 Ibid., hlm. 848.
283 Ibid., hlm. 542.
284 Ibid., hlm. 1016.
285 Tim Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 779.
Bila memperhatikan definisi poligami di atas, ternyata poligami memiliki makna yang lebih luas, yakni bisa dilakukan oleh suami atau isteri. Pengertian semacam ini sungguh berbeda dengan kenyataan penggunaannya yang sering digunakan hanya untuk istilah perkawinan jamak yang dilakukan oleh suami (pria).286 Seperti Peorwadarminta menggunakan pengertian tersebut, poligami ialah adat seorang laki-laki beristeri lebih dari satu orang.287 Dalam pada itu, dari definisi di atas juga terdapat pembatasan jumlah, yakni maksimal 4 (empat) orang isteri, hal ini mengacu kepada poligami yang dibolehkan dalam hukum Islam.
Dasar hukum poligami dalam Islam maksimal sampai empat orang isteri dipahami dari ayat 3 dari surat al-Nisa’, sebagai berikut:
وإَنِْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِ ٱلََْٰتَٰم فَٱنكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثَْٰن وَثَُٰلثَ وَرَُٰبعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فََٰوحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيَْٰمنُكُمْ ۚ َٰذلِكَ أَدَْٰنٓ أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak- hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Berdasarkan ayat inilah Islam membolehkan poligami, yakni si suami boleh memiliki isteri lebih dari satu, maksimal sampai empat orang dengan syarat sanggup untuk berlaku adil terhadap isteri-isteri, kalau tidak sanggup berlaku adil, maka cukup satu saja (monogami). Atas dasar ayat inilah sehingga Nabi SAW melarang menghimpun dalam saat yang sama lebih dari empat orang isteri bagi seorang pria.
286 Muhammad Zaki, Monogami dan Poligami: Survei tentang Perdebatan Hukum Perkawinan di Negeri-Negeri Muslim, dalam Jurnal Ilmiah Al-Risalah, Volume 3 Nomor 1 Februari – Juli 2003, hlm. 18.
287 WJS. Peorwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, … hlm. 763.
Ketika turunnya ayat ini, beliau memerintahkan semua yang memiliki lebih dari empat orang isteri, agar segera menceraikan isteri-isterinya sehingga maksimal setiap orang hanya memperisterikan empat orang wanita.288
Rasyid Ridha menjelaskan tentang poligami ini, sebagai mana dikutip oleh Ghazali, sebagai berikut: Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko/mudharat dari pada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan isteri-isteri dan anak-anak dari isteri-isterinya, maupun konflik antara isteri beserta anak-anaknya masing-masing. Karena itu hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisasi sifat/watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati/dengki, dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga. Karena itu, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya isteri ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari tiga human invetsment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak tertutup berkah adanya keturunan yang shaleh yang selalu berdo’a untuknya. Maka dalam keadaan isteri mandul dan suami tidak mandul berdasarkan keterangan medis hasil laboratories, suami diizinkan berpoligami dengan syarat ia benar-benar mampu mencukupi nafhah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam pemberian nafhah lahir dan giliran waktu tinggal.289
288 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, Cet. VIII, (Bandung: Mizan, 1998, hlm. 199.
Alasan dan Syarat Poligami dalam Islam.
Menurut syara’ atau hukum Islam, poligani/poligami dilakukan dengan alasan-alasan sebagai berikut:
- Adanya ayat al-Quran yang menyatakan bahwa poligini bukan perbuatan yang terlarang, bahkan ayatnya dimulai dengan kalimat perintah;
- Adanya hadis yang membolehkan suami poligini;
- Adanya contoh dari Rasulullah SAW yang poligini dengan sembilan isteri;
- Adanya kecenderungan seksual kaum laki-laki yang lebih besar daripada kaum perempuan;
- Adanya kesepakatan para ulama bahwa poligini hukumnya boleh atau mubah;
- Adanya kenyataan bahwa sejak sebelum Islam, poligini sudah dilakukan oleh kaum laki-laki. Islam hanya membatasi poligini maksimal dengan empat orang isteri;
- Adanya persyaratan yang ditekankan untuk suami, yakni berlaku adil.290
Alasan-alasan di atas, merupakan alasan syar’iyah yang secara tekstual tertuang dalam al-Quran dan al-sunnah. Dalam alasan syar’iyah terdapat penekanan utama, yaitu menjalankan prinsip keadilan, tetapi prinsip keadilan yang dimaksud, yaitu keadilan lahiriah dan bukan keadilan batiniah.
Menurut hukum Islam, poligami ditetapkan sebagai perbuatan yang dibolehkan atau mubah. Dengan demikian, meskipun dalam surat al-Nisa’ ayat 3 mempergunakan kalimat “fankihu” kalimat amr tersebut berfaidah kepada mubah, bukan wajib, dapat direlevansikan dengan kaedah ushul fiqh yang menyebutkan, al-asl fi al-amr al- ibahah hatta yadula dalilu ‘ala al-tahrim (asal dari sesuatu itu boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).291
289 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, … hlm. 130-131.
290 Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, … hlm. 251-252.
Syariat Islam membolehkan suami/laki-laki untuk berpoligami, yakni memiliki isteri lebih dari satu, maksimal empat orang, dengan syarat suami sanggup untuk berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Para ulama sepakat menetapkan kebolehan poligami, berdasarkan ayat 3 dari surat al-Nisa’ dengan syarat si suami wajib berlaku adil. As-Sarakhsi menyatakan kebolehan poligami dan mensyaratkan pelakunya harus berlaku adil. Al-Kasani menyatakan lelaki yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap isteri-isterinya. As-Syafi’i juga menyatakan keadilan antara para isteri, dan menurutnya keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik semisal mengunjungi isteri di malam atau di siang hari.292
Idris Ahmad dalam bukunya mengemukakan, bahwa berpoligami dibolehkan dengan syarat yang sungguh sangat berat, yakni “adil”. Yang penting ialah dalam perkara: nafhah, tempat kediaman, pakaian dan bermalam.293
Semua ulama menetapkan bahwa adil merupakan salah satu syarat dalam berpoligami. Adil diartikan tidak berat sebelah (tidak memihak).294 Adil diartikan juga dengan “sepatutnya”, “tidak sewenang-wenang”.295
Quraish Shihab dalam bukunya “Wawasan al-Quran” menegaskan, bahwa makna asal kata “adil” itulah yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak”, dan pada dasarnya pula seorang yang adil “berpihak pada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu “yang patut” lagi “tidak sewenang-wenang”.296
291 Beni Ahmad Saebani, Perkawinan dalam Hukum Islam dan Undang-Undang Perspektif Fiqh Munakahat dan UU No. 1/1974 tentang Poligami dan Problematikanya, Cet. I, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 39-40.
292 Khairuddin Nasution, Status Wanita Asia Tenggara … hlm. 103.
293 Idris Ahmad, Fiqh Syafi’i, Cet. III (Jakarta: Karya Indah, 1986), Jilid 2, hlm. 356.
294 WJS Peorwadarminta, Kamus Umum … hlm. 16.
295 Ibid.
Abdul Rahman Ghazali menjelaskan bahwa suami wajib berlaku adil terhadap isteri-isterinya dalam urusan: pangan, pakaian, tempat tinggal, giliran berada pada masing-masing isteri, dan lainnya yang bersifat kebendaan, tanpa membedakan isteri yang kaya dengan isteri yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang berasal dari golongan bawah. Jika masing-masing isteri mempunyai anak yang jumlahnya berbeda, atau jumlahnya sama tapi biaya pendidikannya berbeda, tentu saja dalam hal ini harus menjadi pertimbangan dalam memberikan keadilan.297
Keadilan yang harus dipenuhi oleh suami yang berpoligami ialah keadilan kuantitatif, yang bisa diukur dengan angka-angka. Umpamanya jumlah nafhah yang harus diterima oleh para isteri atau hal-hal yang bersifat kebutuhan material iateri-iateri tersebut.298
Sedangkan Karim Hilmi Farhat Ahmad mengemukakan, bahwa yang dimaksud dengan “adil” dalam berpoligami adalah membagi tempat tinggal secara adil (sama rata antara isteri yang satu dengan yang lainnya), waktu bersama mereka, kenyamanan, serta tidak mengkhususkan antara yang satu dengan yang lainnya.299
Keadilan yang dimaksud oleh al-Quran adalah keadilan dari segi materil. Keadilan materil adalah dalam bentuk pembagian nafhah yang dapat diukur secara matematis, sedangkan keadilan dalan bentuk batiniah sulit diukur karena menyangkut masalah perasaan atau hati, yang mengetahuinya hanya suami yang berpoligami dan isteri yang merasakannya karena dipoligami.300
296 Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, … hlm. 111.
297 Ghazali, Fiqh Munakahat, … hlm. 131-132.
298 Baharuddin Ahmad, Hukum Perkawinan … hlm. 135.
299 Karim Hilmi Firhat Ahmad, Poligami Berkah atau Musibah, Alih Bahasa Munirul Abidin dan Farhan, Cet. I, (Jakarta: Dar al-Afaq al-‘Arabiyyah, 2007), hlm. 37.
300 Saebani, Perkawinan dalam Hukum Islam … hlm. 28.
Senada dengan pandangan di atas dikemukakan oleh Hasan, istilah adil dalam konteks al-Quran ada dua, yakni:
- Qisthun, yang artinya keadilan yang bersifat operasional. Sebagaimana keadilan dalam arti materi;
- Adlun, adalah konsep keadilan yang hanya dimiliki oleh Allah. Oleh karena itu, siapa pun tidak akan mampu menjalankan keadilan (adlun), kecuali sebatas qisthun.301
Berbeda dengan pandangan di atas adalah syarat untuk poligami yang dikemukakan oleh Muhammad Syahrur, beliau mempunyai pandangan lain tentang syarat untuk berpoligami, menurut Syahrur, sesungguhnya Allah SWT. tidak hanya sekedar memperbolehkan poligami, akan tetapi dia sangat menganjurkannya, namun dengan dua syarat yang harus dipenuhi: Pertama, bahwa isteri kedua, ketiga dan keempat adalah para janda yang memeliki anak yatim; kedua harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak yatim. Sehingga perintah poligami akan menjadi gugur ketika tidak terdapat dua syarat di atas.302
Sementara Khozin Abu Faqih menetapkan syarat untuk poligami, selain si suami berlaku adil, juga memiliki kemampuan financial, yaitu kemampuan memberi nafhah secara adil kepada para isteri.303 Sebab kalau seseorang tidak memiliki kemampuan memberi nafhah, maka ia akan menelantarkan hak-hak orang lain, yakni isteri. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT berikut ini:
وَلْيَسْتَعْفِفِ ٱلَِّينَ لَا يَِجدُونَ نِكَاحًا حََّٰت يُغْنِيَهُمُ ٱلَُّل مِن فَضْلِهِۦ
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.
301 Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, … hlm. 252.
302 Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, … hlm. 428.
303 Khozin Abu Faqih, Poligami Solusi atau Masalah, Cet. II, (Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2007), hlm. 105.
Rasulullah SAW juga menegaskan betapa pentingnya kemampuan financial ini, sebagaiman sabdanya sebagai berikut:
يامـعـشـر الـشـبـاب مـن اسـتـطاع مـنـكـم الـبـاءة فـلـيـتـزوّج فـإنّـه اغـضّ للـبـصـر واحـصـن للـفـرج ومـن لـم يـسـتـطـع فـعـليـه بـالـصـوم فـإنّـه لـه وجـاء. )مـتـفـق عـلـيـه.(
Wahai kaum pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu menyiapkan bekal, nikahlah, karena sesungguhnya nikah dapat menjaga penglihatan dan memelihara farji. Barangsiapa tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa dapat menjadi benteng (Muttafaq ‘alaih).
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa suami yang berpoligami dituntut untuk berlaku adil, yakni keadilan kuantitatif. Sedangkan keadilan kualitatif tidak mungkin untuk diterapkan oleh suami.
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabari (W. 310H./923 M.), ahli tafsir klasik dari Baghdad, mengemukakan bahwa seorang suami tidak akan sanggup berlaku adil terhadap isteri-isterinya dalam segala hal, termasuk dalam mencintai mereka. Sebagian cinta suami berlebihan pada seorang isterinya, kendati ada hasrat untuk menyamaratakan mereka dalam segala hal.304
Sebagian besar ahli hukum Islam menyadari bahwa keadilan kualitatif sesuatu yang sangat mustahil bisa diwujudkan. Abdurrahman al-Jaziri menyatakan bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kasih sayang di antara isteri-isteri yang dikawini bukanlah kewajiban bagi orang yang berpoligami, karena sebagai manusia, orang tidak akan mampu berbuat adil dalam membagi kasih sayang, dan kasih sayang itu sebenarnya sangat naluriah. Adalah sesuatu yang wajar jika seorang suami hanya tertarik pada salah seorang isterinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini sesuatu yang di luar batas control manusia.305
304 Abdul Aziz Dahlan dkk. (eds), Ensiklopedi Hukum Islam, … hlm. 26.
Kasih sayang, cinta atau semisalnya adalah suatu perasaan di dalam jiwa manusia. Cinta, sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi dapat dirasakan, adalah sesuatu yang immaterial. Cinta tidak dapat ditakar apalagi dibagi-bagi. Laki-laki yang mempunyai beberapa isteri rasanya tidak mungkin dapat membagi kecintaan, kasih sayang, hasrat biologis atau semisalnya secara sama rata. Banyak faktor yang menyebabkan kecendurungan seorang suami berbeda kepada isteri yang lainnya. Mungkin karena kemudaannya, kecantikannya, kepandaian atau kelebihan lain yang terdapat pada si isteri-isteri tersebut. Faktor-faktor ini sangat dominan dan mempengaruhi suami dan ini memang manusiawi.306
Sebenarnya ada keinginan si suami untuk menerapkan keadilan kualitatif ini terhadap isteri-isterinya, tapi kenyataannya tidak mungkin atau mustahil dapat diterapkan keadilan ini terhadap iateri- iaterinya. Al-Quran memberi isyarat yang demikian ini, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 129, sebagai berikut:
وَلَن تسَْتَطِيعُوٓا أَن تَعْدِلُوا بَيَْن ٱلنِّسَآءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كَُّ ٱلْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَٱلْمُعَلَّقَةِ ۚ وإَنِ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ٱلََّل كَنَ غَفُورًا رَّحِيمًا
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini menegaskan bahwa adil secara sempurna dan mutlak tidak mungkin dapat dilakukan oleh manusia, siapapun dia. Maka ayat ini hanya melarang kezhaliman yang nampak dan kesewenang- wenang yang jelas, yaitu kecenderungan penuh kepada isteri tertentu. Adil yang ditetapkan Allah SWT bahwa tidak mungkin dapat dilakukan manusia adalah kadilan yang sempurna dalam berbagai hal; materi dan maknawi, nafhah dan perlakuan lahir, serta cinta dan kecenderungan hati. Keadilan seperti ini memang tidak mungkin mampu dilakukan manusia, siapun dia. Bahkan Rasulullah SAW pun tidak mampu melakukan keadilan seperti ini.307
305 Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazhab … hlm. 239.
306 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, … hlm. 114-115.
307 Khozin Abu Faqih, Poligami Solusi atau Masalah … hlm. 108.
Menurut hemat penulis, dalam konteks perkawinan poligami, tentu saja adil sebagai salah satu syarat yang cukup berat untuk dilakukan oleh suami terhadap isteri-isterinya. Karena berdasarkan pengertian adil di atas, si suami diminta untuk melakukan yang patut atau tidak sewenang- wenang, berpihak kepada yang benar, atau tidak berat sebelah. Syarat ini memang sulit untuk diimplimentasikan terhadap isteri-isteri, Apalagi yang sifatnya immateril, yang tidak bisa dihitung, rasa kasih sayang, rasa cinta, hasrat biologis dan lain-lain, tidak mungkin dapat diterapkan secara adil kepada masing-masing isteri.
Seandainya syarat untuk berlaku adil terhadap isteri itu sulit untuk diterapkan, maka al-Quran menawarkan, bahwa suami cukup mempunyai seorang isteri saja:
…فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فََٰوحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيَْٰمنُكُمْ ۚ َٰذلِكَ أَدَْٰنٓ أَلَّا تَعُولُوا…
… kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Sebenarnya dalam syari’at Islam, lebih disukai bila laki-laki hanya mempunyai seorang isteri, bahkan kalau mungkin ia tetap mempertahankannya sampai akhir hayatnya. Perkawinan yang diajarkan Islam harus menciptakan suasana yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Suasana yang sulit dilaksanakan seandainya seorang laki-laki memiliki isteri lebih dari seorang. Keadilan sebagai syarat terciptanya kerukunan di antara isteri-isteri, sangat sulit untuk terlaksana. Oleh sebab itu, agama ini memperingatkan suami untuk tidak melakukan poligami dan memilih satu isteri pada saat yang sama.308
Hikmah Poligami.
Poligami dibenarkan dalam Islam dengan persyaratan yang sangat berat, yakni suami harus berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Keadilan yang dituntut adalah keadilan materi, yang bisa dihitung secara matematis.
Hikmah diizinkannya poligami dengan syarat adil adalah sebagai berikut:
- Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan isteri
- Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan isteri, sekalipun isteri tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai isteri, atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tak dapat
- Untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya.
- Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di Negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya.309
- Untuk melatih suami menjadi pemimpin yang adil dalam kehidupan dan pengelolaan keluarga dan rumah tangganya. Keadilan terhadap isteri-isteri adalah barometer pertama pemimpin yang berlaku adil atas rakyatnya yang 310
308 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam….. hlm. 113.
309 Ghazali, Fiqh Munakahat, … hlm. 136.
310 Saiyid Sabiq, Fiqh sunnah, (Bandung: PT . Al-Ma’arif, 1989), hlm. 175.
- Bagi kaum perempuan, masa berhenti haid (monopouse) lebih cepat datangnya, sebaliknya bagi seorang pria walau telah mencapai umur tua, dan kondisi fisiknya sehat ia masih membutuhkan pemenuhan hasrat seksualnya. Dalam kedaan ini apakah dibiarkan seorang pria itu berzina? Maka di sinilah dirasakan hikmah dibolehkankannya poligami
- Sebagai akibat dari peperangan umpamanya jumlah kaum perempuan lebih banyak dari kaum laki-laki. Suasana ini lebih mudah menimbulkan hal-hal negatif bagi kehidupan masyarakat apabila tidak dibuka pintu poligami. Bahkan kecenderungan jumlah perempuan lebih banyak daripada jumlah lelaki saat ini sudah menjadi kenyataan, kendati tidak ada peperangan. 311
- Seorang laki-laki – karena pekerjaannya – harus selalu pergi ke luar negeri dan tinggal di sana, bahkan terkadang menetap hingga sebulan atau Dia kesulitan untuk selalu membawa isteri dan anak-anaknya.312
- Seorang suami yang mendapat layanan seksual tidak sesuai dengan keinginannya, karena keinginannya sering diabaikan oleh Dalam keadaan yang demikian alangkah baiknya si isteri memberi kesempatan kepada suaminya untuk berpoligami untuk menghindari suami dari berselingkuh atau berbuat dosa lainnya.
Poligami dalam Perspektif Undang- Undang di Indonesia.
Umat Islam Indonesia sebagai warga negara mayoritas, di mana masalah perkawinan – termasuk juga poligami – tidak hanya diatur oleh al-Quran dan hadits, tapi juga diatur oleh undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini UU. 311 Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya, … hlm. 116.
312 Farhat Ahmad, Poligami Berkah atau Musibah, … hlm. 65.
No. 1/1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI).
Salah satu asas atau prinsip yang dianut oleh UU. No. 1/1974 tentang Perkawinan adalah asas monogami. Sebagaimana yang ditetapkan pada Pasal 3 ayat (1) UUP, sebagai berikut: “Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”.
Dalam penjelasan umum dari UU. No. 1/1974, dijelaskan bahwa hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
Hukum Islam termasuk UUP dan KHI membolehkan poligami bagi orang tertentu, dengan alasan tertentu, dalam keadaan tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu pula. Berbeda dengan sistim hukum Barat yang melarang poligami secara mutlak, artinya sistim perkawinan mereka adalah sistim monogami mutlak.
Untuk melangsungkan perkawinan kedua, ketiga dan seterusnya (poligami) bukan suatu hal yang mudah dan gampang dilakukan di Indonesia, walaupun tidak dilarang, tapi dengan syarat-syarat yang cukup berat, selain syarat harus berlaku adil terhadap isteri-isteri, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang diatur di dalam perundang- undangan. Baik syarat materil maupun formil dan syarat-syarat lainnya yang berkenaan dengan poligami.
Ditetapkannya syarat-syarat yang ketat bagi yang akan berpoligami tidak lain adalah untuk menjaga kelangsungan rumah tangga suami isteri, baik dengan isteri pertama, kedua dan seterusnya. Karena selama ini, terkesan poligami yang dilakukan tidak sungguh- sumgguh, sehingga sering terjadi kawin cerai.