Hukum Perkawinan di Indonesia (VIII)
Antisipasi Putusnya Perkawinan.
Hukum Perkawinan di Indonesia memiliki landasan filosofis yang sangat baik dan kuat, yakni sesuai dengan hukum dan ajaran Islam. Hal ini dipertegas dalam Pasal 2 KHI, intinya:
- Perkawinan semata-mata “mentaati perintah Allah”.
- Melaksanakan perkawinan adalah “ibadah”.
- Ikatan perkawinan bersifat “mitsaaqan gholidzan”.380
Selain dari pada itu di dalamnya terdapat penegasan dan pemasyarakatan simbol Islam berupa pernyataan ikatan perkawinan bersifat “mitsaaqan gholidzan”. Simbol landasan filosofis ini sengaja ditampilkan untuk mengantisipasi pendapat dan praktek yang memilukan selama ini, seolah-olah ikatan perkawinan Islam rapuh dan boleh dipecah setiap waktu. Dengan penegasan yang menyatakan perkawinan “ikatan yang kokoh” diharapkan akan memberi kesadaran dan pengertian kepada masyarakat bahwa perkawinan mentaati perintah Allah dan sekaligus merupakan ibadah serta harus dipertahankan kelangsungan dan kelestariannya.381
380 Yahya Harahap, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam … hlm. 80
381 Ibid.
Namun demikian kenyataan hidup membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan kesinambungan hidup bersama suami isteri itu bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan, bahkan dalam banyak hal kasih sayang dan kehidupan yang harmonis antara suami isteri itu tidak dapat diwujudkan. Faktor-faktor psikologis, biologis, ekonomis, perbedaan kecenderungan, pandangan hidup dan lain sebagainya sering muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan dapat menimbulkan krisis rumah tangga serta mengancam sendi- sendinya.
Apabila krisis rumah tangga yang melanda kehidupan suami isteri itu sedemikian memuncak dan tidak mungkin diselesaikan selain harus bercerai atau diceraikan, dan jalan inilah yang paling menjamin kemaslahatan, baik untuk kemaslahatan suami, kemaslahatan isteri maupun anak-anaknya, maka untuk itu ikatan perkawinan tidak mungkin lagi untuk dipertahankan, walaupun Islam sangat melarang terjadinya perceraian tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah SAW.:
أَبْغَـضُ الـحَـلَالِ إلَ الِل الطَـلَاقُ. )رواه ابوداود وابن مـاجـه
والـاكم(
Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak/ perceraian. H. R. Abu Daud, Ibnu Majah dan al-Hakim.
Berdasarkan kepada hadits tersebut, menunjukkan bahwa perceraian merupakan alternatif terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami isteri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya.
Seandainya kemelut atau keretakkan rumah tangga itu masih bisa ditolerir. Karena kemelut rumah tangga itu pada dasarnya bermula dari tidak berjalannya aturan yang sudah ditentukan Allah dan Rasul-Nya bagi kehidupan suami isteri dalam bentuk hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Dalam al- Quran Allah menawarkan beberapa upaya untuk menghantisipasi terjadinya perceraian.
Ada tiga hal yang memicu timbulnya keinginan perceraian dan harus diantisipasi oleh kedua belah pihak, yaitu:
- Nusyuz
Nusyuz adalah kedurhakaan isteri terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa yang diwajib Allah kepadanya.382
Allah memberi petunjuk dalam al-Quran langkah-langkah yang harus diikuti oleh suami sehubungan dengan nusyuznya isteri, yaitu sebagai berikut:
… وَاللَّاتِ تََافُونَ نشُُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِ الْمَضَاجِعِ وَاضِْبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ الََّل كَنَ عَلِيًّا كَبِيًا
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Berdasar ayat di atas, ada tiga tahapan secara kronologis yang harus dilalui oleh suami menghadapi isteri yang nusyuz:
- Isteri diberi nasihat tentang berbagai kemungkinan negatif dan positifnya serta akibat-akibat yang buruk lainnya.
- Kalau isteri tidak menampakkan sikap baiknya, maka langkah berikutnya adalah si suami pisah tempat tidur dengan
- Bila langkah kedua ini belum juga merubah sikap isteri dari nusyuznya, maka tahap berikutnya si suami boleh memukul isterinya dengan pukulan yang tidak menyakitinya dan tidak merusak argan tubuhnya. Pukulan dalam hal ini adalah pukulan edukatif.
382 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam … hln. 191.
- Nusyuz
Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan kewajibannya terhadap isterinya.
Nusyuz suami kepada isterinya adalah apabila suami tidak memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi maupun yang bersifat non-materi. Tindakan yang harus dilakukan oleh isteri, kalau suaminya nusyuz, sebgaimana yang dijelaskan ayat 128 dari surat al-Nisa berikut:
وإَنِِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نشُُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَالصُّلْحُ خَيٌْ ۗ وَأُحْضَِتِ الَْنْفُسُ الشُّحَّ ۚ وإَنِْ تُْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ الََّل كَنَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيًا
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ada dua hal yang mendorang suami isteri mengadakan negosiasi dan perdamaian dalam ayat di atas:
- Suami nusyuz sebagaimana dijelaskan sifat-sifat tersebut dalam ayat di atas.
- I’radl, yaitu suami berpaling dari isterinya dalam arti mulai tidak senang kepada isterinya karena sebab-sebab tertentu.
Ayat ini menerangkan sikap yang harus diambil oleh seorang isteri bila ia melihat sikap nusyuz dari suaminya, seperti tidak melaksanakan kewajiban terhadap dirinya sebagaimana mestinya, tidak memberi nafhah, tidak menggauli dengan baik, berkurang rasa cinta dan kasih sayangnya dan sebagainya.
Jika demikian halnya, maka hendaklah isteri mengadakan musyawarah dengan suaminya, mengadakan pendekatan, perdamaian di samping berusaha mengembalikan cinta dan kasih sayang suaminya yang telah mulai pudar. Dalam hal ini tidak berdosa jika isteri bersikap mengalah kepada suaminya, seperti bersedia beberapa haknya dikurangi dan sebagainya.383
Adapun yang dimaksud dengan sulh sebagai suatu solusi sebagaimana yang disebutkan dalam ayat itu adalah perundingan yang membawa kepada perdamaian, sehingga suami tidak sampai menceraikan isterinya, di antaranya dengan kesediaan isteri untuk dikurangi hak materi dalam bentuk nafhah atau kewajiban non-materi dalam arti kesediaan untuk memberi giliran bermalamnya untuk digunakan suami kepada isterinya yang lain. Cara ini pun termasuk salah satu langkah untuk menghindari terjadinya perceraian.384
- Syiqaq.
Syiqaq mengandung arti pertengkaran, kata ini biasanya dihubungkan kepada suami isteri sehingga berarti pertengkaran yang terjadi antara suami iateri yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh keduanya. Bila terjadi konflik rumah tangga seperti ini Allah SWT. memberi petunjuk untuk menyelesaikannya. Hal ini terdapat dalam surat al-Nisa’ ayat 35, sebagai berkut:
وإَنِْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ الَُّل بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ الََّل كَنَ عَلِيمًا خَبِيًا
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Hakam dalam ayat di atas adalah seorang bijak yang dapat menjadi penengah atau juru damai yang dapat menyelesaikan perkara suami isteri tersebut.
383 Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya, Jilid II … hlm. 285.
384 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam … hlm. 194.
Dua orang hakam itu sebaiknya seorang dari keluarga suami dan seorang lagi dari keluarga isteri, dan boleh juga dari orang lain. Tugas hakam itu ialah untuk mengetahui persoalan perselisihan yang terjadi dan sebab-sebabnya, kemudian berusaha mendamaikan keduanya. Tugas serupa itu tepat dilaksanakan oleh orang yang bijaksana meskipun bukan dari keluarga suami isteri yang mungkin lebih mengetahui rahasia persengketaan itu lebih mudah bagi keduanya untuk menyelesaikannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya perceraian.
Dalam al-Quran dan Tafsirnya yang dikeluarkan Kementerian Agama RI, menjelaskan, jika usaha kedua orang hakam dalam mencari islah antara kedua suami isteri yang bersengketa pada tahap pertama tidak berhasil maka diusahakan lagi penunjukan dua hakam yang sifatnya sebagai wakil dari suami isteri yang bersengketa dalam batas-batas kekuasaan yang diberikan kepadanya. Kalaupun ini belum berhasil, maka untuk ketiga kalinya dicari lagi dua orang hakam yang akan mengambil keputusan, dan keputusan itu mengikat.385
Dari ke tiga upaya untuk membendung agar perkawinan tidak putus, ternyata tidak berhasil, maka penyelesaian berikutnya adalah melalui proses perceraian di Pengadilan Agama.
Putusnya perkawinan atau perceraian serta akaibat-akibatnya diatur dalam Pasal 38 s.d. 41 UU. No. 1/1974, sedangkan tata cara perceraian diatur dalam Pasal 14 s.d. 36 PP. No. 9/1975. Sementara KHI mengaturnya dari Pasal 113 s.d. 148.
385 Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya, Jilid II, … hlm. 164.
TATA CARA PERCERAIAN DAN AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN
Tata Cara Perceraian.
Salah satu prinsip dari UUP adalah mempersulit terjadinya perceraian. Perceraian dibolehkan dalam ajaran Islam. Terjadinya perceraian bilamana sudah ditempuh bebagai upaya untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian, dan kebahagiaan, namun apa yang diinginkan itu tidak tercapai, malah yang terjadi adalah perceraian.
Proses atau tata cara perceraian diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU. No. 7/1989), diubah menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan juga diatur dalam KHI Pasal 115.
Tata cara perceraian bila dilihat dari aspek subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek, yaitu sebagai berikut:
Cerai Talak
Permohonan cerai talak diajukan oleh suami yang beragama Islam ke pengadilan Agama, yang bermaksud untuk menceraikan isterinya. Hal ini dalam Pasal 66 UU. No. 3/2006:
- Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar
- Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin
- Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
- Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengedilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta
- Permohonan soal penguasaan anak, nafhah anak, nafhah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak
Ada perbedaan yang cukup signifikan antara Pasal 14 PP. No. 9/1975 dengan Pasal 66 ayat (1) UU. No. 3/2006 tentang tempat diajukan permohonan bagi suami yang akan menceraikan isterinya. Dalam Pasal 14 PP. No. 9/1975 menetapkan, bahwa tempat suami mengajukan permohonan cerai adalah kepada Pengadilan di tempat tinggalnya yang disertai dengan alasan-alasan. Sedangkan Pasal 66 ayat (2) UU. No. 3/2006 menetapkan tempat suami mengajukan
permohonan perceraian adalah kepada Pengadilan di mana termohon bertempat tinggal.
Perubahan tempat mengajukan permohonan tersebut menurut Munawir Sjadzali, sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Rafiq, adalah untuk memberikan kemudahan dan keringan kepada si isteri.408 Pasal 68 ayat (5) di atas, memberi peluang diajukannya kumulasi obyektif atau gabungan tuntutan. Ini dimaksudkan agar dalam mencari keadilan melalui pengadilan dapat menghemat waktu, biaya
dan sekaligus tuntas semua.409
Pasal 67 UUPA menyatakan: Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66 di atas memuat:
- Nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami, dan termohon , yaitu isteri;
- Alasan-alasan yang menjadi dasar cerai
Permohonan cerai talak yang diajukan oleh suami kepada Pengadilan Agama, di mana permohonan ini oleh Pengadilan Agama dapat dikabulkan atau menolak permohanan tersebut, dan terhadap keputusan hakim Pengadilan Agama ini dapat dilakukan upaya banding dan kasasi (Pasal 130 KHI).
Setelah permohonan cerai talak diajukan kepada Pengadilan Agama, Pengadilan Agama tidak hanya untuk mendengar ikrar talak yang diucapkan oleh suami, melainkan hakim Pengadilan Agama akan memeriksa perkara tersebut sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama. Hal ini diatur dalam Pasal 68 UUPA dan Pasal 131 KHI.
Pasal 68 UUPA menegaskan:
- Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majlis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan.
408 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, … hlm. 297.
409 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994), hlm. 66.
- Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang
- Sedangkan Pasal 131 KHI menegaskan:
- Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud Pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk diminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan
- Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menesahati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, Pengadilan menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
- Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau
- Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap
- Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan isteri.
Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami isteri, dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.
Pasal 131 ayat (2) KHI di atas, menyebutkan dengan istilah “menasehati”, berbeda dengan Pasal 70 ayat (1) UUPA menyebutnya
dengan istilah “didamaikan”. Sebenarnya substansinya sama,yakni berupaya untuk mempertahan keutuhan ikatan perkawinan suami isteri tersebut. Jadi, pemohon dan termohon akan dinasehati atau diupayakan berdamai oleh hakim. Upaya mendamaikan kedua belah pihak ini tidak hanya dalam sidang, malah sebelum sidang sudah diupayakan supaya mereka berdamai. Demikian pula sebelum ada putusan talak, hakim tetap berupaya supaya suami isteri berdamai sehingga terhindar dari perceraian.
Berdasarkan Pasal 70 ayat (1) UU. No. 3/2006 (UUPA) menyatakan bahwa putusan hakim Pengadilan Agama yang menyatakan permohonan suami dikabulkan untuk mengikrarkan talaknya di hadapan sidang pengadilan. Penetapan atau putusan hakim ini masih dapat diupayakan banding oleh isteri. Tapi, apabila ikrar talak sudah diucapkan oleh suami dan hakim membuat penetapan atau putusan yang isinya menyatakan perkawinan putus, maka putusan hakim ini tidak dapat lagi diupayakan banding atau kasasi. Hal ini diatur dalam Pasal 71 UUPA sebagai berikut:
- Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar
- Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau
Cerai Gugat
Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan isteri kepada Pengadilan Agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga Pengadilan Agama mengabulkan permohonan dimaksud. Oleh karena itu, khulu’ seperti yang telah dijelaskan sebelumnya termasuk kategori cerai gugat. Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suami. Cerai gugat diatur dalam Pasal 73 UUPA sebagai berikut:
Pasal 73 UUPA:
- Gugatan perceraian diajukan isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin
- Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
- Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luat negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Pasal 73 UUPA ini secara substansi sama isinya dengan Pasal 132 KHI, tapi berbeda dengan isi Pasal 20 PP. No. 9/1975. Pasal 20
- No. 9/1975 menyatakan bahwa gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Ketentuan ini tidak memberikan keringan atau kemudahan bagi isteri, seandainya si isteri sebagai penggugat.
Seperti ketentuan gugatan cerai talak diajukan oleh suami kepada Pengadilan Agama di wilayah tempat kediaman tergugat (isteri), maka pengajuan gugatan bagi isteri juga diberi kemudahan dan keringanan dengan mengajukan gugatan perceraian kepada Pengadilan Agama di wilayah hukum di mana si penggugat (isteri) bertempat tinggal.
Alasan perceraian dan alat bukti untuk mengajukan gugatan diatur dalam pasal-pasal berikut, baik yang diatur dalam UUPA maupun KHI.
Pasal 74 UUPA:
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 75 UUPA:
Apbila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepada dokter.
Pasal 76 UUPA:
- Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga orang-orang yang dekat suami
- Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakim.
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 76 UUPA di atas, merupakan muatan dari ayat 35 surat al-Nisa’, yang kemudian mengambil bentuk lembaga yang disebut BP4 (Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian). Selanjutnya, fungsi lembaga tersebut diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 1975, yaitu bahwa Pengadilan Agama dalam setiap kesempatan berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan dapat minta bantuan kepada Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) setempat.
Adapun tindakan hukum selama proses perkara di pengadilan berlangsung, guna menghindari berbagai kemungkinan hal-hal yang bersifat negatif di antara suami isteri, maka perlu dilakukan tindakan preventif sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 dan 78 UUPA sebagai berikut:
Pasal 77 UUPA:
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, pengadilan dapat mengizinkan suami isteri untuk tidak tinggal dalam satu rumah”.
Pasal 78 UUP:
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas pertimbangan penggugat, pengadilan dapat:
- Menentukan nafhah yang ditanggung suami;
- Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
- Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.
Gugatan tersebut gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian itu (Pasal 79 UUPA jo Pasal 137 KHI jo Pasal 25 PP. No. 9/1975). Namun, bila terjadi perdamaian, tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai (Pasal 83 UUPA jo 144 KHI jo Pasal 32 PP. No. 9/1975). Upaya perdamaian dimaksud memungkinkan terjadi, mengingat ia tidak dibatasi pada sebelum pemeriksaan perkara, namun dapat diupayakan setiap kali sidang (Pasal 143 KHI). Lain halnya bila tidak tercapai perdamaian, pemeriksaaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup (Pasal 80 ayat (2) UUPA jo Pasal 145 KHI jo Pasal 33 PP. No. 9/1975).
Mengenai pelaksanaan sidang pemeriksaan gugatan penggugat dimulai selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di kepeniteraan. Hal ini diatur dalam Pasal 80 ayat (1) UUPA: Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majlis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di kepaniteraan. (Lihat Pasal 141 ayat (1) KHI).
Akan tetapi, Pasal 141 KHI ayat (2) dan (3) hanya menjelaskan teknis untuk menghindarkan ketidak hadiran pihak-pihak yang beperkara baik penggugat maupun tergugat. Hal ini menunjukkan hanya merupakan penegasan Pasal 29 ayat (2) dan (3) PP. No. 9 Tahun
1975 sebagai berikut:
- Dalam penetapan waktu sidang gugatan perceraian, perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa
- Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti dalam Pasal 20 ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan perceraian diterapkan sekurang- kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada kepaniteraan Pengadilan Agama.
Sidang pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan secara tertutup, putusan pengadilan mengenai gugatan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 81 UUPA jo Pasal 146 ayat (1) KHI). Peceraian dianggap terjadi, beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 81 ayat (2) UUPA jo Pasal 146 ayat (2) KHI jo Pasal 34 PP. No.9/1975). Oleh karena itu, kehadiran pihak-pihak yang beperkara atau wakil/kuasanya menjadi faktor penting demi kelancaran pemeriksaan perkara di persidangan. Hal ini diuraikan dalam Pasal 142 KHI sebagai berikut:
- Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.
- Dalam hal suami atau isteri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir Setelah perkara perceraian diputuskan dalam sidang terbuka untuk umum, maka salinan putusan dikirimkan kepada pihak-pihak yang terkait. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 147 ayat (1) KHI sebagai berikut: “Setelah perkara perceraian itu diputuskan, maka panitera Pengadilan Agama menyampaikan salinan putusan tersebut kepada suami isteri atau kuasanya dengan menarik kutipan Akta Nikah dari masing-masing yang bersangkutan”.
Salinan putusan dikirim kepada suami isteri tersebut, dijelaskan dalam Pasal 84 UUPA, sebagai berikut:
- Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk
- Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermeterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat Nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan
- Apabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
(1) disampaikan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia.
- Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.410
Apabila terjadi kelalaian pengiriman salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 84 menjadi tanggung jawab panitera yang bersangkutan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya (Pasal 85 UUPA jo Pasal 147 ayat (6) KHI). Oleh karena itu, amat penting pengiriman salinan putusan dimaksud. Sebab, akan mendatangkan kerugian dari berbagai pihak yang membutuhkannya.
KHI membedakan cerai gugat dengan khulu’. Namun demikian, ia mempunyai persamaan dan perbedaan di antara keduanya. Persamaannya adalah keduanya keinginan mengajukan gugatan datang dari pihak isteri. Perbedaannya, dalam gugat cerai tidak otomatis menggunakan uang iwadl atau tebusan, dalam khulu’ masalah uang iwadl (tebusan) menjadi bagian pokok terselesaikannya khulu’ tadi, dan apabila ia tidak merupakan pelanggaran perjanjian (taklik talak) masalah besarnya uang iwadl dapat dibicarakan bersama untuk mencari kesepakatan.411 Berkenaan dengan khulu’ ini dibahas dalam Pasal 148 KHI:
- Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khulu’ menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.
- Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-
- Dalam persidangan tersebut, Pengadilan Agama memberi penjelasan tentang akibat khulu’ dan memberi nasihat-nasihatnya.
410 Lihat juga Pasal 147 ayat (2), (3), dan (4) KHI).
411 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, … hlm. 307. Lihat Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam … hlm. 85.
- Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan banding dan
- Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagai yang diatur dalam Pasal 131 ayat (5).
- Dalam hal tidak tercepai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau iwadl, Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara
Prosedur perceraian, baik cerai gugat maupun khulu’ prosedur penyelesaiannya sama, tidak ada beda antara keduanya, sehingga pembahasannya juga tidak dirinci satu persatu. Hal ini diatur dalam
- No. 7/1989 dan disempurnakan dengan UU. No. 3/2006 jo
- No. 9/1975. Sementara Pasal 87 UUPA menjelaskan perceraian dengan alasan zina, sebagai berikut:
- Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyangkal alasan tersebut, dan hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun termohon atau tergugat, maka hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.
- Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang
Perceraian berdasarkan zina tersebut, merupakan penjelasan yang didasarkan peraturan perundang-undangan. Apabila diperhatikan al-Quran, dijelaskan bahwa seseorang yang menuduh perempuan lain yang baik-baik (al-muhsanat) berbuat zina kemudian dia tidak mendatangkan empat orang saksi, maka ia diancam hukuman had sebanyak 80 (delapan puluh) kali cambuk.412 Al-Quran menjelaskan hal ini dalam surat al-Nur ayat 4 sebagai berikut:
وَالَِّينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلُِوهُمْ ثَمَانِيَن جَلَْةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُوَٰلئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya, dan mereka itulah orang-orang yang fasik.
Menurut hemat penulis, mendatangkan 4 (empat) orang saksi bagi yang menuduh perempuan berzina, sulit untuk dilakukan, karena tidak mungkin empat orang melihat langsung perempuan melakukan perbuatan mesum tersebut. Lain halnya dengan menuduh isteri berzina, walupun si suami tidak mempunyai bukti yang kuat, atau tidak ada orang lain yang menyaksikan isterinya berzina, si suami untuk meneguhkan tuduhannya terhadap isteri tersebut, si suami harus bersumpah sebanyak lima kali, yang disebut dengan sumpah li’an. Isteri untuk meneguhkan penderiannya, bahwa dia tidak berzina umpamanya, maka si isteri juga bersumpah sebanyak lima kali. Kalau suami isteri sudah bersumpah li’an, maka sanksi hukum bagi suami yang menuduh isterinya berzina, bukan lagi didera, melainkan talak ba’in kubra. Di mana antara keduanya tidak dibolehkan lagi untuk bersatu sebagai suami isteri, sekalipun dilakukan dengan akad nikah baru, juga tidak dibenarkan lagi.
Berdasarkan ayat di atas sanksi hukum bagi yang menuduh perempuan muhsanat berzina adalah 80 kali dera, bila yang bersangkutan tidak mendatangkan empat orang saksi. Sanksi hukuman yang lain adalah hukuman moral kepribadian, yaitu persaksiannya tidak diterima untuk selama-lamanya. Sebab, ia termasuk orang yang fasik, bila ia tidak mampu membuktikan tuduhannya.
412 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam …, hlm. 86.
Akibat Putusnya Perkawinan.
Perkawinan dalam Islam adalah bagian dari ibadah dan mitsqaan gholidhan (perjanjian yang kuat/suci). Oleh karena itu, apabila perkawinan putus atau terjadi perceraian, maka akan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang terlibat dalam perceraian tersebut. Demikian pula dengan meninggalnya salah seorang suami atau isteri, juga menimbulkan konsekwensi tersendiri, terutama terhadap ahli waris yang masih hidup.
Dalam Pasal 38 UU. No. 1/1974 dinyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena: a. Kematian, b. Perceraian, dan c. Atas keputusan pengadilan. Secara garis besar UUP mengatur akibat dari putusnya perkawinan dalam Pasal 41 sebagai berikut:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
- Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi
- Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
- Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
KHI membahas masalah akibat hukum dari putusnya perkawinan secara rinci, sebagai berikut:
Akibat Talak (Cerai Talak)
Ikatan perkawinan yang putus karena suami mentalak isterinya mempunyai beberapa akibat hukum berdasarkan Pasal 149 KHI, yakni sebagai berikut:
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
- Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al- dukhul.
- Memberi nafhah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
- Melunasi mahar yang masih berutang seluruhnya dan separoh apabila qobla al-dukhul.
- Memberi biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21
Ketentuan Pasal 149 KHI ini bersumber dari al-Quran surat al- Baqarah ayat 236 dan 237, yang berbunyi sebagai berikut:
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ مَا لَمْ تَمَسُّوْهُنَّ اَوْ تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةً ۖ وَّمَتِّعُوْهُنَّ عََ الْمُوْسِعِ قَدَرُهٗ وَعََ الْمُقْتِِر قَدَرُهٗ ۚ مَتَاعً بِۢالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عََ الْمُحْسِنِيَْن
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut›ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.