Hukum Perkawinan di Indonesia (X)
Pengertian Nikah Beda Agama.
Dalam abad kemajuan teknologi komunikasi modern dewasa ini, pergaulan manusia tidak lagi dapat dibatasi hanya dalam suatu lingkungan masyarakat yang kecil dan sempit, seperti golongan, suku, agama dan rasnya saja, tetapi hubungan manusia telah berkembang dengan begitu pesatnya satu dengan yang lain, sehingga menembus dinding-dinding batas golongan, suku, agama dan rasnya sendiri. Dalam kondisi pergaulan seperti itu, maka terjadinya perkawinan antar suku, antar ras, antar golongan dan antar agama, mungkin saja akan terjadi. Perkawinan yang terjadi di antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masing-masing berbeda agamanya di Indonesia sudah sering terjadi, terutama sekali pada masyarakat perkotaan yang hetrogen, seperti di kalangan artis, malah sudah merasuk ke dalam masyarakat umum.
Nikah beda agama (NBA) adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita, yang karena berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan
hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.446 Hampir sama pemahamannya dengan pengertian di atas dikemukakan oleh I. Ketut Mandra dan I. Ketut Artadi, NBA adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita yang masing-masing berbeda agamanya dan mempertahankan perbedaan agamanya itu sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.447
Selain itu, Asyhari Abd. Ghofar mengemukakan bahwa NBA adalah suatu perkawinan yang terjadi antara calon suami (seorang laki-laki) dengan calon isteri (seorang perempuan) yang mana agama yang mereka peluk/anut itu berbeda antara yang satu dengan yang lain.448
Definisi lain yang dikemukakan oleh Abdurrahman sebagai berikut: NBA adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang- orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya.449
Rumusan pengertian NBA oleh para pakar hukum tersebut di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan NBA adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda agama dan masing- masing tetap mempertahankan agama dan keyakinan yang dianutnya ketika dilangsungkan akad nikahnya.
Nikah dengan Perempuan Ahlul Kitab.
Ahlul Kitab secara bahasa, berarti “memiliki kitab suci”. Secara khusus istilah ini dipakai penganut agama pra-Islam, yakni Yahudi dan Nasrani. Bagi mereka diturunkan kitab suci (wahyu Allah), seperti Taurat, Zabur, dan Injil, melalui rasul atau nabi. Jumhur ulama sepakat, penganut kedua agama inilah ahlul kitab. Namun penganut agama lain masih diperselisihkan450
446 Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, (Bandung: Pioner, 1986) hlm.17.
447 O. S. Eoh, Perkawinan Antara Agama … hlm. 35.
448 Asyhari Abd. Ghofar, Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Agama Islam, Kristen dan UU Perkawinan, (Jakarta: Andes Utama, 1992), hlm. 70.
449 Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1978), hlm.20.
Al-Maududi, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab di dalam bukunya Wawasan al-Quran, di mana beliau merangkumkan pandangan Al-Maududi tentang cakupan makna ahlul kitab sebagai berikut:
Imam Syafi’i memahami istilah ahlul kitab, sebagai orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasarani. Alasan beliau antara lain bahwa Nabi Musa dan Isa, hanya diutus kepada mereka bukan kepada bangsa-bangsa lain. (Juga karena adanya redaksi min qablikum [sebelum kamu] pada ayat yang mebolehkan perkawinan itu). Pendapat Imam Syafi’i berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan mayoritas pakar-pakar hukum yang menyatakan bahwa siapa pun yang mempercayai salah seorang Nabi, atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk ahlul kitab. Dengan demikian ahlul kitab, tidak terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi atau Nasarani. Dengan demikian, bila ada satu kelompok yang hanya percaya kepada Shuhuf Ibrahim atau Zabur (yang diberikan kepada Nabi Daud a.s.) saja, maka ia pun termasuk dalam jangkauan pengertian ahlul kitab. Pendapat ketiga dianut oleh sebagian kecil ulama-ulama salaf, yang menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab suci (samawi), maka mereka juga dicakup oleh pengertian ahlul kitab, seperti halnya orang-orang Majusi. Pendapat terakhir ini, menurut Al-Maududi diperluas lagi oleh para mujtahid (pakar-pakar hukum) kontemporer, sehingga mencakup pula penganut agama Budha dan Hindu, dan dengan demikian wanita-wanita mereka pun boleh dikawini oleh pria muslim, karena mereka juga telah diberikan kitab suci (samawi). Demikian Al-Maududi menyimpulkan berbagai pendapat.451
450 Abdul Azis Dahlan, dkk. (eds), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Van Hoeve, 2005), hlm. 103
Sedangkan Quraish Shihab452 cenderung memahami pengertian ahlul kitab pada semua penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapan, di mana pun dan dari keturunan siapa pun mereka. Ini, berdasarkan penggunaan al-Quran terhadap istilah tersebut yang hanya terbatas pada kedua golongan itu (Yahudi dan Nasrani), dan sebuah ayat dalam al-Quran:
أَن تَقُولُوٓا إِنَّمَآ أُنزِلَ ٱلْكَِٰتبُ ََٰع طَآئِفَتَيِْن مِن قَبْلِنَا وإَنِ كُنَّا عَن دِرَاسَتِهِمْ لََٰغفِلِيَن
(Kami turunkan Al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan: “Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan453 saja sebelum kami, dan sesungguhnya Kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.
Para ulama berbeda pandangan tentang NBA ini. Di antaranya ada yang melegalkan NBA, bilamana seorang laki-laki muslim kawin dengan seorang wanita ahlul kitab. Adapun dasar hukum yang menjadi pegangan membolehkan kawin dengan ahlul kitab tersebut adalah ayat 5 dari surat al-Maidah yang berbunyi sebagai berikut:
ٱلَْوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيَِّٰبتُ ۖ وَطَعَامُ ٱلَِّينَ أُوتُوا ٱلْكَِٰتبَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ وَٱلْمُحْصََٰنتُ مِنَ ٱلْمُؤْمَِٰنتِ وَٱلْمُحْصََٰنتُ مِنَ ٱلَِّينَ أُوتُوا ٱلْكَِٰتبَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُْصِنِيَن
451 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 366-367.
452 Ibid., hlm. 368.
453 Dalam ayat ini ada kata thaifataini menurut tafsir al-Quran dan Terjemahnya yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI, yang dimaksud dengan dua golongan tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Baca Departemen Agama RI, Al- Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Intermasa, 1992), hlm.215.
غَيَْ مَُٰسفِحِيَن وَلَا مُتَّخِذِىٓ أَخْدَانٍ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِٱلِْيَٰمنِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِ ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلَْٰخسِِينَ
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita- wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka (pula) menjadikannya gundik- gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
Berdasar ayat inilah sebagian ulama menghalalkan laki-laki muslim nikah dengan wanita ahlul kitab (beragama Yahudi atau Nasrani). Menurut Moh. Daud Ali, sebagaimana dikutip oleh Zainuddin Ali berpendapat bahwa dalam surah al-Maidah (5) ayat 5 tersebut, Allah memberi dispensasi berupa hak kepada pria muslim untuk menikahi wanita ahlul kitab, yakni wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Hak atau kewenangan terbuka itu dapat dipergunakan atau tidak dipergunakan oleh pria muslim, tergantung pada situasi, kondisi, dan keadaan dirinya.454
Melihat kontek ayat tersebut dapat dipahami bahwa, seorang laki-laki yang beragama Islam boleh/halal kawin dengan seorang wanita yang masih berpegang teguh dengan kitab-kitab Allah sebelum kerasulan Muhammad SAW, atau kawin dengan wanita ahli kitab sebelum kitab al-Quran diturunkan. Jadi tegasnya, yang boleh dikawini seorang muslim itu adalah wanita-wanita yang berpegang teguh kepada kitab Zabur, Taurat, Injil dan al-Quran atau wanita yang memeluk agama Yahudi, Nasrani atau Islam.455
454 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam … hlm. 99.
455 Asyhari Abd. Ghofar, Hukum Perkawinan Antar Agama … hlm. 72.
Sayyid Qutb mengemukakan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin yang dalam, kuat dan kekal antara dua insan, suatu ikatan yang mencakup hubungan timbal balik yang luas antara keduanya, maka tidak boleh tidak harus terdapat kesatuan hati yang dipertemukan dalam suatu ikatan yang tidak mudah dilepas. Untuk itu harus ada kesamaan dasar dan tujuan antara kedua mempelai. Dalam konteks ini, kepercayaan agama merupakan suatu landasan yang mengisi setiap jiwa mempengaruhinya, menggambarkan perasaannya, membatasi semua pengaruh jiwa dan kehendaknya serta menentukan jalan kehidupan yang bakal ditempuhnya. Walaupun demikian masih banyak orang yang kadang-kadang terkecoh dengan masalah kepercayaan agama yang tersembunyi dalam hati ini sehingga mereka menduga bahwa masalah akidah (kepercayaan agama) ini hanyalah sekedar perasaan yang ada dalam jiwa saja dan bisa diganti dengan beberapa filsafat ataupun beberapa aliran social. Hal semacam begini merupakan asumsi yang diakibatkan karena kepicikan pengetahuan tentang hakikat jiwa insan dan elemen- elemennya yang realistis dan disebabkan kebodohannya terhadap realita jiwa dan pembawaan kudratinya.456
Apa yang diungkapkan oleh Sayyid Qutb di atas, memberi isyarat bahwa dalam perkawinan sebaiknya suami isteri seakidah dan seiman, karena apabila salah seorang dari suami atau isteri berbeda keyakinan/kepercayaan akan menimbulkan arah atau tujuan hidup yang berbeda pula. Hal ini sulit untuk mewujudkan rumah tangga yang harmonis dan kekal, malah akan membawa rumah tangga kejurang perpecahan dan kehancuran.
Jumhur ulama berpendapat bahwa wanita kitabiyah yang mempercayai trinitas, termasuk dalam kategori ahlul kitab yang disebutkan oleh ayat tersebut, yakni halal dinikahi oleh laki-laki beragama Islam. Akan tetapi menurut hemat penulis, dalam hal ini, lebih cenderung untuk mengikuti pendapat yang mengharamkan menikahi wanita kitabiyah yang memiliki akidah trinitas tersebut.457
456 Abdul Mutaal Muhammad al-Jabry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam, alih bahasa Achmad Syathori, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 14.
Alasan jumhur ulama melegalkan perkawinan laki-laki muslim dengan ahlul kitab adalah penjelasan spesifik yang terdapat dalam surah al-Maidah ayat 5, perkawinan Nabi SAW dengan wanita ahlul kitab yakni Mariyah al-Qibthiyah (Nasrani), perkawinan seorang sahabat senior bernama Hudzaifah bin al-Yaman dengan seorang wanita Yahudi. Menurut Sayyid Sabiq, meskipun pada dasarnya tidak ada halangan bagi pria muslim untuk menikahi wanita ahlul kitab, namun tetap menjadi sesuatu yang makruh sehingga lebih baik dan dianjurkan untuk ditinggalkan bila tidak ada konsideran dan alasan syar’i yang menjadi rukhsah (dispensasi) untuk melakukannya.458
Anwar Haryono, Mahmud Yunus, dan Hamka telah mengungkapkan pendapat Syekh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam al-Manar yang merupakan fatwa tentang perkawinan campuran di Indonesia. Hamka berpendirian bahwa lelaki muslim yang kuat agamanya boleh kawin dengan wanita ahlul kitab sesuai dengan ketentuan al-Quran surah al-Maidah ayat 5 yang merupakan keringanan dari Allah. Harun Nasution berpendapat bahwa lelaki muslim boleh mengawini wanita ahlul kitab. Menurut Harun Nasution tidak ada larangan dalam al-Quran dan hadis Mutawatir.459 A.Hasymi (salah seorang Ketua MUI Propinsi Aceh) setuju kalau pengaturan perkawinan campuran sesuai dengan ajaran al- Quran. Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa lelaki muslim halal kawin dengan wanita Yahudi atau Nasrani (wanita kitabi). Namun demikian, lelaki muslim yang akan kawin dengan wanita ahlul kitab disyaratkan mampu menyelamatkan kehidupan agamanya, agama anak-anaknya, agama Islam dan umat Islam pada umumnya.460
457 Ibid., hlm. 19.
458 Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hlm. 261.
459 Ichtianto, Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1993), hlm. 195.
460 Ibid., hlm. 196.
Menurut Setiawan Budi Utomo, seorang pria muslim diizinkan kawin dengan seorang perempuan dari ahlul kitab (Nasrani/Yahudi) berdasarkan surah al-Maidah ayat 5 itu hanyalah sebuah dispensasi bersyarat (rukhshah), yakni bergantung kualifikasi iman, Islam dan kepribadian pria muslim tersebut haruslah bagus, karena perkawinan tersebut mengandung rasiko yang tinggi berupa perpindahan agama maupun perceraian serta pertaruhan agama anak keturunannya.461
Selain itu ada juga yang memberi alasan bahwa ahlul kitab itu berpegang teguh pada agama yang mewajibkan kepada mereka berbuat baik dan melarang untuk berbuat jahat, alasan tersebut tidak bisa diterima sama sekali sebab perbuatan baik yang diwajibkan kepada mereka itu terbatas pada perbuatan baik di lingkungan pemeluk agama ahli kitab, sedangkan pada selain mereka maka menyakitinya itu dianggap ibadah. Sedangkan amal kebajikan social yang mereka manifestasikan dalam bentuk rumah sakit, panti asuhan atau sekolah dll, tidak lain merupakan umpan untuk memudahkan mengail ikan dalam kekeruhan hidup yang penuh dengan gelombang yang saling hantam menghantam ini.462
Berdasarkan ayat 5 dari surat al-Maidah tersebut, secara lahiriyah seorang laki-laki muslim dibolehkan nikah dengan wanita ahlul kitab. Di antara hikmah yang menghalalkan perkawinan tersebut, menurut para ulama yang membolehkan adalah karena pada mula dan hakikatnya agama Kristen dan Yahudi itu satu rumpun dengan agama Islam, sebab sama-sama agama wahyu (revealed religion). Maka, kalau seorang wanita Kristen/Yahudi kawin dengan pria muslim yang baik, taat dan kuat imannya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauan sendiri wanita itu masuk Islam. Karena, ia dapat menyaksikan dan merasakan kebaikan dan kesempurnaan ajaran Islam, setelah ia hidup di tengah keluarga Islam. Sebab, agama Islam mengajarkan konsep dan pedoman hidup yang lengkap, mudah, toleran, fleksibel, demokratis, memulyakan kedudukan wanita, dan menghargai hak-hak asasi manusia dengan melindungi segenap kebebasan setiap individu dalam bingkai kemaslahatan yang rasionalible dan penuh keadilan.463
461 Setiwan Budi Utomo, Fiqh Aktual, … hlm. 263
462 Abdul Mutaal Muhammad al-Jabry, Perkawinan Campuran … hlm. 121.
Ali Ahmad al-Jurjawi dalam Hikmah al-Tasri’ wa Falsafatuhu mengemukakan bahwa wanita-wanita barat dan timur yang kawin dengan pria muslim yang baik dan taat pada ajaran agamanya, pada akhirnya dapat terbuka hatinya dan atas kesadaran sendiri mereka masuk Islam.464
Sedangkan Mahmud Syaltut menulis dalam kumpulan fatwanya bahwa tujuan utama dibolehkannya perkawinan seorang muslim dengan wanita ahlul kitab, adalah agar dengan perkawinan tersebut terjadi semacam penghubung cinta dan kasih sayang. Sehingga terkikis dari benak isterinya rasa tidak simpati terhadap Islam dengan sikap baik sang suami muslim yang berbeda agama itu sehingga tercermin secara amaliah keindahan dan keutamaan agama Islam.
Adapun jika sang suami muslim terbawa oleh sang isteri, atau anaknya terbawa kepadanya sehingga mengalihkan mereka dari akidah Islam, maka ini bertentangan dengan tujuan dibolehkannya perkawinan, dan ketika itu perkawinan tersebut–disepakati-untuk dibubarkan.465
Namun demikian, untuk menghindari kemungkinan- kemungkinan negatif yang bakal terjadi lantaran suami isteri berbeda keyakinan dan pandangan hidup, maka sebaiknya seorang muslim mencari pasangan hidupnya dengan seorang perempuan yang beragama Islam juga. Bagaimanapun juga non-Islam – termasuk Yahudi atau Nasrani – tetap mengajak siapapun juga kepada agama yang dianutnya dan mereka tidak senang kepada orang-orang yang memeluk agama selain agama yang mereka yakini. Hal ini ditegaskan oleh Allah di dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 120 sebagai berikut:
وَلَنْ تَرَْٰضى عَنْكَ الَْهُودُ وَلَا الَّنصَارَٰى حََّٰت تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى الَِّل هُوَ الْهُدَٰى ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَِّي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ الَِّل مِنْ وَلٍِّى وَلَا نَصِيٍ
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ”Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”, dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.
463 Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual, … hlm. 261.
464 Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, (al-Qahirah: al-Yusufiyah bi Babi al-Khulq, 1932), II : 27.
465 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran … hlm. 371.
Nikah dengan Perempuan Musyrik.
Para ulama sepakat menetapkan bahwa laki-laki yang beragama Islam haram mengawini perempuan musyrik.466 Hal ini berdasarkan firman Allah SWT ayat 221 surat al-Baqarah, yang berbunyi sebagai berikut:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشِْكَتِ حََّٰت يُؤْمِنَّ ۚ وَلََمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيٌْ مِنْ مُشِْكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشِْكِيَن حََّٰت يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيٌْ مِنْ مُشِْكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُوَٰلئِكَ يَدْعُونَ إِلَ الَّنارِ ۖ وَالَُّل يَدْعُو إِلَ الَْنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيُِّن آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah- perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal mengenai siapa yang dikategorikan musyrikah itu. Syekh Muhammad Rasyid Ridha dengan menukil pendapat Muhammad Abduh dalam Tafsir al- Manar berpendapat bahwa wanita musyrikah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah dari kalangan bangsa Arab karena tidak memiliki kitab suci saat al-Quran turun.467 Menurut jumhur ulama fiqh (mayoritas fuqaha) bahwa yang dimaksud dengan perempuan musyrikah tersebut adalah semua wanita kafir selain Yahudi dan Nasrani baik dari bangsa Arab maupun bangsa non-Arab (‘ajam). Menurut pendapat ini bahwa semua wanita yang bukan Islam dan bukan Yahudi dan Kristen tidak boleh dikawini oleh pria muslim, apa pun agama dan kepercayaannya, seperti wanita dari umat Budha, Hindu, Konghucu, Zoroaster, karena dikategorikan sebagai musyrikah yang haram untuk dinikahi.468
466 Musyrik berawal dari kata syirik. Syirik adalah mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu. Musyrik adalah siapa yang percaya bahwa ada Tuhan bersama Allah, atau siapa yang melakukan satu aktivitas yang bertujuan ganda, pertama kepada Allah, kedua selain-Nya. Baca Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid I, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) hlm. 473-474.
Demikian pula para ulama sepakat menetapkan bahwa haram nikah seorang perempuan muslimah dengan seorang laki-laki yang tidak beragama Islam, baik calon suami termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci seperti Yahudi dan Nasrani yang disebut ahlul kitab maupun pemeluk agama lainnya yang mempunyai kitab ajara serupa kitab suci, seperti Budha, Hindu, maupun pemeluk agama ataupun kepercayaan yang tidak mempunyai kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab suci, termasuk di sini para penganut aliran kepercayaan, kebatinan, animisme, dinamisme, ateisme, politeisme dan sebagainya, maka para ulama sepakat hukumnya haram dan perkawinannya tidak sah berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 221 tersebut.
467 Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Kairo: Darul Manar, 1367 H.),VI: 187-188. Baca Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: CV. Masagung, 1988), hlm. 5.
468 Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual, … hlm. 260.
Di antara hikmah yang dikemukakan sebagian pendukung alasan diharamkannya perkawinan ini adalah dikhawatirkan wanita Islam itu kehilangan kebebasan beragama dan karena lemah pendiriannya sehingga dapat mudah terseret untuk murtad mengikuti agama suaminya. Demikian pula anak keturunan yang lahir dari hasil perkawinannya dikhawatirkan akan mengikuti agama bapaknya karena posisi dominan otoritas bapak sebagai kepala keluarga terhadap anak melebihi ibunya. Dalam hal ini, fakta-fakta sejarah menunjukkan adanya bahaya aksi pemurtadan dan proses deislamisasi serta konversi agama melalui jalur perkawinan ini, terutama banyak terjadi korban adalah para wanita muslimah.469
Sebagai contoh, dikemukakan oleh Setiawan Budi Utomo, pengalaman nyata yang diungkapkan oleh Forum Antisipasi Kegiatan Pemurtadan (FAKTA) bahwa di Indonesia telah terjadi pelanggaran etika penyiaran agama dan penyalahgunaan toleransi agama sebagai kedok dan alat dalam aksi kritenisasi seperti yang terjadi pada seorang gadis muslimah di Cipayung Jakarta Timur yang semula taat agama, pada akhirnya nekad kabur dari rumahnya untuk masuk Kristen dan mengikuti pemuda gereja yang berhasil menjeratnya dengan tindakan pemerkosaan dan obat-obat terlarang. Demikian halnya kasus pemurtadan melalui perkawinan terjadi di Bekasi setelah seorang permuda Kristen berhasil mendekati gadis muslimah dan pura-pura masuk Islam menjelang pernikahannya untuk mengelabui calon penganten perempuan dan keluarganya. Dengan menyusun strategi yang matang, ia menyebak mempelai perempuan dengan pengambilan foto kegiatan intim malam pertama mereka. Karena ketakutan akan ancaman disebarkannya gambar intim mereka tersebut terpaksa wanita itu mau dibaptis dan masuk agama Kristen akibat rekayasa pemuda aktivis gereja tersebut.470
469 Ibid., hlm. 259.
470 Ibid., hlm. 259-260.
Dari fakta sejarah tersebut membuktikan kebenaran ayat 120 dari surah al-Baqarah, di mana non-Islam tidak pernah senang melihat orang lain beragama selain dari agama mereka. Mareka berusaha dengan berbagai cara untuk menarik orang lain ke dalam agama yang mereka anut, sekalipun dengan cara paksa.
Nikah Beda Agama dalam Pandangan Liberalis di Indonesia.
Liberalis berasal dari kata liberal. Liberal berarti golongan yang menghendaki kebebasan dalam lapangan ibadat-keagamaan dan kenegaraan.471 Dalam kamus Oxford kata liberal mempunyai beberapa arti, di antara lain adalah memberikan ruang gerak terhadap seluruh lapisan masyarakat dengan sebebas-bebasnya untuk berpolitik, berekonomi dan beragama.472 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa liberal diartikan bebas dan merdeka.
Jika liberal dikaitkan dengan Islam, Islam liberal, maka liberal di sini masuk pada ranah agama yang bisa diartikan dengan pemikiran atau paham di dalam Islam yang memahami nash-nash agama, meliputi al-Quran dan sunnah, dengan menggunakan akal fikiran yang bebas. Hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan alur akal fikiran. Maka di Indonesia lahir kelompok yang menama dirinya dengan Jaringan Islam Liberal (JIL).
Paham liberalisme masuk ke Indonesia tidak terlepas dari corak-corak pemikiran keagamaan dari benua Eropa, Amereka dan Timur Tengah. Ini terlihat dari geliat-geliat para pengusung yang kebanyakan mereka alumni barat dan referensi atau literatur yang banyak dipakai berasal dari cendikiawan-cendikiawan muslim seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Arkoun, Annaim dan lain-lain. Atau karangan-karangan orang barat yang ahli Islam seperti Charlez Khurzman, Leonardo Binder, Greg Barton, William Montogomery Watt, dan lain-lain.473
471 Kamus Populer, Habeyb, (Jakarta: Centra, 1973), hlm. 171-172.
472 Oxford Advance Leaner’s Dictionory, Sally Wehmeir, dkk., (China: Oxford University Press, 2005), hlm. 884.
Pada tahun 70-an, tampil Nurcholis Majid dengan gagasan “Keharusan Pembaharuan dalam Pemikiran Islam Modernis di Indonesia” yang mengupas secara jelas tentang sekularisasi, desaklarisasi, leberalisme dan sosialisme.474
Pada tahun 2004 hadir buku Fikih Lintas Agama oleh Nurchalis Majid dkk. dengan gagasan inklusif, pluralisme agama, dekontruksi hukum Islam dan hubungan antara agama. Dan muncul pula ide Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) oleh Siti Musdah Mulya dkk. Gagasan ini adalah untuk merevisi KHI, karena menurut mereka KHI tersebut tidak relevan lagi dengan waktunya. Lantaran kedua isu di atas, maka MUI pada waktu Musyawarah Nasional (MUNAS) ke-7 di Jakarta tahun 2005 mengeluarkan fatwa “haram” mengikuti liberalisme, sekularisme dan pluralisme.475
Dalam buku Fikih Lintas Agama yang dikarang oleh kelompok Islam Liberal, yang dipimpin oleh Nurcholis Majid menegaskan, bahwa “Pernikahan laki-laki non-muslim dengan wanita muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terkait dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah pada waktu itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antara agama merupakan suatu hal yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan pendapat baru, bahwa wanita muslim boleh menikah dengan laki- laki non-muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya”.476
473 Edi Kurniawan, “Nikah Beda Agama dalam Tinjauan Maqashid al-Syari’ah (Analisis Terhadap Fatwa Majlis Ulama Indonesia dan Pendapat Islam Liberal”, Skripsi Fakultas Syari’ah IAIN STS Jambi (2011), hlm.50.
474 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 58.
475 Lihat Fatwa Majlis Ulama Indonesia No: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005, tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme.
476 Nurcholis Majid, Fikih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 164-165.
Kelompok Islam Liberal ini mengajukan beberapa argumentasi untuk menguatkan pendapat mereka sebagai berikut:
- Pertama, pluralitas agama merupakan sunnatullah yamg tidak bisa Tuhan menyebut agama-agama samawi dan mereka membawa ajaran amal saleh sebagai orang yang bersamanya di syurga nanti. Bahkan juga al-Quran secara ekplisit menyebutkan agar perbedaan jenis kelamin dan suku sebagai tanda agar satu dengan yang lainnya mengenal. Dan pernikahan antara agama dapat dijadikan salah satu ruang, yang mana antara penganut agama dapat saling berkenalan secara lebih dekat.
- Kedua, bahwa tujuan dari diberlangsungkannya pernikahan adalah untuk membangun tali kasih (al-mawaddah) dan tali sayang (al-rahmah). Di tengah rentannya hubungan antar umat beragama saat ini, pernikahan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali kasih dan tali sayang, kita rajut kerukunan dan kedamaian.
- Ketiga, semangat yang dibawa Islam adalah kebebasan, bukan belenggu. Dan tahapan-tahapan yang dilakukan oleh al-Quran sejak larangan pernikahan dengan orang musyrik, lalu membuka jalan bagi pernikahan dengan ahli kitab merupakan sebuah tahapan pembebasan secara evolutif. Dan pada saatnya, kita harus melihat agama lain bukan sebagai kelas dua, dan bukan pula ahl al-dzimmah dalam arti menekan mereka, melainkan sebagai warga 477
Selain dari apa yang telah dikemukakan di atas, pendapat yang senada dikemukan oleh Siti Musdah Mulia di dalam bukunya Muslimah Reformis, di antara lain beliau mengatakan : “Surah al- Maidah: 5 justru membolehkan laki-laki menikahi perempuan ahlul kitab dan kebolehannya itu tentu saja dipahami dapat berlaku untuk sebaliknya. Dalam bahasa Arab dikenal dengan gaya bahasa yang lazim disebut al-ikhfa’, yakni cukup menyebut sebagian saja dan dari situ dipahami bagian yang lainnya. Misalnya, ayat tersebut dinyatakan laki-laki muslim boleh menikahi perempuan ahlul kitab, maka maffium mukhalafahnya perempuan muslim pun tidak terlarang menikahi laki-laki ahlul kitab”.478
477 Ibid., hlm. 164-165.
Keabsahan nikah beda agama menurut kelompok Islam Liberal ini, adalah salah satu upaya ijtihad, yang disebut dengan ijtihad intelektual keislaman, dari pada mereka melakukan perbuatan terlarang, seperti kumpul kebo atau berzina.479
Cita-cita dari kelompok Islam liberal ini tidak hanya sebatas pada tataran teoritis, malah sudah dipraktekkan oleh sebagian dari mereka, seperti yang dilakukan oleh Ahmad Nurcholis (muslim) dengan Ang Mei (Konghucu) di gedung “Islamic Study Centre” Yayasan Paramadina pada tanggal 8 Juni 2003.480
Berdasarkan keterangan di atas, dapat ditarik kesempulan, kelompok Islam liberal berpendapat bahwa pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim dan sebaliknya dibolehkan dalam bentuk apa pun agama dan kepercayaannya.
Pandangan dari kelompok Islam Liberal ini, bila dihubungkan dengan ayat 85 dari surat Ali Imran, jelas sangat bertentangan dengan tujuan dari hukum Islam itu sendiri. Ayat 85 dari surat Ali Imran berbunyi sebagai beriku:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيَْ الِْسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِ الْخِرَةِ مِنَ الَْخاسِِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
478 Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis, (Jakarta: Mizan, 2005), hlm. 63.
479 Mohammad Monib dan Ahmad Nurcholis, Kado Cinta bagi Pasangan Nikah Beda Agama, (Jakarta: Gremadia, 2008), hlm. 12.
480 Majalah Bulanan Media Dakwah: Selingkuh Islam Liberal-Kristen, N0. 349, hlm. 33.
SANKSI PIDANA DALAM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
Baik UU. No. 1/1974 maupun KHI tidak mengatur tentang sanksi pidana bagi pelanggaran terhadap peraturan perkawinan ini. Sanksi pidana diatur dalam Pasal 45 PP. No. 9/1975.
Ketentuan sanksi pidana ini merupakan hal yang baru, yang tujuannya adalah bersifat preventif agar pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan dan aparat yang ditugasi untuk mencatat perkawinan atau pihak-pihak yang terkait, tidak melakukan pelanggaran. Karena betapa kecilnya, timbulnya pelanggaran akan menjadi pelaksanaan ketentuan perundang-undangan perkawinan tidak bisa berlaku efektif.
Pasal 45 PP. No. 9/1975 yang mengatur tentang sanksi pidana ini berbunyi sebagai berikut:
- Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku, maka:
- Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum
dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah);
- Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
- Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan
Isi dari Pasal 45 PP. N0. 9/1975 dapat dirincikan sebagai berikut:
- Pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku perkawinan yang diatur dalam pasal-pasal berikut ini:
- Tidak memberitahukan untuk melangsungkan perkawinan atau pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan itu kurang dari sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilaksanakan (Pasal 3).
- Perkawinan dilaksanakan tidak dihadapan PPN dan tidak dihadiri dua orang saksi (Pasal 10 ayat(3)).
- Pelaku poligami tidak mengajukan permohonan ke Pengadilan untuk memperoleh persetujuan hakim Pengadilan (Pasal 40).
- Pelanggaran yang dilakukan oleh PPN dapat dirincikan sebagai berikut:
- Tidak melakukan penelitian terhadap syarat-syarat perkawinan yang diajukan oleh calon mempelai (Pasal 6)
- Dari hasil penelitian ternyata terdapat syarat yang masih kurang, sementara PPN tidak memberitahukan kepada pemohon (Pasal 7).
- PPN tidak melaksanakan pengumuman dan pengumuman tidak ditempelkan pada tempat yang mudah dibaca umum (Pasal 8).
- Isi pengumuman yang dibuat oleh PPN ternyata tidak memuat lengkap identitas para calon penganten (Pasal 9).
- Akad nikah dilaksanakan kurang dari sepuluh hari dari pengumuman yang sudah ditempelkan oleh PPN (Pasal 10 ayat (1)).
- PPN tidak menyiapkan akta nikah, sementara akad nikah sudah dilaksanakan atau akta nikah tidak ditandatangani oleh pihak-pihak yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan PP. No. 9/1975 ini, yakni kedua mempelai, dua orang saksi, wali nikah dan PPN yang menghadiri akad nikah tersebut (Pasal 11).
- Akta nikah tidak dibuat dalam rangkap 2 (dua), atau akta nikah tidak disimpan pada Panitera Pengadilan Agama yang mewilayahi kantor PPN itu berada, atau kepada kedua mempelai tidak diberikan kutipan akta nikah (Pasal 13).
- Larangan bagi PPN untuk mencatat perkawinan seorang suami yang melakukan poligami, sementara yang bersangkutan belum mendapat izin dari Pengadilan Agama (Pasal 44).
Inilah pelanggaran-pelanggaran yang bisa dikenakan sanksi pidana atau hukuman penjara atau denda seperti yang diatur dalam Pasal 45 PP. No. 9/1975 tersebut. Pelanggaran pidana ini termasuk delik aduan.
Menurut hemat penulis ketentuan sanksi pidana yang ditujukan kepada pelanggaran pasal-pasal yang diatur dalam PP. No. 9/1975 ini sangat tidak relevan lagi dengan masa dan situasi masa kini. Karena sanksi yang diterima oleh pelanggarnya tidak akan menimbulkan efek jera dan demikian pula orang lain tidak akan takut untuk melakukan pelanggaran, pada hal tujuan dari sanksi atau hukuman itu adalah untuk dapat memberi efek jera kepada pelaku kejahatan dan mencegah orang lain untuk tidak melakukan perbuatan yang sama.
Ahmad Wardi Muslich menjelaskan bahwa tujuan dari hukuman adalah untuk:509
509 Ahmad Wardi Muslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Cet. ke I, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hlm. 137-138.