Abstrak
Perkawinan merupakan institusi sakral yang dalam Islam dipandang sebagai mitsaqan ghalizhan (akad yang kuat) sekaligus ibadah. Artikel ini menganalisis perkawinan dari perspektif hukum Islam, hukum positif Indonesia, dan hukum adat dengan pendekatan teori Maqasid al-Syari‘ah klasik dan kontemporer, teori keadilan, serta teori sistem hukum Friedman. Metode penelitian berupa studi kepustakaan (library research) dengan analisis deskriptif-analitik dan komparatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa perkawinan bukan hanya urusan privat dua individu, tetapi juga institusi sosial, hukum, dan religius yang menyatukan nilai agama, adat, dan hukum negara. Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan memiliki makna kumulatif: sah menurut agama sekaligus wajib dicatat negara. Analisis dengan maqasid syariah (Al-Syathibi & Auda), teori keadilan (Rawls & Aristoteles), dan teori sistem hukum Friedman menegaskan bahwa pencatatan perkawinan membawa maslahat besar berupa perlindungan hak-hak perempuan dan anak, sedangkan pengabaian pencatatan membawa mafsadat serius.
Kata Kunci: Perkawinan, Hukum Islam, Hukum Positif, Hukum Adat, Maqasid Syariah, Teori Sistem
Pendahuluan
Perkawinan dalam Islam bukan hanya kontrak sosial, tetapi ibadah. Al-Qur’an menegaskan tujuan perkawinan adalah terciptanya sakinah, mawaddah, dan rahmah (QS. Ar-Rum: 21). Nabi Saw. juga menegaskan: “Nikah itu sunnahku, siapa yang membenci sunnahku maka ia bukan dari golonganku” (HR. Bukhari-Muslim).
Di Indonesia, perkawinan diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hukum adat pun turut memberi warna. Hazairin (1981) menegaskan bahwa hukum adat memandang perkawinan sebagai penyatuan keluarga besar. Karena itu, kajian perkawinan harus melibatkan perspektif agama, negara, dan adat.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan (library research) dengan pendekatan normatif-teologis, komparatif, dan analisis teoritis. Sumber data meliputi Al-Qur’an, Hadis, kitab fikih, UU No. 1 Tahun 1974, literatur akademik, serta pandangan pakar hukum Islam, khususnya dari UIN Bandung.
Pembahasan
1. Perkawinan dalam Perspektif Islam
Menurut Al-Syathibi (1997), perkawinan merupakan bagian dari maqasid syariah untuk menjaga keturunan (hifz al-nasl) dan agama (hifz al-din). Sayyid Sabiq (1983) menyebut menikah sebagai sunnah Nabi untuk menjaga kehormatan manusia.
2. Dalil Naqli tentang Kepastian Perkawinan
Nabi bersabda: “Umumkanlah pernikahan ini, adakanlah di masjid, dan tabuhlah rebana” (HR. Tirmidzi). Hadis ini menegaskan pentingnya keterbukaan. QS. An-Nisa: 58 juga menekankan penyampaian amanah kepada yang berhak, yang dalam konteks perkawinan berarti perlindungan hak suami, istri, dan anak. Dengan demikian, pencatatan nikah adalah bentuk pengumuman modern (NU Online, 2018).
3. Perkawinan dalam Hukum Positif Indonesia
UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan (2) menunjukkan dualisme syarat sah perkawinan: menurut agama dan dicatat negara. Khoiruddin Nasution (2009) menilai hal ini sebagai kompromi antara hukum agama, adat, dan negara. NU menegaskan bahwa pencatatan nikah adalah wajib syar’i karena terkait perlindungan hak (NU Online, 2025a).
4. Perkawinan dalam Hukum Adat
Hazairin (1981) menyebut perkawinan adat sebagai peristiwa sosial, misalnya dalam adat Minangkabau yang matrilineal atau Jawa dengan simbolisme sakral. Islam menekankan ibadah, adat menekankan sosial, negara menekankan legalitas.
5. Analisis Maqasid Syariah
Maqasid syariah menurut Al-Syathibi (1997) dan Yassir Auda (2008) mencakup perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Pencatatan nikah adalah maslahah mursalah untuk menjaga hifz al-nasl dan hifz al-mal.
6. Teori Keadilan
Aristoteles membedakan keadilan distributif dan korektif. Rawls (1999) menegaskan justice as fairness, di mana hukum melindungi pihak lemah. Pencatatan nikah adalah bentuk keadilan, karena menjamin hak perempuan dan anak tidak terabaikan.
7. Teori Negara Hukum
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan Indonesia sebagai negara hukum. Negara wajib menjamin pencatatan nikah agar hak-hak sipil warga tidak hilang. NU dalam Munas 2025 menekankan bahwa Dukcapil tidak boleh menerbitkan KK jika pasangan tidak memiliki isbat nikah dari pengadilan agama (NU Online, 2025b).
8. Teori Sistem Hukum Friedman dan Luhmann
Friedman (2001) menegaskan tiga elemen hukum: substansi, struktur, dan budaya. Dalam perkawinan: substansi hukum = UU, struktur = KUA/Dukcapil, budaya = kesadaran masyarakat. Luhmann (2004) menambahkan bahwa hukum berfungsi mengurangi ketidakpastian. Penelitian Anisya Safitriany (2022) di Bandung menunjukkan lemahnya budaya hukum karena masih ada pasangan tidak mencatatkan pernikahannya.
9. Pandangan Pakar UIN Bandung
Prof. Oyo Sunaryo Mukhlas (2017) menegaskan pencatatan nikah sebagai instrumen perlindungan hukum. Alief Rizki Mubarok (2023) menemukan pencatatan nikah dipahami masyarakat sebagai bukti autentik, meski terhambat digitalisasi. Halim & Mukhlas (2023) meneliti status anak nikah siri, menunjukkan pentingnya pencatatan untuk menghindari ketidakjelasan status hukum.
10. Analisis Pasal 2 Ayat (1) dan (2) UU Perkawinan
Pasal ini harus dipahami kumulatif. Jika hanya ayat (1), sah agama tapi tidak diakui negara. Jika hanya ayat (2), sah negara tapi tidak sah agama. Pemahaman kumulatif selaras dengan maqasid syariah dan teori sistem hukum Friedman.
11. Maslahat dan Mafsadat Pencatatan Nikah
Maslahat: melindungi hak perempuan, anak, dan harta; mencegah perkawinan liar; menjaga tertib sosial (Auda, 2008).
Mafsadat: tanpa pencatatan, hak waris hilang, anak tidak punya akta, dan perempuan rawan ditelantarkan (Mukhlas, 2017; NU Online, 2021).
Kesimpulan
Perkawinan adalah institusi yang menyatukan nilai agama, hukum negara, dan adat. Dalil naqli menegaskan pentingnya pengumuman nikah. Analisis maqasid syariah menunjukkan pencatatan nikah adalah maslahah untuk melindungi agama, keturunan, dan harta. Teori keadilan menegaskan pencatatan melindungi pihak lemah. Teori negara hukum dan teori sistem menuntut pencatatan agar hukum berjalan efektif.
Para pakar UIN Bandung, khususnya Prof. Oyo Sunaryo Mukhlas, menekankan pencatatan nikah sebagai instrumen perlindungan hukum. NU melalui berbagai forum nasional pun menguatkan bahwa pencatatan nikah adalah kewajiban syar’i sekaligus konstitusional. Oleh karena itu, pencatatan nikah tidak sekadar administratif, tetapi bagian dari maqasid syariah, teori keadilan, dan sistem hukum yang menjamin maslahat umat.
Daftar Pustaka
- Auda, Y. (2008). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law. London: IIIT.
- (1981). Hukum Kekeluargaan Nasional. Jakarta: Tintamas.
- Khoiruddin, N. (2009). Hukum Perkawinan di Indonesia. Yogyakarta: Academia.
- Luhmann, N. (2004). Law as a Social System. Oxford: Oxford University Press.
- Mukhlas, O. S. (2017). Hukum Perkawinan dalam Tata Hukum Yordania dan Yaman Selatan. Al-Afkar Journal.
- Mukhlas, O. S., & Halim, H. A. (2023). Pemikiran Hukum tentang Status Anak Hasil Nikah Siri dan Anak di Luar Kawin. Familia: Jurnal Hukum Keluarga, 4(1).
- NU Online. (2018). Kedudukan dan Urgensi Pencatatan Nikah. https://nu.or.id/nikah-keluarga/kedudukan-dan-urgensi-pencatatan-nikah-mmylC
- NU Online. (2021). 34 Juta Pasangan Suami-Istri Belum Tercatat di Dukcapil. https://www.nu.or.id/nasional/34-juta-pasangan-suami-istri-belum-tercatat-di-dukcapil-HHx31
- NU Online. (2025a). Munas NU Bahas Pencatatan Pernikahan di Dukcapil. https://nu.or.id/syariah/munas-nu-bahas-pencatatan-pernikahan-di-dukcapil-untuk-perkawinan-belum-terdaftar-di-kua-DY4eI
- NU Online. (2025b). Munas NU 2025: Dukcapil Tak Boleh Terbitkan KK Jika Pasangan Tak Miliki Isbat Nikah. https://nu.or.id/nasional/munas-nu-2025-dukcapil-tak-boleh-terbitkan-kk-jika-pasangan-tak-miliki-isbat-nikah-dari-pengadilan-agama-zzcPc
- Rawls, J. (1999). A Theory of Justice. Harvard: Harvard University Press.
- Sabiq, S. (1983). Fiqh Sunnah. Kairo: Dar al-Fath.
- Syathibi, A. I. (1997). Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‘ah. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah.








