Oleh : Khaerul Umam, S.Ag*)
A. PENDAHULUAN
Pernikahan bagi umat Islam merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri berdasar akad nikah yang diatur dalam undang-undang dengan tujuan membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai hukum Islam. Pernikahan adalah ikatan yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Oleh karena itu, untuk menjaga kesucian lembaga perkawinan itu, maka perkawinan atau pernikahan bagi umat Islam hanya sah apabila dilakukan menurut hukum Islam dan keberadaannya perlu dilindungi oleh hukum negara.
Dalam pernikahan terkadang terjadi hal-hal yang mengakibatkan pernikahan harus dibatalkan. Salah satu penyebab batalnya pernikahan diantaranya adalah Fasakh Nikah. Ia merupakan bagian dari salah satu penyebab terjadinya pembatalan pernikahan. Selain talak, fasakh nikah juga menjadi salah satu cara memutus tali pernikahan yang juga mendapatkan legalitas syari’at seperti halnya talak. Namun fasakh memiliki beberapa perbedaan dengan talak.
Fasakh nikah ini bisa dilakukan oleh masing-masing pihak pasutri karena ada sebab tertentu atau aib yang dijumpai setelah adanya akad nikah. Meskipun keduanya sama-sama merupakan cara memutus tali pernikahan, namun antara talak dan fasakh tetap memiliki perbedaan, yang itu akan berkaitan kuat dengan konsekuensi keduanya. Maka timbullah pertanyaan dari uraian di atas: Apa perbedaan Thalaq dan Fasakh? Bagaimana hukum menjatuhkan fasakh nikah tanpa hakim? haruskah perceraian fasakh diajukan ke hadapan hakim. Mari kita simak ulasan permasalahan di atas dalam artikel penulis kali ini. Semoga bermanfaat…
B. PEMBAHASAN
- Pengertian dan Sebab Fasakh Pernikahan dalam Fiqih Perkawinan
Secara bahasa, fasakh berarti pembatalan, pemisahan, penghilangan, pemutusan, atau penghapusan. Fasakh berasal dari bahasa arab dari akar kata fa-sa-kha yang secara etimologi berarti membatalkan (Amir Syarifuddin, 2006: 190), atau juga fasakh berarti mencabut atau menghapuskan (Kamal Muchtar, 1993: 212), atau membatalkan akad nikah dan melepaskan hubungan yang terjalin antara suami isteri (Sayyid Sabiq, 1992 :267). Manakala, menurut kamus besar Bahasa Indonesia fasakh adalah hak pembatalan ikatan pernikahan oleh pengadilan agama berdasarkan dakwaan (tuntutan) istri atau suami yg dapat dibenarkan oleh pengadilan agama, atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.
Fasakh dalam arti terminology terdapat beberapa rumusan diantaranya :
a. Fasakh ialah perceraian yang disebabkan oleh timbulnya hal hal yang dianggap berat oleh suami atau isteri atau keduanya sehingga mereka tidak sanggup untuk melaksanakan kehidupan suami isteri dalam mencapai tujuannya (Kamal Muchtar, op cit, h. 212).
b. Fasakh nikah yaitu pembatalan perkawinan oleh isteri karena antara suami istri terdapat cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau si suami tidak dapat memberi belanja/nafkah, menganiaya, murtad dan sebagainya (Tihami, 2009 :195-196).
c. Menurut Imam Asy – Syafi’i pemutusan hubungan pernikahan (fasakh) adalah semua pemutusan ikatan suami isteri yang tidak disertai dengan thalak, baik thalak satu, dua, ataupun tiga (Imam Syafie, 2007: 481).
d. Fuqaha dari kalangan Hanafiyyah tidak membedakan antara cerai dengan thalak dan cerai dengan fasakh. Mereka berkata : semua perceraian yang datang dari pihak suami dan tidak ada tanda-tanda datang dari perempuan, maka perceraian dinamakan thalak, dan semua perceraian yang asalnya dari pihak istri dinamakan fasakh.
Sementara itu Imam az-Zuhaili menyebutkan fasakh adalah pembatalan perkawinan karena sebab yang tidak memungkinkan perkawinan diteruskan, atau karena cacat atau penyakit yang terjadi pasca akad dan mengakibatkan tujuan atau arti pernikahan tidak tercapai. (Lihat Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid X, halaman 3147).
- Perbedaan Talak dan Fasakh Nikah
Adpun penjelasan mengenai empat perbedaan talak dan fasakh ini banyak dijelaskan di dalam literatur kitab fikih, khususnya di dalam bab fikih nikah. Salah satu keterangan yang membahas perbedaan keduanya adalah keterangan yang termaktub di dalam kitab I’anat Thalibin karya Syaikh Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi:
أن الفسخ يفارق الطلاق في أربعة أمور: الأول أنه لا ينقص عدد الطلاق , الثاني إذا فسخ قبل الدخول فلا شئ عليه , الثالث إذا فسخ لتبين العيب بعد الوطئ لزمه مهر المثل , الرابع إذا فسخ بمقارن للعقد فلا نفقه لها وإن كانت حاملا
Artinya, “Ketahuilah, fasakh itu berbeda dengan talak dalam empat hal. Pertama, ia tidak mengurangi bilangan talak. Kedua, jika seorang suami menjatuhkan fasakh sebelum hubungan intim, maka tidak kewajiban apapun baginya. Ketiga, jika seorang suami menjatuhkan fasakh karena kejelasan aib setelah senggama, maka ada kewajiban mahar mitsli baginya. Keempat, jika fasakh dalam keadaan hamil, maka tidak ada nafkah untuk istrinya.”
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa ada empat perbedaan antara talak dan fasakh, yaitu: Pertama, fasakh tidak mengurangi jumlah talak. Dengan demikian, jika seseorang suami menjatuhkan fasakh pernikahannya, kemudian memperbaharuinya, kemudian menjatuhkan fasakhnya lagi, maka tidak haram baginya menikahi kembali mantan istrinya walaupun telah berkali-kali Sedangkan talak berbeda, Jika seorang suami sudah menjatuhkan talak satu kepada istrinya, maka setelah rujuk sang suami memiliki dua hak talak. Sehingga jika telah menjatuhkan talak tiga maka talaknya berstatus bain kubra. Dengan demikian ia tidak boleh menikahi mantan istrinya kecuali mantan istri sudah pernah menikah dengan laki-laki lain (muhallil).
Kedua, jika melakukan fasakh nikah sebelum hubungan badan, maka tidak ada kewajiban apapun bagi suami yang menjatuhkan fasakh. Beda halnya dengan talak. Jika suami mentalak istrinya sebelum berhubungan badan, maka sang suami memiliki kewajiban membayar separuh mahar sebab talak yang ia jatuhkan sebelum hubungan badan. Ketiga, apabila seorang suami menjatuhkan fasakh sebab adanya aib setelah hubungan badan, maka ada kewajiban baginya membayar mahar mistil yaitu mahar yang disesuaikan dengan mahar yang diterima keluarga istri. Berbeda dengan talak. Jika ia menjatuhkan talak setelah hubungan badan, maka suaminya berkewajiban membayar seluruh mahar musamma yaitu mahar yang disepakati dalam akad. Keempat, jika seorang istri di fasakh dalam keadaan hamil, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah. Berbeda halnya dengan talak yang ia berhak mendapatkan nafkah hingga melahirkan.
3. Dasar Hukum dan Sebab Terjadinya Fasakh
Pada dasarnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, tidak disuruh dan tidak pula di larang. Dasar pokok dari hukum fasakh ialah seorang atau kedua suami isteri merasa dirugikan oleh pihak yang lain dalam perkawinannya karena ia tidak memperoleh hak-hak yang telah ditentukan oleh syara sebagai seorang suami atau sebagai seoarng isteri. Akibatnya salah seorang atau kedua suami isteri tidak sanggup lagi melanjutkan perkawinannya atau kalaupun perkawinan itu dilanjutkan juga keadaan kehidupan rumah tangga diduga akan bertambah buruk, pihak yang dirugikan bertambah buruk keadaannya, sedang Allah tidak menginginkan terjadinya keadaan yang demikian.
Firman Allah S.W.T :
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ ۚ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِّتَعْتَدُوا۟ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُۥ ۚ
Artinya: “ Maka peliharalah (rujukilah) mereka isteri-isteri dengan cara yang ma’ruf (baik), atau ceraikanlah mereka isteri-isteri dengan cara yang ma’ruf pula janganlah kamu pelihara (rujuki) mereka untuk memberi kemudharatan karena dengan demikian bararti kamu menganiaya mereka”( Surah Al Baqarah ; 231 ).
Sabda Rasulullah S.A.W : ﻻ ﺿﺮر وﻻﺿﺮارا (” Tidak boleh ada kemudharatan dan tidak boleh saling menimbulkan Kemudharatan”), seperti disebutkan juga dalam kaidah Fiqh Islam : اﻟﻀﺮر ﻳﺰال (“ Kemudharatan itu wajib dihilangkan”).
Berdasarkan Firman Allah, Al Hadits dan kaedah tersebut di atas para fuqaha menetapkan bahwa jika dalam kehidupan suami isteri terjadi keadaan sifat atau sikap yang menimbulkan kemudharatan pada salah satu pihak, maka pihak yang menderita mudharat dapat mengambil prakarsa untuk memutuskan perkawinan, kemudian hakim menfasakhkan perkawinan atau dasar pengaduan pihak yang menderita tersebut.
Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhi syarat-syarat Ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.
- Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah: a). Apabila akad sudah sempurna dan selesai, kemudian diketahui bahwa sang istri yang dinikahinya ternyata saudara susuannya, maka akadnya harus difasakh, b) Suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain ayahnya. Kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan perkawinannya dahulu atau mengakhirinya. Khiyar ini dinamakan khiyar balugh. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh.
- Fasakh yang datang setelah akad : a). Bila salah seorang suami istri murtad dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karna kemurtadan yang terjadi belakangan. b). Jika suami yang tadinya masuk islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafiran yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalau istri orang ahli kitab, maka akadnya tetap sah seperti semula. Sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semulanya dipandang sah.
- Fasakh disebabkan karena hal-hal : a). Syiqaq yaitu adanya pertengkaran antara suami istri yang tidak mungkin didamaikan, b). Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya. Misalnya pernikahan budak dengan merdeka, penzina dengan orang terpelihara dan sebagainya, c). Jika istri disetubuhi oleh ayah atau kakeknya karena faktor ketidaksengajaan maupun menzinahinya, d). Jika kedua pihak saling berli’an, e). Suami miskin, setelah jelas kemiskinannya oleh beberapa orang saksi yang dapat dipercaya sehingga tidak sanggup lagi memberi nafkah, baik pakaian, tempat tinggal maupun mas kawinnya belum dibayarkan sebelum campur.
4. Hukum Menjatuhkan Fasakh Perkawinan tanpa Hakim Pengadilan Agama
Fasakh dapat dijatuhkan tanpa hakim ketika disyaratkan sewaktu akad. Namun, bila disyaratkan sebelum akad, fasakh harus dilakukan di hadapan hakim. Sebagaimana yang telah disampaikan, jika didapati salah satu cacat, penyakit, atau sebab lainnya setelah menikah, baik pada istri maupun pada suami, baik setelah hubungan badan ataupun belum, baik cacat yang menghalangi hubungan badan maupun yang tidak, maka ada hak fasakh bagi keduanya, dengan catatan fasakh dijatuhkan di hadapan hakim atau diputuskan oleh hakim.
Jika ada pasangan yang sepakat untuk menjatuhkan fasakh pernikahannya tanpa hakim, maka fasakhnya tidak jatuh, terutama fasakh yang disebabkan oleh cacat, penyakit, atau sebab yang membutuhkan pertimbangan hakim dan juga tim medis. Demikian yang dijelaskan oleh Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha dalam I‘anatuth Thalibin.
إنما يصح الخيار فورا في فسخ النكاح إن كان حاصلا بحضور الحاكم، وذلك لأن الفسخ بالعيوب المذكورة أمر مجتهد فيه كالفسخ بإعسار فتوقف ثبوتها على مزيد نظر واجتهاد، وهو لا يكون إلا من الحاكم فلو تراضيا بالفسخ بها من غير حاكم لم ينفذ
Artinya, “Khiyar dalam fasakh nikah hanya sah jika dihadiri oleh penguasa (hakim). Pasalnya, fasakh karena cacat-cacat tersebut di atas merupakan perkara ijtihadi. Begitu pula fasakh yang terjadi karena kesulitan memberi nafkah. Maka penetapannya membutuhkan pandangan dan ijtihad lebih jauh. Walhasil, tidak sah fasakh kecuali atas putusan hakim. Sehingga seandainya suami-istri sepakat untuk fasakh karena suatu cacat tanpa hakim maka tetap tidak terlaksana.” (Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha, I‘anatuth Thalibin, jilid III, halaman 383).
Penetapan hak fasakh bagi suami dan istri akibat cacat atau penyakit antara lain berdasarkan hadis riwayat Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar bin Al-Khathab. Disebutkan, pada suatu ketika Nabi SAW menikah dengan seorang perempuan dari Bani Ghifar. Ketika perempuan itu memasuki kamar, Rasulullah SAW melihat bagian lambungnya berwarna putih.
فَقَالَ: اِلْبَسِي ثِيَابَكَ، وَالْحِقِي بِأَهْلِكَ وَقَالَ لِأَهْلِهَا: دَلَّسْتُمْ عَلَيَّ
Artinya, “Rasulullah SAW bersabda kepadanya, ‘Kenakanlah pakaianmu dan kembalilah kepada keluargamu. Kemudian beliau bersabda kepada keluarganya, ‘Kalian sembunyikanlah kekurangannya dariku!’ (HR Al-Baihaqi dan Abu Ya‘la).
Sa‘id bin Al-Musayyib meriwayatkan:
أَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً، وَبِهِ جُنُونٌ، أَوْ ضَرَرٌ، فَإِنَّهَا تُخَيَّرُ. فَإِنْ شَاءَتْ قَرَّتْ. وَإِنْ شَاءَتْ فَارَقَتْ
Artinya: “Bilamana seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, dan laki-laki itu mengalami gangguan jiwa atau mengidap penyakit berbahaya, maka si perempuan diberi pilihan (khiyar). Jika mau, ia boleh meneruskan perkawinan. Jika tidak, ia boleh bercerai,” (HR Malik).
Dalam suatu riwayat, ‘Umar bin Al-Khathab pernah berkomentar tentang laki-laki yang lemah syahwat:
يُؤَجَّلُ سَنَةً، فَإِنْ وَصَلَ إِلَيْهَا، وَإِلَّا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا وَلَهَا الْمَهْرُ كَامِلًا، وَهِيَ تَطْلِيقَةٌ بَائِنَةٌ
Artinya, “Dia harus ditangguhkan selama satu tahun. Itu pun jika dia sampai pada tempo tersebut. Jika tidak, maka pisahkanlah di antara keduanya. Namun, si istri berhak atas mahar dan berstatus talak bain.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan disebutkan dalam Atsar Abu Yusuf. Hanya saja dalam riwayat Sa‘id bin Manshur ditambahkan, “Dia ditangguhkan sejak diajukan kepada penguasa.”
Berdasarkan sejumlah hadits di atas, para ulama berkesimpulan bahwa pasangan yang menderita penyakit Judzam (kusta), Barash (balak), Junun (gangguan jiwa), atau penyakit lain yang menular dan tergolong berbahaya, berhak mengajukan fasakh. Begitu pula suami yang memiliki cacat jubb (terpotong kemaluan) atau ‘unnah (lemah kemaluan); atau istri yang memiliki cacat rataq (kemaluan perempuan tertutup daging), qaran (kemaluan perempuan tertutup tulang). Dalam kaitan dengan ini, Syeikh Mushthafa Al-Khin merinci jenis-jenis cacat atau penyakit yang membolehkan terjadinya fasakh. Menurutnya, secara umum, jenis cacat atau penyakit yang membolehkan fasakh ada dua: (1) cacat atau penyakit yang menghalangi hubungan badan, seperti jubb atau ‘unnah pada suami dan qaran atau rataq pada istri; (2) cacat atau penyakit yang tidak menghalangi hubungan badan, namun membahayakan, seperti judzam, barash, atau gangguan jiwa walau terkadang sembuh. Penyakit kusta biasanya ditandai dengan memerahnya anggota tubuh lalu menghitam, selanjutnya melepuh dan terputus. Sedangkan penyakit barash atau balak ditandai bintik atau bercak putih yang menyerang kulit sehingga menghilangkan warna kemerahannya.
Sementara dilihat dari penderitanya, cacat atau penyakit yang membolehkan fasakh terbagi tiga: (1) cacat atau penyakit yang mungkin dialami suami dan istri, seperti penyakit jadzam, barash, dan gangguan jiwa; (2) cacat atau penyakit yang hanya dialami oleh istri, yaitu rataq dan qaran; (3) cacat atau penyakit yang hanya dialami oleh suami, yaitu jubb dan ‘unnah. (Lihat Musthafa Al-Khin, Al-Fiqhul Manhaji, jilid IV, halaman 114).
Dikecualikan dari cacat atau penyakit di atas adalah penyakit ringan semacam istihadhah, bau mulut, bau hidung, bau ketiak, penyakit bernanah, sempitnya lubang kemaluan, dan sebagainya. Semua penyakit di atas tidak mendatangkan hak fasakh bagi suami maupun istri. Demikian dinyatakan oleh Syekh Zainudddin Al-Malaibari dalam Fathul Mu‘in. (Lihat Fathul Mu‘in, halaman 106). Demikian jenis dan kriteria penyakit yang membolehkan fasakh atau pembatalan pernikahan antara suami-istri.
Lain halnya fasakh yang diakibatkan oleh sebab yang jelas. Ia dapat berlaku tanpa melalui putusan hakim. Contohnya fasakh karena ada hubungan mahram antara kedua mempelai. Hal ini ditegaskan oleh Syekh Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah. (Lihat Syekh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, jilid II, halaman 115). Demikian halnya fasakh dapat dijatuhkan tanpa hakim ketika syarat fasakh diajukan sewaktu akad. Namun, bila disyaratkan sebelum akad, fasakh harus dilakukan di hadapan hakim.
ويجوز لكل من الزوجين خيار بخلف شرط وقع في العقد لا قبله كأن شرط في أحد الزوجين حرية أو نسب أو جمال أو يسار أو بكارة أو شباب أو سلامة من عيوب كزوجتك بشرط أنها بكر أو حرة مثلا فإن بان أدنى مما شرط فله فسخ ولو بلا قاض
Artinya, “Suami atau istri diperbolehkan untuk mengambil hak khiyar (fasakh) yang diikuti dengan syarat sewaktu akad, bukan sebelum akad seperti halnya disyaratkan pada salah seorang suami atau istri harus merdeka, berketurunan terpandang, berparas cantik atau tampan, berasal dari kalangan berada, masih perawan atau masih perjaka, atau selamat dari cacat. Dengan demikian saat akad, si wali mengatakan, ‘Aku nikahkan engkau dengan syarat dia masih perawan atau merdeka,’ misalnya. Maka jika terbukti si perempuan tidak memenuhi syarat, maka suami boleh menjatuhkan fasakh nikahnya walaupun tanpa hakim.” (Lihat: Syekh Zainudddin Al-Malaibari, Fathul Mu‘in, hal. 106).
Hanya saja ada pengecualian dalam cacat lemah syahwat. Jika cacat itu terjadi setelah hubungan badan, kemudian terjadi fasakh, maka hak istri berupa mahar menjadi gugur karena sudah tercapainya tujuan pernikahan, yaitu hubungan badan. Begitu pula bila cacat si istri memungkinkan untuk dihilangkan, seperti dengan proses operasi, dan ia rela dengan proses itu, maka tidak ada hak fasakh bagi suaminya. Sebab, tidak ada alasan kuat yang membolehkannya untuk menjatuhkan fasakh. Selain itu, sejak penyakit lemah syahwat ditetapkan oleh hakim berdasarkan pengakuan suami atau sumpah istri, maka hakim harus memberikan tempo selama satu tahun qamariyah guna memberikan kemungkinan sembuhnya penyakit tersebut seiring perjalanan musim dan waktu. Jika sembuh, maka fasakh batal. Jika tidak, maka fasakh dijatuhkan. Kemudian, jika ada pasangan yang sudah mengetahui cacat atau penyakit pasangannya, namun ia tetap diam dan tidak segera mengajukan fasakh, maka hak fasakhnya gugur kecuali jika ia tidak tahu bahwa ada hak fasakh yang diberikan kepada dirinya. Demikian sejumlah ketentuan yang harus dipenuhui dalam mengambil hak fasakh, baik oleh suami maupunolehistri.
- Hukum Fasakh Dengan Putusan Hakim Pengadilan Agama
Fasakh diputuskan oleh hakim pengadilan berdasarkan pengajuan dari suami, istri, wakilnya, atau pihak berwenang yang sudah mukallaf, balig, dan berakal sehat, dengan catatan bila yang menjadi penyebab fasakh adalah perkara-perkara yang membutuhkan tinjauan dan pertimbangan hakim. Sementara penyebab fasakh akibat tidak terpenuhinya syarat pernikahan dapat diputuskan tanpa melalui keputusan hakim. Dengan demikian, melalui meja pengadilan, istri memiliki hak yang sama dengan suami untuk membatalkan pernikahan atas alasan yang dibenarkan syariat.
Perceraian dalam bentuk fasakh termasuk perceraian dengan proses peradilan. Hakimlah yang memberi keputusan tentang kelangsungan perkawinan atau terjadinya perceraian. Karena itu pihak penggugat dalam perkara fasakh ini haruslah mempunyai alat-alat bukti dapat menimbulkan keyakinan bagi hakim yang mengadilinya. Keputusan hakim didasarkan kepada kebenaran alat-alat bukti tersebut. Dibandingkan dengan perceraian dengan proses pengadilan yang lain, maka alat-alat bukti dalam perkara fasakh sifatnya lebih nyata dan jelas. Misalnya dalam hal salah seorang dari suami istri yang impotent, maka surat keterangan dokter dapat dijadikan salah satu dari alat-alat bukti yang diajukan. Demikian pula halnya alat-alat bukti tentang suami yang tidak memberi nafakah, suaminya atau istrinya murtad dan sebagainya.
Pada asasnya fasakh adalah hak suami dan isteri, tetapi dalam perlaksanaannya lebih banyak dilakukan oleh pihak isteri daripada pihak suami. Hal ini mungkin disebabkan karena suami telah mempunyai hak talak yang diberikan agama kepadanya. Dalam hal suami atau isteri yang pada mereka telah ada ada bukti untuk menfasakh perkawinan mereka, hakim tidak dapat menceraikan mereka selama mereka rela dengan keadaan yang demikian dan tidak mengajukan gugatannya. Kecuali alasan fasakh itu berhubungan dengan hak Allah, seperti karena suami murtad, perkawinan atara orang – orang yang ada hubungan mahram, karena salah satu pihak menganiaya berat pihak yang lain dan sebagainya, maka hakim sewaktu-waktu dapat memanggil kedua suami isteri itu untuk diadili perkara mereka.
Perceraian karena fasakh beda dengan perceraian karena thalak, sebab thalak ada dua macam, thalak raj’i dan thalak bai’n. Thalak raj’i tidak menghentikan ikatan perkawinan seketika dan thalak bai’n menghentikan perkawinan sejak saat dijatuhkannya. Sedangkan fasakh baik dengan sebab yang datang setelah berlakunya akad atau karena adanya kekeliruan sewaktu akad, dapat memutuskan hubungan perkawinan seketika. Di samping itu, cerai dengan jalan thalak akan mengurangi bilangan thalak. Seorang suami yang menthalak isterinya dengan talak Raj’i, kemudian merujuknya di dalam iddah atau dikawin lagi dengan akad baru setelah lewat iddah, maka thalak itu dihitung satu dan laki-laki itu masih memiliki dua thalak lagi. Cerai fasakh tidak mengurangi bilangan thalak. Seandainya suatu akad rusak dengan khiyar bulugh (menentukan pilihan setelah baligh) kemudian laki-laki dan perempuan itu hidup bersama kembali dengan satu ikatan perkawinan, maka dengan perkawinan itu suami mempunyai tiga thalak.
- Fasakh Dalam Regulasi Pernikahan di Indonesia
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 22 dinyatakan dengan tegas bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Adapun poin-poin pembatalaan perkawinan yang ada pada undang-undang no. 1 tahun 1974 sebagai berikut :
a. Perkawinan dapat dimintakan atau diajukan pembatalan apabila kedua belah pihak mempelai masih terikat perkawinan dengan pihak lainnya.
b. Apabila ingin poligami maka ia harus mendapat persetujuan dari istri pertamanya dengan melalui prosedur hukum yang berlaku (izin pengadilan).
c. Perkawinan yang dilakukan oleh petugas pencatat nikah yang tidak memiliki wewenang.
d. Perkawinan yang dilakukan oleh wali nikah yang tidak sah.
e. Perkawinan yang dilakukan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi.
f. Perkawinan dilakukan dengan ancaman (paksaan) yang berpotensi adanya perbuatan pelanggaran hukum.
h. Perkawinan yang dilakukan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri pada saat berlangsungnya perkawinan.
Pasal 27 UU Perkawinan menyebutkan bahwa;
- Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
- Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalanperkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
- Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan,maka haknya gugur.
Pembatalan perkawinan dalam KHI diatur dalam Pasal 70 hingga Pasal 76. Pasal 70 menegaskan bahwa perkawinan batal apabila:
- Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena mempunyai empat orang istri, sekalipun dari keempatnya itu dalam iddah talak Raj’i
- Seseorang menikahi bekas isterinya yang di Li’annya
- Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bekas isterinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis massa iddahnya.
- Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 Undang-undang Nomor 1Tahun 1974.
- Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dariisteri atau isteri-isterinya.
Dalam Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam ditegaskan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila:
- Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama
- Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud
(hilang tidak diketahui beritanya)
- Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain
- Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974.
- Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak
- Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan itu terlanjur terlaksana, setelah itu baru ditemukan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 atau hukum Munakahat. Jika ini terjadi maka Pengadilan Agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan. Suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh pengadilan. Secara sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan. Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan.
C. PENUTUP
Dalam pernikahan terkadang terjadi hal-hal yang mengakibatkan pernikahan harus dibatalkan. Salah satu penyebab batalnya pernikahan diantaranya adalah Fasakh Nikah. Ia merupakan bagian dari salah satu penyebab terjadinya pembatalan pernikahan. Selain talak, fasakh nikah juga menjadi salah satu cara memutus tali pernikahan yang juga mendapatkan legalitas syari’at seperti halnya talak. Dasar pokok dari hukum fasakh ialah seorang atau kedua suami isteri merasa dirugikan oleh pihak yang lain dalam perkawinannya karena ia tidak memperoleh hak-hak yang telah ditentukan oleh syara sebagai seorang suami atau sebagai seoarng isteri. Akibatnya salah seorang atau kedua suami isteri tidak sanggup lagi melanjutkan perkawinannya atau kalaupun perkawinan itu dilanjutkan juga keadaan kehidupan rumah tangga diduga akan bertambah buruk, pihak yang dirugikan bertambah buruk keadaannya, sedang Allah tidak menginginkan terjadinya keadaan yang demikian.
Fasakh dapat dijatuhkan tanpa hakim ketika disyaratkan sewaktu akad. Namun, bila disyaratkan sebelum akad, fasakh harus dilakukan di hadapan hakim. Sebagaimana yang telah disampaikan, jika didapati salah satu cacat, penyakit, atau sebab lainnya setelah menikah, baik pada istri maupun pada suami, baik setelah hubungan badan ataupun belum, baik cacat yang menghalangi hubungan badan maupun yang tidak, maka ada hak fasakh bagi keduanya, dengan catatan fasakh dijatuhkan di hadapan hakim atau diputuskan oleh hakim.
Pembatalan pernikahan atau fasakh yang mempunyai arti yaitu merusak, jika dihubungkan dalam perkawinan berarti merusak perkawinan atau membatalka perkawinan. Jadi fasakh sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 22 dinyatakan dengan tegas bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan ini, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 hanya menentukan bahwa permohonan pembatalan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukan kepada pengadilan di daerah hukumnya. Pembatalan perkawinan terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan itu terlanjur terlaksana, setelah itu ditemukan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 atau hukum munakahat.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Malik Kamal bin as sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, (Jakarta : Pustaka Azzam, Jilid III, 2007.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta, UUI press 2000.
Ahmad Ghundur, At-Talaq Fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah,Wa’al-Qonum.Mesir: Dar Al-Ma’arif, 1967.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, grafindo Persada,1998.
Ahmad Sarwat, Ensiklopedia Fikih Indonesia: Pernikahan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2018. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2009.
Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid X.
Firdaferi, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan Karena Ketidakmampuan Suami Menunaikan
Kewajibannya. Jakarta: CV, Pedoman Ilmu, 1889.
Imam Syafie, Ringkasan Kitab Al Umm, Jakarta : Pustaka Azzam, cet. 3, jilid 2, 2007.
Kamal Muchtar, Asas – Asas Hukum Islam Tentang Perkahwinan, Jakarta : Bulan Bintang, 1993.
Kitab ‘Ianatut Thalibin, karya Syaikh Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi.
Kitab Fathul Mu’in, karya Syaikh Zainuddin Al-Malibary.
Husain Az-Zihabi, Asy-Syari’ah al-Islamiyyah. Mesir: Dar at-Ta’lif, 1968.
Mustofa al-Khin, Mustofa al- Bugha, Ali asy-Syarbaji, Kitab Fiqih Mazhab Syafi’i, Kuala Lumpur:
Pustaka Salam, 2009
Rahman Ritonga, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru,1997.
Sayyid Sabiq, Fiqih As-Sunnah, Beirut: Dar Al-Fikr, 1992
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta, penerbit UI
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta : Pustaka Kauthar, cet. 1, 1998.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta : Rineka Cipta, 1991.
Slamet Abidin, Fikih Munakahat II, Bandung : Pustaka Setia, Cet.I, 1989.
Tihami, Fiqih Munakahat, Jakarta : rajawali Press, 2009.
———
**)Penulis adalah Penghulu Ahli Madya pada KUA Pakuhaji Kab.Tangerang, da’i/Penceramah, penulis, dan pemerhati sosial keagamaan.