Waris (Faraidh VI)
A : Definisi Hibah, Wasiat & Waris
Hal yang paling terpenting ketika membahas suatu istilah dalam agama adalah dengan mengetahui terlebih dahulu hakikat dari pada istilah tersebut.
Caranya adalah dengan mempelajari definisi dari istilah-istilah tersebut. Jangan sampai kita membahas suatu ilmu akan tetapi malah keliru atau tidak tahu masalah batasan ilmu tersebut.
Nah, Di bawah ini kita akan bahas satu persatu terkait definisi dari hibah, wasiat dan waris. Tentunya definisi yang akan kita sebutkan ini juga merujuk kepada pendapat para ulama dalam kitab fiqih.
1. Pengertian Hibah
Hibah adalah pemberian sesuatu dari seseorang kepada orang lain dan diserahkan kepemilikannya secara langsung ketika dia masih hidup dengan niat sadaqah.
Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kitab al-Fiqhu al-Manhaji Ala Madzhabi al-Imam asy- Syafi’iy:
الهبة وهي في الاصطلاح الشرعي: عقد يفيد تمليك العين بلا عوض
مذهب الإمام الشافعي
الفقه المنهجي على
حال الحياة تطوعا.(115 /6)
Hibah secara istilah syar’i adalah akad kepemilikan
suatu benda dengan tanpa imbalan dan diserahkan semasa masih hidup sebagai bentuk sadaqah tathawwu’.
Jadi pada intinya hibah adalah pemberian sesuatu yang dilakukan oleh si pemilik harta sebelum meninggal dunia.
Maka ketika orang tua sebelum wafat mengumpulkan semua anak-anaknya dan ingin memberi harta atau bagi-bagi harta kepada mereka maka akad yang seperti ini disebut dengan hibah. Bukan bagi-bagi waris.
Dari contoh di atas bisa disimpulkan bahwa poin dasar terkait hibah adalah pemberian orang tua kepada anak-anaknya pada saat masih hidup dan kepemilikannya langsung berpindah saat itu juga.
Nah, Harta yang sudah dihibahkan itu secara otomatis kepemilikan hartanya langsung berpindah ke tangan si penerima.
Sebagai contoh ketika orang tua berkata kepada anak bungsunya ”Nak, ini rumah pokoknya sekarang juga untuk kamu” maka secara otomatis kepemilikan rumah tersebut sudah berpindah ke tangan anak bungsu tersebut. Walaupun surat-suratnya barangkali masih atas nama orang tua.
Perlu diperhatikan juga apabila orang tua hendak menghibahkan sesuatu kepada anaknya sebaiknya menghadirkan beberapa saksi dari anak-anaknya yang lain atau orang lain. Bila perlu dibuatkan surat resmi hibah juga. Agar kedudukan hibah ini dianggap kuat nantinya secara hukum negara.
2. Pengertian Wasiat
Wasiat adalah pemberian sesuatu dari seseorang kepada orang lain ketika dia masih hidup dengan niat sadaqah. Akan tetapi penyerahan kepemilikannya dilakukan ketika setelah meninggal dunia.
Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kitab al-Fiqhu al-Manhaji Ala Madzhabi al-Imam asy- Syafi’iy:
الفقه المنهجي
بعد الموت.
والوصية شرعا: تبرع بحق مضاف لما
على مذهب الإمام الشافعي /5) (41
Wasiat secara istilah syar’i adalah akad tabarru’ atas hak kepemilikan harta yang diserahkan setelah meninggal dunia.
Jadi pada intinya wasiat adalah pemberian yang dilakukan oleh si pemilik harta dengan syarat penyerahan kepemilikan harta tersebut dilakukan setelah si pemilik harta meninggal dunia.
Sebagai contoh ketika orang tua sebelum wafat mengumpulkan semua anak-anaknya dan mengatakan ”Nak, nanti jika bapak meninggal dunia tolong berikan sebagian harta bapak untuk masjid samping rumah ya?”. Nah, yang seperti ini namanya adalah wasiat.
Sebagai anak yang diwasiati orang tuanya seperti itu maka hukumnya wajib untuk menjalankan wasiat orang tuanya.
Dan apabila orang tua hendak berwasiat sesuatu kepada anaknya sebaiknya menghadirkan beberapa
saksi dari anak-anaknya atau orang lain juga. Bila perlu dibuatkan juga surat resmi wasiatnya. Agar kedudukan wasiat ini juga dianggap kuat nantinya secara hukum negara kita.
3. Pengertian Waris
Waris adalah berpindahnya kepemilikan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya.
Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kitab al-Fiqhu al-Manhaji Ala Madzhabi al-Imam asy- Syafi’iy:
والإرث شرعا: حق قابل للتجزي يثبت لمستحقه بعد موت من كان
له ذلك لقرابة بينهما أو نحوها كالزوجية. الفقه المنهجي على مذهب الإمام الشافعي /5) (75
Waris secara istilah syar’i adalah hak kepemilikan harta untuk kerabat keluarga atau yang semisalnya seperti karena pernikahan (suami-istri) setelah meninggalnya si pemilik harta.
Jadi pada intinya ketika ada orang yang meninggal dunia maka secara otomatis harta yang dimiliki almarhum tersebut langsung berpindah kepemilikannya kepada ahli warisnya.
Dan juga tidak perlu ada izin atau wasiat dari almarhum sang pemilik harta. Sebab yang namanya hukum waris ini berlaku secara otomatis terkait kepemilikan hartanya. Apalagi masalah waris ini sudah diatur langsung oleh Allah subhanahu wa
ta’aala.
Untuk detail masalah waris silahkan Anda baca buku kami dengan cara mendownload di website rumahfiqih.com. Diantaranya adalah buku dengan judul sebagai berikut:
- Mengenal Ahli waris
- Mengetahui Bagian Pasti Ahli Waris
- Mengetahui Syarat Bagian Pasti Ahli Waris
- Mengetahui Konsep Hijab Ahli Waris
- Praktek Cara Menghitung Warisan
B : Perbedaan Antara Hibah, Wasiat & Waris
Dalam agama Islam selain hukum waris kita juga mengenal ada istilah hibah dan wasiat. Hibah dan wasiat ini juga bisa menjadi solusi sekaligus alternatif jika terkadang hukum waris belum bisa memenuhi kebutuhan seseorang.
Dalam banyak kasus seringkali terjadi pihak-pihak yang selayaknya mendapatkan harta peninggalan, namun karena posisinya secara hukum waris tidak berhak, maka orang-orang awam itu sering menuduh bahwa hukum waris itu tidak adil.
Sebagai ilustrasi, misalnya seorang anak tiri atau anak angkat pada dasarnya tidak akan bisa mendapatkan bagian harta warisan dari orang tuanya, mengingat anak tiri dan anak angkat memang bukan termasuk ahli waris.
Dalam kondisi seperti ini, orang tua itu sebetulnya bisa saja menghibahkan hartanya kepada anak tirinya, atau mewasiatkan hartanya sebelum dia meninggal dunia.
Sehingga anak tiri dan anak angkat yang tidak mendapatkan harta dari orang tuanya melalui jalur warisan akan tetap mendapatkan harta. Yaitu lewat jalur hibah atau wasiat.
Contoh lain misalnya seorang cucu dari kakek yang
terhijab oleh pamannya maka secara hukum waris sudah pasti cucu ini tidak akan mendapatkan bagian harta warisan dari kakeknya.
Nah, jika si kakek sebelum meninggal dunia menghibahkan atau mewasiatkan hartanya kepada sang cucu yang terhijab itu maka jadilah sang cucu tersebut bisa mendapatkan harta juga dari kakeknya. Namun bukan dengan jalur warisan melainkan dengan jalur hibah atau wasiat.
Jadi dengan adanya hibah dan wasiat ini, maka akan ada banyak jalan keluar yang bisa dijadikan solusi, tanpa harus menginjak-injak hukum Islam atau menggantinya dengan KHI atau hukum adat yang sejatinya bertentangan dengan syariat islam.
Oleh sebab itu kita harus pelajari masalah hibah dan wasiat ini. Agar kita sebagai orang tua bisa memperhatikan nasib dari anak tiri atau anak angkat kita yang tidak mendapatkan harta dari jalur waris.
Nah, Sekarang mari kita pelajari apa saja perbedaan antara hibah, wasiat dan waris. Dimana perbedaan tersebut akan kita lihat dari segi 3 hal saja. Yaitu dari segi:
1. Kapan Waktu Penyerahan Hartanya?
Hibah: Penyerahan hartanya dilakukan sebelum meninggal dunia.
Wasiat: Penyerahan hartanya dilakukan setelah meninggal dunia.
Waris: Penyerahan hartanya dilakukan setelah meninggal dunia.
2. Siapa Penerimanya?
Hibah: Penerimanya boleh siapa saja, baik ahli waris maupun yang bukan ahli waris.
Wasiat: Penerima harta wasiat harus yang bukan ahli waris. Adapun ahli waris tidak boleh menerima harta wasiat.
Waris: Penerimanya harus yang ahli waris. Adapun yang bukan ahli waris tidak boleh menerima harta warisan.
3. Berapa Jumlahnya?
Hibah: Jumlah harta yang dihibahkan boleh berapa saja. Dibagi ratapun juga boleh.
Wasiat: Jumlah harta yang diwasiatkan tidak boleh lebih dari sepertiga dari total semua harta.
Waris: Jumlah harta warisan yang dibagikan harus sesuai dengan ketentuan hukum waris.
Sisi Perbedaan | Hibah | Wasiat | Waris |
1. Waktu Penyerahan | Sebelum wafat | Setelah wafat | Setelah wafat |
2. Siapa Penerima | Ahli waris & bukan ahli waris | Harus selain ahli waris | Hanya ahli waris |
3. Jumlah Harta | Bebas berapapun jumlahnya | Maximal 1/3 | Sesuai hukum waris |
Referensi
Al Qur’an Al-Kariim
Al Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdullah. Al Jami’ As Shahih (Shahih Bukhari). Daru Tuq An Najat. Kairo, 1422 H
An Nisaburi, Muslim bin Al hajjaj Al Qusyairi. Shahih Muslim. Daru Ihya At Turats. Beirut. 1424 H
At Tirmidzi, Abu Isa bin Saurah bin Musa bin Ad Dhahak. Sunan Tirmidzi. Syirkatu maktabah Al halabiy. Kairo, Mesir. 1975
As Sajistani, Abu Daud bin Sulaiman bin Al Asy’at. Sunan Abi Daud. Daru Risalah Al Alamiyyah. Kairo, Mesir. 2009
Al Quzuwainiy, Ibnu majah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid. Sunan Ibnu majah. Daru Risalah Al Alamiyyah. Kairo, Mesir. 2009
Musthafa al-Khin, Musthafa al-Bugha. Al-Fiqhu al- Manhaji alaa Madzhabi al-Imam asy-Syafiiy, Kuwait.
An nawawi , Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf. Al Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab. Darul Ihya Arabiy. Beirut. 1932
Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj Fii Syarhil Minhaj, Mesir: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra.
Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj Ilaa Syarhil Minhaj, Bairut: Darul Fikr.
Abu Bakr ad-Dimyati, I’anatut Thalibin ‘Ala Halli Alfadzi Fathil Mu’iin, Bairut: Darul Fikr.
Abu Syuja’ , Matan al-Ghayah wa at-Taqrib. Darul Ihya Arabiy. Beirut. 1990
Taqiyuddin Al-Hisni, Kifayatul Akhyar, Darul Khoir.
Damaskus 1994.
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, Darul Kutub al-Islamiyah.
Dr. Musthafa al-Khin & Dr. Musthafa al-Bugha, al- Fiqhu al-Manhaji Ala Madzhabi al-Imam asy-Syaafi’iy. Darul Qalam, Damaskus 1994.