PENCATATAN TAJDID NIKAH (PART 1)
Oleh : Syafran Lubis
- Pendahuluan
Pendaftaran Pernikahan yang terjadi di KUA Kecamatan Bandar Sribhawono dari desa Bandar Agung atas nama caon pengantin laki laki Andrianto bin Suwarto tempat tanggal lahir mataram baru, 25 April 2003, Pekerjaan swasta Warga negara Indonesia agama islam dan tempat tinggal Mataram Baru kecamatan Mataram Baru Lampung Timur,dan calon pengantin wanita atas nama Dwi Ariani binti Hamdani tempat tanggal lahir Bandar Agung, 09 september 2003 pekerjaan wiraswasta warga Negara indonesia agama islam temapt tinggal Bandar Agung Kecamatan Bandar Sribhwono dan wali atas nama Hamdani bin Slamet tempat tanggal lahir 07 juli 1973 dan pekerjaan tani tempat tinggal Bandar Agung kecamatan Bandar Sribhawono dengan rencana pernikahan tanggal 26 juni 2021, mas kawin Seperangkat Alat Sholat dan saksi satu Heru Aditya pekerjaan Swasta tempat tinggal Bandar Agung serta saksi dua Siratsongko tempat tingaal Mataram Baru.
- Pencatatan Tajdid Nikah Part 1
Pada hari pernikahannya penghulu yang bertugas datang ke tempat acara pernikahan tersebut sebagai petugas pencatat nikah karean semua persyaratan yang dibutuhkan KUA sudah terpenuhi maka tidak ada lagi halangan untuk menolak rencana pernikahan tersebut adanya pengantar nikah, permohonan kehendak nikah, persetujuan calon pengantin, surat izin orang tua, dan KTP, KK, dan berkas lainnya tidak menghalangi penghulu untuk datang ke acara pernikahan tersebut.
Setelah tiba di acara tersebut penghulu yang mencatat pernikah itu dipersilakahkan masuk ke rumah mempelai perempuan, tidak ada acara yang besar di sana hanya ada pak Kadus pak RT dan beberapa tetangga terdekat dari pengantin perempuan dan keluarga pengantin laki laki. Setelah di persilahkan duduk penghulu disuguhkan teh dan beberapa jajanan, orang tua mempelai perempuan dan pak kadus saling lirik lalu pak bayan mengatakan bahwa kedua mempelai tersebut sudah menikah tetapi belum mendapatkan buku nikah,
“ jadi begini pak penghulu , sebenarnya kedua mempelai ini sudah menikah pada bulan September 2019 yang lalu“ kata pak kadus memulai pembicarann “ waktu itu didaftarkan ke KUA menolak karena umur dari pengantin perempuan belum cukup 19 tahun, dan kita pulang, setelah di rumah kita musyawarah dan akhirnya kita nikahkan lah keduanya, sekarang sudah cukup umur maka kita daftarkan lagi karena mereka belum mendapatka buku nikah, “ jelas pak kadus.
“Oo.. gitu ya pak “ jawab pak penghulu,” saat itu syarat dan rukun nikahnya lengkap atau tidak pak? “ sambung pak penghulu
“InsyaALLAH lengkap pak” kata pak Kadus “ walinya orang tuanya sendiri pak Hamdani saksinya pak RT Junaidi dan pak RT dari pihak mempelai laki laki.
“ mas kawinnya apa saat itu ?” Tanya pak penghulu lagi
“ Seperangkat Alat Sholat “ kata pengantin laki laki.
“Yang menikahkan saat itu pak wali sendiri atau diwakilakn ? “ kejar pak penghulu lagi
“Diwakilkan pak” jawab pak wali “ sama pak mudin “ sambil menunjuk pak Yasin sebagai mudin di sana
“Pak mudin saat itu bagaimana ucapannya “ Tanya pak penghulu ke pak mudin
“ ucapannya, ya.Andrianto saya nikahkan engkau dengan Dwi Ariayanti yang diwakilkan ayanhnya kepadaku dengan maskawin seperangkat alat sholat tunai , lalu dijawab manten laki, aku terima nikahnya dengan mas kawin tersebut” kata pak mudin menerangkan kejadian akad nikah yang terjadi saat itu
“ benar begitu pak pak saksi “ Tanya pak penghulu
“Benar pak “ jawab saksi
“Saksi satunya “
“Benar pak “ jawab saksi dua
“Manten laki laki, benar ucapannya seperti itu ? “ kalimat pak penghulu menanyakan kebenaran prosesi akad nikah itu.
“Iya pak “ kata pak wali.
“Dan mas kawinnya dah diserahkan mbak “ Tanya pak penghulu ke mempelai wanita .
“Udah pak “ kata mempelai wanita .
“Trus sekarang gimana pak wali?” Kata pakpenghulu
“Ya.. monggo pak” kata pak wali
“Nikah lagi atau tidak ?“ kata pak penghulu lagi.
“Keputusan bapak aja” kata pak wali lagi.
“Dinikahkan lagi aja pak “ tiba tiba pak mudin angkat bicara” untuk kebaikan bersama dinikahkan lagi aja pak…. “
“ Kalau dinikahkan lagi itu artinya pembaharuan nikah” pak penghulu menerangkan “pembaharuan nikah itu artinya tajdid nikah “
Tajdid nikah terdiri dari kata tajdid dan kata nikah , kata tajdid dalam kamus besar bahasa Indonesia artinya pembaruan sedangkan kata nikah masih dalam KBBI adalah ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Maka tajdid nikah adalah pembaruan ikatan pernikahan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Adanya pembaharuan nikah dalam beberapa literatur adalah untuk memperindah pernikahan, kehati hatian dalam pernikahan, untuk membawa berkah dalam pernikahan, dan menghilangkan perasaan was was tentang status hukum pernikahan[1], karena adanya pernikahan yang dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat nikah (PPN) yang tidak berwenang, bisa menunjukkan akta pernikahan yang dibuat oleh PPN yang tidak berwenang, telah hidup sebagai suami istri.[2]
Tajdid nikah tidak ditemukan dasar hukumnya dalam Al Qur’an, maupun sunnah. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah boleh tidaknya tajdid nikah. Ulama yang membolehkan dengan alasan memperindah, kehati hatian. membawa berkah, dan menghilangkan perasaan was was tentang status hukum perkawinan. Sementara ulama yang tidak memperbolehkan atau melarang karena tidak adanya talak dari suami. Pernikahan mereka masih sah maka dengan alasan sesuatu yang sudah atau masih sah tidak ada gunanya diperbaharui.
Tajdid nikah karena memperindah pernikahan diperbolehkan , yakni dengan niat semata-mata untuk memperindah atau agar mereka lebih berhati-hati dalam menjaga pernikahan atau perkawinannya. Menjaga pernikahan untuk mendapatkan maslahah yang ada dalam perkawinan tersebut.
Maslahah dengan pengertian yang lebih umum ialah semua apa yang bermanfaat bagi manusia baik yang bermanfaat untuk meraih kebaikan dan kesenangan maupun yang bersifat untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan. Bahkan para ulama ushul fikih dalam melakukan penetapan hukum (istimbath) harus selalu memperhatikan maslahah, karena salah satu tujuan syariah adalah untuk kemaslahatan manusia.
Ulama ushul fikih menyepakati bahwa maslahah mempunyai kedudukan yang sangat penting. Bahkan tujuan utama syariah islam adalah merealisasikan kemaslahatan bagi manusia dan menjauhkan dari hal hal yang merugikan bagi mereka. Maslahah akan menjadi tolak ukur setiap penetapan hukum dan juga dipandang sebagai salah satu landasan dasar syariah islam. Imam Ghazali menjelaskan bahwa maslahah yaitu sesuatu yang mendatangkan manfaat atau keuntungan dan menjauhkan kerusakan yang pada hakikatnya adalah memenuhi tujuan syariah dalam penetapan hukum.
Ditinjau dari beberapa aspek, maslahah dapat dibagi menjadi tiga macam, Pertama, Maslahah daruriyah (primer, pokok), yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan akhirat. Yang termasuk dalam maslahah ini adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Lima kemaslahatan ini disebut dengan maslahah khamsah. Maslahah ini merupakan yang paling dasar bagi kehidupan manusia, sehingga wajib ada pada kehidupan manusia karena didalamnya menyangkut aspek agama atau akidah demi ketentraman kehidupan dunia maupun akhirat. Selain itu, jika kemaslahatan ini tidak ada, maka kemaslahatan dunia tidak berjalan dengan stabil, bahkan rusak dan binasa, dan menyebabkan terabaikannya kemaslahatan, kenikmatan, dan kembali (kepada Allah) dengan kerugian yang nyata di akhirat.
Kedua, Maslahah hajiyah (sekunder, kebutuhan), yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan untuk kelonggaran dan menghilangkan kesempitan yang dapat menyebabkan kesulitan. Kemaslahatan ini dibutuhkan untuk menyempurnakan atau mengoptimalkan kemaslahatan pokok (maslahah khomsah). Apabila maslahah ini tidak dijaga, umumnya orang-orang mukallaf terjerembab dalam kesulitan, namun tidak sampai pada tingkat kerusakan normal yang dihindari dalam kemaslahatan umum.
Ketiga, Maslahah tahsiniyah (tersier, keindahan), yaitu kemaslahatan penyempurna, karena fungsinya yang hanya sebatas menyempurnakan kemaslahatan. Jika maslahah ini tidak terpenuhi tidak menimbulkan kehancuran hidup, akan tetapi hanya berkaitan erat dengan akhlak mulia dan adat yang baik.
Kebutuhan akan adanya buku nikah dalam kasus mempelai diatas adalah maslahah hajiyah. Jika tidak punya buku nikah maka pengantin tidak bisa menghilangkan kesempitan yang dapat mengakibatkan kesulitan seperti pembuatan KK, KTP Akta Kelahiran Anak dan lain sebagainya. Ketiadann KTP,KK, dan lain lainnya, yang berupa okumen tidak sampai membuat mereka terjerembab dalam kerusakan moral, tapi mereka akan mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan sebagai masyarakat. Dari sinilah kebutuhan akan buku nikah memperbolehkan Tajdid nikah, karena menempati sebab untuk memperindah (tajammul) pernikahan dengan alasan maslahah akan adanya pencatatan untuk akta dan buku nikah.
Persyaratan nikah setelah keluarnya UU nomor 16 tahun 2019. Yang menyamakan umur laki laki dan perempuan dalam pernikahan. Yaitu 19 tahun yang semula pengantin wanita dari 16 tahun menjadi 19 tahun tidak bisa mereka penuhi, akhirnya mereka mengurungkan pendaftaran pernikahan mereka ke KUA. Menunggu umur catin 19 tahun Kalaupun ingin tetap didaftarkan sebelum umur 19 tahun harus melampirkan dispensasi dari PA. Pasangan diatas termasuk dari yang tidak bisa memnuhinya dan akhirnya mereka menikah sirri di desa .
Pernikahan secara sirri yang dilakukan oleh pasangan catin dilakukan secara diam diam tanpa pengetahuan penghulu. Mereka menyadari bahwa pernikahan mereka membutuhkan legalisasi dari Negara. Legalisasi dari pernikahan adalah buku nikah. Ketika pasangan catin sudah cukup umur mereka mendaftar ulang pernikahannya ke KUA yang berpotensi akan di tajdid pernikahnnya oleh penghulu.
Adapun tajdid nikah menurut undang undang adalah sebagaimana bunyi pasal 26 ayat (2) UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawian berbunyi
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Dari pasal di atas, adanya pembaharuan nikah adalah jika ada pernikahan yang tidak diabatalkan oleh keluarga besar kedua mempelai dalam garus lurus ke atas, dan suami istri itu telah hidup bersama sebagai suami istri serta mereka bisa menunjukkan akta pernikahan mereka yang dibuat oleh Pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang maka harus di perbaharui pernikaannya
Menurut penulis syarat untuk tajdid nikah menurut undang undang adalah suami istri yang hidup bersama sebagai suami istri yang dulunya penikahan mereka dihadiri pegawai pencatat pernikahan yang tidak berwenang, kemudian pernikahan mereka tersebut diabuatkan akta pernikahan oleh pegawai pencatat nikah tersebut.
Dalam hal ini menurut penulis berlaku qiyas aula dalam penetapan hokum tajdid nikah menurut undang undang, qiyas aula adalah qiyas yang hukum far’u-nya lebih kuat dibandingkan hukum asalnya. Seperti hukum memukul orang tua lebih berat dibandingkan dengan hukum mengatakan “ah”. Mengatakan “ah” saja tidak boleh apalagi memukulnya.
Sama halnya dalam pernikahan yang dihadiri pegawai pencatat pernikahan yang yang tidak berwenang saja harus di perbaharui pernikahannya, apalagi yang tidak dihadiri. Pernikahan yang dikeluarkan akta nikahnya oleh pegawai pencata pernikahan saja juga harus diperbaharui pernikahannya apalagi yang tidak punya akta pernikahan
Dari syarat syarat tajdid nikah menurut hokum islam pernikahan pasangan diatas sudah memenuhi syarat yaitu untuk memperindah pernikahan atau untuk maslahah. Sementara dari syarat undang undang juga memenuhi syarat yaitu tidak adanya akta pernikahan, maka di tajdid pernikahan kedua mempelai diatas dan dicatatkan tajdid nikahnya di KUA kecamatan Bandar Sribhawono.
- Kesimpulan
Tajdid Nikah dikarenakan adanya kekurangan persyaratan yang telah ditetapkan oleh Undang Undang maka pelaksanaannya merupakan konsep maslahah dan ketiadaan akta nikah untuk menjamin pernikahannya diakui oleh agama dan Negara. Sehingga bagi setiap masyarakat yang ingin melangsungkan pernikahan terlebih dahulu untuk memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan Undang Undang, agar pasangan catin pendapatkan kepastian hukum.
[1] . Nur Khoiriyah, “Analisis Tentang Mbangun Nikah dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Galon Tepus Menjaba)”, (STAIN Kudus, 2015), h. 32
[2] . Tim Redaksi Citra Umbara, “Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, (Bandung: Citra Umbara, 2012) h 9