Menu

Mode Gelap

Artikel · 16 Okt 2025 13:33 WIB ·

99 Tanya Jawab Seputar Shalat (VI)

Penulis: UMI FIRMANSYAH


 99 Tanya Jawab Seputar Shalat (VI) Perbesar

Pertanyaan 26: Ketika sujud, manakah yang terlebih dahulu menyentuh lantai, telapak tangan atau lutut?

 

Jawaban:

Ada dua hadits yang berbeda dalam masalah ini.

Hadits pertama:

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda: “Apabila salah seorang kamu sujud, maka janganlah ia turun seperti turunnya unta, hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”. (HR. Abu Daud).

Hadits Kedua:

Dari Wa’il bin Hujr, ia berkata: “Saya melihat Rasulullah Saw, ketika sujud ia meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Ketika bangun ia mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya”. (HR. Abu Daud, an-Nasa’I dan Ibnu Majah).

Ulama berbeda pendapat dalam mengamalkan kedua hadits ini. Imam ash-Shan’ani berkata:

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini: al-Hadawiyah, satu riwayat dari Imam Malik dan al- Auza’i mengamalkan hadits yang menyatakan lebih mendahulukan tangan daripada lutut. Bahkan Imam al-Auza’i berkata: “Kami dapati orang banyak meletakkan tangan mereka sebelum lutut mereka”. Imam Abu Daud berkata: “Ini adalah pendapat para Ahli Hadits.”

Mazhab Syafi’i, Hanafi dan satu riwayat dari Imam Malik menyebutkan bahwa mereka mengamalkan hadits riwayat Wa’il (mendahulukan lutut daripada telapan tangan).

Pendapat ulama dalam masalah ini:

Imam an-Nawawi berkata: “Tidak kuat Tarjih antara satu mazhab dengan mazhab yang lain dalam masalah ini, akan tetapi Mazhab Syafi’I menguatkan hadits Wa’il (mendahulukan lutut daripada tangan). Mereka berkata tentang hadits riwayat Abu Hurairah bahwa hadits itu Mudhtharib; karena ia meriwayat kedua cara tersebut.

Imam Ibnu al-Qayyim meneliti dan membahas secara panjang lebar, ia berkata: “Dalam hadits riwayat Abu Hurairah terdapat kalimat yang terbalik dari perawi, ia mengatakan: “Hendaklah meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut”, kalimat asalnya adalah: “Hendaklah meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan”. Ini terlihat dari lafaz awal hadits: “Janganlah turun seperti turunnya unta”, sebagaimana diketahui bahwa turunnya unta itu adalah dengan cara lebih mendahulukan tangan (kaki depan) daripada kaki belakang21.

Pendapat Ibnu Baz:

Masalah ini menjadi polemik di kalangan banyak ulama, sebagian mereka mengatakan: meletakkan kedua tangan sebelum lutut, sebagian yang lain mengatakan: meletakkan dua lutut sebelum kedua tangan, inilah yang berbeda dengan turunnya unta, karena ketika unta turun ia memulai dengan kedua tangannya (kaki depannya), jika seorang mu’min memulai turun dengan kedua lututnya, maka ia telah berbeda dengan unta, ini yang sesuai dengan hadits Wa’il bin Hujr (mendahulukan lutut daripada tangan), inilah yang benar; sujud dengan cara mendahulukan kedua lutut terlebih dahulu, kemudian meletakkan kedua tangan di atas lantai, kemudian menempelkan kening, inilah yang disyariatkan. Ketika bangun dari sujud, mengangkat kepala terlebih dahulu, kemudian kedua tangan, kemudian bangun, inilah yang disyariatkan menurut Sunnah dari Rasulullah Saw, kombinasi antara dua hadits. Adapun ucapan Abu Hurairah: “Hendaklah meletakkan kedua tangan sebelum lutut, zahirnya –wallahu a’lamterjadi pembalikan kalimat, sebagaimana yang disebutkan Ibnu al-Qayyim –rahimahullah-. Yang benar: meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan, agar akhir hadits sesuai dengan awalnya, agar sesuai dengan hadits riwayat Wa’il bin Hujr, atau semakna dengannya22.

Pendapat Ibnu ‘Utsaimin:

Ketika itu maka yang benar jika kita ingin sesuai antara akhir dan awal hadits: “Hendaklah meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan”, karena jika seseorang meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut, sebagaimana yang saya nyatakan, pastilah ia turun seperti turunnya unta, maka berarti ada kontradiktif antara awal dan akhir hadits.

Adalah salah seorang ikhwah menulis satu risalah berjudul Fath al-Ma’bud fi Wadh’i ar-Rukbataini Qabl al-Yadaini fi as-Sujud, ia bahas dengan pembahasan yang baik dan bermanfaat.

Dengan demikian maka menurut Sunnah yang diperintahkan Rasulullah Saw ketika sujud adalah meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan23.

 

 

21 Lihat Subul as-Salam, Imam ash-Shan’ani: 2/161-165.
22 Majmu’ Fatawa wa Maqalat Ibn Baz: 11/19.
23 Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibn ‘Utsaimin: 13/125.

 

Pertanyaan 26: Ketika sujud, manakah yang terlebih dahulu menyentuh lantai, telapak tangan atau lutut?

 

Jawaban:

Ada dua hadits yang berbeda dalam masalah ini.

Hadits pertama:

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda: “Apabila salah seorang kamu sujud, maka janganlah ia turun seperti turunnya unta, hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”. (HR. Abu Daud).

Hadits Kedua:

Dari Wa’il bin Hujr, ia berkata: “Saya melihat Rasulullah Saw, ketika sujud ia meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Ketika bangun ia mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya”. (HR. Abu Daud, an-Nasa’I dan Ibnu Majah).

Ulama berbeda pendapat dalam mengamalkan kedua hadits ini. Imam ash-Shan’ani berkata:

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini: al-Hadawiyah, satu riwayat dari Imam Malik dan al- Auza’i mengamalkan hadits yang menyatakan lebih mendahulukan tangan daripada lutut. Bahkan Imam al-Auza’i berkata: “Kami dapati orang banyak meletakkan tangan mereka sebelum lutut mereka”. Imam Abu Daud berkata: “Ini adalah pendapat para Ahli Hadits.”

Mazhab Syafi’i, Hanafi dan satu riwayat dari Imam Malik menyebutkan bahwa mereka mengamalkan hadits riwayat Wa’il (mendahulukan lutut daripada telapan tangan).

Pendapat ulama dalam masalah ini:

Imam an-Nawawi berkata: “Tidak kuat Tarjih antara satu mazhab dengan mazhab yang lain dalam masalah ini, akan tetapi Mazhab Syafi’I menguatkan hadits Wa’il (mendahulukan lutut daripada tangan). Mereka berkata tentang hadits riwayat Abu Hurairah bahwa hadits itu Mudhtharib; karena ia meriwayat kedua cara tersebut.

Imam Ibnu al-Qayyim meneliti dan membahas secara panjang lebar, ia berkata: “Dalam hadits riwayat Abu Hurairah terdapat kalimat yang terbalik dari perawi, ia mengatakan: “Hendaklah meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut”, kalimat asalnya adalah: “Hendaklah meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan”. Ini terlihat dari lafaz awal hadits: “Janganlah turun seperti turunnya unta”, sebagaimana diketahui bahwa turunnya unta itu adalah dengan cara lebih mendahulukan tangan (kaki depan) daripada kaki belakang21.

Pendapat Ibnu Baz:

Masalah ini menjadi polemik di kalangan banyak ulama, sebagian mereka mengatakan: meletakkan kedua tangan sebelum lutut, sebagian yang lain mengatakan: meletakkan dua lutut sebelum kedua tangan, inilah yang berbeda dengan turunnya unta, karena ketika unta turun ia memulai dengan kedua tangannya (kaki depannya), jika seorang mu’min memulai turun dengan kedua lututnya, maka ia telah berbeda dengan unta, ini yang sesuai dengan hadits Wa’il bin Hujr (mendahulukan lutut daripada tangan), inilah yang benar; sujud dengan cara mendahulukan kedua lutut terlebih dahulu, kemudian meletakkan kedua tangan di atas lantai, kemudian menempelkan kening, inilah yang disyariatkan. Ketika bangun dari sujud, mengangkat kepala terlebih dahulu, kemudian kedua tangan, kemudian bangun, inilah yang disyariatkan menurut Sunnah dari Rasulullah Saw, kombinasi antara dua hadits. Adapun ucapan Abu Hurairah: “Hendaklah meletakkan kedua tangan sebelum lutut, zahirnya –wallahu a’lamterjadi pembalikan kalimat, sebagaimana yang disebutkan Ibnu al-Qayyim –rahimahullah-. Yang benar: meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan, agar akhir hadits sesuai dengan awalnya, agar sesuai dengan hadits riwayat Wa’il bin Hujr, atau semakna dengannya22.

Pendapat Ibnu ‘Utsaimin:

Ketika itu maka yang benar jika kita ingin sesuai antara akhir dan awal hadits: “Hendaklah meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan”, karena jika seseorang meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut, sebagaimana yang saya nyatakan, pastilah ia turun seperti turunnya unta, maka berarti ada kontradiktif antara awal dan akhir hadits.

Adalah salah seorang ikhwah menulis satu risalah berjudul Fath al-Ma’bud fi Wadh’i ar-Rukbataini Qabl al-Yadaini fi as-Sujud, ia bahas dengan pembahasan yang baik dan bermanfaat.

Dengan demikian maka menurut Sunnah yang diperintahkan Rasulullah Saw ketika sujud adalah meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan23.

 

 

21 Lihat Subul as-Salam, Imam ash-Shan’ani: 2/161-165.
22 Majmu’ Fatawa wa Maqalat Ibn Baz: 11/19.
23 Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibn ‘Utsaimin: 13/125.

Pertanyaan 27: Apakah bacaan sujud?

 

Jawaban:

Riwayat pertama:

Ketika sujud, Rasulullah Saw mengucapkan: “Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi dan dengan pujian-Nya”. Tiga kali. (HR. Abu Daud, Ahmad, ad-Daraquthni, ath-Thabrani dan al-Baihaqi).

Riwayat Kedua:

Ketika sujud, Rasulullah Saw mengucapkan pada sujudnya: “Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi”, tiga kali. (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan ath-Thabrani).

Riwayat Ketiga:

Dari Aisyah, sesungguhnya Rasulullah Saw membaca pada ruku’ dan sujudnya: “Maha Suci, Maha Berkah Tuhan para malaikat dan Jibril”. (HR. Muslim, Abu Daud, an-Nasa’i, Ahmad, ath-Thabrani dan al-Baihaqi).

Riwayat Keempat:

Dari Aisyah, ia berkata: “Rasulullah Saw mengucapkan pada ruku’ dan sujudnya: “Maha Suci Engkau Ya Allah Tuhan kami dan dengan pujian-Mu, ya Allah ampunilah aku”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Riwayat Kelima:

Ketika sujud, Rasulullah Saw mengucapkan:

“Ya Allah, kepada-Mu sujudku, dengan-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujudkepada Dia yang telah menciptakannya, membentuknya, menciptakan pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah sebaik-baik pencipta”.(HR. Muslim).

Riwayat Keenam:

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw mengucapkan dalam sujudnya:

“Ya Allah, ampunilah aku, semua dosa-dosaku, yang halus dan yang nayata, yang pertama dan terakhir, yang tampak dan yang rahasia”. (HR. Muslim).

Riwayat Ketujuh:

Ketika ruku’ atau sujud, Rasulullah Saw mengucapkan: “Maha Suci Engkau ya Allah dan dengan pujian-
Mu, tiada tuhan selain Engkau”. (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i).

Riwayat Kedelapan:

Rasulullah Saw mengucapkan dalam shalat atau sujudnya:“Ya Allah, jadikanlah dalam hatiku cahaya, pada pendengaranku cahaya, pada penglihatanku cahaya, di sebelah kananku cahaya, di sebelah kiriku cahaya, di hadapanku cahaya, di belakangku cahaya, di atasku cahaya, di bawahku cahaya, jadikan untukku cahaya”. Atau, “Jadikanlah aku cahaya”. (HR. Muslim).

Riwayat Kesembilan:

Rasulullah Saw mengucapkan pada sujudnya: “Maha Suci Pemilik kekuasaan, alam malakut, kebesaran dan keagungan”. (HR. Abu Daud dan an-Nasa’i).

Pertanyaan 28: Apakah bacaan ketika duduk di antara dua sujud?

Jawaban:

Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Rasulullah Saw diantara dua sujud mengucapkan:

“Ya Allah ampunilah aku, rahmatilah aku, berilah aku kebaikan, berilah aku hidayah dan berilah aku rezeki”. (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim).

Bentuk doa (duduk diantara dua sujud) menurut Mazhab Syafi’I, Mazhab Maliki dan Mazhab Hanbali:

“Ya Tuhanku ampunilah aku, rahmatilah aku, muliakanlah aku, angkatlah aku, berilah aku rezeki, berilah
aku hidayah dan berilah aku kebaikan”24.

 

 

24 Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu: 2/86.

Pertanyaan 29: Apakah ketika bangun dari sujud itu langsung tegak berdiri atau duduk istirahat sejenak?

 

Jawaban:

Rasulullah Saw tidak langsung berdiri, akan tetapi duduk sejenak:

“Ketika Rasulullah Saw mengangkat kepalanya dari sujud kedua, beliau duduk dan bertumpu ke tanah (lantai)”. (HR. al-Bukhari).

Dalam hadits ini terkandung dalil disyariatkannya duduk setelah sujud kedua pada rakaat pertama danrakaat ketiga, kemudian bangun untuk melaksanakan rakaat kedua atau keempat. Disebut dengan nama Jilsah al-Istirahah (Duduk Istirahat). Salah satu pendapat dari Imam Syafi’I menyatakan disyariatkannya duduk ini, akan tetapi pendapat ini tidak masyhur, pendapat yang masyhur adalah pendapat al-Hadawiyyah, Mazhab Hanafi, Malik, Ahmad dan Ishaq: tidak disyariatkan duduk istirahat, merekaberdalil dengan hadits Wa’il bin Hujr tentang sifat shalat Rasulullah Saw dengan lafaz: “Ketika Rasulullah Saw mengangkat kepalanya dari sujud kedua, beliau tegak berdiri”. Diriwayatkan oleh al-Bazzar dalam Musnadnya, akan tetapi Imam an-Nawawi mendha’ifkannya. Mereka juga berdalil dengan hadits riwayat Ibnu al-Mundzir dari hadits an-Nu’man bin Abi ‘Ayyasy: “Saya bertemu dengan banyak shahabat Rasulullah Saw, apabila ia mengangkat kepalanya dari sujud pada rakaat pertama dan ketiga, ia berdiri sebagaimana adanya, tanpa duduk”.

Semuanya dijawab bahwa itu tidak saling menafikan, siapa yang melakukannya maka itu Sunnah, yang meninggalkannya juga demikian. Jika masalah duduk istirahat ini disebutkan dalam hadits tentang orang yang keliru melaksanakan shalat, seolah-olah duduk istirahat itu wajib, akan tetapi tidak seorang pun yang berpendapat demikian25.

 

 

25 Imam ash-Shan’ani, Subul as-Salam: 2/152.

Pertanyaan 30: Ketika akan tegak berdiri, apakah posisi telapak tangan ke lantai atau dengan posisi tangan mengepal?

 

Jawaban:

Dari Malik bin al-Huwairits, ia berkata: “Ketika Rasulullah Saw mengangkat kepalanya dari sujud kedua, beliau duduk, dan bertumpu ke tanah (lantai), kemudian berdiri”. (HR. al-Bukhari).

Ketika Rasulullah Saw akan bangun berdiri dari duduk istirahat tersebut, ia bertumpu dengan kedua tangannya, apakah bertumpu tersebut dengan telapak tangan ke lantai atau dengan dua tangan terkepal?

Sebagian orang melakukannya dengan tangan terkepal, berdalil dengan hadits riwayat Ibnu Abbas:

“Sesungguhnya apabila Rasulullah Saw akan berdiri ketika shalat, beliau meletakkan kedua tangannya ke tanah (lantai) seperti orang yang membuat adonan tepung”.

Berikut komentar ahli hadits tentang hadits ini:

Imam Ibnu ash-Shalah berkata dalam komentarnya terhadap al-Wasith: “Hadits ini tidak shahih, tidak dikenal, tidak boleh dijadikan sebagai dalil”.

Imam an-Nawawi berkata dalam Syarh al-Muhadzdzab: “Ini hadits dha’if, atau batil yang tidak ada sanadnya”.

Imam an-Nawawi berkata dalam at-Tanqih: “Haditsh dha’if batil”.

Imam an-Nawawi berkata dalam Syarh al-Muhadzdzab: “Diriwayatkan dari Imam al-Ghazali, ia berkata dalam kajiannya, kata ini dengan huruf Zay (al’aaziz = orang yang lemah) dan huruf Nun (al’aazin = orang yang membuat adonan tepung), demikian yang paling benar, yaitu orang yang menggenggam kedua tangannya dan bertumpu dengannya.

Andai hadits ini shahih, pastilah maknanya: berdiri dengan bertumpu dengan telapak tangan, sebagaimana bertumpunya orang yang lemah, yaitu orang yang telah lanjut usia, bukan maksudnya orang yang membuat adonan tepung.

Al-Ghazali menceritakan dalam kajiannya, apakah dengan huruf Nun (orang yang membuat adonan tepung), atau dengan huruf Zay (orang yang lemah). Jika kita katakan dengan huruf Nun, berarti orang yang membuat adonan roti, ia menggenggam jari-jemarinya dan bertumpu dengannya, ia bangkit ke atas tanpa meletakkan telapak tangannya ke tanah (lantai).

Ibnu ash-Shalah berkata: “Perbuatan seperti ini banyak dilakukan orang non-Arab, menetapkan suatu posisi dalam shalat, bukan melaksanakannya, berdasarkan hadits yang tidak shahih. Andai hadits tersebut shahih, bukanlah seperti itu maknanya. Karena makna al’aazina menurut bahasa adalah orang yang telah lanjut usia. Penyair berkata: ‘Sejelek-jelek perilaku seseorang adalah engkau dan orang lanjut usia’. Jika tua renta disifati dengan itu, diambil dari kalimat ‘aazinil’aaziin (tukang buat roti yang membuat adonan), penyamaan itu pada kuatnya bertumpu ketika meletakkan kedua tangan, bukan pada cara mengepalkan jari jemari26.

Komentar Ibnu ‘Utsaimin tentang masalah ini:

Malik bin Huwairits juga menyebutkan bahwa Rasulullah Saw: apabila ia akan berdiri, ia bertumpu dengan kedua tangannya. Apakah bertumpu ke lantai itu dengan mengepalkan tangan atau tidak? Ini berdasarkan keshahihan hadits yang menyatakan tentang itu, Imam an-Nawawi mengingkari keshahihan hadits ini dalam kitab al-Majmu’, sedangkan sebagian ulama muta’akhirin (generasi belakangan) menyatakan hadits tersebut shahih. Bagaimana pun juga, yang jelas dari kondisi Rasulullah Saw bahwa beliau duduk ketika telah lanjut usia dan badannya berat, beliau tidak sanggup bangun secara sempurna dari sujud untuk tegak berdiri, maka beliau duduk, kemudian ketika akan bangun dan tegak berdiri, beliau bertumpu ke kedua tangannya untuk memudahkannya, inilah yang jelas dari kondisi Rasulullah Saw. Oleh sebab itu pendapat yang kuat tentang duduk istirahat, jika seseorang membutuhkannya karena usia lanjut atau karena penyakit atau sakit di kedua lututnya atau seperti itu, maka hendaklah ia duduk. Jika ia butuh bertumpu dengan kedua tangannya untuk dapat tegak berdiri, maka hendaklah ia bertumpu seperti yang telah disebutkan, apakah ia bertumpu dengan bagian punggung jari jemari, maksudnya mengepalkan tangan seperti ini, kemudian bertumpu dengannya, atau bertumpu dengan telapak tangan, atau selain itu. Yang penting, jika ia perlu bertumpu, maka hendaklah ia bertumpu. Jika ia tidak membutuhkannya, maka tidak perlu bertumpu27.

 

 

26 Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, at-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits ar-Rafi’I al-Kabir: 2/12.
27 Ibnu ‘Utsaimin, Liqa’ al-Bab al-Maftuh: 65/8.

(Disalin dari buku 99 Tanya Jawab Seputar Shalat, penulis H.Abdul Somad,Lc,MA, Penerbit Tapaqquh Media Pekanbaru-Riau, cet ke V, Agustus 2017).

 

 

5 1 vote
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 6 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

99 Tanya Jawab Seputar Shalat (XII)

16 Oktober 2025 - 23:47 WIB

99 Tanya Jawab Seputar Shalat (XI)

16 Oktober 2025 - 22:12 WIB

99 Tanya Jawab Seputar Shalat (X)

16 Oktober 2025 - 15:13 WIB

99 Tanya Jawab Seputar Shalat (IX)

16 Oktober 2025 - 14:38 WIB

99 Tanya Jawab Seputar Shalat (VIII)

16 Oktober 2025 - 14:06 WIB

99 Tanya Jawab Seputar Shalat (VII)

16 Oktober 2025 - 13:52 WIB

Trending di Artikel
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x