Pertanyaan 41: Ketika shalat, apakah Rasulullah Saw hanya membaca di dalam hati, atau dilafazkan?
Jawaban:
Rasulullah Saw tidak hanya mengucapkan di dalam hati, akan tetapi beliau melafazkannya, ini berdasarkan hadits:
Dari Abu Ma’mar, ia berkata: “Saya bertanya kepada Khabbab bin al-Arts, ‘Apakah Rasulullah Saw membaca pada shalat Zhuhur dan ‘Ashr?”. Khabbab bin al-Arts menjawab: “Ya”. Saya bertanya: “Bagaimana kamu mengetahui bacaan Rasulullah?”. Khabba bin al-Arts menjawab: “Dari goyang jenggotnya”. (HR. al-Bukhari).
Pertanyaan 41: Ketika shalat, apakah Rasulullah Saw hanya membaca di dalam hati, atau dilafazkan?
Jawaban:
Rasulullah Saw tidak hanya mengucapkan di dalam hati, akan tetapi beliau melafazkannya, ini berdasarkan hadits:
Dari Abu Ma’mar, ia berkata: “Saya bertanya kepada Khabbab bin al-Arts, ‘Apakah Rasulullah Saw membaca pada shalat Zhuhur dan ‘Ashr?”. Khabbab bin al-Arts menjawab: “Ya”. Saya bertanya: “Bagaimana kamu mengetahui bacaan Rasulullah?”. Khabba bin al-Arts menjawab: “Dari goyang jenggotnya”. (HR. al-Bukhari).
Pertanyaan 42: Apakah arti thuma’ninah? Apakah standarnya?
Jawaban:
Thuma’ninah adalah tenang setelah satu gerakan. Atau tenang setelah dua gerakan, kira-kira terpisah antara naik dan turun. Minimal Thuma’ninah adalah anggota tubuh merasa tenang, misalnya ketika ruku’, kira-kira terpisah antara naik dan turun, sebagaimana pendapat Mazhab Syafi’i. Dapat diukur dengan kadar ingatan wajib bagi orang yang mengingat. Adapun orang yang lupa kira-kira pada kadar minimal tenang, sebagaimana pendapat sebagian Mazhab Hanbali. Pendapat Shahih menurut mazhab adalah: tenang, meskipun sejenak. Atau tenangnya anggota tubuh kira-kira satu tasbih pada ruku’ dan sujud, dan bangun dari ruku’ dan sujud, demikian menurut pendapat Mazhab Hanafi. Atau tenangnya anggota tubuh pada waktu tertentu dalam semua rukun shalat, sebagaimana pendapat Mazhab Maliki.
Pertanyaan 43: Bagaimana shalat orang yang tidak ada thuma’ninah?
Jawaban:
Tidak sah, karena Rasulullah Saw memerintahkan agar orang yang tidak thuma’ninah mengulangi shalatnya.
Dari Abu Hurairah, seorang laki-laki masuk ke dalam masjid, ia melaksanakan shalat, Rasulullah Saw berada di sudut masjid. Rasulullah Saw datang, mengucapkan salam kepadanya dan berkata: “Kembalilah,shalatlah, sesungguhnya engkau belum shalat”. Ia kembali dan melaksanakan shalat. Rasulullah Saw berkata: “Engkau mesti kembali, shalatlah, sesungguhnya engkau belum shalat”. Pada kali yang ketiga, ia berkata: “Ajarkanlah kepada saya”. Rasulullah Saw berkata: “Jika engkau akan melaksanakan shalat, maka sempurnakanlah wudhu’, kemudian menghadaplah ke kiblat, bertakbirlah. Bacalah apa yang mudah bagimu dari al-Qur’an. Kemudian ruku’lah hingga engkau thuma’ninah dalam keadaan ruku’. Kemudian angkat kepalamu hingga engkau tegak sempurna. Kemudian sujudlah hingga engkau thuma’ninah sujud. Kemudian bangunlah hingga engkau thuma’ninah duduk. Kemudian sujudlah hingga engkau thuma’ninah sujud. Kemudian bangunlah hingga engkau duduk sempurna. Kemudian lakukanlah seperti itu dalam semua shalatmu”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Pertanyaan 44: Apa pendapat ulama tentang Qunut Shubuh?
Jawaban:
Mazhab Hanafi dan Hanbali: Tidak ada Qunut pada shalat Shubuh.
Mazhab Maliki: Ada Qunut pada shalat Shubuh, dibaca sirr, sebelum ruku’.
Mazhab Syafi’i: Ada Qunut pada shalat Shubuh, setelah ruku’.
Pertanyaan 45: Apakah dalil hadits tentang adanya Qunut Shubuh?
Jawaban:
Hadits Pertama:
Dari Muhammad, ia berkata: “Saya bertanya kepada Anas bin Malik: “Apakah Rasulullah Saw membaca Qunut pada shalat Shubuh?”. Ia menjawab: “Ya, setelah ruku’, sejenak”. (HR. Muslim).
Hadits Kedua:
Dari Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah Saw terus menerus membaca Qunut pada shalat Shubuh hingga beliau meninggal dunia”.
Hadits ini riwayat Imam Ahmad, ad-Daraquthni dan al-Baihaqi.
Bagaimana dengan hadits lain yang juga diriwayatkan oleh Anas bin Malik yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw membaca Qunut shubuh selama satu bulan, kemudian setelah itu Rasulullah Saw meninggalkannya. Berarti dua riwayat ini kontradiktif?
Tidak kontradiktif, karena yang dimaksud dengan meninggalkannya, bukan meninggalkan Qunut, akan
tetapi meninggalkan laknat dalam Qunut. Laknatnya ditinggalkan, Qunutnya tetap dilaksanakan.
Demikian riwayat al-Baihaqi:
Dari Abdurrahman bin Mahdi, tentang hadits Anas bin Malik: Rasulullah Saw membaca Qunut selama satu bulan, kemudian beliau meninggalkannya. Imam Abdurrahman bin Mahdi berkata: “Yang ditinggalkan hanya laknat”59.
Yang dimaksud dengan laknat dalam Qunut adalah:
Dari Anas bin Malik, sesungguhnya Rasulullah Saw membaca Qunut selama satu bulan beliau melaknat (Bani) Ri’lan, Dzakwan dan ‘Ushayyah yang telah berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Qunut Shubuh Menurut Mazhab Syafi’i:
Adapun Qunut, maka dianjurkan pada I’tidal kedua dalam shalat Shubuh berdasarkan riwayat Anas, ia berkata: “Rasulullah Saw terus menerus membaca doa Qunut pada shalat Shubuh hingga beliau meninggal dunia”. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan imam lainnya. Imam Ibnu ash-Shalah berkata, “Banyak para al-Hafizh (ahli hadits) yang menyatakan hadits ini adalah hadits shahih. Diantara mereka adalah Imam al-Hakim, al-Baihaqi dan al-Balkhi”. Al-Baihaqi berkata, “Membaca doa Qunut pada shalat Shubuh ini berdasarkan tuntunan dari empat Khulafa’ Rasyidin”.
Bahwa Qunut Shubuh itu pada rakaat kedua berdasarkan riwayat Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya. Bahwa doa Qunut itu setelah ruku’, menurut riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa ketika Rasulullah Saw membaca doa Qunut pada kisah korban pembunuhan peristiwa sumur Ma’unah, beliau membaca Qunut setelah ruku’. Maka kami Qiyaskan Qunut Shubuh kepada riwayat ini. Benar bahwa dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim diriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah Saw membaca doa Qunut sebelum ruku’. Al-Baihaqi berkata: “Akan tetapi para periwayat hadits tentang Qunut setelah ruku’ lebih banyak dan lebih hafizh, maka riwayat ini lebih utama”. Jika seseorang membaca Qunut sebelum ruku’, Imam Nawawi berkata dalam kitab ar-Raudhah, “Tidak sah menurut pendapat yang shahih, ia mesti sujud sahwi menurut pendapat al-Ashahh”.
(Disalin dari buku 99 Tanya Jawab Seputar Shalat, penulis H.Abdul Somad,Lc,MA, Penerbit Tapaqquh Media Pekanbaru-Riau, cet ke V, Agustus 2017).
Lafaz Qunut:
“Ya Allah, berilah hidayah kepadaku seperti orang-orang yang telah Engkau beri hidayah. Berikanlah kebaikan kepadaku seperti orang-orang yang telah Engkau beri kebaikan. Berikan aku kekuatan seperti orang-orang yang telah Engkau beri kekuatan. Berkahilah bagiku terhadap apa yang telah Engkau berikan. Peliharalah aku dari kejelekan yang Engkau tetapkan. Sesungguhnya Engkau menetapkan dan tidak ada sesuatu yang ditetapkan bagi-Mu. Tidak ada yang merendahkan orang yang telah Engkau beri kuasa. Maka Suci Engkau wahai Tuhan kami dan Engkau Maha Agung”.
Demikian diriwayatkan oleh Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan lainnya dengan sanad sahih. Maksud saya, dengan huruf Fa’ pada kata: ‘fa innaka’ dan huruf Waw pada kata: ‘wa innahu laayadillu’.
Imam ar-Rafi’i berkata: “Para ulama menambahkan kalimat: ‘wa laa ya’izzu man’aadaet’ (Tidak ada yang dapat memuliakan orang yang telah Engkau hinakan). Sebelum kalimat: ‘tabaaraktaa rabbanaa wata’aalaet’ (Maka Suci Engkau wahai Tuhan kami dan Engkau Maha Agung).
Dalam riwayat Imam al-Baihaqi disebutkan, setelah doa ini membaca doa:
(Segala puji bagi-Mu atas semua yang Engkau tetapkan. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu).
Ketahuilah bahwa sebenarnya doa ini tidak tertentu. Bahkan jika seseorang membaca Qunut dengan ayat yang mengandung doa dan ia meniatkannya sebagai doa Qunut, maka sunnah telah dilaksanakan dengan itu.
Imam membaca Qunut dengan lafaz jama’, bahkan makruh bagi imam mengkhususkan dirinya dalam berdoa, berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “Janganlah seorang hamba mengimami sekelompok orang, lalu ia mengkhususkan dirinya dengan suatu doa tanpa mengikutsertakan mereka. Jika ia melakukan itu, maka sungguh ia telah mengkhianati mereka”. Diriwayatkan oleh Abu Daud dan at-Tirmidzi. Imam at Tirmidzi berkata: “Hadits hasan”. Kemudian demikian juga halnya dengan semua doa-doa, makruh bagi imam mengkhususkan dirinya saja. Demikian dinyatakan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin. Demikian juga makna pendapat Imam Nawawi dalam al-Adzkar.
Sunnah mengangkat kedua tangan dan tidak mengusap wajah, karena tidak ada riwayat tentang itu. Demikian dinyatakan oleh al-Baihaqi. Tidak dianjurkan mengusap dada, tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Bahkan sekelompok ulama menyebutkan secara nash bahwa hukum melakukan itu makruh, demikian disebutkan Imam Nawawi dalam ar-Raudhah. Dianjurkan membaca Qunut di akhir Witir dan pada paruh kedua bulan Ramadhan. Demikian diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dari Imam Ali dan Abu Daud dari Ubai bin Ka’ab. Ada pendapat yang mengatakan dianjurkan membaca Qunut pada shalat Witir sepanjang tahun, demikian dinyatakan Imam Nawawi dalam at-Tahqiq, ia berkata: “Doa Qunut dianjurkan dibaca (dalam shalat Witir) sepanjang tahun”. Ada pendapat yang mengatakan bahwa doa Qunut dibaca di sepanjang Ramadhan. Dianjurkan agar membaca doa Qunut riwayat Umar, sebelum Qunut Shubuh, demikian dinyatakan oleh Imam ar-Rafi’i. Imam Nawawi berkata, “Menurut pendapat al-Ashahh, doa Qunut rirwayat Umar dibaca setelah doa Qunut Shubuh. Karena riwayat Qunut Shubuh kuat dari Rasulullah Saw pada shalat Witir. Maka lebih utama untuk diamalkan. Wallahu a’lam60.