Menu

Mode Gelap

Opini · 29 Okt 2025 15:02 WIB ·

Menikah Demi Menutup Aib: Refleksi atas Tekanan Sosial dan Nilai Pernikahan dalam Islam

Penulis: Ahmad Naufal Gumilang


 Menikah Demi Menutup Aib: Refleksi atas Tekanan Sosial dan Nilai Pernikahan dalam Islam Perbesar

Fenomena sosial di masyarakat Indonesia sering kali memperlihatkan bagaimana kuatnya pengaruh norma dan pandangan sosial terhadap kehidupan pribadi seseorang. Salah satu contoh yang masih sering terjadi adalah pemaksaan pernikahan terhadap pasangan muda yang kerap terlihat keluar bersama, meskipun mereka belum memiliki hubungan resmi.

Di banyak tempat, kebiasaan “keluar berdua” antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah dianggap melanggar batas kesopanan. Tak jarang, hal ini menimbulkan gunjingan dan tekanan sosial bagi keluarga kedua belah pihak. Akibatnya, sebagian orang tua memilih jalan pintas: menikahkan anak mereka demi menjaga nama baik keluarga.

Padahal, jika dilihat dari perspektif hukum Islam, tindakan tersebut tidak sepenuhnya sejalan dengan prinsip pernikahan yang hakiki.

Islam dan Prinsip Kerelaan dalam Pernikahan

Dalam Islam, pernikahan merupakan akad suci yang harus dilandasi kerelaan dan kesadaran dari kedua pihak. Rasulullah ﷺ menegaskan, “Tidak ada nikah tanpa wali dan tanpa ridha dari perempuan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa kerelaan menjadi unsur utama dalam sahnya akad pernikahan.

Pemaksaan nikah, apalagi karena alasan sosial semata, justru bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan Islam. Pernikahan bukan sekadar untuk menghindari fitnah atau memenuhi tuntutan masyarakat, melainkan untuk membangun keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah — rumah tangga yang penuh kasih dan ketenangan.

Antara Norma Sosial dan Nilai Syariat

Masyarakat Indonesia dikenal menjunjung tinggi kehormatan dan adat kesopanan. Namun, dalam praktiknya, terkadang norma sosial ini diterapkan secara berlebihan hingga menimbulkan tekanan psikologis bagi individu.

Banyak orang tua merasa malu jika anak perempuannya sering terlihat bersama laki-laki tanpa status. Rasa takut terhadap pandangan negatif masyarakat mendorong mereka untuk segera “menghalalkan” hubungan tersebut melalui pernikahan — bahkan ketika kedua pihak belum siap.

Padahal, dalam Islam, menjaga kehormatan tidak harus selalu diwujudkan dengan menikah secara tergesa-gesa. Kehormatan dapat dijaga melalui pendidikan moral, pengawasan diri, serta pemahaman agama yang benar.

Dampak dari Pemaksaan Nikah

Menikah tanpa kesiapan dan tanpa cinta sejati dapat menimbulkan banyak persoalan di kemudian hari.
Beberapa kasus menunjukkan bahwa pernikahan yang dipaksakan lebih rentan terhadap pertengkaran, kekerasan rumah tangga, bahkan perceraian dini.

Pernikahan seharusnya menjadi ikatan yang membawa kebahagiaan, bukan beban. Ketika keputusan menikah diambil hanya karena tekanan sosial, maka esensi spiritual dan emosional dari pernikahan itu hilang.

Mengembalikan Esensi Pernikahan

Pernikahan dalam Islam sejatinya adalah ibadah dan perjanjian suci. Tujuannya bukan sekadar menyatukan dua individu, melainkan membangun kehidupan yang penuh tanggung jawab, saling menghormati, dan saling mendukung dalam kebaikan.

Pemaksaan nikah, walau sering dianggap solusi cepat untuk “menutup aib”, justru bisa menimbulkan luka baru — baik bagi pasangan maupun keluarga. Karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa menjaga kehormatan bukan berarti mengorbankan kebebasan dan kebahagiaan seseorang.

Menumbuhkan Pemahaman dan Edukasi Sosial

Agar fenomena ini tidak terus berulang, perlu adanya edukasi masyarakat tentang hukum dan etika pernikahan dalam Islam. Orang tua, tokoh agama, dan lembaga sosial harus berperan aktif dalam memberikan pemahaman yang bijak — bahwa menikah adalah keputusan besar yang memerlukan kesiapan lahir batin, bukan sekadar untuk memenuhi tuntutan sosial.

Penutup

Menikah karena cinta, kesiapan, dan kerelaan adalah perwujudan dari nilai-nilai Islam yang sejati. Sedangkan menikah karena tekanan sosial hanyalah bentuk penyelesaian semu yang bisa berujung pada penyesalan.

Islam mengajarkan bahwa setiap amal harus dilandasi dengan niat yang benar. Maka, pernikahan pun semestinya lahir dari niat suci, bukan dari rasa takut atau paksaan. Dengan pemahaman yang benar, masyarakat dapat menjaga kehormatan tanpa harus mengorbankan kebahagiaan dan kebebasan individu.

5 1 vote
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 59 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Tiga Kunci Keutuhan Cinta: Kedekatan, Komitmen, dan Gairah dalam Rumah Tangga (Part I)

13 November 2025 - 08:54 WIB

Kunjungan Silaturrahmi Pak Camat Baru di KUA Atu Lintang

12 November 2025 - 15:07 WIB

ASN KUA, Spirit Sinergis dan Semangat Ber-Fastabiqul Khairat

12 November 2025 - 09:44 WIB

AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF FIQIH ISLAM

11 November 2025 - 13:33 WIB

Kesakralan Ijab Kabul dalam Pernikahan

11 November 2025 - 09:02 WIB

STRATEGI ORMAS PEREMPUAN ISLAM MEREBUT RUANG PUBLIK: Studi Muslimat NU dan Aisyiyah

10 November 2025 - 22:53 WIB

Trending di Karya Ilmiah
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x