Pernikahan merupakan ibadah yang agung, bukan sekadar penyatuan dua hati, melainkan juga penyatuan dua tanggung jawab besar. Dalam pernikahan, seseorang dituntut untuk matang secara lahir dan batin, mampu mengelola emosi, ekonomi, serta memimpin keluarga menuju kebahagiaan dan ridha Allah. Namun, bagaimana jadinya jika pernikahan itu dijalani oleh mereka yang belum cukup umur dan belum siap memikul tanggung jawab tersebut?
Fenomena nikah di bawah umur masih kerap terjadi di masyarakat. Sebagian beralasan karena cinta, sebagian karena takut terjerumus dalam zina, bahkan ada yang karena tekanan sosial atau budaya. Padahal, pernikahan dini sering kali justru membawa dampak yang berat, baik dari sisi agama, kesehatan, sosial, maupun hukum. Pernikahan membutuhkan kedewasaan berpikir dan kestabilan emosi. Anak atau remaja yang masih dalam fase mencari jati diri umumnya belum siap menghadapi dinamika rumah tangga. Hal-hal kecil bisa menjadi pemicu konflik besar, karena belum terbangun kemampuan komunikasi dan pengendalian diri yang baik. Akibatnya, banyak pernikahan dini yang berujung pada pertengkaran, kekerasan, bahkan perceraian.
Dari sisi kesehatan, menikah di usia terlalu muda berisiko tinggi, terutama bagi perempuan. Secara medis, organ reproduksi yang belum matang dapat menyebabkan komplikasi saat kehamilan dan persalinan. Risiko keguguran, anemia, dan bahkan kematian ibu atau bayi menjadi ancaman serius. Karena itu, lembaga kesehatan dunia (WHO) maupun pemerintah Indonesia menegaskan pentingnya menunda usia pernikahan sampai tubuh dan mental benar-benar siap. Pernikahan di usia muda sering kali menghambat pendidikan. Banyak anak perempuan yang berhenti sekolah karena menikah, sementara suaminya pun belum memiliki pekerjaan tetap. Kondisi ini menimbulkan kesulitan ekonomi yang berkelanjutan, karena minimnya kemampuan untuk bersaing di dunia kerja. Rumah tangga yang dibangun di atas pondasi ekonomi lemah rentan terhadap tekanan dan perselisihan.
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Pernikahan di bawah umur tanpa izin pengadilan agama dapat dianggap tidak sah secara hukum dan berpotensi menimbulkan masalah administrasi di kemudian hari. Misalnya, kesulitan dalam mengurus akta nikah, akta kelahiran anak, maupun dokumen kependudukan lainnya. Islam menganjurkan pernikahan bagi yang telah memiliki kemampuan dan kesiapan. Rasulullah ﷺ bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mampu menikah maka menikahlah, karena menikah lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kata “mampu” dalam hadis tersebut mencakup kesiapan lahir, batin, mental, dan finansial. Bila kemampuan itu belum ada, maka sebaiknya menahan diri hingga benar-benar siap. Islam tidak pernah memerintahkan untuk tergesa-gesa dalam sesuatu yang belum waktunya, apalagi jika justru menimbulkan mudarat yang lebih besar. Pernikahan dini tak hanya berdampak pada pasangan, tetapi juga pada anak-anak yang lahir dari keluarga tersebut. Anak sering kali tumbuh dalam situasi tidak stabil, melihat orang tuanya belum matang dalam mengasuh, atau bahkan menyaksikan konflik dan perceraian. Secara sosial, fenomena ini juga berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan, putus sekolah, serta kekerasan dalam rumah tangga.
Beberapa hal penting terutama kepada para orang tua, jangan terburu-buru menikahkan anak hanya karena tekanan sosial atau kekhawatiran terhadap pandangan masyarakat. Menikahkan anak di usia muda bukan solusi, melainkan bisa menjadi sumber masalah baru. Bimbinglah anak agar fokus pada pendidikan, pembentukan karakter, dan kesiapan hidup. Kepada para remaja, cinta itu indah, tapi tidak seindah bila dijalani tanpa kesiapan. Gunakan masa muda untuk memperdalam ilmu, mengasah kemampuan, dan memperkuat iman. Tunggulah hingga benar-benar siap agar pernikahan menjadi ladang ibadah, bukan sumber penyesalan.
وَمَنْ يتصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْر
“Barang siapa bersabar, maka Allah akan menjadikannya sabar; dan tidak ada pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Akhir,
Nikah bukanlah ajang perlombaan siapa yang duluan, tapi tentang siapa yang paling siap memikul tanggung jawab besar di hadapan Allah. Cinta sejati bukan yang tergesa, melainkan yang tumbuh bersama kesiapan dan keberkahan. Mari kita cegah pernikahan di bawah umur, bukan karena kita menentang cinta, tetapi karena kita ingin cinta itu hadir di waktu yang tepat — ketika hati, ilmu, dan tanggung jawab sudah matang. Dengan begitu, rumah tangga yang dibangun akan menjadi taman kedamaian, bukan ladang penyesalan.
- Muhamad Fathul Arifin – KUA Kesugihan, Cilacap








