DAlAM kehidupan sehari-hari, kita sering berhadapan dengan berbagai tugas dan tanggung jawab yang datang silih berganti. Baik dalam rumah tangga, pekerjaan, maupun pengabdian di tengah masyarakat.
Tidak jarang, kita merasa semua itu datang bersamaan dan menumpuk, sehingga kita kewalahan, bingung menentukan prioritas, bahkan akhirnya muncul rasa malas.
Padahal, banyak dari situasi kalang kabut itu sesungguhnya bukan karena tugas yang terlalu banyak, tetapi karena kebiasaan menunda pekerjaan.
Islam mengajarkan kepada kita untuk menjadi pribadi yang sigap dan cermat dalam menghadapi kehidupan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَاِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ
Fa idzaa faroghta fanshab. Artinya: “Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain).” (QS. Al-Insyirah: 7)
Ayat ini memberikan pesan mendalam bahwa hidup ini adalah rangkaian ikhtiar yang berlanjut. Ketika satu tugas selesai, jangan biarkan waktu kosong terbuang sia-sia.
Sebaliknya, kita diarahkan untuk segera melanjutkan kepada tugas berikutnya. Bukan berarti kita tidak boleh istirahat, tetapi jangan sampai kelalaian menjadi celah bagi malas masuk ke dalam diri kita.
Kebiasaan menunda pekerjaan adalah pintu awal ketidakteraturan hidup. Mulanya hanya menunda sebentar, lalu menjadi kebiasaan, dan pada akhirnya berubah menjadi kultur hidup yang mengekang produktivitas.
Tugas-tugas yang seharusnya ringan dan sederhana, jika ditumpuk, akan terasa berat. Seperti setetes air yang jatuh bertubi-tubi mampu melubangi batu, begitu pula pekerjaan yang sepele bila dibiarkan akan menjadi beban besar.
Dalam rumah tangga, misalnya, menunda hal-hal kecil seperti merapikan barang, mengatur keuangan, atau menyelesaikan pembicaraan, dapat menimbulkan masalah emosional dan kesalahpahaman.
Begitu pula sebagai suami atau istri, kita memikul amanah untuk saling menguatkan. Sikap sigap dan teratur dalam menyelesaikan pekerjaan rumah akan menciptakan suasana yang nyaman, rapi, dan penuh ketenangan.
Di lingkungan masyarakat, terutama ketika kita berperan sebagai pelayan umat, ketepatan waktu, kerapihan administrasi, dan kesigapan merespon kebutuhan masyarakat sangat menentukan kepercayaan publik.
Masyarakat menilai bukan hanya dari apa yang kita ucapkan, tetapi apa yang kita jalankan. Pelayanan yang lambat, bertele-tele, atau tidak tepat waktu, akan melahirkan ketidakpuasan dan mengurangi wibawa amanah yang kita emban.
Lebih-lebih lagi bagi kita yang menjalankan tugas sebagai ASN. Kita bukan sekadar bekerja mencari nafkah, tetapi menjadi teladan dan wajah negara di tingkat masyarakat.
Disiplin, ketepatan waktu, dan penyelesaian tugas dengan baik adalah bentuk ibadah dan pengabdian. Ketika kita menunda pekerjaan, bukan hanya pekerjaan itu sendiri yang tertunda, tetapi juga pelayanan kepada umat yang ikut terganggu.
Oleh karena itu, biasakan menyelesaikan pekerjaan hari ini pada hari ini juga. Tuntaskan yang sudah dimulai, jaga ritme, dan bangun sikap ligat menghadapi tugas. Jadikan perencanaan dan catatan harian sebagai panduan.
Kerjakan sedikit demi sedikit, tetapi konsisten. Ingatlah bahwa energi terbesar seseorang bukan terletak pada kekuatan fisiknya, melainkan pada kemampuan mengatur waktu dan menaklukkan kemalasan.
Mari kita latih diri untuk menjadi pribadi yang sigap, cermat, dan bertanggung jawab. Jangan biarkan tugas menumpuk hingga menyesakkan. Sebab kerapian kerja adalah cerminan kerapian hati. Dan hati yang rapi akan lebih mudah menerima keberkahan.
Semoga kita semua diberi kekuatan untuk bekerja dengan baik, menjadi teladan dalam keluarga, bermanfaat bagi masyarakat, dan menjalankan amanah sebagai ASN dengan penuh kehormatan.[]
Catatan Mahbub Fauzie
Penghulu dan Kepala KUA Kec. Atu Lintang, Aceh Tengah








