Menu

Mode Gelap

Opini · 9 Nov 2025 07:17 WIB ·

Refleksi Etika dan Kesadaran Diri dalam Dunia Pegawai

Penulis: Mahbub Fauzie


 Refleksi Etika dan Kesadaran Diri dalam Dunia Pegawai Perbesar

Dalam dunia kerja, terutama di lingkungan kantor atau birokrasi, kita sering menyaksikan dinamika yang tidak selalu sejalan dengan logika prestasi. Ada kalanya, orang yang menduduki jabatan, memiliki pangkat lebih tinggi, dan memperoleh gaji serta tunjangan lebih besar, justru menunjukkan dedikasi dan kinerja yang tidak sebanding dengan penghargaan yang diterimanya.

Sebaliknya, ada pegawai yang berada di bawah struktur formal, seperti pelaksana, jenjang jabatan lebih rendah, tenaga kontrak (P3K), tenaga honorer dan bakti, ataupun pegawai baru, justru tampil lebih kreatif, lebih inovatif, dan bekerja dengan disiplin serta tanggung jawab yang tinggi. Fenomena ini nyata, banyak terjadi, dan seharusnya menjadi bahan renungan mendalam bagi kita semua.

Jabatan dan pangkat serta kedudukan pada dasarnya adalah amanah. Amanah bukan sekadar simbol status ataupun legitimasi, tetapi tanggung jawab moral dan sosial. Seorang yang diberi jabatan berarti diberi kepercayaan untuk memimpin, mengarahkan, dan memberi contoh dan teladan. Namun sering kali posisinya justru menjadi tempat nyaman yang melenakan.

Kita merasa sudah sampai, sudah cukup, sehingga gairah untuk meningkatkan diri berkurang. Semangat mencari inovasi meredup, rasa ingin belajar menipis, dan kepekaan sosial pun perlahan melemah. Jabatan yang seharusnya menjadi ruang pengabdian, berubah tanpa disadari menjadi sekadar singgasana kenyamanan.

Di sisi lain, mereka yang berada di bawah kita—pegawai pelaksana, tenaga kontrak, honorer, atau staf muda—sering justru tampil dengan energi yang berbeda. Mereka bekerja dengan keikhlasan yang mungkin tidak dimiliki oleh sebagian kita. Mereka tidak banyak tuntutan, tetapi bekerja dengan sepenuh hati.

Ada yang datang lebih pagi, pulang lebih terlambat, masih mau belajar hal-hal baru, dan siap membantu ketika dibutuhkan. Bahkan tidak jarang mereka lebih memahami sistem, teknologi, alur pelayanan, atau dinamika pekerjaan harian dibandingkan orang-orang yang secara struktural berada di atas mereka.

Bukankah situasi seperti ini seharusnya membuat kita malu?

Malu bukan dalam arti rendah diri, melainkan malu dalam arti menyadari kekurangan. Malu sebagai awal kesadaran moral. Sebab Islam dan budaya luhur kita mengajarkan, bahwa ketika kelebihan materi dan status tidak dibarengi kelebihan kinerja dan dedikasi, maka di situlah letak ketimpangan batin. Jabatan itu tidak hanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan atasan, tetapi kelak juga di hadapan Allah yang Maha Mengawasi.

Refleksi ini bukan untuk menyalahkan siapa pun, tetapi untuk mengingatkan diri kita sendiri. Kalau ada staf atau rekan kerja di bawah kita yang lebih kreatif, jangan merasa tersaingi, tetapi jadikan sebagai cermin. Kalau ada honorer yang lebih disiplin, jangan meremehkan, tetapi jadikan sebagai pelajaran. Kalau ada yang lebih rajin dan lebih ikhlas bekerja, maka hendaknya kita bertanya: apa yang membuat kita kehilangan semangat itu, padahal kita yang menerima lebih banyak?

Maka, jalan terbaik adalah kembali pada sikap muhasabah—introspeksi. Kita ingatkan diri bahwa jabatan bukan selamanya. Pangkat bukan ukuran kemuliaan. Yang menjadi nilai sejati adalah manfaat yang diberikan. Siapapun kita tidak harus paling hebat dalam semua hal, tetapi ia harus mau belajar, mau membuka ruang bagi kreativitas orang lain, dan mau mencontohkan ketulusan bekerja.

Mari kita letakkan kembali kesadaran bahwa bekerja adalah ibadah. Bahwa setiap tanggung jawab akan dimintai pertanggungjawaban. Dan bahwa rasa malu kepada Allah dan kepada diri sendiri ketika kita menerima lebih tetapi berbuat kurang, itulah pangkal lahirnya etos kerja yang bermartabat.

Semoga refleksi ini menjadi pengingat yang lembut namun bermakna: bahwa yang terpenting bukan seberapa tinggi jabatan kita, tetapi seberapa besar manfaat kita.[]

Catatan Mahbub Fauzie, Kepala KUA Kec. Atu Lintang, Aceh Tengah

5 1 vote
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 48 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Tiga Kunci Keutuhan Cinta: Kedekatan, Komitmen, dan Gairah dalam Rumah Tangga (Part I)

13 November 2025 - 08:54 WIB

Kunjungan Silaturrahmi Pak Camat Baru di KUA Atu Lintang

12 November 2025 - 15:07 WIB

ASN KUA, Spirit Sinergis dan Semangat Ber-Fastabiqul Khairat

12 November 2025 - 09:44 WIB

AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF FIQIH ISLAM

11 November 2025 - 13:33 WIB

Kesakralan Ijab Kabul dalam Pernikahan

11 November 2025 - 09:02 WIB

STRATEGI ORMAS PEREMPUAN ISLAM MEREBUT RUANG PUBLIK: Studi Muslimat NU dan Aisyiyah

10 November 2025 - 22:53 WIB

Trending di Karya Ilmiah
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x