Menu

Mode Gelap

Opini · 11 Nov 2025 09:02 WIB ·

Kesakralan Ijab Kabul dalam Pernikahan

Penulis: Muhamad Fathul Arifin


 Kesakralan Ijab Kabul dalam Pernikahan Perbesar

Ada satu momen dalam hidup seorang laki-laki yang tak akan pernah terlupakan. Bukan ketika ia naik pangkat, bukan pula saat menerima penghargaan besar, melainkan ketika mengucap kalimat penuh getar dalam pernikahan:

“Saya terima nikahnya…”

Kalimat sederhana itu seolah ringan diucapkan, namun sesungguhnya berat ditanggung. Sebab, di balik ucapan itu tersimpan tanggung jawab dunia dan akhirat. Saat kalimat itu terucap dengan mantap, status seorang lelaki berubah dari bujang biasa menjadi pemimpin dalam rumah tangga, dari perjaka yang bebas menjadi penjaga amanah Allah. Ijab kabul bukan sekadar ritual adat atau syarat sah pernikahan. Ia adalah ikrar agung yang disaksikan oleh malaikat dan dicatat oleh Allah. Dalam momen itu, dua keluarga menjadi satu, dua hati berpadu, dan dua takdir bertaut. Allah ﷻ menggambarkan ikatan pernikahan sebagai perjanjian yang sangat kuat, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَّاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًا

“Dan mereka (para istri) telah mengambil dari kalian perjanjian yang kuat (mitsaqan ghalizha).” (QS. An-Nisa: 21)

Ayat ini menegaskan bahwa ijab kabul bukan sekadar kesepakatan sosial, tetapi perjanjian spiritual yang memiliki dimensi keilahian. Karena itu, Rasulullah ﷺ tidak pernah menganggap enteng pernikahan. Ia memuliakannya, menjadikannya sunnah, dan menyebutnya sebagai penyempurna separuh agama. Sering kali calon pengantin menganggap ijab kabul hanya formalitas, sekadar “acara resmi” di depan penghulu. Padahal, di balik detik-detik itu ada getaran iman dan kesadaran ibadah. Setiap kata yang keluar dari lisan pengantin pria adalah bentuk kesediaan untuk menanggung beban tanggung jawab, cinta, dan amanah dari Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:

النِّكَاحُ سُنَّتِيْ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ

“Nikah itu adalah bagian dari sunnahku. Barang siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” (HR. Ibnu Majah)

Hadis ini menegaskan bahwa ijab kabul bukanlah seremoni, tetapi langkah spiritual menuju kehidupan yang diridhai Allah. Maka tak heran, banyak calon pengantin yang menangis setelah mengucapkannya, bukan karena gugup, tapi karena hati mereka tersentuh oleh makna agung di balik lafadz yang baru saja terucap. Begitu ijab kabul terucap, maka secara syariat seorang suami memikul tiga amanah besar yaitu, menjaga, menafkahi, dan memuliakan istri. Cinta yang sebelumnya hanya diungkap lewat kata-kata, kini berubah menjadi tanggung jawab dan ibadah. Rasulullah ﷺ bersabda :

خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (HR. Tirmidzi)

Artinya, kebaikan seorang lelaki bukan diukur dari tutur katanya di depan banyak orang, melainkan dari cara ia memperlakukan istrinya setelah ijab kabul diucapkan. Setiap nafkah yang diberikan, setiap perlindungan yang ditawarkan, dan setiap kasih yang ditanamkan akan bernilai pahala di sisi Allah. Bayangkan, sebelum ijab kabul, seorang laki-laki dan perempuan tidak halal untuk bersentuhan, berbicara lembut, apalagi bersama dalam satu atap. Tapi hanya dengan satu kalimat, “Saya terima nikahnya…”, seluruh hukum berubah, yang sebelumnya haram menjadi halal, yang terlarang menjadi berpahala. Bukankah itu bukti betapa ijab kabul adalah momen ilahi yang luar biasa?

Dalam sekejap, dua jiwa yang sebelumnya terpisah kini diikat dalam perjanjian suci. Tidak ada ritual duniawi lain yang bisa mengubah hukum dan takdir sedalam ini kecuali ijab kabul. Maka bagi para calon pengantin, hadirlah dengan kesadaran penuh di momen itu. Ucapkan ijab kabul bukan dengan gugup semata, tapi dengan hati yang sadar, ikhlas, dan bergetar karena Allah. Jangan biarkan momen itu berlalu hanya sebagai seremoni, karena sesungguhnya di situlah pintu surga mulai terbuka. Rasulullah ﷺ berdoa untuk pasangan yang menikah:

بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي الْخَيْرِ

“Semoga Allah memberkahimu dan melimpahkan keberkahan atasmu, serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Doa itu bukan sekadar ucapan selamat, tapi pengharapan agar cinta yang baru tumbuh selalu berbuah berkah dan kebaikan.

Akhir,

Pernikahan bukan ajang coba-coba. Ijab kabul adalah sebuah janji suci yang kelak akan ditagih di hadapan Allah. Karena itu, hendaklah setiap calon pengantin menyiapkan diri, bukan hanya dengan pakaian indah atau acara megah, tapi dengan hati yang siap beribadah dan bertanggung jawab. Ingatlah, ijab kabul bukan akhir dari sebuah kisah cinta, melainkan awal dari ibadah panjang yang penuh perjuangan dan pahala. Ketika engkau mengucap “Saya terima nikahnya…,” langit pun bergetar karena tahu bahwa hari itu, dua jiwa telah berjanji di hadapan Allah, bukan untuk saling menyenangkan sesaat, tapi untuk saling menuntun menuju surga.

  • Muhamad Fathul Arifin – KUA Kesugihan, Cilacap
5 1 vote
Article Rating
Artikel ini telah dibaca 23 kali

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
Lihat seluruh komentar
Baca Lainnya

Tiga Kunci Keutuhan Cinta: Kedekatan, Komitmen, dan Gairah dalam Rumah Tangga (Part I)

13 November 2025 - 08:54 WIB

Kunjungan Silaturrahmi Pak Camat Baru di KUA Atu Lintang

12 November 2025 - 15:07 WIB

ASN KUA, Spirit Sinergis dan Semangat Ber-Fastabiqul Khairat

12 November 2025 - 09:44 WIB

AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF FIQIH ISLAM

11 November 2025 - 13:33 WIB

STRATEGI ORMAS PEREMPUAN ISLAM MEREBUT RUANG PUBLIK: Studi Muslimat NU dan Aisyiyah

10 November 2025 - 22:53 WIB

Refleksi Etika dan Kesadaran Diri dalam Dunia Pegawai

9 November 2025 - 07:17 WIB

Trending di Opini
0
Ada ide atau tanggapan? Share di kolom komentar!x
()
x