Ketika seorang anak melewati perjalanan panjang menuju pernikahan, dari masa sekolah yang penuh cerita, masa muda yang penuh ambisi, hingga akhirnya datang pada hari ijab Kabul pernikahan. Ada satu hati yang paling sibuk diam-diam dalam do’a, ialah hati seorang ibu. Dialah yang pertama merasakan getar bahagia ketika kita bercerita tentang calon pasangan. Dialah yang paling sering menyebut nama kita dalam sujudnya, bahkan tanpa kita tahu. Dan dialah yang rela menahan tangis pada hari pernikahan, seolah berkata dalam hati:
“Pergilah, Nak… bangun rumah tanggamu. Tapi ketahuilah, doa ibu akan selalu berjalan di belakangmu.”
Hari pernikahan, bagi sebagian orang, adalah pesta dan perayaan. Tapi bagi ibu, hari itu adalah sebuah perpisahan kecil. Tidak sepenuhnya kehilangan, tetapi juga bukan sepenuhnya sama seperti dulu. Ada ruang di rumah yang terasa lebih kosong. Ada piring yang tak lagi tersentuh. Ada panggilan “Bu, aku pulang…” yang tak lagi sesering dulu terdengar. Namun, seorang ibu tidak pernah benar-benar melepas. Ia hanya mengirimkan sebagian hatinya untuk ikut menguatkan rumah tanggamu.
Dalam sebuah hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda:
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ, وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ اَلْوَالِدَيْنِ
“Ridha Allah tergantung pada ridha kedua orang tua, dan murka Allah tergantung pada murka keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini bukan hanya nasihat agar kita berbakti, tetapi juga pengingat bahwa restu ibu adalah salah satu kunci keberkahan rumah tangga. Bila doa seorang ibu mengalir, seringkali pintu-pintu kemudahan ikut terbuka. Hadis sahih yang mengingatkan betapa istimewanya ibu:
جَاءَ رَجُلٌ إلى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ، فَقالَ: مَن أَحَقُّ النَّاسِ بحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قالَ: أُمُّكَ قالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قالَ: ثُمَّ أُمُّكَ قالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قالَ: ثُمَّ أُمُّكَ قالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قالَ: ثُمَّ أَبُوكَ. وفي حَديثِ قُتَيْبَةَ: مَن أَحَقُّ بحُسْنِ صَحَابَتي وَلَمْ يَذْكُرِ النَّاسَ
Artinya: “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu ia berkata; ‘Siapakah orang yang paling berhak dengan perlakuan yang baik dariku?’ Beliau menjawab; ‘Ibumu’. Laki-laki itu bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?’ Beliau menjawab; ‘Ibumu’. Laki-laki itu bertanya lagi; ‘Kemudian siapa?’ Beliau menjawab; ‘Ibumu’. Laki-laki itu bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?’ Beliau menjawab; ‘Ayahmu.”
Tiga kali disebut. Seakan Allah ingin menegaskan: Ibu adalah pintu kebaikan yang paling luas, paling lembut, dan paling mudah dijangkau. Banyak pasangan yang tidak menyadari: terkadang rumah tangga mereka kuat bukan hanya karena usaha mereka, tetapi karena doa ibu yang terus naik ke langit. Doa yang mungkin lebih panjang dari doa mereka sendiri. Doa yang tidak mengharap balasan apa pun.
Ketika rezeki terasa lapang, mungkin itu karena ibu pernah bersedekah sambil berbisik,
“Ya Allah, lapangkanlah rezeki anakku.”
Ketika konflik rumah tangga mereda dengan sendirinya, mungkin itu karena ibu menangis dalam tahajud memohonkan
“Ya Allah, lembutkan hati mereka berdua.”
Ketika jalan hidup terasa ringan, mungkin itu karena doa yang kita bahkan tidak pernah dengar, tapi Allah mendengarnya dengan sangat jelas. Ada waktu yang tidak ingin kita hadapi, tetapi pasti tiba: saat ibu dipanggil Allah pulang. Saat itu kita merasakan kehampaan yang sulit dijelaskan. Ada yang hilang dalam hidup, seolah sebagian doa yang dulu menjaga tidak lagi ada. Rumah tangga yang dulu terasa punya perisai, kini harus berdiri dengan kekuatan sendiri.
Di sinilah kita mulai mengerti:
- Bahwa kasih sayang ibu bukan teori
- Bahwa nasihatnya dulu bukan omong kosong
- Bahwa kerinduan kepadanya bisa datang tiba-tiba
- Dan bahwa tidak ada doa yang sedahsyat doa seorang ibu
Namun, cinta tidak berhenti ketika ibu tiada. Justru kita diberi kesempatan untuk mengirimkan cinta kita dalam bentuk doa.
Seperti sabda Nabi ﷺ:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, atau do’a anak yang shalih.” (HR. Muslim no. 1631)
Mendoakan ibu bukan sekadar kewajiban, namun itu adalah salah satu cara kita meneruskan cinta yang selama ini ia beri tanpa batas. Motivasi untuk Pasangan Suami Istri: Rawat Orang Tuamu, Maka Allah Merawat Rumah Tangga Kalian
Sebagai pengantin baru maupun yang sudah lama menikah, ingatlah bahwa, Jangan biarkan pernikahan menjauhkanmu dari ibu. Pasangan adalah belahan jiwa, tapi ibu adalah asal kehidupan. Kemudian jangan merasa dewasa lalu melupakan nasihat ibu. Boleh jadi rumah tangga kita berjalan mulus karena ibu sudah lebih dulu melewati badai yang sama. Saat ibu masih hidup, bahagiakan dia. Kadang cukup dengan satu panggilan singkat: “Bu… sehat ya? Doakan kami selalu rukun.” Itu saja sudah membuat hatinya berbunga-bunga sepanjang hari. Saat ibu telah tiada, jadilah anak yang dirindukan langit. Doakan ia dalam setiap sujud. Sedekahkan sesuatu atas Namanya. Sebut namanya dengan hormat. Karena kelak, di hari kita kembali pada Allah, kitalah yang akan berharap doa dari anak-anak kita sendiri.
Akhir,
Dalam dunia yang serba cepat ini, kita kadang lupa bahwa ada cinta paling tulus, paling sunyi, dan paling dalam yang tak tergantikan yaitu cinta ibu.
Ia mungkin tidak selalu pandai merangkai kata.
Ia mungkin tidak pernah mengeluh meski lelah.
Ia mungkin tidak pernah bilang “Aku bangga padamu” dengan lantang.Tetapi lihatlah bagaimana ia selalu mendoakan kita… bahkan di saat kita tidak meminta.
Karena bagi ibu, anak adalah doa yang ia bawa sejak rahim, hingga napas terakhir.
Semoga setiap rumah tangga diberi keberkahan melalui ridha orang tua. Semoga Allah menjaga ibu-ibu kita. Dan bagi ibu yang telah tiada, semoga Allah lapangkan kuburnya, terangkan jalannya, dan jadikan doa-doa kita sebagai cahaya untuk mereka.
Aamiin.
- Muhamad Fathul Arifin – KUA Kesugihan, Cilacap








