AKIBAT HUKUM DARI SEORANG WALI YANG WALI ADHOL DENGAN PUTUSAN PA PINDAH KE KEPALA KUA SEBAGAI WALI HAKIM

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Disusun oleh:

Yayan Nuryana

 

 

 

 

KATA PENGANTAR

 

 

 

Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, atas berkat rahmat serta hidayah-Nya sehingga Makalah dengan judul “Akibat Hukum Dari Seorang Wali yang  Adhal dengan Putusan PA Pindah ke Kepala KUA Sebagai Wali Hakim ” dapat tersusun hingga selesai.

Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangsih baik pikiran maupun materinya. Khususnya kepada, Pustaka Penghulu yang berkenan menampilkan tulisan ini di beranda Artikel semoga menambah khasanah pembelajaran dan pengetahuan.

Harapan penulis Artikel ini dapat menjadi sarana menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.. Kami sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami berharap kritik dan saran yang dapat membangun dari pembaca demi tercapainya kesempurnaan makalah.

 

 

 

 

 

 

Purwakarta, 22 Mei 2024

 

 

Penyusun

 

DAFTAR ISI

 

 

 

 

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………. ii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………….. iii

BAB I……………………………………………………………………………………………………….. 2

PENDAHULUAN………………………………………………………………………………………. 2

  1. Latar Belakang…………………………………………………………………………………… 2
  2. Rumusan Masalah……………………………………………………………………………….. 4
    1. Apa Pengertian wali nikah?……………………………………………………………………. 4
    2. Bagaimana kedudukan wali nikah?…………………………………………………………. 4
    3. Apa yang di maksud Wali Adhal, Wali hakim dan Bagaimana tatacara penyelesain wali adhal? 4
    4. Bagaimana akibat hukum Seorang wali adhal dengan putusan PA Pindah ke Kepala KUA sebagai Wali Hakim ?…………………………………………………………………………………………………….. 4
  3. Tujuan Masalah………………………………………………………………………………….. 4
    1. Untuk dapat mengetahui pengertian wali nikah…………………………………………. 4
    2. Untuk dapat menjelaskan kedudukan wali nikah……………………………………….. 4
    3. Untuk dapat mengrtahui apa yang dimaksud wali adhal,wali hakim dan dapat menjelaskan Tatacara penyelesaian wali adhal……………………………………………………………………………….. 4
    4. Untuk dapat menjelaskan akibat hukum wali adhal dengan putusan PA pindah ke Kepala KUA sebagai wali hakim………………………………………………………………………………………………………… 4

BAB II………………………………………………………………………………………………………. 5

PEMBAHASAN…………………………………………………………………………………………. 5

  1. Wali Nikah………………………………………………………………………………………….. 5
  2. Kedudukan Wali Nikah………………………………………………………………………… 6
  3. Wali Adhal dan Wali Hakim serta Tata cara Penyelesaian Wali adhal……… 8
    1. Pengertian Wali Adhal…………………………………………………………………………. 8
    2. Pengertian Wali Hakim………………………………………………………………………… 9
    3. Tata cara Penyelesaian Wali Adhal dan Penunjukan Wali hakim…………… 10
  4. Akibat Hukum Wali Adhal dengan Putusan PA Pindah ke Kepala KUA Sebagai Wali Hakim 13

BAB III…………………………………………………………………………………………………… 15

PENUTUP……………………………………………………………………………………………….. 15

  1. Kesimpulan……………………………………………………………………………………….. 15
  2. Saran………………………………………………………………………………………………… 15

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………… 16

 

BAB I PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

 

Perkawinan dalam Islam diartikan sebagai salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Perkawinan dalam Islam merupakan ibadah yang mulia, Al-Qur’an menyebutnya sebagai akad yang mīṡāqon ghalīẓan atau perjanjian yang sangat kuat. Karena itulah perkawinan dilaksanakan dengan sempurna dan mengikuti peraturan yang ditetapkan Allah Swt. dan RasulNya agar tercapai rumah tangga yang tenang, penuh cinta dan kasih sayang.

 

Adapun dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Guna merealisasikan tujuan perkawinan tersebut, harus dilaksanakan dengan memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu. Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, untuk melaksanakan perkawinan harus ada calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab serta Kabul. Jelasnya perkawinan tidak sah apabila salah satu dari lima hal di atas tidak terpenuhi.

 

Adapun jumhur ulama berpendapat, keberadaan seorang wali dalam akad nikah merupakan sesuatu yang harus ada dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali yang berhak menikahkan. Hal ini berlaku untuk semua perempuan yang dewasa atau masih kecil, masih perawan, atau sudah janda.

 

Namun pada realitas yang terjadi, wali nikah seringkali menjadi permasalahan atau halangan dalam melangsungkan suatu perkawinan karena seorang ayah yang wajib baginya untuk menjadi wali nikah anak perempuannya namun enggan menikahkannya karena beberapa alasan yang seharusnya tidak menutup kemungkinan bagi sang ayah enggan untuk menjadi walinya dan beberapa alasan yang membuat terhambatnya proses pernikahan. Wali yang menolak atau tidak bersedia menikahkan disebut dengan istilah adhal (enggan). Dalam peraturan menteri agama disebutkan bahwa wali adhal ialah wali nasab yang mempunyai kekuasaan untuk menikahkan mempelai wanita yang berada dibawah perwaliannya, tetapi tidak bisa atau bahkan tidak mau menikahkan sebagaimana layaknya seorang wali tersebut.

Perkawinan menurut Hukum Islam adalah sah dengan adanya wali nikah (wali nasab), apabila wali nasab tidak ada, mafqud (tidak diketahui dimana berada) berhalangan tidak memenuhi syarat atau ad}al (menolak) maka wali nikahnya adalah Wali hakim.Kompilasi Hukum Islam Pasal 23 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa Ayat (1) : wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila Wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghoib atau ad}al atau enggan. Sementara dalam ayat (2) juga disebutkan bahwa Dalam hal Wali ad}al atau enggan maka Wali hakim baru dapat bertindak sebagai Wali nikah setelah ada Putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Kantor Urusan Agama (KUA) adalah instansi Kementrian Agama yang bertugas melakukan sebagian tugas Kantor Kementrian Agama Kabupaten/Kota di bidang urusan agama Islam untuk wilayah kecamatan. keberadaan Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan bagian dari institusi pemerintahan daerah yang bertugas memberikan pelayanan-pelayanan kepada masyarakat dibidang agama Islam. Dalam melaksanakan kewenangannya Kantor Urusan Agama (KUA) memiliki tugas pokok dan fungsi yang diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 34 Tahun 2016. salah satu tugas pokok Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai

 

bentuk kewenangannya adalah melayani pelaksanaan nikah atau rujuk kepala Kantor Urusan Agama (KUA) dalam hal ini bukan hanya melayani pelaksanaan nikah atau rujuk tetapi memediasikan permasalahan wali ‘adal. Adapun ketika permasalahan tidak mendapatkan titik temu akan di selesaikan oleh pihak pengadilan agama untuk penunjukan wali hakim.Berdasarkan dari latar belakang diatas maka penulis tertarik membuat penelitian dalam judul bentuk skripsi dengan judul “Akibat Hukum Dari Seorang Wali yang Wali Adhal dengan Putusan PA Pindah ke Kepala KUA Sebagai Wali Hakim ”.

 

B.      Rumusan Masalah

  1. Apa Pengertian wali nikah?
  2. Bagaimana kedudukan wali nikah?
  3. Apa yang di maksud Wali Adhal, Wali hakim dan Bagaimana tatacara penyelesain wali adhal?
  4. Bagaimana akibat hukum Seorang wali adhal dengan putusan PA Pindah ke Kepala KUA sebagai Wali Hakim ?

 

C.     Tujuan Masalah

  1. Untuk dapat mengetahui pengertian wali nikah
  2. Untuk dapat menjelaskan kedudukan wali nikah
  3. Untuk dapat mengrtahui apa yang dimaksud wali adhal,wali hakim dan dapat menjelaskan Tatacara penyelesaian wali adhal
  4. Untuk dapat menjelaskan akibat hukum wali adhal dengan putusan PA pindah ke Kepala KUA sebagai wali hakim

 

 

 

BAB II PEMBAHASAN

 

 

A.     Wali Nikah

Wali menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah memberikan kuasa kepada seseorang untuk menguasai orang atau barang, dan dalam perkawinan wali yaitu perwalian atas orang dalam perkawinannya.

Wali secara bahasa adalah rasa cinta (mahabbah) dan pertolongan (nushrah) bisa juga berarti kekuasaan (sulthah) dan kekuatan (qudrah). Sedangkan secara istilah, fuqaha memiliki makna kemampuan untuk langsung bertindak dengan tanpa bergantung kepada izin seseorang atau kekuasaan yang dimiliki seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpan harus bergantung atas izin orang lain. Orang yang melaksanakan akad ini dinamakan wali.Wali juga berupa suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuatu dengan bidang hukumnya. Wali itu ada yang umum dan yang khusus. Pengertian yang khusus ialah yang berkenaan dengan manusia dan harta benda, yang dibicarakan disini adalah wali terhadap manusia, yaitu masalah perwalian dalam perkawinan.

Menurut bahasa perkataan wali adalah berasal dari bahasa Arab yang berarti pemilik kekuasaan.27 Sedangkan mengartikan wali menurut istilah, penulis kemukakan beberapa pendapat dari para ahli, antara lain:

  1. Menurut Sayyid Sabiq, mengartikan wali ialah hak yang bersifat syar’i yang menuntut suatu perintah dari orang lain dengan
  2. Menurut Muhammad Abu Zahrah, bahwa perwalian (wali) ialah suatu wewenang untuk mengadakan akad secara
  3. Menurut TM. Hasby As-Siddiqi, bahwa wali menurut ahli fiqih ialah kekuasaan bertasarruf dan melaksanakanya mengenai akad

 

nikah ialah kekuasaan tersebut bersifat zatiyah bagi orang yang mempunyai kemampuan bertindak hukum secara sempurna atas dirinya dan hartanya, dan kekuasaan itu dapat mengenai orang lain karena disebabkan oleh hal yang lain. Dan ada kalanya kekuasaan bersifat asli yang timbul karena suatu urusan dan adakalanya kekuasaan bersifat perwakilan yaitu timbul karena diperoleh dari orang lain.

Adapun Pasal 1 huruf (h) KHI menjelaskan bahwa perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum.45 Pasal 19 KHI, menyatakan wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.46

Amir Syarifuddin mengatakan, wali nikah adalah orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilaksanakan oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan perempuan yang dilakukan oleh walinya.Wali nikah merupakan unsur yang penting bagi mempelai wanita yang akan bertindak untuk menikahkannya karena wali nikah merupakan rukun nikah, dan apabila tidak ada pernikahan tersebut tidak sah.

 

B.      Kedudukan Wali Nikah

Orang yang menikahkan seorang perempuan adalah wali yang bersangkutan, apabila wali yang bersangkutan sanggup bertindak sebagai wali. Ada kalanya wali tidak hadir atau karena sesuatu sebab ia tidak dapat bertindak sebagai wali, maka hak kewaliaanya berpindah kepada orang lain. Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari orang yang paling berhak, yaitu mereka yang paling dekat atau wali aqrab, lebih kuat hubungan darahnya. Jumhur ulama, seperti Imam Malik, Imam Syafii,

 

mengatakan bahwa wali itu adalah ahli waris dan diambil dari garis ayah, bukan dari garis ibu.

Dalam surat Q.S. Al-Baqarah [2]: 232 untuk mengarah untuk para wali dan para perempuan yang hendak dinikahkan. Perempuan- perempuan yang sudah diceraikan oleh suaminya, kemudian telah habis masa iddahnya dan ia berhak atas dirinya sendiri. Adanya larangan wali agar tidak menghalang-halangi perempuan tersebut untuk menikah lagi dengan orang yang mereka sukai. Itu merupakan suatu nasehat yang diberikan oleh Allah SWT agar wali tidak menghalangi perempuan untuk menikah.

Pendapat Imam Syafi’i yang dikutip oleh Fatihuddin Abul Yasin dalam bukunya Risalah Hukum Nikah dijelaskan bahwa yang paling berhak menikahakan adalah wali yang paling dekat hubungannya dengan mempelai perempuan (wali aqrab), sehingga urutan para wali dimulai dari ayah, kakek dan seterusnya, sehingga ayah lebih baik berhak menikahkan dibanding kakek. Seorang perempuan yang hendak menikah disyaratkan harus menghadirkan wali, berarti tanpa wali nikah itu batal menurut hukum Islam atau nikahnya tidak sah. Dari hadis Rasulullah Saw. yang lain riwayat Imam Ahmad, dikatakan oleh Rasullullah Saw., bahwa:

  1. Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang
  2. Jangan menikahkan perempuan akan perempuan yang lain dan jangan pula seorang perempuan menikahkan dirinya (riwayat Daruqutni, dan diriwayatkan kembali oleh Ibnu Majah).
  3. Tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya, nikahnya adalah batal, batal, batal, tiga kali kata batal itu diucapkan oleh Rasullullah untuk menguatkan kebatalan nikah tanpa izin wali pihak perempuan (berasal dari istri Rasulullah: Siti Aisyah)

Pada prinsipnya yang berhak menjadi wali adalah wali nasab, yakni wali yang berasal dari pihak keluarga perempuan dan apabila wali nasab sama sekali tidak ada, maka yang berhak menikahkan adalah wali hakim.

 

Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah yakni Menteri Agama yang di wakili oleh Kepala KUA setiap wilayah.

Para ulama mazhab sepakat bahwa wali dan orang-orang yang menerima wasiat untuk menjadi wali, dipersyaratkan harus baligh, mengerti, dan seagama, bahkan banyak diantara mereka yang mensyaratkan bahwa wali itu harus adil, sekalipun ayah dan kakek. Begitu pula menurut mazhab Hambali yang di kutip oleh Wahbah Az-Zuhaili, dalam buku Fiqih Islam yang menyatakan bahwa pernikahan seorang perempuan tidak sah kecuali dengan adanya wali, maka jika seorang perempuan mengawinkan dirinya atau dikawinkan orang lain, seperti anak perempuannya atau seorang perempuan mewakilkan orang lain yang selain suaminya untuk mengawinkannya, walaupun dengan izin walinya dalam ketiga gambaran tadi, maka tidak sah pernikahnnya karena tidak terpenuhinya syaratnya.

 

C.     Wali Adhal dan Wali Hakim serta Tata cara Penyelesaian Wali adhal

 

1.      Pengertian Wali Adhal

Kata adhal menurut bahasa (etimologi) berasal dari bahasa Arab yaitu عضل – يعضل – عضل.  Adhal secara bahasa berarti menolak menikahkan anak.92 Pengertian lain yaitu menekan, mempersempit, mencegah, menghalangi, menahan kehendak. 93 Sedangkan secara istilah adhal ialah penolakan wali untuk menikahkan anak perempuan yang berakal dan sudah baligh dengan laki-laki yang sepadan dengan perempuan itu. Jika perempuan tersebut telah meminta (kepada walinya) untuk dinikahkan dan masing-masing calon mempelai itu saling mencintai, maka penolakan demikian menurut syara’ dilarang. Dari definisi tersebut, wali adhal mengandung minimal lima unsur, yaitu:

  1. Penolakan (keengganan) wali untuk menikahkan calon mempelai
  2. Telah ada permintaan atau permohonan dari calon mempelai perempuan agar dirinya dinikahkan dengan calon mempelai laki-laki.

 

  1. Kafa’ah antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai
  2. Adanya perasaan saling menyayangi atau mencintai di antara masing- masing calon mempelai.
  3. Alasan penolakan (keengganan) wali tersebut bertentangan dengan syara’.

Para ulama sepakat bahwa wali tidak boleh menolak untuk menikahkan perempuan yang ada di bawah perwaliannya.Apabila wali menolak untuk menikahkannya maka perempuan itu boleh mengajukan perkaranya kepada qadhi agar ia dapat dinikahkan. Apabila seorang perempuan telah meminta kepada walinya untuk dinikahkan dengan seorang laki-laki yang sekufu dengannya. Jika wali keberatan dengan tidak ada alasan, maka hakim berhak menikahkannya setelah ternyata bahwa keduanya sekufu dan setelah memberi nasihat kepada wali agar mencabut keberatannya itu.

 

2.      Pengertian Wali Hakim

Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 22 dan pasal 23 apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain derajat berikutnya. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan. Dalam wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut.

Selanjutnya yang berhak menjadi Wali Hakim yaitu : Dalam hal ini KHI menjelaskan pada pasal 1 huruf b bahwa: “Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah” KHI memang tidak menyebutkan siapa yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk

 

bertindak sebagai wali hakim, namun sebelum KHI lahir, telah ada Peraturan Menteri Agama yang menjelaskan hal ini. Pasal 4 Peraturan Menteri Agama No.2 Tahun 1987 menyebutkan :

  1. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawai Pencatat Nikah ditunjuk menjadi wali hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan
  2. Apabila Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan Agama Islam Kabupaten atau Kotamadya diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk wakil atau pembantu Pegawai Pencatat Nikah untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya.

 

3.      Tata cara Penyelesaian Wali Adhal dan Penunjukan Wali hakim

Dalam Kompilasi Hukum Islam telah memberikan penjelasan pada Pasal 19 sampai dengan Pasal 23. Pengertian menurut Pasal 19, “Wali Nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.” Pasal 20, ayat (1) “Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat Hukum Islam, yakni Muslim, Aqil dan Baligh.” Ayat (2), “Wali nikah terdiri dari: a. Wali Nasab; b. Wali Hakim”.

Wali hakim ialah wali yang menggantikan posisi wali nasab karena wali nasabnya tidak diketahui keberadaannya atau mafqud, dan apabila wali nasabnya enggan atau adhal. Posisinya sebagai wali adalah pengganti, bukan wakil dari wali nasab, oleh sebab itu izin penuh terdapat pada wali hakim. Adapun ketentuan mengenai Wali Hakim dalam KHI diatur dalam Pasal 23, yang bunyi ketentuannya adalah: ayat (1), “Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adhal atau enggan.” Ayat (2). “Dalam hal wali adhal atau enggan maka Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada

 

putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut”. Demikian menurut Kompilasi Hukum Islam, bahwa bagi perempuan yang tidak memiliki wali nasab karena wali nasabnya adhal, maka ia akan dinikahkan oleh wali hakim.

Secara hukum, prosedur penetapan wali adhal diatur di dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Nikah, Pasal 2 menyatakan:

  1. Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau luar negeri atau luar negeri atau wilayah extra territorial Indonesia, ternyata tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasab yang tidak memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau adhal, maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan wali hakim.
  2. Untuk menyatakan adhalnya wali ditetapkan dengan penetapan pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.
  3. Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan ‘adhal nya wali dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan wali calon mempelai wanita.

Sedangkan wali ‘adhal dipaparkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 23 bahwa:

  1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau ‘adhal atau
  2. Dalam hal wali ‘ad}al atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali

Tatacara Penyelesaian Wali adhal :

  1. Untuk menetapkan adholnya wali harus ditetapkan dengan keputusan Pengadilan
  2. Calon mempelai wanita yang bersangkutan mengajukan permohonan penetapan ‘adhal nya wali dengan “Surat Pemohon”.

 

  1. Surat pemohon tersebut memuat: Identitas calon mempelai wanita sebagai “pemohon”, uraian tentang pokok perkara, Petitum, yaitu mohon ditetapkan ‘adhal nya wali dan ditunjuk wali hakim untuk
  2. Permohonan diajukan ke Pengadilan Agama di tempat tinggal calon mempelai wanita (pemohon).
  3. Perkara penetapan ‘adhal nya wali berbentuk
  4. Pengadilan Agama menetapkan hari sidangnya dengan memanggil pemohon dan memanggil pula wali pemohon tersebut untuk didengar
  5. Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan ‘adhal nya wali dengan cara
  6. Apabila pihak wali sebagai saksi utama telah dipanggil secara resmi dan patut namun tetap tidak hadir sehingga tidak dapat didengar keterangnya, maka hal ini dapat memperkuat ‘adhal nya
  7. Apabila pihak wali telah hadir dan memberikan keteranganya maka harus dipertimbangkan oleh hakim dengan mengutamakan kepentingan
  8. Untuk memperkuat ‘adhal nya wali, maka perlu didengar keterangan saksi-saksi.
  9. Apabila wali yang enggan menikahkan tersebut mempunyai alasan-alasan yang kuat menurut hukum perkawinan dan sekiranya perkawinan tetap dilangsungkan justru akan merugikan pemohon atau terjadinya pelanggaran terhadap larangan perkawinan, maka permohonan pemohon akan
  10. Apabila hakim berpendapat bahwa wali telah benar-benar ‘ad}al dan pemohon tetap pada permohonanya maka hakim akan mengabulkan permohonan pemohon dengan menetapkan adholnya wali dan menunjuk kepada KUA Kecamatan, selaku Pegawai Pencatat Nikah (PPN), di tempat tinggal pemohon untuk bertindak sebagai wali hakim.
  11. Terhadap penetapan tersebut dapat dimintakan

 

  1. Sebelum akad nikah dilangsungkan, wali hakim meminta kembali kepada wali nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita, sekalipun sudah ada penetapan Pengadilan Agama tentang ‘adhal nya wali.
  2. Apabila wali nasabnya tetap ‘adhal, maka akad nikah dilangsungkan dengan wali hakim.
  3. Pemeriksaan dan penetapan ‘adhal nya wali bagi calon mempelai wanita warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri dilakukan oleh wali hakim yang akan menikahkan calon mempelai
  4. Wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dapat ditunjuk pegawai yang memenuhi syaat menjadi wali hakim, oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji atas nama Menteri

 

D.     Akibat Hukum Wali Adhal dengan Putusan PA Pindah ke Kepala KUA Sebagai Wali Hakim

 

Akibat hukum yang timbul dari wali adhal adalah berpindahnya kewalian dari wali nasab kepada wali hakim. Setelah dilaksanakan akad nikah oleh wali hakim maka perkawinannya sah. Kewenangan wali hakim sebagai wali nikah dimana menurut fiqih munakahat merupakan kewewenangan dari shari’at yang diberikan kepada Pemimpin atau Kepala Negara yang berfungsi sebagai pengganti wali nasab yang tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagai wali nikah disebabkan oleh halangan- halangan yang dibenarkan oleh syar’i. Halangan-halangan tersebut dapat bersifat pribadi, salah satunya adalah disebabkan karena wali Adhal.

Berdasarkan hal tersebut maka, dalam perkara yang terjadi untuk memutuskan siapakah yang paling tepat untuk ditunjuk sebagai wali hakim maka, sebagaimana termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf b bahwa “Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh menteri agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah “. Maka, dalam hal ini yang paling berhak

 

menjadi wali hakim dari pemohon adalah Kepala KUA yang berada di wilayahnya.

Kepala KUA dapat bertindak sebagai wali hakim atas nama calon mempelai wanita yakni mempelai wanita. Keberadaan wali hakim sabagai pengganti wali Adlal sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga pernikahan yang dilakukan dianggap sah baik dimata agama ataupun dimata hukum hal ini disukung oleh pendapat bahwa suatu perkawinan akan dianggap sah atau mempunyai kekuatan hukum jika pelaksanaan pernikahan itu sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang telah ditetapkan oleh Sang Pembuat Hukum yakni Allah SWT.

 

BAB III PENUTUP

 

A.      Kesimpulan

Pada umumnya faktor penyebab terjadinya wali adhal dalam perkawinan adalah karena faktor perbedaan suku bangsa, berbeda agama, tidak sederajat/ tidak kufu dalam kehidupan sosial ekonomi dan mempelai laki-laki tidak diketahui dengan jelas mengenai asal usulnya. Untuk menyelesaikan wali adhal harus melalui prosedur yang berlaku dan keputusan Pengadilan Agama. Adapun Akibat hukum yang timbul dari wali adhal adalah berpindahnya kewalian dari wali nasab kepada wali hakim. Setelah dilaksanakan akad nikah oleh wali hakim maka perkawinannya sah.

 

B.      Saran

Kepada pihak calon mempelai untuk meminta izin dan persetujuan

dari wali nasab. karena wali nasab merupakan pemegang peran sah dan tidaknya akad nikah. Kepada pihak wali nasab agar tidak berbuat adhal/enggan menikahkan anak kandungnya, karena yang demikian dapat memutuskan silaturrahmi dengan orang tua dan keluarga.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abidin, Slamet 1999, Fiqh Munakahat, Jilid II Bandung, CV Pustaka Setia.

 

Arikunto, Suharsimi, 2010, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, PT Jaya Abadi.

Al-Juzairi, Syaikh Abdurrahman. 2012. Fikih Empat Mazhab. Jakarta:Pustaka Al- Kautsar Rineka Cipta.

Az-Zuhaili, Wahbah, 2011, Fiqih IslamWa Adillatuhu (Pernikahan, Talak, Khuluk, Mengila’ Istri, li’an, zihar, Masa Iddah, Jilid 9, Jakarta, Gema Insani.

Dahlan, Abdul Aziz, 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, Ishtiar Baru Van Voevo.

Dahlan, Dasrizal, 2003, Putusnya Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Perdata Barat (BW): Tinjauan Hukum Islam, Jakarta, PT. Kartika Insan Lestari.

Ghozali, Abdul Rahman, 2003, Fiqih Munakahat, Jakarta, Kencana. Halim, Abdul, 2020, Pencatatan Perkawinan Menurut Hukum Islam.

HS, Salim, 2013, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta, CV Rajawali. Humam, Ibnu, 1970, Syarh Fath Al-Qadi. Cairo, Musthafa Al-Babiy Al-Halabiy

2 thoughts on “AKIBAT HUKUM SEORANG WALI YANG ADHOL

  1. Kepala KUA sebagai wali hakim dalam Pelaksanaan wali adhol jarang terjadi, karena itu Artikel ini sangat membantu sebagai reperensi literasi sebagai dasar dalam melaksanakan tupoksinya…
    Terima kasih kepada Kiyai Yayan Nuryana sebagai penulis artikel ini semoga menjadi amal baik…

  2. Kepala KUA sebagai wali hakim dalam Pelaksanaan wali adhol jarang terjadi, karena itu Artikel ini sangat membantu sebagai reperensi literasi sebagai dasar dalam melaksanakan tupoksinya…
    Terima kasih kepada Kiyai Yayan Nuryana sebagai penulis artikel ini semoga menjadi amal baik…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *