Dalam suatu kesempatan Lokakarya Mini tentang stunting di Aula Kecamatan yang penulis hadiri, seorang Narasumber menyampaikan informasi tentang sepasang suami isteri (pasutri) yang kompak menolak rekomendasi untuk ber-KB dari Tim Satgas Percepatan Penurunan Stunting dengan alasan Rasululullah saw menganjurkan agar pasutri memiliki banyak anak.
Pasutri itu dikunjungi Tim sehubungan keduanya telah dikaruniai 3 orang anak yang masih kecil-kecil serta terindikasi kekurangan gizi, dan kini sang isteri kembali sedang mengandung anak yang keempat! Bisa dibayangkan, baby blues syndrome atau gangguan suasana hati pasca melahirkan sebelumnya pun belum pulih, kini ia kembali hamil dan berpotensi mengalami baby blues syndrome lagi, lagi, dan lagi…
Secara psikologis, bila gangguan suasana hati tersebut berkepanjangan, maka akan mengakibatkan gangguan kesehatan mental bagi isteri, seperti mudah marah, sedih yang berlebihan, stres, bahkan depresi. Dan apa yang dialami oleh isteri itu juga bisa merembet kepada suami. Pada akhirnya, keduanya pun sangat berpotensi terganggu kesehatan mentalnya.
Fakta yang disampaikan oleh Tim, dan kemungkinan buruk yang tergambar tersebut membuat Penulis tertegun. Tentu, kondisi demikian tidak bisa digeneralisir bakal terjadi kepada pasutri lain yang juga memiliki pemahaman letterlijk (tekstual) atas ajaran agama seperti pasutri yang diceritakan Tim di atas, karena tentu ada faktor-faktor pemantik lainnya. Namun, kiranya dapat dibayangkan, seperti apa kualitas anak-anak yang menjadi generasi masa depan itu bila dibesarkan oleh orangtua yang mengalami gangguan kesehatan mental.
Berangkat dari titik nadir itu, melalui tulisan singkat ini, penulis ingin mendeskripsikan secara ringkas betapa kesehatan mental yang baik dari orangtua itu akan berpengaruh sangat signifikan terhadap pencegahan stunting pada anak.
***
Kesehatan Mental
Secara sederhana, kesehatan mental itu adalah kesehatan yang berkaitan dengan kondisi emosi, kejiwaan, dan psikis seseorang. Menurut definisi dari Kementerian Kesehatan RI (lihat “Pengertian Kesehatan Mental” dalam www.ayosehat.kemkes.go.id), kesehatan mental yang baik adalah kondisi ketika batin kita berada dalam keadaan tentram dan tenang, sehingga memungkinkan kita untuk menikmati kehidupan sehari-hari dan menghargai orang lain di sekitar. Sebaliknya, orang yang kesehatan mentalnya buruk akan mengalami gangguan suasana hati, kemampuan berpikir, serta kendali emosi yang pada akhirnya bisa mengarah pada perilaku buruk.
Dan untuk membangun keluarga sakinah (keluarga yang tentram/tenang), kesehatan mental yang baik dari pasutri adalah faktor yang niscaya harus ada. Karena perkawinan bukan melulu urusan ikatan/hubungan lahiriah semata, melainkan juga ikatan/hubungan batiniah, yang bersifat resiprokal (timbal balik) antarkeduanya.
Hal itu selaras dengan bunyi Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Oleh karenanya, untuk meraih tujuan perkawinan sebagaimana diamanahkan oleh UU tersebut bukan saja memerlukan kesehatan fisik yang prima, melainkan juga kesehatan mental yang baik. Itulah mengapa perkawinan usia dini sangat tidak dianjurkan untuk dilakukan, dikarenakan menikah di usia yang belum matang itu selain sangat beresiko secara fisik, juga sangat rawan secara mental.
Stunting di Masa Sekarang, Muram di Masa Depan
Ada begitu banyak pengertian tentang stunting. Namun, secara umum ia diartikan sebagai terganggunya pertumbuhan pada anak akibat kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu panjang (lihat “Mengenal Apa itu Stunting” dalam www.yankes.kemkes.go.id).
Dan parahnya, tidak semata pertumbuhan si anak yang terganggu sehingga posturnya menjadi pendek/sangat pendek, melainkan juga pertumbuhan otaknya terganggu, sehingga mempengaruhi kemampuan sensorik, kognitif, dan motoriknya. Selain itu, kesehatannya pun mudah terganggu.
Bayangkan, bila fakta angka stunting yang berdasarkan statistik PBB pada tahun 2020 melanda sebanyak 6,7 juta balita Indonesia (lihat “Kurniasih: Di Tahun 2024, Penurunan Stunting Harus jadi fokus Bersama”, Berita dalam www.dpr.go.id) tidak segera diintervensi secara terstruktur, sistematis, dan massif, maka jumlah balita Indonesia yang stunting akan terus merangkak naik. Akibatnya, generasi penerus di masa mendatang itu -karena keterbatasan kemampuan daya saing gegara stunting– hanya akan menjadi generasi penonton, bukan penyongsong.
Bila mimpi buruk di masa depan itu tidak ingin menjadi kenyataan, maka harus dihapus dengan kontribusi generasi masa sekarang yang kini sedang “manggung” untuk bersama-sama berperan dan berkiprah dalam melakukan pencegahan dan pengentasan stunting. Dimulai dari hulunya, yakni calon pengantin (catin) sebagai calon orangtua, antara lain diberikan edukasi tentang cegah stunting melalui Bimwin, juga penanganan stunting yang tepat guna. Hingga hilirnya, yakni anak-anak, antara lain dengan memberikan asupan gizi yang sehat dan seimbang serta menyiapkan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembangnya keilmuan dan akhlaknya.
Anak itu Anugerah sekaligus Amanah
Setelah pemaparan tentang kesehatan mental orangtua dan korelasinya dengan pencegahan stunting pada anak, di bagian akhir ini akan diulas tentang sikap yang semestinya dimiliki oleh orangtua terhadap anak keturunannya.
Sebagaimana diketahui, salah satu dari 8 fungsi keluarga adalah fungsi reproduksi (BKKBN, 2014:29). Melalui fungsi ini, tujuan perkawinan adalah memiliki keturunan. Kehadiran anak dalam suatu perkawinan merupakan hal yang didambakan oleh pasutri, sehingga kehadirannya adalah anugerah. Namun demikian, selain anugerah, di saat yang sama, menurut M. Quraish Shihab (2007:170) anak-anak adalah juga amanah di tangan orangtua mereka. Semakin banyak anak, semakin besar dan banyak pula tanggung jawabnya. Karena itu, orangtua harus melakukan perhitungan yang sangat teliti. Dari sini setiap muslim harus dapat mengatur dan merencanakan jumlah anak-anaknya.
Benar, ada sabda Rasulullah saw yang menganjurkan beranak banyak, antara lain H.R. Abu Daud, Nasai, dan Ibnu Hibban:
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Nikahilah perempuan yang pecinta (yakni yang mencintai suaminya) dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat (yang terdahulu)”.
Namun, bila hadits tersebut dipahami secara letterlijk dan tidak menimbang konteks sabdanya maka yang terjadi adalah kesan ajaran Islam itu menomorsatukan kuantitas dan abai terhadap kualitasnya. Padahal, -tentu- tidak demikian. Karena Nabi saw menganjurkan banyak anak itu dengan syarat anak-anak tersebut menjadi manusia-manusia berkualitas. Hal itu seperti yang Nabi saw mohonkan ketika berdoa memohon keturunan dengan kalimat “Al-Katsiru At-Thoyyib” yang berarti banyak tapi berkualitas (M. Quraish Shihab, 2007:173).
Terjebak pada pemahaman letterlijk yang tidak komprehensif, alih-alih bahagia lahir batin dan kekal sebagaimana yang menjadi tujuan perkawinan, yang terjadi malah justru ketidakbahagiaan yang berkepanjangan. Dan pada akhirnya memantik terganggunya kesehatan mental orangtuanya serta kemudian berimbas pada kualitas diri anak-anaknya.
***
‘Alaa kulli haal, dalam rangka menyongsong bonus demografi dimana jumlah angka usia produktif porsinya terbanyak di 100 tahun Indonesia merdeka pada 2045 mendatang, maka agar bonus demografi itu tidak menjadi malapetaka, penting dilakukan kerjasama dari semua pihak sejak sekarang. Antara lain dengan memastikan proses pencegahan stunting dari hulu hingga hilirnya terkoordinasi dengan baik, dimana kesehatan mental orangtua menjadi titik masuknya.
Wallaahu a’lam bis showaab.