Sakinah. Kata itu sering diucapkan baik sengaja maupun sekedar latah. Namun sayangnya masih sedikit yang mengetahui sampai makna substansinya. Menurut Dr, Faqih Abdul Kadir dalam buku berjudul “Pondasi Keluarga Sakinah”, bahwa kata “sakinah” secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai kedamaian. Berdasarkan keterangan dari ayat-ayat al-Quran, sakinah atau kedamaian itu didatangkan Allah ke dalam hati para Nabi dan orang-orang yang beriman agar tahan dan tidak gentar menghadapi rintangan apapun.

Dalam lintas histori ada Nabi Musa dan Harun As. yang menghadapi ancaman, intimidasi dan kesewenang-wenangan penguasa dzolim Raja Firaun. Bahkan dipuncak pertarungan yang tidak berimbang itu Musa dan Harun yang terdesak, terpaksa harus lari menghindari serangan Firaun dan bala tentaranya. Hal ini membawa ke suasana panik, kacau dan tak menentu. Namun di situasi yang kacau dan tak menentu itu Musa As. punya satu modal besar, yakni ketenangan hati dan keyakinan bahwa Allah tak akan membiarkan hamba-Nya dalam kehinaan. Dan sejarah membuktikan bahwa hal itu telah membawa ke situasi yang mustahil menjadi kenyataan, Musa menggapai kemenangan dan Firaun menderita kekalahan.

Hal serupa juga terjadi pada kehidupan Nabi Ibrahim As. dipuncak kekalutan ketika nyala api itu berkobar melahap kayu bakar dan siap menyambar tubuh Sang Nabi telah membuat suasana panas yang luar biasa. Namun suasana panas di sekitaran ternyata tak membuat suasana bathin Ibrahim As ikut menjadi panas. Hatinya tetap tenang dalam kesyahduan di hadapan Sang Maha Kuasa. Sejarah pun membuktikan dengan ketenangan model ini telah membuat Ibrahim As. kedinginan di tengah panasnya api.

Semua kisah di atas telah membuktikan bahwa sakinah dan ketenangan penting untuk dimiliki tiap orang. Orang bijak sering mengatakan, kepala boleh panas tetapi hati tetap dingin. Ini artinya sering kali setiap permasalahan bisa diatasi dengan ketenangan. Dalam suasana hati dan pikiran yang tenang itulah terlahir ide-ide yang jernih untuk solusi permasalahan yang dihadapi. Sebaliknya, kegalauan dan emosional hanya akan membuat makin buruk suasana. Bagaikan seorang anak muda yang baru belajar pidato, hanya karena grogi dan tidak tenang menyebabkan otak ngeblank sehingga materi yang dihapalkan tadi malam menjadi lupa semua.

Selanjutnya jika kata sakinah ini disandingkan dengan kata keluarga maka keluarga sakinah adalah keadaan keluarga yang tetap tenang meskipun menghadapi banyak tantangan dan ujian kehidupan. Laksana karang di lautan yang tetap tegar walaupun setiap saat dihantam ombak dan badai, maka seperti itulah keluarga sakinah yang tetap tegar meskipun dihantam burtubi-tubi ombak ujian yang mengancam dan badai cobaan kehidupan.

Dalam teologi Islam, munculnya istilah keluarga sakînah merupakan penjabaran dari Qs. al-Rûm (30):21 ; “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran (Allah) bagi kaum yang berpikir”. dalam ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa tujuan diciptakannya seorang istri adalah agar dapat membangun sebuah keluarga sakinah yaitu keluarga yang aman, damai, tentram, serta sejahtera lahir bathin penuh curahan kasih sayang di dalamnya.

Mengarungi kehidupan ini bukan segampang membalikkan telapak tangan. Akan dihadapi berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG) kehidupan. Semua ujian itu dapat dilalui keluarga sakinah dengan bermodalkan cinta kasih sayang. Dengan cinta yang jauh akan terasa dekat, yang berat terasa ringan, yang susah akan terasa gampang. Pantas kalau Orang Barat mengatakan ada “The power of love”, ada kekuatan dahsyat dibalik rasa cinta. Keluarga sakinah harus menjadikan kekuatan cinta sebagai modal untuk tetap tegar menghadapi kerasnya kehidupan.

Selanjutnya dalam Bahasa Arab istilah sakinah ini memiliki akar kata yang sama dengan “sakan” yang berarti rumah tempat menetap. Derivasi kata ini bukan tanpa makna, sebab menurut para ahli hal ini membuktikan bahwa salah satu penunjang terciptanya suasana ketenangan adalah ketika sebuah keluarga kecil sudah memiliki rumah sendiri. Dan survei membuktikan bahwa keluarga yang belum mempunyai rumah baik yang masih mengontrak, maupun masih numpang di mertua, biasanya belum bisa menciptakan ketenangan yang maksimal.

Rumah (sakan)  yang dipercaya sangat erat hubungannya dalam menciptakan ketenangan (sakinah) bisa tergambar pada fungsi rumah dalam memberikan perlindungan dan rasa aman kepada semua penghuninya. Rumah adalah tempat pulang kembali setelah bepergian. Sejauh apapun dan selama apapun sang penghuni melakukan perjalanan, suatu saat kembalinya pasti ke rumah. Rumah juga adalah tempat menemukan kembali kesegaran (represh) setelah penghuninya bekerja lelah seharian. Bahkan rumah menjadi tempat menemukan kembali rasa percaya diri dan optimisme menatap masa depan di saat diri dalam keadaan down  dan merasa kurang dihargai oleh orang di luaran sana. Semua ini sekali lagi telah menjadi bukti eratnya hubungan antara sakan (rumah) dengan sakinah (ketenangan).

Maka rumah yang baik akan mampu memberikan kenyamanan bagi penghuninya, baik secara psikis maupun fisik. Kenyamanan psikis berkaitan dengan aspek kepercayaan, agama, adat istiadat dan sebagainya. Sedangkan kenyamanan psikis lebih bersifat kualitatif, yaitu suatu ketenangan dalam jiwa. Bahkan dewasa ini rumah juga berfungsi sebagai gaya hidup.

Yang paling dahsyat lagi ketika kata rumah disandingkan dengan kata Allah, menjadi rumah Allah. Di tanah air kita, rumah Allah dimaknai dengan masjid, sementara di Tanah Suci istilah Baitullah (rumah Allah) dimaknai dengan Ka’bah. Fungsi rumah Allah juga kalau direnungkan secara mendalam adalah memberikan perlindungan dan rasa aman, bahkan sekaligus ketenangan kepada jiwa para jamaahnya. adanya fenomena trend spiritualitas, Manusia modern yang hidup, makan, dan minum semua dilayani mesin, pada saat yang sama mengabaikan faktor jiwa dan spiritualitas dan kini telah membawa manusia modern pada jiwa yang merana. Mereka resah dan merasa haus akan nilai-nilai spiritual. Maka rumah Allah sering kali menjadi tempat bernaung dari keresahan jiwa dan menjadi tempat menemukan pencarian nilai-nilai spiritualitas bertemu dengan Dzat yang Maha melindungi. Menghadirkan ketenangan abadi. Keberadaan rumah Allah telah menjadi “oase” penghapus kegersangan di terik padang pasir.

Jika kesemua analisis di atas dirangkai menjadi satu kesatuan, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa seseorang yang berjiwa tenang adalah mereka yang mampu menghadirkan rumah Tuhan (baca: Allah) dalam jiwanya di setiap waktu dan keadaan. Manusia yang mampu mengahdirkan Tuhan dalam kehidupan akan menjadi kekasih-Nya (Wali Allah). Ia tidak akan merasa takut dan sedih dalam mengarungi sepahit apa pun kehidupan ini. WaAllahu a’lam bissawwab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *