Bom Waktu Pernikahan Dini di Sinjai Akhirnya Dijinakkan: Angka Turun 60% dalam Tiga Tahun

Bom Waktu Pernikahan Dini di Sinjai Akhirnya Dijinakkan: Angka Turun 60% dalam Tiga Tahun

Di banyak daerah, pernikahan dini masih menjadi “bom waktu” yang mengancam masa depan generasi muda. Di Sinjai, bom itu perlahan mulai dijinakkan. Hanya dalam tiga tahun, angka pernikahan di bawah umur dan isbat nikah turun lebih dari separuh. Bukan karena kebetulan, tetapi berkat strategi lapangan yang matang, terukur, dan dijalankan dengan konsistensi. Nama strateginya? Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS)—program sederhana yang ternyata punya daya gebrak luar biasa.

Data Bimas Islam Kementerian Agama Kab. Sinjai mencatat, pada tahun 2022 masih ada 202 kasus pernikahan di bawah umur. Setahun kemudian, jumlah itu anjlok menjadi 96, dan pada 2024 hanya tersisa 80 kasus. Fenomena yang sama juga terlihat pada permohonan isbat nikah di Pengadilan Agama Sinjai, dari 215 kasus pada 2022, menurun menjadi 186 pada 2023, lalu merosot tajam menjadi 111 pada 2024. Tren positif ini juga sejalan dengan penurunan tajam permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Sinjai, dari 181 kasus pada 2022, merosot menjadi 61 pada 2023, dan kembali turun menjadi 54 pada 2024. Ini bukan sekadar angka di tabel, tetapi potret perubahan nyata di lapangan.

Di balik grafik menurun ini, ada gerakan senyap tapi berdampak besar. BRUS hadir di sekolah-sekolah, masuk ke ruang kelas, berbicara langsung dengan remaja tentang masa depan mereka. Bukan sekadar ceramah, tetapi dialog yang menyentuh sisi emosional dan rasional, mengapa menikah terlalu muda bisa memutus pendidikan, mengancam kesehatan reproduksi, bahkan memicu masalah ekonomi jangka panjang.

Secara konseptual, kebijakan ini selaras dengan prinsip yang terkandung dalam Al-Qur’an, khususnya Surat An-Nisa ayat 9, Allah swt. berfirman

وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا

Terjamahnya:
“Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya).(Qs.Annisa/4:9)

Ayat ini mengingatkan umat agar tidak meninggalkan generasi lemah, baik secara fisik, mental, maupun sosial-ekonomi. Menurut tafsir M. Quraish Shihab, ayat ini menjadi peringatan agar orang tua dan masyarakat memastikan anak-anak memperoleh perlindungan, pendidikan, dan kesempatan berkembang sebelum memasuki jenjang perkawinan. Oleh karena itu, upaya menekan pernikahan dini bukan hanya berorientasi pada pembatasan secara hukum, tetapi juga harus dibarengi dengan pembinaan remaja agar memiliki kematangan pribadi dan kemampuan mengambil keputusan secara bertanggung jawab.

Dalam kerangka inilah BRUS yang diinisiasi Kementerian Agama sejak 2021 memainkan peran strategis. Program BRUS dirancang untuk membentuk karakter remaja yang sehat secara jasmani, rohani, dan sosial melalui dua sesi pembelajaran intensif selama delapan jam. Sesi pertama menitikberatkan pada pengenalan diri, pembahasan tantangan remaja masa kini (termasuk pernikahan anak dan kehamilan dini), serta penanaman konsep diri remaja qur’ani. Sesi kedua berfokus pada penguatan manajemen diri, meliputi pengelolaan emosi, kemampuan melindungi diri (self-protection), membangun relasi sosial, keterampilan komunikasi, serta pengambilan keputusan. Materi tersebut secara langsung diarahkan untuk mengurangi kerentanan remaja terhadap tekanan sosial dan ekonomi yang dapat memicu pernikahan dini.

Jika ditinjau dari teori implementasi kebijakan George C. Edward III, keberhasilan ini memenuhi empat indikator kunci. Pertama, komunikasi. Pesan pencegahan pernikahan dini disampaikan konsisten oleh KUA se-Kabupaten Sinjai, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kab. Sinjai, dan Pengadilan Agama Sinjai melalui BRUS, edukasi keluarga, hingga sosialisasi hukum. Kedua, sumber daya. Program ini didukung penyuluh agama, tenaga pendidik, penghulu, serta para pemangku kebijakan. Ketiga, disposisi. Pelaksana di lapangan menunjukkan komitmen tinggi, bekerja bukan sekadar menggugurkan kewajiban, tetapi benar-benar membangun kesadaran masyarakat. Keempat, struktur birokrasi. Koordinasi lintas sektor terjalin rapi melalui MoU strategis yang memastikan setiap lembaga memiliki peran jelas dan saling melengkapi.

DP3AP2KB memainkan peran vital dalam memperkuat edukasi berbasis keluarga, melatih orang tua agar menjadi benteng pertama pencegahan pernikahan dini, serta memfasilitasi advokasi kebijakan di tingkat kabupaten. Sementara itu, Pengadilan Agama berkontribusi melalui seleksi ketat dalam permohonan dispensasi nikah, memastikan hanya kasus yang benar-benar mendesak yang mendapat izin, sekaligus memberikan edukasi hukum kepada para pemohon.

Hasilnya? Dalam tiga tahun, pernikahan dini di Sinjai turun 60% dan isbat nikah anjlok drastis. Bagi daerah lain yang masih berjibaku dengan masalah serupa, model kolaborasi KUA–DP3AP2KB–Pengadilan Agama layak dijadikan rujukan. Bukan hanya karena datanya meyakinkan, tetapi karena ini bukti bahwa ketika tiga pilar utama bersatu, perubahan besar bisa diwujudkan.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan