Islam tidak dapat memaksakan kondisi sengketa dan perselisihan terus berlanjut dan berkepanjangan. Cerai melalui thalak atau fasakh adalah jalan halal tetapi paling dibenci Allah Subhanahu Wata’ala yang harus ditempuh sebagai jalan akhir jika perdamaian tidak diketemukan. Inilah adalah obat yang paling pahit dan paling keras, jiwa-jiwa menjadi sedih, rumah tangga terpecah dan kadang-kadang konsekuensi akhir adalah anak ikut menerima akibat dari perceraian antara kedua orang tua mereka.
Oleh karena itu perceraian sedapat mungkin harus dihindari dengan menyikapi sengketa suami isteri dengan jalan yang bijaksana. Salah satu jalan adalah mencari pihak ketiga yang masih ada hubungan keluarga secara bersama-sama antara pihak suami dan pihak istri untuk mencari solusi terbaik agar rumah tangga dapat diselamatkan. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah An-Nisaa ayat 35, telah memerintahkan bahwa jika dikhawatirkan ada persengketaan antara keduanya (suami isteri), maka kirimlah seorang hakam (mediator) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (mediator) dari keluarga perempuan. Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa salah satu cara menyelesaikan perselisihan/persengketaan antara suami isteri, yaitu dengan jalan mengirim seorang hakam selaku mediator dari kedua belah pihak untuk membantu menyelesaikan perselisihan tersebut.
Dalam kehidupan rumah tangga sering dijumpai orang (suami isteri) mengeluh dan mengadu kepada orang lain ataupun kepada keluarganya, akibat karena tidak terpenuhinya hak yang harus diperoleh atau tidak dilaksanakannya kewajiban dari salah satu pihak, atau karena alasan lain, yang dapat berakibat timbulnya suatu perselisihan diantara keduanya (suami isteri) tersebut. Dan tidak mustahil dari perselisihan itu akan berbuntut pada putusnya ikatan perkawinan (perceraian).
Salah satu alasan atau sebab dimungkinkannya perceraian adalah syiqaq (terjadinya perselisihan/persengketaan yang berlarut-larut antara suami isteri). Namun jauh sebelumnya dalam AI-Qur’an surah an-Nisaa ayat 35, Allah SWT, telah memerintahkan bahwa jika dikhawatirkan ada persengketaan antara keduanya (suami isteri), maka kirimlah seorang hakam (mediator) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (mediator) dari keluarga perempuan. Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa salah satu cara menyelesaikan perselisihan/persengketaan antara suami isteri, yaitu dengan jalan mengirim seorang hakam selaku mediator dari kedua belah pihak untuk membantu menyelesaikan perselisihan tersebut.
Mediasi adalah salah satu cara penyelesaian sengketa “non litigasi”, yaitu penyelesaian yang dilakukan di luar jalur pengadilan. Namun tidak selamanya proses penyelesaian sengketa secara mediasi, mumi ditempuh di luar jalur pengadilan. Salah satu contohnya, yaitu pada sengketa perceraian dengan alasan, atau atas dasar syiqaq, dimana cara mediasi dalam masalah ini tidak lagi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, tetapi ia juga merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan.
Selama ini, pola penasihatan keluarga bermasalah di Indonesia ada dua macam, yaitu penasihatan di luar pengadilan dan penasihatan di pengadilan. Penasihatan di luar pengadilan dilakukan oleh perorangan, biasanya seorang tokoh masyarakat, tokoh agama atau anggota keluarga yang dituakan, atau oleh lembaga penasihatan, seperti BP4 dan lembaga penasihatan atau konsultasi keluarga lainnya. Sedangkan penasihatan di pengadilan dilakukan oleh majelis hakim, pada setiap kali persidangan, terutama pada sidang pertama yang harus dihadiri oleh suami dan isteri secara pribadi, tidak boleh diwakilkan.
Pola penasihatan seperti disebutkan di atas mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Di antara kelebihannya adalah bahwa penasihatan di luar pengadilan dapat dilakukan lebih informal dan tidak dibatasi ketentuan-ketentuan hukum acara, sehingga permasalahan lebih banyak dapat digali tanpa dibatasi oleh waktu dan tempat. Dengan demikian, maka pemecahannyapun dapat ditentukan dengan pertimbangan yang matang, sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak. Namun demikian, penasihatan di luar pengadilan sangat tergantung kepada kadar kesulitan permasalahan dan tergantung kepada tingkat “kewibawaan” para penasihat, baik perorangan maupun lembaga. Hasilnyapun tidak mempunyai kekuatan hukum, apalagi jika permasalahan tidak dapat dipecahkan dan suami-isteri tidak dapat didamaikan. Konsep inilah yang dikenal dengan masuknya pihak ketiga untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih. Pihak ketiga ini dikenal biasanya dengan nama mediator.
Sesuai dengan maknanya, mediasi berarti menengahi. Seorang mediator tidaklah berperan sebagai judge yang memaksakan pikiran keadilannya, tidak pula mengambil kesimpulan yang mengikat seperti arbitrer tetapi Iebih memberdayakan para pihak untuk menentukan solusi apa yang mereka inginkan. Mediator mendorong dan memfasilitasi dialog, membantu para pihak mengklarifikasi kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka, menyiapkan panduan, membantu para pihak dalam meluruskan perbedaan-perbedaan pandangan dan bekerja untuk suatu yang dapat diterima para pihak dalam penyelesaian yang mengikat. Jika sudah ada kecocokan di antara para pihak yang bersengketa lalu dibuatkanlah suatu memorandum yang memuat kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai.[3]
Sementara itu, penasihatan di pengadilan sangat dibatasi waktu, tempat dan ketentuan- ketentuan beracara, sehingga permasalahan tidak dapat digali sebanyak permasalahan yang dilakukan pada penasihatan di luar pengadilan. Demikian pula pemecahannyapun. Pendek kata, penasihatan di depan sidang pengadilan lebih banyak untuk memenuhi ketentuan formil dan sangat sulit dapat dikembangkan sebagaimana penasihatan di luar pengadilan. Apa lagi pasangan suami isteri yang datang ke pengadilan, pada umumnya, adalah pasangan yang membawa permasalahan keluarga yang sangat berat, sudah patah arang. Memang demikian, karena sidang pengadilan pada dasarnya bukanlah merupakan lembaga penasihatan, namun ia adalah lembaga pelaku kekuasaan kehakiman, yang dalam kegiatannya berfungsi juga untuk melakukan penasihatan sebelum memeriksa Iebih jauh perkara yang diajukan dan memutus perkara jika tidak ada kesepakatan damai di antara para pihak. Hasil penasihatan berupa kesepakatan untuk damai atau tidak ada kesepakatan apa-apa dapat langsung dijadikan dasar oleh majelis hakim untuk melakukan proses hukum selanjutnya: pembuatan akte perdamaian atau pemeriksaan perkara sesuai permohonan atau gugatan.
Di dalam pengadilanpun dikenal juga dengan lembaga mediasi, yaitu proses pemeriksaan sebelum dilaksanakan sidang gugatan perceraian di persidangan Pengadilan Agama. Lembaga ini dikenal dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI Nomor 1 Tahun 2008, merupakan penegasan ulang terhadap peraturan sebelumnya yaitu PERMA Nomor 2 Tahun 2003. Lahirnya acara mediasi melalui PERMA Nomor 1 Tahun 2008 (kemudian akan disebut PERMA), merupakan penegasan ulang terhadap perma sebelumnya yaitu Nomor 2 Tahun 2003. Dilatarbelakangi dengan menumpuknya perkara di lingkungan peradilan terutama dalam perkara kasasi, mediasi dianggap instrument efektif dalam proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan[4].