Ketika dua insan saling jatuh cinta dan memutuskan menikah, dunia seolah menjadi indah. Mereka membayangkan hidup bahagia berdua, membangun rumah tangga penuh cinta dan kasih sayang. Namun sering kali mereka lupa bahwa pernikahan bukan hanya tentang dua individu, tetapi tentang dua keluarga besar yang kini akan dipertemukan dalam satu ikatan sakral. Dalam pandangan Islam, pernikahan bukan sekadar urusan perasaan, melainkan juga ibadah sosial yang berdampak luas. Ia menyatukan dua silsilah, dua tradisi, dua karakter, dan dua cara pandang terhadap kehidupan. Karena itu, pernikahan memerlukan bukan hanya kesiapan cinta, tapi juga kesiapan mental, sosial, dan spiritual.
Akad nikah memang hanya berlangsung beberapa menit saja. Namun, yang terikat di dalamnya bukan hanya dua nama di buku nikah. Di balik ijab kabul itu, ada dua keluarga yang kini menjadi satu. Setiap senyum, sikap, dan keputusan dalam rumah tangga akan memberi dampak bukan hanya pada pasangan, tetapi juga pada hubungan antar keluarga besar. Sering kita dengar pepatah, “Menikah itu tidak hanya dengan dia, tapi juga dengan keluarganya.” Ungkapan ini mengandung kebenaran mendalam. Karena ketika seseorang menikah, ia membawa serta latar belakang keluarganya — nilai-nilai yang ia warisi sejak kecil, cara pandang terhadap kehidupan, hingga kebiasaannya dalam berinteraksi. Maka, penyesuaian bukan hanya antara suami dan istri, tetapi juga antara dua keluarga yang memiliki cara berbeda dalam memandang dunia. Dalam Islam, keluarga adalah unit sosial terkecil yang menjadi pondasi masyarakat. Jika hubungan dua keluarga ini terjalin baik, maka tercipta lingkungan sosial yang harmonis. Namun jika hubungan dua keluarga retak karena kurang komunikasi atau kesalahpahaman, maka rumah tangga pun bisa ikut goyah.
Salah satu hikmah besar dari pernikahan adalah memperluas silaturahmi. Melalui pernikahan, dua keluarga yang sebelumnya tidak saling mengenal kini menjadi saudara. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا
“Dan Dialah (Allah) yang menciptakan manusia dari air, lalu menjadikannya (punya) hubungan nasab dan pernikahan (musāharah).”
(QS. Al-Furqan: 54)
Ayat ini menunjukkan bahwa nasab dan musāharah (hubungan karena pernikahan) adalah dua pilar penting dalam tatanan sosial manusia. Allah sendiri yang menetapkan bahwa pernikahan menjadi jalan terbentuknya hubungan baru, bukan hanya antara dua insan, tapi antara dua keturunan. Maka menjaga kehormatan dan hubungan baik dengan keluarga pasangan adalah bagian dari menjaga amanah Allah. Banyak pasangan gagal membangun keharmonisan bukan karena perbedaan besar, melainkan karena hal-hal kecil yang tidak pernah dibicarakan. Padahal, justru dari hal kecil itu sering timbul salah paham yang membesar.
Penting bagi calon suami dan istri untuk membicarakan berbagai hal sebelum menikah, antara lain:
- Bagaimana kebiasaan masing-masing keluarga? Apakah keluarga istri terbiasa makan bersama, sementara keluarga suami lebih bebas?
- Bagaimana pembagian tanggung jawab finansial dan pengelolaan keuangan keluarga?
- Bagaimana posisi dan peran orang tua setelah menikah?
- Bagaimana pandangan masing-masing tentang pendidikan anak, ibadah, dan cara menjalani kehidupan beragama?
Diskusi semacam ini bukan berarti tidak percaya satu sama lain, melainkan cara matang mempersiapkan kehidupan setelah ijab kabul. Rasulullah ﷺ mengajarkan untuk selalu bermusyawarah dalam setiap urusan penting. Allah pun menegaskan dalam Al-Qur’an:
وَأْمُرْهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
“Dan urusan mereka (diselesaikan) dengan musyawarah di antara mereka.”
(QS. Asy-Syura: 38)
Musyawarah ini mencakup pula urusan rumah tangga dan hubungan antar keluarga. Sebab, keharmonisan rumah tangga bukan hanya dibangun dengan cinta, tapi juga dengan komunikasi yang sehat dan saling pengertian. Rasulullah ﷺ adalah teladan terbaik dalam memperlakukan keluarga. Beliau tidak hanya baik kepada istri-istrinya, tetapi juga kepada keluarga besar mereka. Beliau menjaga perasaan, menghormati, dan memuliakan mereka semua. Dalam hadis sahih, beliau bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku.”
(HR. Tirmidzi, no. 3895)
Hadis ini bukan hanya berbicara tentang kelembutan kepada istri, tapi juga tentang kemuliaan akhlak dalam memperlakukan seluruh anggota keluarga besar. Bila seorang suami bisa menghormati mertua dan keluarga istrinya, dan seorang istri bisa memuliakan keluarga suaminya, maka keberkahan akan turun dalam rumah tangga mereka. Sebab, ridha keluarga sering kali menjadi pintu datangnya ridha Allah.
Pernikahan yang diridhai Allah bukanlah pernikahan tanpa ujian, melainkan pernikahan yang mampu bertahan dan tumbuh dari setiap ujian. Kadang ada perbedaan pandangan antar keluarga, tetapi jika disikapi dengan sabar, bijak, dan niat mempererat silaturahmi, maka perbedaan itu justru akan menjadi sumber kematangan.
Ingatlah, pernikahan yang bahagia bukan yang tanpa masalah, tapi yang mampu melewati masalah dengan tetap saling menghormati. Rasulullah ﷺ mengajarkan agar setiap pasangan memulai kehidupan rumah tangganya dengan doa dan niat baik. Di antara doa yang beliau panjatkan untuk pasangan yang baru menikah adalah:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمَا وَبَارِكْ عَلَيْهِمَا وَاجْمَعْ بَيْنَهُمَا فِي خَيْرٍ
“Ya Allah, berkahilah keduanya, limpahkan keberkahan atas keduanya, dan satukanlah mereka berdua dalam kebaikan.”
(HR. Abu Dawud, no. 2130)
Akhir,
Pernikahan bukan hanya tentang dua hati yang berjanji setia, melainkan tentang dua dunia yang berusaha menyatu dalam satu arah, yaitu menuju ridha Allah. Dua keluarga besar kini menjadi satu naungan besar yang saling menopang. Maka jangan pernah melihat pernikahan hanya sebagai perjalanan pribadi, tetapi sebagai amanah sosial dan spiritual yang harus dijaga dengan niat suci.
Semoga setiap pernikahan menjadi sarana menyambung silaturahmi, menebar kebaikan, dan melahirkan generasi yang membawa cahaya keimanan di tengah masyarakat.
- Muhamad Fathul Arifin – KUA Kesugihan, Cilacap








