Qada. Umumnya istilah ini dikenal hanya untuk puasa. Di setiap bulan Ramadhan, mungkin saja terdapat sehari dua atau lebih puasa yang terlewatkan. Tak terlaksana. Oleh berbagai sebab. Puasa yang terlewat ini, harus diganti pada bulan lain sesudah Ramadhan. Wajib. Begitu hukumnya. Ini biasa. Ketentuan ini sudah umum diketahui. Sudah umum pula dipraktikkan dalam hitungan abad. Hampir tak ada lagi orang Islam yang tak memahaminya.

Namun tak begitu halnya dengan ketentuan yang satu ini. Mengqada salat. Salat yang terlewatkan oleh suatu sebab yang dibolehkan, dapat pula diganti. Di luar waktu. Di hari yang lain. Persis seperti puasa. Salat juga dapat diqada. Hanya memang ketentuan ini, tak sepopuler qada puasa. Buktinya, saya pernah dituding sesat oleh seorang kawan, karena menyampaikan kebolehan mengqada shalat.
“Aturan dari mana itu. Ajaran sesat lagi yang kamu ajarkan ke saya ini”, demikian sergahnya, saat pertama kali ketentuan tentang qada shalat ini disampaikan kepadanya. Padahal kawan ini, cukup terpelajar. Sama dengan saya, juga alumni perguruan tinggi Islam.

“Bukan ajaran sesat, bacaanmu saja yang belum sampai”, ucap saya padanya, dengan nada bergurau, merespon tudingan sesatnya itu.

Salat yang tertinggal, dapat diqada. Persis seperti puasa. Tak berbeda dengan puasa, praktik mengqada salat ini, juga telah dipraktikkan sejak masa Nabi. Dicontohkan langsung oleh Nabi. Diikuti oleh para sahabat yang ketika itu menyertai beliau. Di sebuah medan perang. Jadi salat, bukan hanya dapat dijamak qasar ketika dalam perjalanan. Salat juga dapat diqada, ketika suatu waktu terlewatkan. Baik di dalam perjalanan atau pun tidak.

Ketentuan tentang mengqada salat, terbilang penting untuk diketahui. Sehingga, tak berbeda dengan ketentuan ibadah lainnya, ketentuan ini juga dibahas oleh berbagai mazhab fikih. Setidaknya empat mazhab fikih, Hanafi, Hambali, Maliki, dan Syafi’i, tak satu pun yang melewatkan pembahasan terkait ini.

Salat diqada sesuai dengan sifat salat yang terlewatkan. Entah itu dalam keadaan menetap atau dalam perjalanan. Bila di suatu perjalanan yang terlewatkan berupa salat qasar, maka tetap diganti dalam hitungan rakaat yang sama. Tetap diganti dengan hitungan rakaat qasar. Tetap masing-masing 2 rakaat. Biarpun saat menggantinya telah dalam keadaan menetap. Ini menurut Mazhab Hanafi.

Mazhab Hanafi juga berbicara tentang sifat bacaan untuk salat yang diqada. Sifat bacaannya, menurut mazhab fikih tertua ini, tergantung dari jenis bacaan shalat itu sendiri. Bila yang terlewatkan berupa salat dengan sifat bacaan yang mesti dikeraskan, maka menqadanya juga menyesuaikan dengan itu. Demikian pula sebaliknya. Itu bila dalam posisi sebagai Imam untuk salat yang diqada secara berjamaah. Bila qada salat dilaksanakan sendiri, tak berjamaah, sifat bacaannya opsional. Dapat memilih antara mengeraskan bacaan atau membaca secara pelan.
Bagi mazhab ini, pelaksanaan qada salat wajib disegerakan. Tak boleh ditunda. Bila pun harus ditunda, hanya boleh oleh sebab adanya halangan. Semacam kesibukan mencari nafkah untuk keluarga dan memenuhi kebutuhan pokok.

Senada dengan kalangan Hanafiyyah, Mazhab Maliki menggariskan: “Qada salat dilakukan sesuai salat yang terlewatkan. Kesesuaian ini dilihat dari sisi salat yang akan diqada itu terlewatkan dalam perjalanan atau sedang mukim. Juga dilihat dari segi bacaannya. Dibaca salatnya keras atau pelan. Haram pula menunda-nunda pelaksanaannya. Wajib menyegerakan. Bahkan di waktu-waktu terlarang untuk salat, seperti saat terbit dan terbenamnya matahari serta ketika sedang khutbah jum’at. Mazhab Maliki membolehkan penundaan hanya pada waktu-waktu darurat. Seperti waktu makan, minum dan tidur yang tidak bisa ditinggalkan. Juga karena membantu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mencari nafkah.

Dengan demikian (menurut mazhab Maliki), Salat yang terlewatkan ketika mukim (menetap), harus diqada meskipun sedang dalam perjalanan. Salat yang terlewatkan di waktu siang, harus diqada di waktu malam. Salat berbacaan keras, tetap dibaca keras meskipun diqada saat siang. Sebab qada hakikatnya, hanya meniru salat yang sudah terlewatkan.

Dua Mazhab berikutnya, Syafi’i dan Hambali nampaknya memiliki pendapat berbeda. Dalam beberapa detail.

Salat diqada, tergantung tempat dan waktunya. Ketika dalam perjalanan, salat 4 rakaat dapat diqada menjadi 2 rakaat. Biarpun salat itu terlewatkan pada saat mukim. Apalagi sedang dalam perjalanan. Sebaliknya, bila sedang mukim, salat 4 rakaat tetap diqada dalam jumlah bilangan 4 rakaat juga. Meskipun terlewatkan di saat sedang dalam perjalanan. Sebab dasar pokok salat adalah sempurna. Maka ketika sedang mukim, kesempurnaan itu harus dipenuhi. Di samping itu, penyebab qasar shalat, semata karena alasan adanya suatu perjalanan.

Shalat yang ditinggalkan ketika dalam perjalanan, hanya dapat diqada secara qasar bila dalam perjalanan pula. Bukan pada saat telah mukim.

Bagaimana dengan sifat bacaan?

Menurut Mazhab Syafi’i, sifat bacaan ketika mengqada salat, menyesuaikan dengan waktu pelaksanaannya. Bila dilaksanakan siang hari, bacaan dipelankan. Bila malam hari, bacaan dikeraskan.

Terkait ini,mazhab Hambali sedikit berbeda pendapat: ” Bila qada dilaksanakan secara berjamaah di waktu malam, maka untuk salat berbacaan keras, imam mengeraskan suara. Itu bila berjamaah. Bila qada salat dilaksanakan sendirian, tak berjamaah, bacaan mutlak harus dipelankan. Menurut Imam Ahmad bin Hambal, mengeraskan bacaan hanya diperuntukkan ketika qada salat dilaksanakan secara berjama’ah.

Sumber:
1. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid 2, Cet. ke-2 (Damaskus: Dar al-Fikri, 1985), hlm. 136-137
2. Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, Jilid I, Cet. ke-4, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2007), hlm. 405
3.Ibnu Qudamah, al-Mughni, Jilid I, (TK: Dar Alam al-Kutub, 1997), hlm. 56

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *