Jangan Hidup Seperti Asap
Dalam perjalanan hidup, kadangkala kita temui dan hadapi kondisi yang berubah-ubah. Boleh lah kita berujar seperti ungkapan, lain dulu lain sekarang. Tentu berbeda dengan bunyi pepatah, lain lubuk lain ikannya, lain padang lain pula belalangnya.
Peubahan kondisi ternyata sangat sering dan besar mempengaruhi perubahan pada diri seseorang. Namun itu semua adalah suatu kewajaran karena kita masih hidup dan diberi jatah hidup. Kapan perubahan itu terasa membawa menyimpan arti negatif, saat perubahan itu menjatuhkan seseorang ke dalam jurang kehancuran yang bernama bangga berpakaian sombong.
Bangga itu ada dan hadir tatkala seseorang telah ada “rasa lebih” pada diri dan jiwanya. Rasa itu adalah rasa bangga yang melebihi melewati batas normal dan kewajaran. Merasa sudah memiliki segala-galanya, merasa sangat mudah meraih menggapai apa saja yang diinginannya seakan takkan ada yang mampu menahannya, merasa dirinya disegani bahkan ditakuti oleh banyak orang karena sesuatu yang dimilikinya, merasa kata dirinya sangat dan harus di dengar dipatuhi tak boleh dipotong apalagi dibantah, merasa ide dan pemikirannya selalu benar dan harus dihargai, merasa kehadiran dan keberadaanya sangat penting dan diinginkan tanpa dirinya tak berarti apapun, merasa apa yang dimiliki melekat pada dirinya mampu menarik kemudian mengatur sesuai keiinginan seleranya, seolah-olah semuanya berada menurut keinginan dan segala yang berlaku atas kehendak kemauannya semata.
Perasaan bangga berlebihan itu ternyata mampu ampuh mendatangkan sebuah penyakit ganas lagi berbahaya pada seseorang. Jika rasa bangga berlebihan itu dianggap biasa saja normal apa adanya, yakinlah secara sadar atau tak sadar, semakin lama seseorang yang telah terjangkiti akan semakin terperosok jatuh jauh lagi dalam jurang yang bernama kesombongan. Menghargai orang lain sudah dirasa tak penting, menyapa orang lain dianggap buang waktu habiskan energi, yang ada bicara mulutnya saja, tak mau telinganya mendengar kalimat selain dirinya. Intinya cuek, selain dirinya sudah dianggap tak perlu lagi tak penting.
Petiklah pelajaran berharga dari perjalanan hidup Fir’aun yang hidup sebelum kita. “Akulah Tuhan kalian, aku menyediakan semua kebutuhan kalian. Lihatlah (Nabi) Musa, ia tak memiliki emas. Ia hanyalah orang miskin,” kata Firaun dalam satu pertemuan dengan rakyatnya termasuk bani Israil. Bani Israil pun secepatnya langsung percaya dengan buaian kata-kata Firaun. Lupa sudah bahwa raja mereka itu telah menindas, bahkan membunuh anak-anak mereka.
Namun, mereka teperdaya dengan kilauan emas dan perak. Lupa Nabi mereka Musa yang selalu menyeru hak mereka untuk lepas dari belenggu sebagai budak Fira’un. Mereka dengan mudahnya tergiur janji Fira’un yang akan memenuhi segala kebutuhan hidup mereka, meski janji itu kebohongan belaka. Dalam keteperdayaan dan kebodohan itu, Bani Israil serta-merta menaati Firaun dan mengabaikan panggilan Nabi Musa alaihi salam. Mereka tergiur godaan dunia. Nabi Musa alaihi salam pun dicela, tak dianggap sebagai utusan Allah.
Maka, keesokan hari setelah pertemuan itu, tanah Mesir heboh. Air di Sungai Nil tiba-tiba habis begitu saja. Nil terus kering hingga tanah pertanian gagal panen, rakyat kelaparan, Mesir dirundung panceklik. Namun, bukan bertaubat agar terbebas dari azab Allah ini, Fira’un dan pengikutnya tetap sombong dan berbangga diri. Mereka malah menuding Musa sebagai pembawa sial bagi negeri Mesir. Maka, Allah pun melanjutkan rangkaian azab-Nya. Jika sebelumnya kekeringan yang melanda, Allah kemudian menimpakan banjir besar kepada rakyat Mesir. Banjir besar yang mengikisi habis lahan subur pertanian mereka. Ketika mereka tak tahan lagi dengan banjir, mereka pun mendatangi Nabi Musa alaihi salam.
“Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu dengan (perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan azab itu dan pada kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu,” ujar para pengikut Firaun.
Nabi Musa alaihi salam pun kemudian memanjatkan doa dan segera terijabah. Azab banjir pun reda seketika. Namun begitu azab sirna, mereka ingkar janji. Mereka pun tetap tak beriman kepada kenabian Musa. Allah pun kembali menurunkan azab.
Allah mengirimkan sekawanan belalang yang kemudian memakan habis tanaman. Warga Mesir kembali kelaparan. Lalu, mereka pun kembali kepada Musa dan meminta hal sama. “Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu dengan (perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan azab itu dan pada kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu,” kata mereka. Azab belalang pun usai. Namun lagi-lagi, mereka kembali ingkar. Allah memberikan azab kembali dengan mengirim sekawanan kutu. Tiba-tiba wabah penyakit akibat kutu itu pun melanda tanah Cleopatra.
Saat merasa sulit, mereka pun kembali kepada Nabi Musa alaihi salam dan meminta hal yang sama. Nani Musa alaihi salam dengan sabar mengabulkan dengan harapan mereka akan sadar. Namun, mereka kembali ingkar. Allah pun tak segan mengirimkan kembali azab. Kali ini, dikirimkan sekelompok katak. Tiba-tiba Mesir dipenuhi sesak oleh katak yang terus melompat-lompat, banyak sekali jumlahnya. Rakyat Mesir hidup dipenuhi katak-katak itu. Tertekan, mereka kembali lagi kepada Musa, dengan permintaan yang sama. Namun, ini hanyalah mengulang seperti sebelumnya. Azab dihilangkan, mereka kembali ingkar, demikian seterusnya. Maka, Allah pun kembali mengirim azab-Nya. Allah Ta’ala mengubah air Nil menjadi darah dengan bau anyir yang menyengat. Ajaibnya, ketika Musa dan pengikutnya meminum air itu, maka bagi mereka itu bukanlah darah, melainkan air biasa. Jika rakyat Mesir pengingkar kenabian Musa ingin meminumnya, tiba-tiba air berubah menjadi darah.
Seperti sebelum-sebelumnya, mereka pun mendatangi Musa dan mengatakan hal sama. Namun, setelah Nabi Musa alaihi salam memanjatkan doa dan azab telah diangkat, mereka pun kembali pada keingkaran. Bertubi-tubi Allah menimpakan azab. Tentu saja, bagi orang yang berakal, itu lebih dari cukup untuk menunjukkan kenabian Musa dan keesaan Allah Taala. Namun, warga Mesir telah buta hati. Mereka telah tersesat.