Membangun Pesantren Ungul Melalui Pendekatan Manajemen

Membangun Pesantren Ungul Melalui Pendekatan Manajemen

Peranan pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan sekarang ini tampaknya diperhadapkan pada dua sisi kehidupan yang kontras, yaitu sisi ke-agama-an yang bersifat dogmatis dengan sisi ke-kini-an yang bersifat realistis.1 Hal ini karena pesantren dipandang sebagai benteng pertahanan kebudayaan; pesantren juga dipandang sebagai warisan sekaligus merupakan kekayaan kebudayaan intelektual nusantara. Harapan ini tentu tidak terlalu meleset dari konstruk budaya yang diangan-angankan sebagai pusat pengembangan ilmu dan kebudayaan yang berdimensi religius. Pesantren juga harus dipersiapkan sebagai motor transformasi bagi komunitas masyarakat dan bangsanya.2 Dari segi historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia. Sebab, lembaga yang serupa dengan pesantren sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Budha, sehingga Islam hanya meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Menurut Zamakhsyari Dhofier, sejak akhir abad ke-15 Islam telah menggantikan Hinduisme, dan pada abad ke 16 dengan munculnya kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam, penduduk telah dapat diislamkan.
The Encouragement of Marriage in the Quranic Exegesis

The Encouragement of Marriage in the Quranic Exegesis

This study aims to compare the interpretations of verses recommending marriage by exegetical scholars who lived as bachelors. The research will identify differences in their interpretations and assess whether their status as bachelors influenced their interpretations, potentially creating bias. The methodology used is qualitative research with content analysis, utilizing primary data sources from the tafsīr works of al-Ṭabarī, al-Zamakhsharī, and Sayyid Quṭb, as well as secondary data from other supporting literature. This study employs two approaches: a methodological and a theoretical approach. Methodologically, the study uses the methods of comparative exegesis (tafsīr muqarān), thematic exegesis (tafsīr mauḍū’ī), and analytical exegesis (tahlīl), while also applying both textual and contextual approaches. Theoretically, the study applies the principles of exegesis (al-dakhīl fi tafsīr). The findings of this study indicate that there are differences in the interpretation of verses recommending marriage among the exegetes who lived as bachelors. The interpretations of al-Ṭabarī and Sayyid Quṭb on marriage-related verses were not influenced by their status as bachelor scholars. However, al-Zamakhsharī’s interpretation of the same verses appears to have been influenced by his condition as a bachelor scholar.