Oleh: Mahbub Fauzie, S.Ag., M.Pd.
Penghulu dan Kepala KUA Kecamatan Atu Lintang, Aceh Tengah; Alumnus Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh (2000)
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang sering mencuat ujaran kebencian, polarisasi sosial, dan adanya kelompok-kelompok eksklusif keagamaan, dakwah Islam memerlukan pendekatan yang lebih lembut, humanis, dan menyentuh hati.
Dalam konteks inilah, ajakan Direktur Penerangan Agama Islam Kementerian Agama RI, Dr. Ahmad Zayadi, pada Kamis, 11 September 2025, patut mendapatkan perhatian luas.
Beliau mengajak para penceramah untuk menjadikan cinta sebagai fondasi dakwah, bukan hanya dalam arti emosional, tetapi sebagai pendekatan filosofis, teologis, sosial, dan etis yang memiliki basis kuat dalam Al-Qur’an.
Setidaknya, terdapat 14 diksi cinta dalam Al-Qur’an, yang masing-masing menyimpan makna mendalam untuk dijadikan strategi dakwah yang menyentuh hati umat.
Lebih lanjut, beliau memperkenalkan konsep Kurikulum Cinta yang digagas Menteri Agama, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA.
Konsep ini mencakup dimensi cinta kepada Allah dan Rasul, cinta ilmu, cinta lingkungan dan diri sendiri, cinta tanah air dan bangsa, serta cinta sesama manusia melalui akhlak, toleransi, dan solidaritas.
Kurikulum ini relevan dan sangat kontekstual untuk menjawab tantangan dakwah hari ini dan masa depan.
Semua kita tentu bisa menyaksikan dan merasakan langsung bahwa dakwah yang disampaikan dengan cinta jauh lebih efektif dalam menyentuh hati umat.
Bagi para penghulu, dalam tugas pelayanan nikah, misalnya, nasihat pernikahan yang disampaikan dengan bahasa lembut, penuh kasih, dan mengedukasi jauh lebih membekas di hati pasangan pengantin, dibandingkan dengan ceramah yang keras atau menggurui.
Dakwah yang keras cenderung menciptakan jarak dan resistensi, sementara dakwah yang penuh cinta akan meluluhkan hati dan menumbuhkan kesadaran dari dalam.
Sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW, dakwah beliau penuh dengan kelembutan dan kasih sayang, bahkan kepada musuh sekalipun.
Inilah esensi dakwah yang hakiki: mengajak, bukan mengejek; merangkul, bukan memukul, sebagaimana diungkapkan oleh KH. Mustofa Bisri (Gus Mus).
Dalam konteks kebangsaan yang majemuk seperti Indonesia, pendekatan ini sangat relevan. Kita membutuhkan dai yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga halus dalam rasa dan tutur kata.
Dalam pernyataannya, Ahmad Zayadi juga menegaskan bahwa Pancasila, sebagai dasar negara, bermuara pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, Pancasila bukan paham sekuler yang menafikan nilai-nilai ilahiah, tetapi justru menjunjung tinggi spiritualitas dan keberagaman yang dijiwai oleh semangat ketuhanan.
Maka, dakwah berbasis cinta juga menjadi bagian dari upaya mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila secara substantif.
Dalam dunia yang terus berubah, kekuatan dakwah tidak lagi terletak pada tokoh individual semata, melainkan pada kolaborasi dan kerja berjemaah.
Kolaborasi antar dai, tokoh agama, akademisi, pemerintah, dan komunitas masyarakat menjadi kebutuhan untuk menjawab berbagai problematika umat secara lebih luas dan berdampak.
Dakwah berbasis cinta bukanlah pendekatan yang lemah. Sebaliknya, ia adalah pendekatan yang kuat karena bekerja pada akar kemanusiaan.
Ia membentuk karakter, menyentuh batin, dan menumbuhkan semangat untuk berubah dengan kesadaran, bukan keterpaksaan. Hanya cinta yang bisa menaklukkan kebencian; hanya kelembutan yang mampu meredam kekerasan.
Sudah saatnya para dai dan juru dakwah kembali menyadari bahwa dakwah tanpa cinta hanyalah gema kosong yang tak akan pernah sampai ke hati umat. Mari kita ubah cara berdakwah kita.
Mari kita jadikan cinta sebagai ruh dakwah, karena hanya dengan cinta, pesan Ilahi akan benar-benar hidup dan menghidupkan. Wallahu a‘lam bishshawab.